Dersik

By khanifahda

770K 95K 6.6K

Hutan, senjata, spionase, dan kawannya adalah hal mutlak yang akan selalu melingkupi hidupku. Namun tidak se... More

Peta
Khatulistiwa
Proyeksi
Kontur
Skala
Topografi
Distorsi
Spasial
Meridian
Citra
Evaporasi
Kondensasi
Adveksi
Presipitasi
Infiltrasi
Limpasan
Perkolasi
Ablasi
Akuifer
Intersepsi
Dendritik
Rektangular
Radial Sentripetal
Annular
Trellis
Pinnate
Konsekuen
Resekuen
Subsekuen
Obsekuen
Insekuen
Superposed
Anteseden
Symmetric Fold
Asymmetric Fold
Isoclinal Fold
Overturned Fold
Overthrust
Drag fold
En enchelon fold
Culmination
Synclinorium
Anticlinorium
Antiklin
Sinklin
Limb
Axial Plane
Axial Surface
Crest
Through
Delta
Meander
Braided Stream
Oxbow Lake
Bar Deposit
Alluvial Fan
Backswamp
Natural Levee
Flood Plain
Horst
"Graben"

Radial Sentrifugal

10.6K 1.4K 156
By khanifahda

Radial sentrifugal adalah aliran sungai yang menyebar dari suatu titik puncak seperti gunung api, lakolit dan kubah.
.
.

Entah mengapa perasaan Gayatri menjadi tak enak ketika gadis itu hendak masuk ke dalam rumahnya. Ia seperti merasakan akan terjadi sesuatu nanti. Tapi Gayatri tak tahu apa maksud dari perasaanya itu.

Sepanjang perjalanan tadi, ia tak yakin untuk pergi ke rumah. Tetapi Lesmana yang tak mau tahu menjadikan dirinya untuk tetap melangkahkan kakinya ke tempat dimana dirinya di besarkan.

Rumah yang sebenarnya teduh tapi bagi Gayatri sudah seperti tempat ujian hidup kini berada di depannya. Tempat itu menyimpan banyak kenangan yang lebih banyak di dominasi kenangan pahit. Tapi dari tempat ini juga ia paham dengan artinya perjuangan.

"Assalamu'alaikum." Salam Gayatri. Namun sepertinya rumah sepi. Apakah ayah pergi ke kantor polisi? lalu Lesmana?

"Wa'alaikumussalam." Jawab seseorang yang ternyata adalah asisten rumah tangganya. Namun sebuah pesan masuk ke gawainya, membuat Gayatri cepat-cepat untuk melihatnya.

'Abang masih di jalan. Kamu temui ayah dulu.'

Lalu Gayatri menatap Mbak Lala, "Ayah mana Mbak?"

"Di belakang Mbak." Ucap Mbak Lala.

Gayatri lalu berjalan menuju belakang rumah yang disulap menjadi kebun kecil. Kebun itu biasanya ditanami cabe, tomat, sawi dan berbagai jenis sayuran lainnya. Ayah sering meluangkan waktunya untuk berkebun di sana.

Gayatri melihat ayahnya sedang menyiram tanaman cabai. Ia hendak melangkah, tapi ada keraguan yang menggerogotinya. Gayatri lantas memilih mematung di ambang pintu yang menghubungkan dengan kebun tersebut seraya menunduk.

"Puas?" Suara berat memecah keheningan yang ada. Seketika Gayatri mendongak. Ayah menatap dirinya tanpa ekspresi yang justru membuat Gayatri semakin waspada. "Puas?"

Gayatri menatap sang ayah tanpa kata. Ia tak tahu apa yang di maksud dengan ayahnya itu.

"Puas? sudah selesai main dramanya? ini kan yang kamu?"

"Aya nggak faham dengan maksud ayah apa." Jawab Gayatri pelan. Ia tak berani menatap mata sang Ayah. Gayatri melarikan objek netranya ke arah kebun di depannya.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat mulus tanpa aba-aba. Tamparan tersebut membuat Gayatri tertoleh ke kanan. Pipinya langsung memerah dan rasa sakit langsung menjalar cepat di sekitar pipi. Gayatri langsung menatap ayahnya yang justru menatapnya nyalang.

"Kenapa? kaget?"

"Sia-sia saya besarkan kamu. Kalau tahu begini, mending saya paksa saja Reni untuk aborsi waktu itu!"

Gayatri terdiam. Ia kehabisan kata-katanya. Ia kehabisan rasa yang membabat habis pikirannya. Berulang kali ia menolak untuk mendengar kalimat itu, namun apa daya, bak kaset rusak yang terus mengiang di kepalanya. Hal itu membuat Gayatri kembali tertampar untuk kesekian kalinya.

