00:00 [my]

By Daehan77

9.6K 919 404

[ON-HOLD] Di kaitkan dengan masa lalu yang kelamㅡbagi Yoongi seorangㅡ mereka bertemu kembali di setiap tengah... More

00:00
Pertama
Pertengahan
Peran Masa Lalu
Pelan pelan

Penghujung

1K 128 54
By Daehan77


•••

"Kunjungan lagi?"

Jimin mengerutkan alis, selepas pesta pora dengan rekan kerja karena menang tender, Jimin tidak percaya Yoongi berjongkok di depan pintunya, Seokjin pesolek sudah menghilang, mungkin meninggal; Jimin ingin mengamininya kalau benar.

"Aku kesepian."

Jimin mendengus aneh, sejak kapan Yoongi yang idealis nan mandiri kesepian. Sayangnya, karena Cinta Jimin terima-terima saja keberadaan Yoongi, si pucat itu masih berdiri di tempatnya bahkan sampai Jimin membuka sandi kondominiumnya. Jimin menoleh dan mengangkat alis. "Kenapa masih berdiri di situ?"

"Kenapa sandinya belum di ganti?"

Raut wajah Jimin tampak seperti kemarin, saat Seokjin memergoki siapa Min Yoongi yang selama ini di puja sang adik bahkan sampai di mimpi sekalipun. Yang ini bahkan lebih parah, seperti baru saja mengintip celana dalam bergambar apa yang sedang Yoongi gunakan.

"I-ini kondominiumku! Terserahku 'lah."

"Yasudah, masuk."

Mata Jimin melotot horror begitu Yoongi malah berjalan masuk ke kondominiumnya. Mana—apa apaan itu. Untuk apa pula jalannya sengaja di liuk liukkan begitu? Dan hoodienya—astaga. Jimin bahkan tidak yakin Yoongi memakai celana dengan hoodie yang sampai lututnya itu.

"Kau—"

"Tidak usah protes. Aku memang niat berkunjung, bukan untuk mengajakmu bertarung."

Bungsu Park meneguk ludahnya kasar. Mengikuti langkah Yoongi masuk lalu menutup pintu. Entahlah, ia merasakan alarm berbahaya begitu saja setelah pintunya tertutup.

"Jimin—"

Suaranya entah mengapa jadi seksi sekali saat memanggil nama Jimin. Jimin mengumpat dalam hati, berkali kali merutuk karena bisa bisanya ia berpikir mesum di saat seperti ini.

Tapi, sialan sekali. Ia pikir Yoongi akan melanjutkan ucapannya itu dari tempatnya berdiri tadi. Ternyata, marga Min itu justru mendekat lalu menarik dasinya. Membuat tubuhnya merendah.

"Aku boleh memasak?" Tanyanya, seperti kucing nelangsa. Jimin mengigit bibir dengan alis berkerut, Yoongi mungkin tidak sadar perbuatannya kali ini membuat Jimin bersemu nyaris mimisan. "Tentu. Gunakan saja dapurnya."

Bicaranya begitu cepat. Takut jika ia bisa mengucapkan kalimat lain seperti mau kubuka sekalian celanamu? lalu berakhir dengan Yoongi dan Jimin yang telanjang dengan bau sperma bersimbah di tubuh keduanya. Sumpah, Jimin tidak berniat untuk berpikiran kotor tapi Min Yoongi yang ada di hadapannya ini jelas membuat fungsi otaknya jadi eror.

Kaki mulusnya itu, dude. Pening menyergap Jimin seketika itu juga. Seharusnya ia mempunyai air suci untuk sekedar menyiram kepalanya yang dijadikan sarang setan mesum.

"Kau seperti hendak melahapku sampai kakiku patah."

Yoongi masih di hadapannya, dan baru saja membisikkan kalimat itu di telinganya. Double sialan. Kenapa Yoongi dan Seokjin sama saja menghancurkannya? Seokjin menghancurkan kepalanya, sedang Yoongi menghancurkan hatinya.

"Kenapa kau mendadak jinak?"

"Oh, tidak suka?" Yoongi mengerdip, dari berkacak pinggang menjadi melipat tangan menantang, sedikit berjinjit mencoba menyamai tinggi Jimin yang sedikit menjulang.

"Kau yakin tidak sedang merencanakan sesuatu?"

