Last Mission

By user69540117

2.3M 335K 208K

|WARNING: MEMBACA CERITA INI MEMBUATMU SUSAH MOVE ON| GENRE: ACTION-ROMANCE [Story 12] "Blood Roses" o... More

🥀 Prolog
🥀 Back
🥀 Kill It
🥀 Pengantin Berduri
🥀 Malam Pertama Bersama
🥀 Hadiah Kecil
🥀 Mimpi Yang Terselip
🥀 Topeng
🥀 Honey
🥀 Bohong Atau Tidak?
🥀 Perasaan Aneh
🥀 Penuh Teka Teki
🥀 De Javu?
🥀 Rintik
🥀 Make It Happen
🥀 Hukuman
🥀 Menyentil Hati
🥀 Dreams
🥀 Reset
🥀 Apa Kita...
🥀 Cinderella
🥀 Halu
🥀 Hadiah
🥀 Wanna Play With Me?
🥀 Impas
🥀 Kakak Dari Masa Lalu
🥀 Dia Akan Kembali?
🥀 Ketakutan Terbesarku
🥀 Penawaran Menarik
🥀 Sebenarnya Siapa Dia?
🥀 Bloodie Dresses
🥀 Jika Saja...
🥀 In Another Life
🥀 Perlahan Terkuak
🥀 Tiga Kali Babak
🥀 Pengkhianatan
🥀 If One Day
🥀 Kembalinya Sang Balerina
🥀 Black And White Swans
🥀 Tikus, Marmut, Kucing Dan Anjing
🥀 Orang Yang Sama?
🥀 Chip
🥀 Menikahlah Dengan Saya.
🥀 Good Bye My Love, Gatra.
🥀 Freedom
🥀 The Last Mission
🥀 Dimensi Lampau
🥀 Cu-Mon🥀
🍦New Story🍿
🗡️ Ingpo 🥀

🥀 Blood Roses

81.6K 9.2K 1.9K
By user69540117

Ost TE MOLLA|Arnon ft Killua

Saran : ada baiknya lagu yang gue putar di mulmed kalian download atau dengar lewat joox, soalnya ceritanya akan lebih ngefeel kalau di sertai lagu yang gue pilih (gak maksa kok hehe)

NOTE: latar cerita di part ini bukan di Indonesia jadi pake dialog  'AKU-KAU'

Sebenarnya harusnya setiap dialog pake bahasa Brazil tapi karena gue tau kalian pun g bakal baca, makanya ceritanya gue pake bahasa indo. [anggap aja mereka lagi ngomong pake bahasa Brazil ya]

⚫⚫⚫

Gimana?
Keliatan gak aura cantik tapi kejinya?

⚫⚫⚫

Seminggu sebelumnya,
Brazil, Sao Paulo| 00.05

    TATAPAN mata yang memohon dengan sangat, bibir gemetar ketakutan, kaki bersimpuh di lantai berlutut meminta kesempatan untuk hidup, sungguh pemandangan yang sering aku jumpai.

Seperti sekarang, di hadapanku berlutut seorang wanita hamil dan anak laki-lakinya, ku pikir mungkin sekitar lima tahunan.

"Tolong, jangan bunuh aku, ku mohon."
Wanita hamil itu berbicara dalam bahasa portugis, bahasa resmi negara di tempatku tinggal sekarang.

Wanita itu dengan sangat ketakutan memeluk putranya yang juga ikut takut melihatku. Aku mengambil sebuah pistol revolver yang aku sembunyikan di belakang lipatan jeansku. Menurut rekanku, ruangan hotel ini di rancang kedap suara, jadi tak akan masalah jika aku mengembalikan orang di sini.


Wajah ketakutan mereka semakin terlihat, terutama sang wanita yang terlihat pucat pasih sambil menangkupkan tangannya di depan dada sambil menutup mata.

"Tolong, setidaknya jika kau membunuhku, jangan bunuh putraku, dia masih terlalu kecil."
Mohonnya, beginilah pemandangan nyata ketika orang memohon untuk nyawanya, lucu sekali. Apa sebegitu mengerikannya melihat pistol yang ada di tanganku.