"Salah saya apa?" tanya Gayatri lirih pada pria paruh baya di depannya itu. Ia tak bisa berkata lagi selain bertanya mengapa dirinya di benci dan dianggap sampah oleh keluarganya sendiri. Selama ini ia berusaha untuk sebaik mungkin dan tidak membuat malu nama keluarga, namun apa daya, ia tetap salah di mata mereka.

"Salah kamu apa? salah kamu adalah mengapa kau di pertahankan oleh Reni! kau sumber masalah! gara-gara kamu Reni meninggal! sudah tau kan? jangan pura-pura bodoh dengan kalimat yang sering ku ucap!"

Ingin sekali Gayatri menulikan telinganya. Kalimat menyakitkan itu terakhir kalinya ia dengar dua tahun yang lalu disaat dirinya diterima SPN. Bukannya sang ayah bangga, justru laki-laki itu memaki karena Gayatri tak bisa seperti kakak-kakaknya yang bisa apa meniti karir dari nol dengan bagus. Sedangkan dia? hanya gadis biasa yang beruntung tertolong oleh nasib baik.

Gayatri lalu mendongak menatap ayahnya, "saya pun tidak berharap dilahirkan kalau pada akhirnya saya hanya di caci maki saja. Biarkan saya di bunuh waktu itu jika hidup saya hanya di salahkan dan dijadikan alasan tak masuk akal." Ucap Gayatri dengan nada pelan. Matanya berkaca-kaca. Sekali seumur hidup ia tak pernah membantah. Namun batas kesabarannya terkikis habis. Ia juga manusia yang sakit jika di salahkan dengan alasan yang tak jelas. Dianaktirikan rasanya menyakitkan, tetapi ia menerima saja. Mungkin seiring berjalannya waktu, dia juga perlahan di terima oleh keluarga, tetapi tetap saja ia dianggap lalu oleh semua orang.

Satu tamparan kembali mendarat tepat Lesmana datang. "Ayah?"

Gayatri memejamkan matanya. Tamparan ini sungguh nyeri rasanya. Luka di wajahnya belum sepenuhnya sembuh, tetapi ditambah lagi dengan tamparan yang menyakitkan itu. Tak lebih dari itu, justru hatinya ikut bertambah sakit.

"Ada apa ayah? kenapa ayah menampar Aya?" tanya Lesmana ketika melihat sang ayah justru menampar adik bungsunya itu.

"Adik apa yang tega membiarkan kakaknya meringkuk di penjara?! bodoh kamu Gayatri! bodoh! atas nama kebenarab kau mengorbankan kakakmu! peduli setan dengan yang namanya darah! kau memang pembawa sial! saya menyesal sudah menuruti kata Reni waktu itu!"

Lalu ayah berjalan menuju Lesmana yang berdiri tak jauh dari mereka. Wajah Ayah sudah merah padam menahan amarah. Bahkan laki-laki itu tak pernah sekalipun marah besar kepada siapapun termasuk Gayatri.

"Ayah gila Lesmana! ayah gila! kenapa Latika harus terjebak narkoba? apa salah ayah? apa salah ayah Lesmana?!"

"Dan kau," ayah menunjuk Gayatri dengan tatapan tajam.

"Hanya adik gila yang tega membiarkan kakaknya masuk penjara!"

Setelah itu hanya tatapan nelangsa Gayatri yang terlihat. Gadis itu sama hancurnya, bukan hanya sang ayah.

*****

Meta sedari tadi cemas ketika menghubungi Gayatri yang tak kunjung mengangkat telfonnya. Meta lalu melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah 8 malam. Terhitung Gayatri tidak bisa dihubungi semenjak pukul 2 siangan. Gadis itu hilang bagai ditelan bumi.

"Aish dimana sih lo Ya. Gue khawatir tau lo tiba-tiba chat kayak gitu. Awas aja kalau ketemu gue geprek lo pake cabe rawit level dewa!" cerutu Meta sambil menatap gemas WA Gayatri yang centang satu.

"Ah iya. Kenapa gue gak nelpon aja ya? tapi kan gue gak ada pulsa anjir! bodoh banget sih."
Meta hendak melangkah untuk keluar membeli pulsa di depan Polres, namun tiba-tiba ia mendapat panggilan dari komandannya. "Ah sial!" lantas Meta langsung kembali masuk ke kantor.