Yoongi menyeringai, Jimin memang bodoh tapi tidak setolol yang Yoongi perkirakan. "kalau iya pun. Kau tetap akan membukakan pintu untukku."

"Dengar Yoongi apapun yang ingin kau perbuat dengan kakakku, atau apapun yang dikatakan Jin padamu jangan sepenuhnya kau turuti. Mengerti 'lah, ini diluar kuasamu dude."

"Kalau begitu 'ku buat jadi kuasaku." Ujar Yoongi enteng, menaikkan bahu tak peduli kemudian melenggang nyata melintasi Jimin sembari setengah bahunya menubruk Jimin sengaja."Ganti bajumu, lalu makan denganku."

.
.
.

Menjelang waktu tidur dengan pikiran yang di penuhi oleh sang tetangga depan tidak pernah ada dalam kamus hidup Jimin. Yoongi sudah pulang, setelah makan malam bersamanya tadi.

Jimin terlentang di ranjang besarnya, yang katanya Yoongi di sini baunya lelaki sekali. Apa sekarang pria tengal bernama Min Yoongi itu lupa gendernya karena sering bergaul dengan Jin? Beruntung karena ia tidak seperti banci perempatan dengan baju feminim dan parfum yang menggelitik hidung serta sepatu hak tinggi. Yoongi masih memakai hoodie hitam dengan bawahan celana denim dan sneakers putih sebagai pelangkapnya. Kecuali tadi, ntah ditanggalkan dimana celana itu sampai membiarkan Jimin terang-terangan melihat jelas kulit pucat Yoongi, Terlebih-ia justru sering berbau alkohol daripada berbau parfum.

Tangannya meraih ponsel yang ia letakkan di meja nakas. Membuka kunci layar sebelum mengobrak abrik galeri ponselnya. Ia sendiri tidak menyangka benar benar menjadi stalker dari seorang bartender di cafe Lights yang kini ia tau adalah milik Namjoon, pria yang berhasil membuat Jin tunduk.

Jarinya mulai menggeser layar. Lihat, memorinya sungguh hanya berisi seorang pria manis yang menghuni hatinya sejak lama. Min Yoongi namanya. Dibeberapa keping memori ponselnya yang terdahulu Jimin masih mempunyai foto Yoongi di masa SMA.

Tak sadar tubuhnya yang tadinya terlentang ia tengkurapkan. Ponsel ia letakkan dengan tangan yang masih menggeser layar. Sebuah cara ampuh untuk membuatnya tidur begitu cepat.

.
.
.

Pagi hari, dan Jimin merasa tubuhnya kebas saat ia tersadar dari tidurnya. Tidur tengkurap memang enak tapi jika posisinya tidak mengenakkan bisa berakhir pegal di sekujur badan seperti yang Jimin rasakan.

Ia mengerang sejenak dan membuka matanya sedikit. Layar ponselnya sudah menggelap. Mungkin terkunci otomatis karena ia tinggal tidur semalam. Baru ketika ia ingin bangkit berdiri atau sekedar membalikkan badan ia menyadari ada yang tidak beres.

Ada sesuatu di punggungnya.

Sempat berpikir bahwa ia berhalusinasi sebelum ia merasakan nafas teratur yang menghembus di tengkuknya. Jimin mengenyahkan pikiran horornya ketika terbesit di kepalanya bahwa orang itu adalah Jin. Yang ada ia bisa di penggal oleh sang ayah lalu berakhir di paksa untuk menikahi saudaranya sendiri. Pemikiran dungu.

Hidungnya mengenali bau ini. Bau pekat alkohol yang jelas bukan karena mabuk-tapi karena pekerjaannya yang memang seorang bartender. Dan selama Jimin hidup, ia hanya mengenal satu orang bartender yang tau sandi pintunya dan dengan tak tau dirinya tidur di atas punggungnya.

Jelas-hanya Min Yoongi seorang.

Dengan menumpuk sedikit kekuatannya, Jimin mendorong Yoongi ke sampingnya. Ayolah, ranjangnya itu besar dan kenapa si pelacur kecil pemilik hati Jimin itu justru tidur di punggungnya?

"HngㅡJiminㅡ"

Jimin mendesis kecil begitu mendengar igauan Yoongi. Jelaskan, kenapa itu lebih mirip desahan daripada igauan? Lalu, apa apaan dengan memanggil namanya begitu? Hei-ini masih pagi, dan sial Jimin berhasil ereksi hanya karena igauan Yoongi yang memanggil namanya.

