MIRROR

By ratih_abeey

2.2K 470 28

Cerita ini tentang Regina Abighea. Gadis yang harus hidup ditengah-tengah kisah perpisahan antara Manda dan j... More

PENDAHULUAN
MIRROR |1 ULANG TAHUN GHEA
MIRROR |2 RUMAH BARU
MIRROR |3 SEKOLAH BARU
MIRROR |4 LARANGAN AYAH
MIRROR |5 PERTEMUAN
CAST
MIRROR |7 KEMARAHAN AYAH
MIRROR |8 HADIAH PERTAMA
MIRROR |9 PENGHUNI KAMAR ATAS
MIRROR |10 PUTRI PERTAMA MEREKA
MIRROR |11 DITELAN DANAU
MIRROR |12 SISWI ANEH
MIRROR |13 KEMBALI
MIRROR |14 PELUKAN AYAH
MIRROR |15 YAYASAN MENTARI HATI
MIRROR |16 CORETAN TOILET SISWA
MIRROR |17 SEORANG AKTOR
MIRROR |18 SISWI BERMATA COKLAT
MIRROR |19 DANAU
MIRROR |20 ULANG TAHUN MANDA
MIRROR |21 MATI
MIRROR |22 BUNUH DIRI
MIRROR |23 REGAN ATAU RIZZA?
MIRROR |25 MATA PANDA DAN EKOR ANJING
MIRROR |25 KEBENCIAN PAK FAISAL
MIRROR |26 PERMUSUHAN
MIRROR |27 DENDAM GURU SENI
MIRROR |28 PERMUSUHAN EKOR ANJING DAN RAMBUT MINYAK
MIRROR |29 MASALAH BARU
MIRROR |30 PECAHAN CERMIN
MIRROR |31 PERGI
MIRROR |32 KELUARGA BARU
MIRROR |33 MEMORI MANDA
MIRROR |34 REINKARNASI
MIRROR |35 TUDUHAN
MIRROR |36 APA ARTI MIMPI INI?
MIRROR |37 TERLAMBAT
MIRROR |38 SECARIK SURAT
MIRROR |39 KEMARAHAN GHEA
MIRROR |40 UPAYA PEMBUNUHAN
MIRROR |41 PENYANDANG DID
MIRROR |42 ODGJ
MIRROR |43 PELAKU YANG SESUNGGUHNYA
MIRROR |44 KENCAN BERDARAH
MIRROR | 45 KENCAN BERDARAH PART 02
EPILOG
EXTRA PART

MIRROR |6 LILIN DAN PEMANTIK

44 8 0
By ratih_abeey

PART 6
LILIN DAN PEMANTIK

________________________________________

Rizza.

Apa lagi?

Gue harap lo gak lakuin hal bodoh lagi. Ini sekolah. Lo gak bisa seenaknya di sini.”

Sejak kapan lo patuh sama peraturan?

Katanya anak Sultan. Tapi nyicip rokok aja takut mati. Dasar pengecut!

Gue emang badung, Za. Tapi bukan berarti gue harus menghancurkan masa depan gue dengan satu kebiasaan buruk.”

Lo gak usah bawa-bawa masa depan. Lagian setiap manusia itu beda. Biarin gue kayak gini, gue bukan bayi besar kayak lo yang terus-terusan dipantau setiap saat.”

Rizza!

Kenapa? Lo tersinggung dengan ucapan gue?

Za, mau sampe kapan sih lo kayak gini? Gue kakak lo. Kita sodara dan sedarah.”

Udahlah, Hito. Kita hidup masing-masing aja, gue di dunia gue yang gelap. Dan lo di dunia lo yang terang dengan penuh perhatian.

Za, gue harap lo nggak ngomong kayak gini. Lo boleh marah-marah sama gue, kata-kata-in gue sepuasnya kayak dulu lagi. Tapi gue mohon sama lo, jangan ngehindar terus dan jangan pergi dari gue.”

Hito, satu kata buat lo....”

Pembunuh!

“Gue benci sama lo Hito. Cowok pengecut yang berlindung di ketek Mommy,” ucap Rizza dengki.