"Tolong, aku mohon jangan sentuh anakku. Bagaimana pun kau seorang wanita yang suatu hari akan memiliki seorang anak juga, tolong--"

"Sudah selesai?"
Aku menyeringai lalu bersiap menarik pelatuk pistolku. "Waktumu untuk bicara sudah selesai, katakan selamat tinggal pada putra kesayanganmu."

Dorr!

Saat itu juga aku menarik pelatuk pistolku, pelurunya melesat tepat di kepala wanita hamil itu. Seketika itu juga, tubuhnya terjatuh ke lantai.

"Perpisahan yang menarik sekali."
Kini pandanganku beralih pada bocah kecil itu.

"Hey Nak, ibumu sudah mati, ingin menyusul?"

Bocah lelaki itu pergi mendekat ke mayat ibunya yang sudah berdarah-darah. Mengguncang mayat sang ibu berharap ibunya bangun untuk melindunginya.

Aku mendekat padanya, sedikit berjongkok di hadapannya.

"Kau tau? Kau sangat manis. Sayang sekali ibumu pergi meninggalkanmu begitu cepat, butuh bantuanku?"

"...."
Bibir kecilnya gemetar tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Jika dia pikir kalau aku akan berbelas kasih pada anak kecil tak berdosa sepertinya, sepertinya sayang sekali, itu asumsi yang salah.

"Kenapa hanya diam? Mau aku ceritakan suatu kisah?"

"..."

"Suatu hari, ada seorang bocah kecil sepertimu, ia hanya hidup bersama ibunya, ia hanya punya sang ibu. Tapi kau tau? Orang-orang membunuh ibunya." ceritaku, dalam bahasa yang dapat di mengerti olehnya tentu saja.

Terlihat anak itu semakin ketakutan.
"Mau tau bagian paling serunya?"

Anak kecil itu menggelengkan kepalanya lalu mulai menangis.

"Sejak saat itu, anak kecil itu tumbuh menjadi anak kecil yang tak ingin terlihat lemah, bahkan dia sangat membenci melihat anak kecil yang hanya mampu berlindung di ketiak ibunya. Cerita yang menarik bukan?"

"Penasaran siapa anak kecil itu? Dia ada di depanmu sekarang ini."

Cerita ku yang tidaklah menarik atau memang anak kecil ini yang kurang tertarik ya dengan ceritaku? Padahal cerita barusan itu kisah nyata. Harusnya ia bertepuk tangan mendengar ceritaku.

"Kenapa diam saja? Tidak ingin mengucapkan sepatah kata untuk ibumu?" tanyaku lalu mengelus rambut coklatnya. Bocah yang manis, namun sayang sekali, sejak dulunya aku memang tidak menyukai anak kecil, apalagi yang lemah dan hanya bisa menangis seperti bocah ini.

Namun tangan bocah kecil itu bergerak ke pistolku, menutup bagian depan tempat keluarnya peluru dengan telapak tangannya dengan ekspresi wajah sangat sedih.

Aku tersenyum melihat pemandangan ini. Anak sekecil ini sudah cukup berani rupanya.

Mungkin saking ketakutannya, tak ada kata apapun yang keluar lagi dari dalam mulutnya.

Di saat aku tengah dalam posisi mendesak seperti ini, aku mendengar bunyi sirine polisi di bawah gedung hotel. Sial, rupanya para penegak keadilan itu sudah datang.

"Nak, yakin tak ada yang akan kau katakan lagi padaku atau ibumu?"
Tanyaku untuk terakhir kalinya.

Anak kecil itu menggelengkan kepalanya dengan air mata yang berderai meluruh di pipi kemerahannya.

Aku kemudian menutup matanya dengan tanganku. Tentunya aku telah menggunakan sarung tangan agar sidik jariku tidak di temukan di mayat ini nantinya.

"Me desclupe. (maafkan aku.)"
Mengucapkan maaf dalam bahasa Portugis, lalu setelah itu aku menarik pelatukku hingga membuat anak itu ikut terbaring bersimbah darah di samping ibunya. "Temui ibu dan calon adikmu di surga, aku minta maaf."

"Aku tak akan membunuh kalian seandainya saja tadi kalian tidak melihat wajahku."

