Aksara Dan Suara

By khanifahda

1.5M 164K 6.7K

Bukan waktu yang singkat bagi Grahita Sembrani Pramonoadmodjo untuk menghapus bayang-bayang penghianatan cint... More

Jaladri
Rawi
Griya
Ludira
Sakwari
Samira
Udaka
Darani
Nirada
Wibana
Asta
Peningal
Brawala
Pakara
Pralapa
Kawur
Kaningaya
Samapta
Persudi
Kanin
Adanu
Lawya
Purwa
Mara
Hastu
Sangsaya
Weling
Kaharsayan
Samagata
Mahatma
Wiyoga
Asti
Balakosa
Smara
Mandrakanta
Darba
Soma
Adicandra
Sakanti
Balun
Adyuta
Abhipraya
Syandana
Gama
Jantaka
Nisita
Palar
Byuha
Locana
Nayottama
Agata
Gandring
Radinka
Ilir
Adhikari
Dayita
Adyatma
Wasana
'Naditya'
'Cundamani'
'Woro-Woro'

Lenggana

24.8K 2.6K 66
By khanifahda

"Li, Oma mana?"

Lili tersenyum tipis dengan mata sembab. Lalu perempuan itu mengusap tangan Grahita pelan.
"Oma mana?"

Lili justru ingin memuntahkan air matanya kembali, namun sebisa mungkin perempuan itu menahannya. Grahita baru saja siuman setelah berkali-kali pingsan. Beberapa kali siuman, Grahita menangis dan kembali pingsan lagi, begitu seterusnya hingga tak dapat melihat prosesi pemakaman jenazah Oma karena keadaan Grahita yang tak memungkinkan lagi.

"Makan dulu ya? lo belum makan Ta." Bujuk Lili. Dari kemarin malam sampai malam lagi, keadaan Grahita sangat memprihatinkan. Perempuan itu hanya siuman, menangis, dan pingsan kembali.

"Oma mana?" ulang Grahita lagi.

Lili lalu menarik nafasnya dalam, "Oma udah di kebumikan tadi siang Ta. Maaf, kamu nggak memungkinkan untuk melihat yang terakhir kalinya."

Grahita tak meraung memanggil Omanya. Perempuan itu hanya kembali menangis dalam diamnya. Grahita terdiam seraya menatap langit-langit kamarnya. Lalu Mbak Tini datang membawakan segelas air putih dan membantu Grahita minum agar lebih tenang.

"Oma dimakamin dimana?" tanya Grahita pelan setelah agak lama terdiam. Pelan-pelan pun ia harus bisa menerima takdir yang menghampiri dirinya. Perempuan itu bisa apa selain mengikhlaskan kepergian sang Oma. Dirinya hanya syok berat setelah tiba-tiba di tinggal Oma tanpa pamit. Tanpa adanya kata perpisahan terlebih dahulu.

"Disamping Opa, Ta." Grahita tak menjawab. Satu keinginan Omanya sudah terwujud. Keinginan Oma untuk beristirahat di samping sang suami kini sudah terkabul.

Lalu Grahita bangkit dari baringnya, kepalanya masih terasa pening akibat menangis dan pingsan, namun ia masih bisa menahannya.

Grahita lalu memperbaiki posisi duduknya, "pa-pa, datang Li?" sebenci apapun ia dengan sang papa, Grahita masih menanyakan perihal kehadiran papa di pemakaman sang Oma.

"Datang Ta. Om Sadewa juga ikut membawa jenazah Oma sampai ke pemakaman. Eyang juga datang."

Grahita menghembuskan nafasnya pelan, sebuah kelegaan jika keluarga datang ke pemakaman Oma. Grahita tak banyak berharap lebih sekarang. Ia hanya mencoba mendamaikan diri dengan kebencian yang sudah mendarah daging itu.

Lili ditempatnya tersenyum tipis. Ia tahu Grahita bukan perempuan jahat yang penuh dendam. Grahita hanya sangat kecewa dengan kehidupan yang membuat dirinya harus merasakan pahit bertubi-tubi.