Sementara itu di sisi lain, seorang gadis menatap gemerlap lampu jalanan kota Jakarta di gedung lantai 7. Gadis itu duduk di rooftop sebuah gedung kosong yang terletak tak jauh dari keramaian yang ada. Gedung itu rencananya akan di buat pertokoan, tetapi karena masalah suap, gedung itu terbengkalai sejak dua bulan yang lalu.

Gayatri menemukan gedung ini ketika melakukan sweeping malam untuk menghentikan anarkisme  remaja yang kerap kali membuat rasah warga sekitar. Gedung itu jarang di jamah orang karena gelap dan terlihat menyeramkan padahal menurut Gayatri tak ada apa-apa disana. Semua itu tergantung pribadi masing-masing.

Data di gawainya sengaja ia matikan karena ingin merasakan ketenangan. Sejak tadi, ia hanya duduk di atas gedung sendirian dan termenung menatap pemandangan gedung dan ramainya kota. Ia juga sesekali menyesap soda yang sengaja ia beli beberapa botol dari alfama*t untuk menjadi teman sepinya kali ini.

Tiba-tiba gawainya hidup. Hanya orang-orang yang benar-benar membutuhkan dirinyalah yang akan menghubungi dirinya lewat telepon seluler. Namun kali ini ia mengabaikan dering gawainya. Ia lebih memilih menikmati malam yang terasa sangat menyakitkan ini.

Selepas dari rumah ayahnya, Gayatri tak pulang kembali ke kontrakannya. Gadis itu berjalan tanpa arah. Hatinya kosong dan jiwanya entah melayang kemana. Ini terasa menyakitkan dibanding dirinya di caci maki setiap hari oleh sang ayah. Di caci anak tak tau diri dan pembawa sial adalah makanannya. Tetapi kali ini perkataan ayahnya itu sungguh menampar dan menghempaskan dirinya sampai di dasar jurang. Kenyataan yang tak pernah terbesit sedikitpun inilah yang membuat Gayatri merasa bahwa dunianya sia-sia.

Gayatri menoleh ke gawainya yang sedari tadi terus-terusan berdering. Kali ini ia akan mengabaikan panggilan dari siapapun termasuk dari komandannya. Namun panggilan yang terus mengganggu, membuat Gayatri mengambil gawainya dan melihat siapa yang memanggil dirinya secara brutal itu.

Dirinya ingin mematikan  panggilannya, namun entah mengapa hatinya berkata lain. Gayatri menggeser tombol hijau dan mengangkatnya. "Hei apa kabar?"

Gayatri menghembuskan nafasnya pelan. Ia menjauhkan gawainya dan hendak menolak panggilan, namun,
"Eh jangan di tutup dulu. Ini penting, nona."

"Hmm."

"Gue pengen ketemu sama lo. Ada waktu nggak?"

"Nggak ada." Jawab Gayatri cepat dengan nada rendah.

"Lo sibuk ya?"

Gayatri hanya terdiam. Matanya menatap depan dengan tatapan kosong.

"Eh jangan di matiin dulu. Ini tentang kasus kemarin."

"Bisa kita bicarakan ini dilain hari?" tiba-tiba air mata Gayatri mengalir tanpa diundang. Tiba-tiba perasan sakit itu datang begitu saja. Hal itu membuat sakit di hati Gayatri bertambah dan tanpa sadar ia menunjukkan kepada orang lain.

"Lo dimana? gue bakal kesana. Cuma 30 menit, habis itu selesai. Ada yang gue tanyakan, penting."

"Gue lagi capek. Besok aja." Sahut Gayatri lagi dengan tatapan datarnya ke depan. Malam semakin membuat udara tambah mendingin. Apalagi Gayatri tidak membawa jaket dan hanya mengenakan kemeja tipis dan celana jeans.

Segera Gayatri mematikan sambungan telepon. Gadis itu kembali melipat lututnya dan menatap ke depannya itu dengan berbagai pertanyaan hidup yang sedari tadi menghantuinya. Salah apa sehingga ia harus menanggung semua rasa sakit dan kecewa yang amat dalam itu. Ia kecewa dengan hidupnya yang di penuhi duri dalam setiap langkahnya.

Lama Gayatri menatap lampu jalanan yang masih menyala. Sudah 4 kaleng soda ia tenggak selama berada di atas gedung tersebut. Gayatri tak peduli dengan bahaya soda yang berlebihan tetapi ini adalah salah satu cara untuk membuat dirinya agar merasa baikan. Ia tak pernah menyentuh alkohol. Sehancur apapun perasaannya dan sehancur apapun kecewanya, ia tak akan melarikan diri ke alkohol. Baginya alkohol tetap haram dan tak akan ia sentuh.