Penting bagiku untuk tidak terlacak demi organisasi yang menaungiku. Siapapun yang berhasil melihat wajahku dengan jelas maka harus mati. Mengherankan saat biasanya aku memakai topeng yang menjadi ciri khasku, namun sayang sekali malam ini aku harus kehilangan topengku karena terlibat perkelahian dengan bodyguard kuat dari bos besar yang sudah ku habisi lebih dulu, tentunya setelah merobek topengku, pria bertubuh besar itu telah aku habisi, hampir aku mutilasi seandainya punya lebih banyak waktu. Namun setidaknya aku masih harus jadi pembunuh bermartabat yang tidak merusak tubuh korbanku sendiri.

"Sampai jumpa di dunia yang lain, senang bertemu denganmu, nak."
Ucapku lalu menutup matanya yang masih terbuka lebar setelah aku tembak di bagian jantungnya. Maaf.

Sungguh aku sama sekali tidak ingin membunuh wanita hamil dan anak kecil tidak berdosa seperti tadi, namun jika tidak ku lakukan maka kepalaku jadi taruhannya, aku bisa pancung seketika ketika ketahuan gagal dalam misi ini.

Sekarang yang harus aku lakukan hanya satu, aku harus lolos dari kepungan polisi bagaimana pun caranya, kembali ku selipkan pistol di balik bajuku lalu mengintip dari jendela kamar. Para keparat itu sudah membentuk formasi rupanya.

Namun aku justru menyeringai saat melihat ada celah untukku. Jangan panggil aku mawar darah jika hanya untuk kepungan polisi saja aku tak bisa.

Lompat dari balkon tentunya sangat tidak memungkinkan, ini lantai dua puluh. Aku kembali melihat wanita hamil yang telah aku tembak tadi, sebuah ide terlintas di pikiranku. Bagus.

Seharusnya aku tidak membunuh wanita hamil dan anaknya seandainya saja tadi aku tidak ketahuan saat bersembunyi ke kamar hotel mereka.

Saatnya untuk melakukan penyamaran agar aku bisa lolos dari para polisi itu. Aku mengambil beberapa baju dari wanita hamil itu lalu menyumpal perutku dengan baju lain sehingga terlihat sebagai wanita hamil, sengaja aku hapus riasan yang aku gunakan setiap melakukan misi lalu menggerai rambutku, sekedar informasi saja, aku selalu mengikat rambutku setiap beraksi lalu menggunakan topeng hingga tak ada yang tau siapa wanita di balik topeng yang aku kenakan, bahkan banyak yang mengira bahwa aku adalah wanita berumur tiga puluhan tahun dengan ciri-ciri yang selalu salah di gambarkan oleh kepolisian dan paling parahnya ada yang mengira bahwa aku adalah seorang pria bertubuh kecil, mengingat korbanku yang memiliki ukuran tubuh sangat besar layaknya atlet angkat beban berat namun bisa aku smack down, jadi tak heran kan kalau banyak yang mengiraku pria misterius di balik jaket hoodie dan topeng hitam.

Entah aku yang terlalu cerdas mengelabui mereka, ah atau mereka yang sebenarnya terlalu bodoh?

Setelah membuka pintu dan melihat para polisi itu tengah menggeleda beberapa kamar di samping, aku menggunakan kesempatan ini untuk menyelinap keluar kamar hotel, kondisi pengunjung hotel yang berlari keluar saat mendengar sirine polisi semakin menguntungkankanku, dengan begitu aku bisa berbaur dengan pengunjung hotel lain tanpa takut ketahuan.

Sambil berakting memegangi perutku, aku berjalan menuju tangga darurat, namun ternyata di sana sudah ada polisi juga yang di tugaskan untuk menjaga pintu. Kami saling berpandangan untuk beberapa saat, aku pikir tamat riwayatku kali ini.

"Ingin ke mana?" tanyanya.

"Ke bawah, aku dan bayiku tidak menyukai keramaian di atas sini."
Alasanku.

"Lalu kenapa harus lewat tangga darurat?"

Keparat sialan ini sungguh ingin membuatku memotong lidahnya.

Baru saja aku berniat untuk menghabisinya dengan pisau tajam di gunting kuku yang aku sembunyikan di saku celana, namun polisi berkepala plontos ini malah menuntunku ke arah lift, menekan tombol lalu membiarkan aku masuk ke dalam.

"Hati-hati nona, di kawasan hotel ini sedang berkeliaran bebas seorang pembunuh. Aku pikir kau dan bayimu akan lebih aman naik lift."
Ucapnya sebelum pintu liftku tertutup.