"Makan ya Ta?" tawar Lili. Grahita belum makan dari tadi malam sehingga Lili khawatir jika Grahita kembali tak mau makan.

Grahita tak menjawab, Lili memilih beranjak dari kamar Grahita untuk mengambilkan makanan untuk Grahita. Gawai Grahita berbunyi, tetapi perempuan itu memilih mengabaikannya. ia sementara tak menyentuh benda itu. Dirinya masih syok dengan kematian Oma yang tiba-tiba.

Lili datang dengan membawa sepiring nasi goreng, lalu menyendokkan makan malam tersebut ke arah Grahita, namun perempuan itu segera menolaknya. "Gue nggak sakit, Li. Biarin gue makan sendiri." Piring yang dibawa Lili lalu berpindah ke Grahita. Perempuan itu memilih makan sendiri, ia tak mau berlarut dalam kesedihannya. Ia harus bangkit dari keterpurukannya itu.

Lalu Lili memilih duduk di depan Grahita yang sudah memakan makanannya. "Eh Ta, gue mau tanya dong." Ucap Lili. Pasalnya ia sangat penasaran dengan apa yang ia lihat sejak pagi tadi. Ia juga ingin mengalihkan perhatian Grahita agar tidak melulu memikirkan kesedihannya. Lili hanya berusaha membuat Grahita kembali membaik.

"Hmm," gumam Grahita sebagai jawaban.

"Gue lihat ada laki-laki badannya tuh tegap, trus dia terlihat berwibawa gitu. Kalau jalan kayak orang lomba baris berbaris, itu siapa? lo kenal nggak?"

Grahita terdiam sebelum menyendokkan kembali nasi gorengnya, "oh, lo lupa?" jawab Grahita pelan. Ia masih lemah sehingga tak ada daya banyak untuk sekedar berbicara panjang lebar. Namun Grahita berusaha melawan itu semua. Ia harus bangkit setelah ini.

"Hah? maksud lo?" Lili tak paham dengan apa yang di maksud oleh Grahita. Grahita tak menjawab, biarlah Lili yang suka lupa itu berpikir. Lagipula itu pertanyaan yang tidak penting menurutnya.

Lili lalu berpikir keras, dan, "oh iya gue inget. Itu bukannya orang yang nabrak dulu kan? nah sekarang gue inget."

"Sumpah ya Ta, tuh orang rajin banget tadi. Ikut membantu bapak-bapak kompleks buat ngurus pemakaman, trus juga ikut angkat jenazah Oma lo. Dia juga sempet bicara agak lama sama Papa lo juga." Ujar Lili tanpa di minta oleh Grahita. Lili juga bukan tanpa alasan, ia ingin Grahita sedikit melupakan kesedihannya setelah kepergian Oma dengan bercerita kepada perempuan tersebut.

Grahita selesai makan dan meletakkan piringnya di atas nakas samping tempat tidurnya dengan dibantu Lili. "Beneran Li?"

Lili mengangguk, "suer! gue nggak boong." Grahita hanya ingat ketika dirinya tak sadarkan diri di pelukan Gandhi. Setelah itu ia tak ingat apa-apa selain berlarut dalam kesedihannya.

"Dia tadi ngingetin Mbak Tini kalau lo sadar, lo suruh makan. Bener-bener sweet deh. Sempet dikira calon suami lo loh Ta sama tetangga."

"Ck! terserah merekalah."

Lili lalu menatap Grahita. "Ta, kalau lo ada sedih, ada masalah, jangan pendem sendiri ya? lo masih ada gue. Masih ada bunda. Lo nggak sendiri di dunia ini. Mungkin Oma udah pulang, tapi Oma masih lihat lo dari atas. Oma juga pengen lihat lo bahagia, pengen lihat lo nggak sedih dan sakit lagi. Never give up, sis. I will be on your side."
Betapa beruntungnya Grahita mendapat seorang sahabat yang sangat peduli padanya. Lili ibarat orang yang tahu luar dalamnya. Lili adalah orang yang bisa mengerti dirinya.