"Lihat, apa yang bisa ku lakukan nanti saat kau bangun, pelacur kecil."

Kejantanannya yang sedikit mengembung ia tekan. Masturbasi di saat fantasinya bahkan ada di hadapannya dengan mata terpejam yang menggoda-padahal sedang tidur-bukanlah gaya seorang Park Jimin. Untuk apa mendekam di kamar mandi bersama sabun jika menyetubuhi Yoongi bahkan bisa Jimin lakukan detik itu juga?

Tapi, men, ia tidak sebrengsek itu. Yeah, setidaknya ia tidak ingin di coret dari kartu keluarga Park karena telah menghancurkan nama baiknya dengan meniduri seorang bartender bar bar merangkap pencuri kecil hatinya sejak remaja. Ia butuh banyak uang untuk-yeah, setidaknya menghidupi dirinya bersama Yoongi saat mereka menikah nanti.

Kepalanya menggeleng kuat. Sialan, kenapa hanya karena ereksi pikirannya jadi melantur kemana mana? Menikah adalah hal yang ia hindari sejak dulu-di saat dimana ia sukses dengan sebuah perusahaan besar dan kedua orang tuanya yang menyuruhnya segera menikah.

What the hell—ia bahkan memiliki seorang kakak yang bahkan lebih tua darinya, lalu mengapa orang tuanya itu memaksanya menikah? Lagipula, hatinya saat itu masih terbawa oleh pria pucat berkedok tetangga kondominiumnya yang di pertemukan secara tidak sengaja. Baiklah, Jimin mulai percaya takdir jika begini.

Kepalanya menoleh begitu melihat pergerakan Yoongi. Sesaat ia melihat tubuhnya sendiri-yang telanjang dada dan bercelana boxer. Lalu, pandangannya kembali pada Yoongi yang terlihat masih mengenakan seragam bartendernya, hanya saja kerahnya sedikit terbuka. Mantelnya bahkan sudah tergeletak tak berdaya di lantai sana.

Seringai segera muncul di wajah tampannya. Menjaili si manis ini tidak masalahkan? Mungkin ia hanya akan mendapat bogem mentah atau tendangan di selangkangan. Setidaknya Jimin mengantisipasinya, jadi ia bisa menghindar jika memang salah satu dari keduanya yang akan terjadi.

Tangannya bergerak untuk mempreteli seluruh kancing kemeja Yoongi. Berujar shit kecil begitu ia melepas turun celana Yoongi. Ini di luar perkiraannya karena ternyata Yoongi hanya memakai celana dalam bukan boxer seperti yang ia bayangkan. Mati matian ia menahan hormon dan menarik selimut untuk menutupi tubuh Yoongi yang hampir telanjang itu.

Ponsel ia raih. Terkekeh kecil begitu ia mengingat harus mengabadikan momen ini. Jarinya lincah membuka aplikasi kamera dan memotret figur Yoongi yang sedang tidur. Rupanya, suara bidikan kamera dari ponsel Jimin membuat Yoongi terganggu. Jimin sedikit gegalapan lalu bersandar pada kepala ranjang dan pura pura memainkan ponsel ketika Yoongi mulai terbangun.

"Ugh-Jimin?"

Lagi, suara serak bangun tidur dengan semburat merah muda di pipinya yang kedinginan menyapa Jimin dengan matanya yang terbuka. Jimin masih pura pura sibuk dengan ponselnya dan hanya menggumam hm sebagai jawaban dari panggilan Yoongi. Dalam hati ia tertawa keras serta menyiapkan kaki untuk kabur setelah Yoongi tersadar dari tidurnya.

"Aku di usir."

"Hah?"

Ini di luar perkiraan Jimin. Dan sepertinya Yoongi memang belum sadar sepenuhnya dengan apa yang terjadi pada tubuhnya. Ia justru mengedepankan acara curhat dadakannya yang sudah ia tahan sejak semalam.