Haruskah aku tersentuh melihat kebaikannya barusan? Tidak!

Manusia itu seperti sebuah koin yang punya dua sisi, baik dan buruk. Kadang mereka hanya menampilkan sisi baik namun menyembunyikan topeng lain di belakangnya, aku gak bisa percaya orang dengan mudah, sebaik apapun orang itu padaku.

Setelah berhasil lepas dari ancaman polisi, aku masuk ke dalam mobil salah satu teman yang sudah menungguku di persimpangan jalan.

"Hey Roses, kau terlihat cantik dengan baju hamil itu."

"Harus ku anggap apa ucapanmu barusan? Pujian atau hinaan ya?"

Pria berkulit hitam dan berambut gimbal seperti cacing itu mengangkat pundaknya. "Bebas, anggap itu pujian jika kau suka. Lagipula untuk apa aku melontarkan hinaan, aku masih sayang nyawa, kau tau--" dia tersenyum nakal padaku. "Aku bahkan belum mencicipi tubuhmu."

"Mati kau sialan, katakan sekali lagi maka leher dan kepalamu terpisah."
Kataku dengan nada tenang namun penuh penekanan. Ku lepaskan baju hamil yang sejak tadi melekat di tubuhku, tak lupa aku membungkus sarung tangan berdarah yang aku sisipkan di balik baju.

"Dapat tangakapan bagus hari ini?"
Tanya temanku--panggil saja Breno si penggila payudara dan bokong wanita. Dia yang paling ahli dalam meretas sistem keamanan, cctv di hotel itu telah ia retas sebelum kami beraksi tadi. Aku dan dia adalah aset berharga organisasi tempat kami bekerja. Sejak dulu kami sering di tugaskan bersama tanpa gagal dalam misi apapun.

Aku hanya diam, tak menjawab pertanyaan apapun yang ia lontarkan. Aku menyenderkan kepalaku di jendela mobil lalu mengingat kejadian tadi.

Entah kenapa bayangan bocah kecil yang menutup pistolku tadi dengan telapak tangannya seperti sebuah rol film di pikiranku, terus muncul dan mengulangi adegan yang sama.

Rasanya ada yang mengganjal di hatiku, ini tak pernah terjadi sebelumnya. Bahkan begitu banyak nyawa yang aku habisi, namun kenapa baru kali ini aku merasa sangat bersalah.

Harusnya tadi aku tidak bersembunyi di ruangan mereka, pada akhirnya aku mengorbankan nyawa yang tak bersalah.

"Bren," dia menoleh padaku. "Menurutmu, bagaimana kalau aku berhenti menjadi pembunuh bayaran seperti ini?"

Breno tertawa sambil menyetir.
"Apa kepalamu terbentur sesuatu di hotel tadi? Kau lupa ya kalau sejak kecil kau di besarkan oleh Valentim, memangnya kau yakin bisa hidup tanpa bantuan darinya?"
Aku kembali melihat ke luar mobil. Betul, sejak kecil aku berutang budi pada Valentim, berkatnya aku bisa hidup sampai sekarang, namun sebagai gantinya dia merubahku menjadi gadis yang keji seperti sekarang.

"Datang ke markas besok pagi."
Pesan Breno setelah menurunkan aku di tepi jalan.

Aku hanya menjawab dengan anggukan lalu di balas kedipan mata olehnya.

"Okey sexy, sampai bertemu besok, ada yang merindukanmu."

"Siapa?"

"Cleo. Kau tau dengan baik bahwa dia menyukaimu sejak dulu."

"Ch, tapi aku tidak. Katakan padanya untuk bunuh diri saja!"
Sinisku lalu berjalan menuju tempat tinggalku yang terletak tersembunyi di dalam gang kecil.

Di sinilah aku hidup bersama tikus dan kecoa gang, tak banyak tetangga yang bersosialisasi denganku, mereka hanya tau aku seorang wanita jalang yang pergi pagi lalu pulang menjelang pagi juga. Persetan dengan omongan mereka, aku di anggap jalang atau wanita murahan, itu terserah mereka. Toh aku hidup bukan dari air ludah mereka.