"Thanks." Lalu Lili memeluk Grahita. Ia sedih jika sahabat kecilnya itu bersedih kembali. Membayangkan kehidupan Grahita yang dipenuhi rasa kecewa dan amarah, membuat Lili merasa bahwa Grahita tak pernah baik-baik saja sejak dulu. Oleh karena itu, Lili berusaha untuk tetap berada di samping Grahita, apapun keadaan sahabat kecilnya itu.

*****

"Mbak Tata, ada Tuan Soeroso di depan." Grahita yang sedang mengemas beberapa barang di kamarnya lalu menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah Mbak Tini.

"Sama siapa Mbak?"

"Sendiri." Grahita mengangguk lalu Mbak Tini kembali melanjutkan pekerjaannya.

Grahita kemudian meletakkan satu kardus yang berisi pakaian lamanya itu di atas meja kamarnya, lalu melangkahkan kakinya untuk keluar. Grahita melihat eyangnya itu sudah duduk di ruang tamu.
"Kamu gimana kabarnya Ta?" Tanya Tuan Soeroso begitu sang cucu ikut duduk di sana.

"Baik," lalu perempuan itu duduk di seberang sang eyang.

"Ada apa eyang ke sini?" tanya Grahita dengan tenang. Tak ada amarah yang meledak-ledak. Kali ini Grahita akan mencoba berdamai dengan masa lalunya itu.

Tuan Soeroso tersenyum, "Eyang datang untuk melihat cucu eyang, apa itu salah?"

Grahita tak menjawab, perempuan itu justru mempersilahkan sang eyang untuk menikmati hidangan yang di bawa Mbak Tini barusan.
"Eyang gimana kabarnya?" kini gantian Grahita yang bertanya.

"Baik, bahkan sangat baik." Lalu mereka sama-sama diam. Tak ada yang kembali untuk membuka obrolan.

Tatapan sayu Grahita masih kentara setelah seminggu pasca kematian Oma. Grahita lebih sering terdiam dan kadang-kadang melamun. Tak ada tangis disana, hanya sesekali masuk ke dalam kamar Oma dan tertidur disana.

"Tinggal bareng eyang ya Ta?"

Grahita lalu menatap sang eyang, "buat apa?"

Lalu nampak helaan nafas terdengar dari Tuan Soeroso, "sekarang kamu sendiri Ta, Eyang pengen kamu tinggal sama Eyang dan papa kamu."

Grahita kembali terdiam, tak menjawab dengan cepat. Grahita seperti memikirkan sesuatu sebelum akhirnya mengangkat bicara, "Eyang nggak perlu repot-repot mengajak Tata untuk tinggal ke rumah Eyang kalau hanya menganggap Tata kesepian. Ada nggak ada Oma, Tata akan tetap di sini. Walaupun Oma sudah tiada, tapi Tata masih merasa bahwa Oma ada di sini."

"Eyang nggak perlu repot-repot juga kasihan dengan Tata. Sedari dulu memang kehidupan Tata seperti ini, tak berubah sedikitpun. Hidup tanpa papa mama sudah Tata jalani berpuluh-puluh tahun, lalu mengapa sekarang Eyang tiba-tiba datang dan simpati? bukan terlambat, tapi Tata tidak lagi membutuhkan perhatian semacam itu. Lebih baik Eyang menikmati masa tua bersama keluarga Eyang, tanpa mengurangi hormati Tata sebagai cucu Eyang."

"Kamu menolaknya?" Grahita mengangguk mantap. "Bagi Tata, rumah sebenarnya adalah rumah ini, kemudian rumah di Paris, selain itu, nggak ada."

"Maaf mungkin jawaban Tata bakal membuat Eyang sakit hati. Tapi inilah faktanya."

Ditempatnya, Tuan Soeroso menghembuskan nafasnya pelan. Beliau juga sadar jika semuanya terasa terlambat dan membuat beliau menyesal. Seharusnya Tata bisa dekat dengannya, namun hanya karena ego dan kepentingan pribadi, ia kehilangan momen manis bersama sang cucu. Cucunya dingin dan tak tersentuh, tapi memang itu salahnya sendiri. Salahnya mengapa tak sejak dulu ia peduli dan memperhatikan Grahita.