Rizza berjalan gontai diantara lorong apartemen tempatnya tinggal. Tubuhnya masih memakai seragam futsal lengkap dengan kaos kaki sebetis serta sepatu futsal berwarna kuning yang membuat tubuh Rizza terlihat lebih atletis. Dengan cepat, Rizza melempar tas gendongnya ke sembarang arah. Merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan memijat ujung pangkal hidungnya karena sedikit merasa pusing. Sepertinya Rizza baru saja pulang dari ekskulnya yang melelahkan disekolah.

Tiba-tiba satu bungkus rokok bermerk terkenal, jatuh secara kasar di samping tubuh Rizza. Dia menoleh dan memandang tidak acuh ke arah seseorang yang baru saja melempar tembakau itu dengan sengaja. Tentu saja ia kenal dengan cowok itu. Hanya Regan yang berani keluar masuk ke apartemennya dengan bebas.

“Kenapa lo diem aja?” tanya Regan, karena Rizza sama sekali tidak menyentuh rokok yang ia berikan. “Lagi puasa ngerokok, lo?”

Rizza hanya tersenyum tipis. Cowok itu lantas bangun dari tidurnya dan mengambil posisi duduk untuk mulai mencicipi sebatang rokok yang telah ia bakar ujungnya.

“Gan, lo kenapa nggak pernah mau nyicipin rokok?”

Regan yang kebetulan sedang ganti baju, langsung menoleh ketika sahabatnya ini berkata padanya.

“Bahas ini lagi? Lo-kan udah gue kasih rokok. Kenapa? Rokoknya masih kurang?”

“Bego. Gue butuh jawaban bukan pertanyaan.”

Regan mendesah. “Za, janjinya-kan kalo gue kasih lo rokok, lo gak akan ngajak-ngajakin atau nawarin gue buat nyicipin tembakau itu lagi.”

“Iya, tapi gue butuh alasan.” Rizza kemudian tersenyum miring. “Apa karena lo takut dimarahin orang tua lo?” jeda. “Cemen lo!” ledeknya.

“Nggak. Gue gak takut. Gue cuma gak mau aja mati secara perlahan dengan benda itu.”

“Pengecut itu namanya.”

Regan menarik nafas panjang, lalu menghembuskan-nya secara kasar. Ia jadi bimbang. Bukan karena Regan terpancing oleh ucapan Rizza, bukan. Ia hanya bimbang, mau sampai kapan Regan membohongi keluarga Rizza kalau sebenarnya dirinya tahu dimana Rizza tinggal. Ya. Selama ini Rizza tinggal sendirian di apartemen-nya. Mengasingkan diri dari keluarganya dan hanya mengandalkan Regan untuk makan.

Regan sama sekali tidak merasa dirinya direpotkan oleh Rizza. Ia justru bersyukur karena Rizza masih mempercayainya. Hanya saja, sikap Rizza yang terlalu bebas seolah-olah menekan dirinya untuk terus diandalkan.

“Za, gue gak akan larang lo untuk ngerokok. Tapi, seenggaknya lo juga harus pikirin tuh penyakit Abang lo sama penyakit lo.”

Rizza langsung mendengus geli. “Buat apa gue mikirin orang lain? Yang ada di depan gue aja cuma lo doang.”

“Za, gimana pun Hito itu Kakak lo. Lo gak boleh membenci dia terlalu dalam. Apalagi di saat kondisi dia kayak gini, jangan sampe lo nyesel nantinya?”

Kemudian hanya ada keheningan. Regan sibuk memasukan baju kotornya ke dalam keranjang. Sedangkan Rizza menghisap rokok sambil menatap keluar jendela. Regan memang sering menginap di apartemen Rizza. Biasanya cowok itu akan menginap pada malam sabtu dan juga minggu. Kalau hari-hari biasanya, Regan hanya numpang tiduran sambil chatting-an dengan beberapa cewek diluar sana sampai larut malam.

“Lo tahukan Kakak lo rentan terhadap asap? Seharusnya yang lo hindari itu asapnya, bukan malah Abang lo dan nyoba bunuh dia secara perlahan.” Regan mengoceh.

Rizza hanya mencebikan bibir. Ia malas diceramahi terus soal rokok. Lagipula, siapa yang akan perduli dengan penyakitnya itu? Rizza tidak perduli dia mati sekalipun. Itu lebih baik untuk membayar kebodohannya.