Setelah masuk ke dalam ruang kecil yang aku jadikan rumah, hal pertama yang aku lakukan adalah pergi membasuh diri. Bukan hal biasa lagi ketika melihat sekujur tubuhku yang penuh dengan luka jahit dan sayatan benda tajam, sama sekali tidak menggambarkan tubuh seorang gadis. Fisikku dari luar memang terlihat cantik layaknya bunga mawar, tapi jangan lupa bahwa mawar secantik apapun memiliki duri tajam yang bisa membuat tanganmu berdarah.

'Blood Roses' orang-orang menjuluki ku begitu. Aku biasanya di panggil Roses namun tak ada yang tau dengan pasti siapa nama asliku.

Aku mengambil bir kalengan dari kulkas lalu duduk di kasur.

Tak lama aku tertidur begitu lelapnya, namun aku kembali terbangun dengan tubuh keringatan saat bocah kecil itu kembali muncul di dalam mimpiku. Ia terus mengatakan bahwa aku ini seorang pendosa besar!

Itu benar, bahkan aku sendiri pun tau dengan pasti tentang hal itu. Tapi mengapa saat bocah kecil itu muncul di mimpiku, aku jadi merasa sangat tertohok?

Ku pandangi telapak tanganku yang halus namun selama ini hanya aku pakai untuk hal-hal berbau kejahatan.

Sial. Aku semakin merasa bersalah saja.

Aku melirik sebuah kotak yang aku simpan di samping tempat tidur, ku buka kotak itu lalu mengambil foto masa kecilku--satu-satunya foto yang aku miliki bersama ibuku dulu. Hatiku kembali tersayat setiap melihatnya, tak ingin berduka lebih lama, aku menyimpan lagi foto itu lalu tanpa sengaja menjatuhkan sebuah foto ke lantai.

Aku sedikit menunduk untuk memungut foto itu. Di belakangnya tertulis desa impianku dan ibu, kami akan ke sini suatu hari.

Setelah membalikkan foto itu, sudut bibirku melengkung membuat sebuah senyum tipis saat melihat pemandangan desa kecil yang jauh dari kota ini. Dulu sekali, aku bermimpi akan pergi ke tempat ini. Bahkan sekarang pun masih, meski tanpa ibuku lagi, aku berharap bisa ke sini lalu membuka lembaran hidup baru tanpa penyesalan.

Jujur, sebenarnya sudah sejak lama aku ingin berhenti mengotori tanganku dengan darah orang lain, itu menjijikan. Namun karena sudah terikat dengannya organisasi Bala De Prata--sebuah organisasi pembunuh bayaran terhebat di Brazil--aku seperti terkungkung di dalam sangkar kejahatan. Aku tau resiko bekerja di tempat ini sangatlah besar, bukan hanya dosa yang harus aku tanggung tapi juga ancaman nyawa yang akan hilang sewaktu-waktu.

Organisasi ini bukan organisasi kecil, bahkan para mafia-mafia besar menaungi organisasi ini hingga mereka bisa menjamin keselamatan kami tanpa takut tertangkap polisi. Hanya saja, ada suatu waktu aku merasa ini sangat salah, aku ingin berhenti berendam di dalam kubangan kotor ini.

Bahkan tanganku... Entah sudah berapa banyak dosa yang akan aku tanggung.

Besoknya, aku pergi ke gedung yang menjadi basecamp organisasi kami, keamanan di sini sangat ketat, tidak sembarangan orang bisa masuk, termasuk mafia hebat sekalipun. Jika butuh bantuan tenaga pembunuh dari kami maka hubungi lewat akun khusus, tidak bertemu langsung.

Kedatanganku di sambut oleh tepuk tangan meriah dari teman-temanku termasuk Valentim--ketua organisasi ini--pria tua berumur lima puluhan lebih yang telah merawatku sejak kecil, perawakannya terlihat menakutkan namun sebenarnya baik, menurutku sih.

"Lihat siapa yang datang, inikah gadis berumur dua puluh tahun yang semalam berhasil menebas kepala bandar narkoba yang di takuti para mafia?"
Puji Sera. Aku dan dia adalah pembunuh bayaran wanita yang di miliki organisasi ini, hanya saja dia sudah berumur empat puluhan tahun.

Di sudut ruangan, aku melihat seorang pria berambut hitam legam dengan tatapan tajam padaku. Dia Cleo, sama sepertiku, dia juga pembunuh bayaran. Hanya saja dia di level berbeda.