Tuan Soeroso lalu berusaha tersenyum. Beliau sudah cukup senang dengan Grahita yang mau berbicara dengannya tanpa amarah yang selalu ditunjukkan oleh perempuan atas bukti kekecewaan dan sakit hatinya. Tuan Soeroso sudah bahagia bisa berbicara santai dengan Grahita.

"Eyang menghargai keputusan kamu. Kamu berhak menentukan sendiri, kamu sudah dewasa dan Eyang hanya berharap yang terbaik buat kamu. Maaf selama ini Eyang banyak salah sama kamu."

Grahita menunduk dalam duduknya. Tangannya ia tautkan seraya menghembuskan nafasnya. "Tidak ada yang perlu di ungkit lagi Eyang. Yang lalu biarlah lalu. Tata capek harus nyimpen sakit hati dan kecewa terlalu lama. Tata juga pengen hidup bahagia mengikhlaskan yang sudah lalu."

"Tapi kamu masih bisa kan datang ke rumah Eyang?"

"Akan Tata usahakan, tapi Tata tidak bisa janji dalam waktu dekat. I need more time."

Tuan Soeroso mengangguk paham. Setidaknya Grahita mau berbicara dengan baik pun sudah senang. Grahita juga pasti butuh waktu untuk semuanya, untuk memulihkan keadannya dan itu tidak instan.

Lalu Tuan Soeroso bangkit dari duduknya, laki-laki paruh baya itu pamit pulang. Grahita mengantarnya sampai depan. Namun sesuatu yang membuatnya tambah kecewa justru berada di depannya sekarang. Mengapa banyak kejadian yang diluar ekspektasinya harus terjadi dalam waktu yang berdekatan ini? sungguh, ini sangat berat dan Grahita benci itu.

*****

"Assalamu'alaikum Umi?" laki bertubuh tetap dengan potongan rambut cepak itu langsung mencium tangan sang Umi ketika perempuan dengan gamis dan kerudung besar itu datang di salah satu restoran di Jakarta.

"Wa'alaikumussalam. Gimana kabarnya le?"
Ghandi tersenyum, "alhamdulillah baik Mi. Umi sama Abah gimana?"

"Alhamdulillah baik. Tapi Abah baru nyusul ke sini besok."

Ghandi mengangguk, Uminya ke Jakarta bukan tanpa alasan. Lusa besok rencananya sepupu Ghandi akan mengadakan acara pernikahan sehingga Umi datang kesini.

"Terus yang lainnya?"

"Asma datang dengan Abah, kalau Ghania bareng suaminya nanti." Asma adalah adik bungsu Ghandi yang masih berusia 20 tahun, sedangkan Ghania adalah adiknya yang sudah menikah dan berusia 25 tahun. Sedangkan Ghandi sendiri masih melajang di usia yang kini memasuki usia kepala 3.

"Kenapa kalian nggak sama barengan Mi?"

"Tante Ida maunya Umi duluan ke Jakarta. Tantemu kan lagi mantu sepisan, masih bingung, jadi Umi yang di suruh datang awal buat ikut ngurus juga."

Ghandi di tempatnya mengangguk. Ia tadi tak dapat menjemput sang umi dari bandara karena masih ada urusan di satuannya. Alhasil Umi menggunakan jasa taksi bandara untuk sampai di restoran ini. Setelah urusannya selesai, Ghandi langsung meluncur ke restoran yang di ucapkan sang Umi untuk makan sebentar sebelum akhirnya mengantar ke rumah tante Ida. Umi lebih memilih datang ke restoran dulu sambil menunggu Ghandi.

Lalu pesanan mereka datang. Umi kali ini memesan soto betawi karena penasaran dengan rasa asli soto tersebut sehingga Ghandi berinisiatif memberi tahu restoran enak pada Umi dan akhirnya umi mampir di restoran tersebut.