“Gan, menurut lo kehidupan gue gak guna ya?”

Regan sontak mengernyit. “Kenapa lo tiba-tiba ngomong kayak gitu?” Dia memandang Rizza dengan penuh arti. “Bagi gue, lo tetep Rizza yang ganteng dan ketua futsal yang paling kece. Lo tahu, lo gak cuma sekedar berguna buat gue. Tapi kebutuhan,” ucapnya. Diakhiri senyum lebar.

Bibir Rizza menahan tawa. “Bangsat! Lo pikir gue apaan sampe dibilang kebutuhan segala?! Omongan lo itu ambigu tahu.”

Regan ikut terkekeh geli menyadari ucapannya yang terlalu menjurus ke hal lain.

“Maksud gue gini, lo selalu bantuin gue di segala apapun. Itu tandanya lo berguna kan? Bukan maksud yang lain.”

Setelah tawanya perlahan-lahan hilang, keduanya kini memandang ufuk barat yang jingga sambil duduk di atas ranjang. Regan menepuk bahu Rizza dengan pelan.

“Ada masalah, ya?” Jeda. “Sini. Pintu telinga gue terbuka lebar buat lo, Za.”

Rizza tidak menjawab, ia hanya menghisap ujung rokoknya dan menikmati langit senja di tepi jendela.

“Gan, lo kenal cewek yang ngejar-ngejar gue sampe jatoh tempo lalu?”

Baru saja Regan akan tertidur, tetapi mendengar pertanyaan itu, dia kembali melebarkan matanya. Yang dimaksud Rizza pasti Ghea. Regan mengangguk kemudian berkata, “dia Ghea temen sekelas gue. Kenapa?” ia balik bertanya.

“Tadi dia mergokin gue dipojok sekolah,” gumam Rizza.

“Serius? Eh, tunggu. Kenapa lo gak tahu dia Ghea, lo kan sama dia pernah satu kelas waktu SMP?”

Rizza langsung mengernyitkan keningnya bingung.

“Iya, Za. Masa lo lupa. Dia yang bilang gitu sama gue. Makanya dia ngejar-ngejar lo kemaren. Dia itu murid baru disekolah, Za. Pindahan dari SMA Cendikiawan.” Regan menjelaskan dengan panjang lebar.

“Ghea?” Rizza membeo. “Satu sekolah sama gue?” Ia bertanya lagi karena masih heran.

Regan kembali mengangguk. “Iya. Waktu SMP katanya.”

“Nama panjangnya?”

“Regina Abighea.”

Flashback...

Hai, Rizza. Aku boleh duduk di sini?

Seorang anak gadis berdiri di hadapan Rizza. Rizza mendongak ketika sedang menggigit kebab yang hanya tersisa sepotong lagi di tangan. Rizza hanya menoleh sekilas. Seperti tidak perduli.

Duduk aja,” gumamnya, dingin.

Namun ketika Rizza ingin melanjutkan gigitan berikutnya, suara gadis itu kembali terdengar. Kini sedikit gugup. “Sebenarnya, aku mau ngasih kamu ini, Za.” Sebuah kotak berpita merah jambu membuat Rizza menurunkan kembali kebab-nya. Nafsu makannya mendadak hilang begitu melihat benda itu mengganggu meja istirahat-nya.

Gue gak minta lo buat ngasih gue ini?

Iya. Tapi aku yang mau ngasih ini ke kamu. Hari ini kamu ulang tahun-kan?

Rizza menatapnya cukup lama. Ia enggan menerimanya, jadi ia lebih memilih bangun dari posisi duduknya dan melangkah untuk pergi. Tapi detik berikutnya, pergelangan Rizza ditahan oleh tangan anak gadis itu.

“Rizza....”

Mata anak gadis itu penuh harap. Rizza menarik kasar tangannya. Mencoba untuk melepaskan diri. Rizza tidak suka disentuh sembarangan oleh orang yang tidak dikenal dan apalagi itu seorang anak gadis.

Ka- kamu boleh nggak balas perasaan aku, Za. Tapi aku mohon, kamu terima kado dari aku.” Anak gadis itu berkata dengan wajah memohon. Ia mencoba meminta Rizza untuk mengasihani dirinya.