"Nggak sia-sia gue uber sampai sini. Ternyata sibuk lo di sini?"

Gayatri lantas mendongak ketika mendengar seseorang berada di dekatnya. Ia kaget menemukan Raksa disini.

Lalu Raksa berjalan mendekati Gayatri dan duduk di dekat gadis itu sambil menatap jalanan di depannya.

"Ternyata indah juga Jakarta dari ketinggian. Gimana bisa lo dapat tempat yang indah ini?" Gayatri tak menjawab, gadis itu memilih menghabiskan soda kelima yang ia beli.

Raksa terdiam mencermati situasi yang terjadi. Ternyata Gayatri tak baik-baik saja. Gadis itu terlihat berantakan. Wajahnya seperti terjadi sesuatu dan terdapat bekas luka disana. Rambut yang biasanya di cepol rapi kini agak berantakan.

"Are you okay?"

"Gimana cara lo bisa nemuin gue disini?"
Raksa tersenyum singkat, "pertanyaan bodoh! seharusnya lo tanya kenapa gue nekat kesini?"
Gayatri tak menjawab. Ia memilih diam menatap depannya. Rasa sesak kini menghantam dadanya kembali.

Lalu mata Raksa menangkap satu plastik berisi soda yang tinggal sekitaran 5 kaleng. Total Gayatri membeli 10 kaleng soda. Raksa lalu mengambil satu kaleng dan membukanya cepat, lalu meminumnya tanpa seizin Gayatri.

"Lo tau nggak? perempuan lebih beresiko terkena diabetes ketika meminum soda secara berlebihan." Ucap Raksa setelah menyesap sodanya.

"Dan lo udah habis 5 kaleng."

Tangan Gayatri bergerak untuk mengambil satu kaleng lagi, tapi langsung dihentikan Raksa dengan menyingkirkan kantong tersebut. Raksa benar-benar melihat Gayatri yang berantakan. Gadis itu pasti sedang mengalami masalah yang besar.

"Bukan urusan lo. Gue mau minum."

"No." Sahut Raksa cepat ketika Gayatri meminta kembali minumannya.

"Ini urusan gue karena gue ada sama lo." Lanjutnya.

Raksa yang awalnya ingin  menanyakan sesuatu ke Gayatri, kini mengurungkan niatnya setelah melihat keadaan Gayatri yang tak baik-baik saja. Mana ada orang yang pergi ke gedung tertinggi dengan membawa soda banyak dan jangan lupakan wajah yang berantakan, tanpa bertanya pun tahu jika orang tersebut dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.

"Kalau lo mau cerita, cerita aja. Gue bakal diem dengerin walaupun gue juga bukan pendengar yang baik." Ucap Raksa lagi. Melihat keadaan Gayatri yang seperti itu membuat dirinya lebih peka lagi. Mungkin gadis itu membutuhkan tempat untuk bercerita tetapi justru sepi yang ada. Entah, Raksa tak tahu kehidupan macam apa yang di alami Gayatri. Tapi gadis itu termasuk kuat dengan tetap berusaha tegar dengan keadaan yang bisa dianggap tak baik-baik saja itu.

"Saya lelah." Gumam Gayatri lirih.

"Saya lelah."

"Entah kehidupan macam apa yang saya jalani ini. Why did God create me if I finally lived to be blamed and hated?" gumamnya lagi. Gayatri menunduk dan menutup wajahnya. Ia menangis tanpa peduli bahwa Raksa ada disana. Gemuruh di hatinya tak dapat di bendung lebih lama lagi. Gayatri kalah, ia kalah melawan ketidakberdayaan ini.

Raksa ditempatnya terdiam. Ia tak bisa apa-apa sekarang. Memeluk? ada suatu hal yang membuat dirinya tak bergerak lebih. Ia hanya menjadi saksi bisu bagaimana Gayatri menangis penuh beban. Gayatri yang kuat dan tak terpatahkan kini berlinang air mata. Gadis itu hanya bisa meraung sendiri, tanpa ada sandaran yang bisa ia pinjam sebentar. Ia sendiri.

Raksa lantas membuang mukanya. Tak pernah ia melihat seorang perempuan menangis seperti itu. Gayatri seperti mengeluarkan semua sakitnya lewat air mata yang mengalir deras itu. Tetapi Raksa tak bisa berbuat apa-apa.

Dalam tangisnya Gayatri ingat betul tentang perkataan itu. Perkataan yang menyayat hatinya. Perkataan yang menghancurkannya. Perkataan yang ia lebur menjadi debu tak berguna.