Sudah sejak lama dia memintaku menikah saja dengannya, tapi aku selalu menolak. Bukan tanpa alasan, bagiku tatapan semua pria itu sama. Mereka hanya menginginkan tubuhku bukan ingin betul-betul mencintaiku layaknya seorang wanita. Aku tau itu, maka pilihan terbaik yang aku lakukan adalah membatasi diri dari makhluk bernama pria. Bagiku, apapun yang menyangkut pria pasti akhirnya adalah masalah.

Bahkan di umur yang sudah cukup dewasa ini, aku sama sekali tidak pernah terlibat hubungan apapun dengan pria, menurutku hanya buang-buang waktu untuk hidup dengan mereka, aku bahkan sudah membuat rencana untuk hidup tanpa pria dan menua tanpa menikah, lalu hidup di pedesaan, pada akhirnya semua manusia ketika mati akan sendirian juga. Sudah.

Aku tak perlu cinta ataupun pria untuk mengisi hidupku, tak ada ruang untuk mereka.

Ku abaikan Cleo lalu melihat seorang gadis seumurku yang tengah di ajak paksa ke dalam kamar oleh tiga pria sekaligus, aku bergerak hendak menyelamatkan wanita itu, namun Valentim menahan tanganku.

"Itu tugasnya, jangan ikut campur."

Aku menoleh marah pada Valentim.
"Dia sahabatku." bagaimana bisa aku hanya diam saat melihat sahabatku di jadikan alat pemuas seks di organisasi ini. Nasibnya tidak lebih baik dariku, awalnya kami bertemu di umur yang sama, dia tujuh tahun begitu pun aku. Dia dari Myanmar sementara aku satu-satunya gadis dari Indonesia. Kami bersahabat sangat dekat bahkan seperti saudara, namun di masa pelatihan menjadi pembunuh bayaran, rupanya dia tidak begitu beruntung. Baru sekali di tugaskan, dia sudah hampir membuat organisasi terancam, alhasil dia berakhir sebagai wanita binal pemuas nafsu di organisasi ini.

Tentu saja aku tak terima, berulang kali aku ingin membawanya kabur bersamaku lalu hidup berdua saja di pedesaan, namun sepak terjang kami ketahuan oleh orang organisasi. Semuanya gagal, kami kembali ke tempat ini.

Namanya Meit, dalam bahasa Burma artinya mempesona. Memang betul, sahabatku itu sangat mempesona, namun sayang sekali nasibnya tidak secantik wajahnya. Aku bersumpah pada diriku sendiri akan membawanya keluar dari tempat ini secepatnya, apapun caranya.

"Valentim, ada yang ingin aku sampaikan."

"Silakan, kau memiliki banyak waktu untuk bicara."

"Tidak di sini."
Ku kecilkan suaraku.

Valentim melihat sekeliling. "Baik, di ruanganku?"

Kemudian aku berjalan di belakangnya menuju ruangannya, hanya aku satu-satunya anggota organisasi yang boleh masuk, kenapa? Karena bagi Valentim, aku sudah seperti anaknya sendiri. Putri kecil kesayangannya. Dia bilang sih begitu, tapi siapa yang tau dalamnya pikirkan seseorang? Aku tak bisa percaya begitu saja.

"Ada apa, Roses?"
Tanyanya begitu duduk di kursi singgahsananya.

Tanpa basa basi, aku langsung mengutarakan tujuan utamaku.

Aku melepas lambang organisasi yang tertempel di jaket kulitku lalu menaruhnya di meja. "Aku ingin berhenti."

Satu detik, dua detik bahkan detik selanjutnya ia hanya diam dengan jari yang mengetuk-ngetuk meja.

Dia pasti menolaknya. Aku yakin itu.

Namun yang terjadi justru sebaliknya, dia tersenyum lalu mengiyakan keputusanku untuk keluar dari organisasi ini.

"Baik, jika itu yang kau inginkan."

Sulit di percaya, aku tau dia bukan orang yang dengan mudah melepaskan anggotanya begitu saja, apalagi aku adalah peluru perak untuknya. Tidak mungkin seseorang melepaskan sesuatu yang berharga begitu mudahnya. Ya kan?

"Kau serius?"

"Tentu." katanya lagi, tanpa keraguan sama sekali.