Rizza menarik benda itu dengan kasar. “Ini udah jadi milik gue-kan?” Gadis itu mengangguk. Sedetik kemudian matanya berbinar senang. Akhirnya, tidak sia-sia usahanya seharian kemarin berbelanja mengelilingi toko hanya untuk mencari kado tersebut. Kini ternyata membuahkan hasil.

Rizza mengalihkan tatapannya kearah lain. Dengan cepat, ia langsung memanggil seorang cowok yang berdiri tidak jauh dari sana.

Lo. Sini!” Titahnya. Ambil ini! Buat lo.”

Serius, Za?

Hm.”

Miris.

Rizza justru dengan tidak berdosa-nya malah memberikan kotak itu pada orang lain di hadapan gadis itu. Yang sontak membuat gadis itu berkaca-kaca. Ia tidak habis pikir, mengapa Rizza bisa setega itu melakukannya tanpa merasa bersalah sama sekali.

Gadis itu hanya mematung dengan air mata yang sudah meluncur bebas di kedua pipinya ketika Rizza kembali duduk.

Rizza yang melihat kejadian itu, sontak mendengus kasar.

Lo ngapain masih di sini? Selera makan gue bisa hilang kalau lo nangis di hadapan gue!

Plak!

Tanpa Rizza sadari. Sebuah tangan sudah mendarat di pipi kanannya begitu kasar. Sekasar ucapannya pada anak gadis tadi.

Brengsek! Cowok kayak lo ini harus diajari cara menghargai orang lain!

“Ghea!”

“Diem Vero! Gue belain lo di sini.”

Rizza menatap lekat-lekat wajah cewek yang menamparnya. Lalu turun ke name tag cewek itu. Sebuah nama tertera di sana. Regina Abighea. Rizza tidak akan pernah lupa dengan nama itu. Catat!

Rizza langsung tersadar dari ingatannya. Ia sungguh ingat kejadian satu setengah tahun lalu. Ketika gadis yang bernama Ghea menamparnya karena sudah menolak pemberian sahabat gadis itu sendiri.

“Sekarang gue ingat. Ghea adalah cewek yang udah nampar sekaligus nyumpahin gue waktu SMP.”

“Serius?”

🥀🥀🥀


Ghea, tiup lilinnya dulu sayang,” seru Nenek sambil membawa nampan kue.

Ghea kecil melirik jendela rumah Nenek. Jauh di luar rumah, hujan nampak mengguyur sangat deras. Api-api lentera rumah Nenek pun sampai bergoyang-goyang tertiup angin.

Nenek, apa Ayah dan Mama akan datang ke sini?” tanya Ghea merasa khawatir.

Tentu. Tapi setelah Ghea tiup lilinnya dan potong kuenya.”

Kenapa tidak tunggu sampai mereka datang?

Mereka terjebak macet. Lihat. Di luar juga sedang hujan. Nenek rasa mereka juga pasti terjebak banjir di jalan.”

Baiklah, Ghea akan tiup lilinnya. Tapi potong kuenya nanti saja. Ghea kan mau memberikan potongan pertama untuk Mama.”

Lho, kok untuk Mama. Kenapa tidak untuk Nenek saja? Nenek kan yang sudah menyiapkan semuanya untuk Ghea. Masa potongan pertama untuk Mama?

Biar Ghea pikir dulu.”

Ghea menggerakkan matanya ke atas sambil menaruh telunjuk di bawah dagu.

Bagaimana kalau potongan pertama Ghea potong lagi jadi tiga. Dengan begitu, Nenek, Mama sama Ayah bakal mendapatkan potongan pertama semuanya.”

Nenek tersenyum simpul sambil mengelus pucuk kepala Ghea, disusul mengecupnya.

Kamu memang pintar. Nanti, kalau Mama sama Ayah jemput. Ghea harus berani bilang, kalau Ghea mau tinggal sama Nenek terus sampai dewasa.”

Kenapa harus tinggal sama Nenek? Ghea-kan masih punya orang tua. Tidak seperti Bella, Nek.”

Kalau Ghea tinggal sama Nenek. Setiap tahun kita akan merayakan ulang tahun bersama-sama dan membuat kue.”