"Tahun ini umur berapa le?" Ghandi yang hendak menyendokkan soto langsung menghentikan makannya dan menatap Umi.

"Kenapa tiba-tiba Umi tanya umur Ghandi?" bukannya menjawab, Ghandi balik bertanya pada sang Umi. Ia merasa curiga dengan sang umi.

"Umi cuma tanya le,"

"Ohh, tahun ini 30 Mi." Umi seketika menghentikan makannya lalu mengernyit menatap sang putra, "beneran?"

"Lah kok Umi lali yo? opo gara-gara Umi jarang ketemu kowe ya le?" monolog Umi yang kemudian melanjutkan makannya.

"Enak juga sotonya le. Nanti sebelum balik, Umi ajak Abah kesini buat makan bareng." Ucap Umi lagi setelah menghabiskan sotonya.

"Umi tanya umur Ghandi kode ya buat nikah cepet?" Tanya Ghandi tiba-tiba. Ia merasa jika Uminya itu mengkode dirinya yang tak kunjung menikah di usia yang terbilang matang itu.

"Kalau ada calonnya ya lebih baik segera." Jawab Umi kemudian.

"Kalau belum ada?"

"Ya cari le."

"Tapi nggak segampang itu Mi."

Umi lantas berdecak pelan, "gimana kamu dapat jodoh kalau baru saja di kenalkan perempuan langsung lari atau malah ngindarin dan nggak tertarik sama mereka?"

Ghandi meringis, "nggak gitu juga Mi. Ghandi masih normal kok, cuma belum yakin sama pilihan Umi atau yang lain."

Umi laku menyipit ke arah Ghandi, "apa jangan-jangan kamu belum bisa move on dari Zahwa ya?"

Ghandi langsung menggeleng cepat. Ia belum menikah bukan karena tak bisa move on dari Zahwa, calon tunangannya yang justru meninggalkan Ghandi dan menikah dengan orang lain. Dua tahun yang lalu, Ghandi sempat hendak tunangan dengan Zahwa, tetapi gadis itu justru meninggalkan Ghandi dan lebih memilih laki-laki yang penghasilan dan pangkatnya lebih dari Ghandi. Ghandi? laki-laki itu sempat marah besar karena merasa jika Zahwa hanya melihat laki-laki dari seragam dan gajinya. Namun lambat laun laki-laki itu tak ambil pusing dan menikmati kesendiriannya hingga sekarang.

"Ya Allah Umi, ngapain sih Ghandi belum bisa move on dari perempuan itu? nggak berfaedah banget mikirin istri orang lain."

Umi justru terkekeh, "ya bagus dong. Nggak perlu kamu ganduli itu perempuan yang Umi sendiri nggak bisa berkata-kata lagi mengenai kelakuannya."

"Kamu beneran kan udah move on dari dia?" seakan tak percaya dengan ucapan sang putra, Umi kembali bertanya dan membuat Ghandi harus ekstra sabar menjawabnya.

"Iya Umiku. Ghandi nggak bohong."

Umi lalu tampak menghela nafasnya, "Alhamdulillah kalau gitu. Sekarang kalau bisa kamu cari jodoh."

"Ya sallam Umi. Nah kan, Ghandi udah ngira kalau Umi pasti bahas jodoh lagi."

"Bukan gitu Le, kan Umi ngingetin aja."

"Iya Umi. Umi bner kok, nggak salah." Ucap Ghandi kemudian. Sedangkan Umi hanya terkekeh pelan. Beliau tidak menarget putranya itu untuk menikah cepat, tetapi hanya meningkatkan jika usianya semakin bertambah dan alangkah lebih baik cepat untuk mencari pendamping hidup.

.
.
.


Lenggana : Ikhlas

Semoga dapat menghibur ya walau jarang update ☺

Continue Reading

You'll Also Like

1M 83.2K 56
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
6.3K 608 3
"Mas Nunu~" Hanya satu perempuan yang memanggilnya dengan panggilan seperti itu. Sejak pertama kali mendengar panggilan itu, aku tidak menyukainya. T...
2.4M 13K 26
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...
207K 13.2K 58
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...