"Dia tak berguna Lesmana. Lihatlah bagaimana Mamamu itu tetap mempertahankan anak sialan ini! bodoh! bodoh!!"

Ayahnya tak henti-hentinya mengumpat. Gayatri hanya bisa terdiam menunduk.

"Kenapa menunduk? nggak ada daya? kau bodoh Gayatri, kau bodoh! seharusnya kau melindungi kakakmu! bukan malah menghancurkannya. Kau gila dengan menjebak kakakmu sendiri! manusia macam apa kau hah!!"

Lesmana langsung bergerak cepat ketika sang ayah dikuasai oleh amarah yang menggebu. "Ayah sudah ayah. Ayah ini emosi. Mari kita bicarakan ini baik-baik." Lesmana berusaha sebijaksana mungkin menyikapi hal ini. Tadi pagi sang Ayah marah-marah dan tak menyangka jika Latika terseret kasus perdagangan manusia dan narkoba skala besar. Tentu itu pukulan telak bagi Ayah. Yang lebih mencengangkan lagi adalah Gayatri juga ikut terlibat dalam penangkapan Latika. Lalu, konspirasi apa yang tengah di jalankan polisi ini? Latika pasti korban dari bajingannya Kepolisian begitu sugesti Ayah sejak pagi. Beliau tak percaya Latika akan terlibat.

"Dengar Lesmana, Tika itu korban, bukan pelaku. Pasti dia jadi umpan sialan polisi untuk menangkap tersangkanya dan anak sialan itu justru hidup tentang seakan menjadi pahlawan tanpa mau tau kakaknya telah menjadi korban." Racau Ayah lagi. Lesmana kembali menenangkan sang Ayah.

"Ayah.." panggil Gayatri lirih. Sungguh ia tak kuasa melihat ayahnya seperti ini. Ia akan berbicara kejujuran walau ini sangat pahit.

"Bajingan! jangan panggil aku Ayah! aku bukan Ayahmu. Kau dengar, gara-gara kamu, aku harus kehilangan istri. Gara-gara kamu, Reni harus bertaruh nyawa. Seharusnya sejak dulu aku tetap memaksa Reni untuk menggugurkan kamu!"
Lalu Ayah menunjuk Gayatri, "anak itu, pembawa sial!"

Sementara itu Lesmana sangat kaget mendengar ucapan Ayah yang begitu keras. Ayahnya saat ini sadar dan tidak terpengaruh apapun, artinya ini adalah kebenarannya. Ayahnya tidak mengada-ada. Lalu tatapan laki-laki itu berpindah ke Gayatri yang menunduk dalam. Sungguh ini di luar prediksinya. Ia kira ayahnya tak akan mengungkap luka lama itu tetapi justru kebenaran ini di ungkap di waktu yang sangat tidak tepat.

Lalu Gayatri memilih berbalik dan keluar cepat dari rumah tersebut. Hatinya hancur berkeping-keping. Mengapa? inikah kebenarannya? demi apapun Gayatri ingin mati saja mengetahui fakta yang amat menyakitkan ini. Selama ini alasan dibenci karena hal itu. Ia dibenci karena alasan masa lalu yang runyam. Masa lalu yang dibawa ke liang lahat oleh sang Mama. Mengapa ia harus menjadi alasan yang ia sendiri tak menghendakinya? percayalah sakitnya bertubi-tubi, melebihi sakit di cambuk puluhan kali. Rasanya, ingin mati saja bersama sang mama daripada membawa beban seumur dengan membawa embel-embel pembawa sial dan menjadi alasan mamanya tiada.

.
.
.

Continue Reading

You'll Also Like

42.2K 94 1
[Finished] ๐˜š๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ต๐˜ช ๐˜ข๐˜ณ๐˜ต๐˜ช๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐™€๐™ฉ๐™๐™š๐™ง๐™š๐™–๐™ก, ๐˜ต๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ต๐˜ข๐˜ฑ๐˜ช ๐˜ต๐˜ช๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ข๐˜ด๐˜ข. Laki-laki yang sekuat tenaga harus dipaksa...
145K 6.8K 20
[[END]] โHanya kisah malang seorang ibu tunggal berumur 21 tahun, yang memiliki anak lelaki berumur 4 tahun, hasil dari kecelakaan.โž Ib : LNF ver ch...
My sekretaris (21+) By L

General Fiction

1.3M 8.7K 24
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra
8.7K 694 31
Keterpaksaan ikut tinggal bersama ibuku di rumah majikannya, membuahkan hasil yg mengejutkan. Aku mendapatkan cinta pertamaku dan bertemu dengan ayah...