Ya, Ghea mau, Nek.”

Sebuah rembulan memancarkan sinar menembus celah-celah ranting pohon tak berdaun. Ghea duduk ditepi bingkai jendela, menatap cahaya itu dengan sendu.

Besok adalah hari ulang tahun Ghea. Tapi seperti tahun-tahun sebelumnya. Pasti tidak ada yang spesial lagi di tahun ini. Apalagi di tambah jauhnya jarak Vero dan Bella, membuat hari istimewa Ghea semakin memburuk saja.

Ghea ingat, dulu sebelum Neneknya meninggal. Tepat ketika Ghea berumur delapan tahun. Ghea dan Nenek masih menyempatkan merayakan hari ulang tahun meskipun hanya berdua saja di rumah Nenek. Dan tentunya tanpa kehadiran maupun sepengetahuan kedua orang tuanya. Sedangkan saat ini, sang Nenek sudah tiada, Ghea tak akan pernah merasakan kehangatan kasih sayang di hari ulang tahunnya lagi. Yang ada, pasti pertengkaran itu. Pertengkaran yang membuat Ghea bosan. Dimana Ayah secara tiba-tiba berubah sangat temperamental dan dingin kepada sang Mama. Bahkan bisa saja berbuat kasar kalau Mama nekat mengganggu waktu dimana lelaki itu merenung.

Kali ini Ghea terjaga ditengah malam. Ia sengaja tidak tidur, seperti yang sering dia lakukan saat menunggu tanggal ulang tahunnya. Karena jam sudah menunjukkan waktu pukul sebelas lewat lima puluh enam. Ghea tak banyak berdiam diri lagi, ia dengan cepat membuka laci nakas kamarnya. Dan mengeluarkan satu buah lilin putih serta satu korek api. Ia mulai menyalakan pemantik itu sambil menatap cermin riasnya. Dan tepat ketika hanya tersisa lima menit lagi menuju pukul tengah malam di wekernya, ia mulai menghitung angka mundur.

“Lima... Empat... Tiga... Dua... Satu! Happy Birthday Regina Abighea. Aku sayang aku. Jangan pernah menyerah dan semoga hari-hari ku semakin menyenangkan mulai dari sekarang.”

Ghea lalu meniup lilinnya dengan mata terpejam. Tepat setelah itu, air matanya jatuh. Tidak berapa lama, kepalanya terasa sakit. Ghea spontan meringis, ia samar-samar mendengar suara sekarang.

“Selamat ulang tahun... Apakah kau suka dengan hadiah dari ku?”

“Ya, aku menyukainya. Terimakasih.”

Aww!”

“Hahaha.”

“Jangan mencoret hidungku dengan krim. Nanti aku dikerubungi semut”

“Bukankah kau memang sudah manis?”

Suara-suara itu seperti mengelilingi tubuh Ghea dan kepalanya. Semakin Ghea mengingat kenangan itu, rasa sakitnya semakin parah. Namun, bukan malah mengingat suara-suara itu berasal, Ghea justru malah tidak bisa ingat sedikitpun kapan ia bicara dengan anak laki-laki. Bukankah sejak kecil hanya ada Vero dan Bella yang menemaninya? Kenapa sekarang ia justru seperti dibayangi oleh kenangan tapi tanpa gambar, hanya suara saja.

Memang, semenjak Ghea pindah ke rumah lama orang tuanya itu, Ghea selalu merasa tidak nyaman. Seperti ada yang mengawasi dan Ghea juga serasa orang asing di rumah itu.

Siapa anak laki-laki itu yang bicara dengan Ghea sejak kecil?

🥀🥀🥀

Continue Reading

You'll Also Like

2.3K 1.2K 12
Semenjak dirimu pergi, hujan turun lebih sering. Start : 1 Oct 2022 Midnight update
54.5K 6.6K 11
[ COMPLETED ] ❝Dear December, I miss him...❞ [miss; when something or someone is lost, and you just want it back]
2.5M 146K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
993K 176K 48
Namanya Putri Dingin. Putri dari Kerajaan di negeri Dingin. Ia ditugaskan ayahnya untuk mencari permata ajaib yang hilang di bumi. Saat Raja Panas in...