"Tapi aku ingin membawa Meit juga, aku ingin kami berdua keluar dari tempat ini."
Mungkin permintaanku ini terdengar amat serakah, namun aku tidak akan keluar jika itu tanpa sahabatku.

Lagi-lagi Valentim menyetujui permintaanku. Ini aneh, apa dia mungkin kerasukan malaikat saat perjalanan menuju tempat ini? Mencurigakan.

"Sungguh?"

"Tentu, kau akan pergi bersamanya. Tapi sebelum itu--"
Dia membuka laci mejanya lalu mengeluarkan sebuah map coklat. Dia mengambil lembaran kertas beserta sebuah foto lalu melemparnya padaku.

"Tapi setelah kau berhasil membunuh pria ini, dia adalah target terakhir yang harus kau habisi sebelum berhenti. Anggap itu syaratmu."

Aku meraih foto itu, melihat seorang pria yang terlihat tersenyum ke arah kamera. Wajahnya terlihat jelas menggambarkan kalau dia orang Asia sama sepertiku, kulitnya tidak putih tapi agak kecoklatan, pria ini terlihat jantan sekali, apalagi tubuhnya terlihat atletis.

"Jangan menatapnya terlalu lama, nanti kau jatuh cinta."

"Maka dia pasti bukan manusia jika berhasil membuatku jatuh cinta." balasku bercanda. "Lalu, di mana pria ini?"

"Indonesia. Kita memiliki klien istimewa dari sana."

"Hah? Kau gila ya? Bagaimana aku membunuhnya jika ia ada di sana?"

"Itu dia! Aku memberikan kepercayaan tugas ini padamu karena kau orang Indonesia juga, pulang ke sana lalu bunuh pria ini, setelah itu kembali ke sini menjemput sahabatmu, setuju?"

Aku diam melihat biodata dan foto pria itu.

"Demi kau dan sahabatmu, aku janji akan membiarkan kalian pergi setelah misi ini berhasil. Sepakat, Roses?"

Tanpa pikir panjang lagi, aku setuju dengan kesepakatan yang Valentim buat untukku. Tak apa, anggap ini misi terakhir yang akan menjadi penutup dari ceritaku di dunia kejahatan ini, kali ini akan ku biarkan tanganku untuk terkena darah orang lain sekali lagi.

"Setuju, lagipula aku hanya perlu membunuhnya kan? Itu bukan perkara yang besar untukku."


Hey, gimana part ini menurut kalian?

Oh ya sebenernya cast cewek yang gue pilih itu random, sebenarnya awalnya itu gue udah siapin cast tuh, eh pas gue liat kok gak bikin gue srek nulis (sekedar info, gue nulis juga tergantung cast, kalau gue suka castnya biasanya gue termotivasi nulis)  namanya nulis kan bayangin muka orangnya tuh. Nah akhirnya gue pilih cewek dan cowok yang sebelumnya sama sekali gak terpikirkan.

Menurut kalian pas gak castnya?

Oh ya, ini scene cerita masih di Brazil jadi masih pake aku-kau. Gosah protes bilang kaku atau baku lah ya wkkw

Oke, salam bebi ciken 🐥

Continue Reading

You'll Also Like

48.4K 4.3K 42
WARNING WP INI BXB JIKA ANDA HOMOPHOBIC MENJAUH!!! JANGAN BACA SEMUANYA KARANGAN 100% GAADA YANG BERDASARKAN RL!! JANGAN MEMBAWA SEMUA CERITA YANG AD...
93.1K 13.6K 47
➤; 𝐃𝐫𝐚𝐦𝐚 𝐣𝐚𝐥𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐫𝐞𝐦𝐚𝐣𝐚-𝐫𝐞𝐦𝐚𝐣𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐦𝐢𝐦𝐩𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐛𝐞𝐛𝐚𝐬𝐚𝐧! ⌗ 𝐂𝐡𝐨𝐢 (�...
79K 7.1K 74
Ini hanya kisah Boboiboy dan (Name) yang dinikahkan pada umur 17 tahun dengan dalih perjodohan. Lantas bagaimana kisah mereka kedepannya? Warning...
9.7K 894 23
"posesif amat jadi cowo" "terserah lah" winnythanawin as dom winnysatang⟡  satangkittiphop as sub