"Aku telat membayar sewa. Dan si Choi ahjussi sialan itu tidak mau mendengar penjelasanku. Padahal aku hanya malas mencairkan cek yg Namjoon berikan. Dia pikir aku tak punya uang-fuck-bahkan jika aku mau kondominium sialan itu bisa ku beli tanpa ku sewa. Atau memintamu membeli sekalian gedung ini juga bukan masalah untukmu-kau kan kaya. Aku kesal,"

Ucapan panjang itu terhenti tiba tiba. Jimin mengerjap, mencerna kejadian yang baru saja terjadi. Yoongi yang menatap tubuhnya bergantian dengan tubuhnya sendiri dan berteriak marah kepadanya lalu tubuhnya yang terbanting dari ranjangnya sendiri. Di susul oleh tendangan pada selangkangan dan bogem mentah pada wajah tampannya, tepat seperti yang ia duga.

"Ya! Keparat cabul! Apa yang kau lakukan padaku?!"

"Kau bar bar sekali, Yoon." Jimin berujar sangsi dengan dengusan saat tangannya ia bawa menyentuh wajah.

Yoongi itu pria, men. Kekuatannya jelas tak main main terlebih dia menonjok dengan perasaan kesal yang ia miliki pada Jimin. Memangnya siapa yang tidak kesal jika terbangun di ranjang pria cabul seperti Park Jimin dalam keadaan hampir telanjang?

"Jelaskan dulu kenapa tubuhku begini? Seingatku, semalam aku menaiki ranjangmu dengan baju utuh." Yoongi mengambil pakaiannya sembari mengenakan ia menyusupi selimut untuk mengecek takut-takut Jimin menanamkan benihnya pada lubangnya sampai meluber ke seprey, untungnya nihil. Tidak ada tanda-tanda pemerkosaan brutal atau bondage beraliran bdsm sampai membuat Yoongi pingsan.

"Kenapa kau?"

Jimin mendesis. "Masih berani tanya?" Tak lama darah meluber dari lubang kanan hidung Jimin. "Sial Yoongi. Kau itu kasar menyebalkan."

"Payah." Ejek Yoongi, wajahnya merendahkan seolah ia ingin meludahi wajah Jimin dari atas ranjang.

"Kau bilang apa?" Jimin mendelik. Ia hampir lupa berurusan dengan siapa. Mungkin jika orang lain yang melakukannya, mereka akan cepat sadar dengan tindakannya lalu bersujud meminta ampun pada Jimin. Tapi ini Min Yoongi dude. Tidak ada kalimat bersujud minta ampun pada Jimin di dalam alur hidup Yoongi. Pria itu berdiri menjulang di depan Jimin kemudian menghentakkan sebelah kakinya menjorok pada kelamin Jimin.

Pria itu menjerit kencang.

"Kau menginjak masa depanmu."

"Masa depanku kepalamu!" Diinjak lagi sampai Jimin geram, menarik pergelangan kakinya sampai Yoongi jatuh terduduk dengan pantat jauh mencium lantai.

"Yoongi."

Yoongi yang masih mendesis karena terjatuh dengan tidak etis menggerutu panjang lebar kemudian menyipit marah terhadap Jimin yang menghela napas didepannya. "Apa?!"

"Apa barang-barangmu masih berada di sebelah?"

"Kau itu kalau tidur seperti mayat ya?" Yoongi mengubah posisi duduknya menjadi jongkok di depan Jimin agar lebih tinggi, lantai terasa beku. Dinginnya pagi hari merajam kemeja tipis seragam bartendernya. "Barang-barangku kumasukkan ke rumahmu dengan suara kencang tapi kau masih tidak dengar? Daebak Park Jimin, pantas saja saat kugedor tidak ada sahutan. Ternyata ada untungnya kau tidak mengganti password kondominiummu."

Jimin mengangguk-ngangguk mencerna ucapan Yoongi, sebenarnya ia hanya ingin tau satu hal. "Apa kau akan tinggal disini setelah ini?"

"Selepas Paman Choi mengambil uangku dan memasukkan kembali pakaianku yang ia lempar keluar, baru aku akan pindah ke kamarku, maka jawabannya iya."

"Tinggal serumah denganku? Kau yakin?"

"Tempat ini yang terdekat dengan lights. Aku tidak mau menumpang pada Namjoon. KakakmuㅡSeokjin itu kanibal jika berurusan dengan pacar-pacarnya."

Jimin tersenyum. "Well. Kasurku hanya satu."

"Aku tinggal menempatinya dan kau kutendang."

Jimin tergelak, kaus kutung yang menggantung sembrono di atas rak diraihnya kemudian ia kenakan, "Perbaiki kalimatmu dengan kita bisa tidur bersama Park Jimin."

"Terserah."

"Mungkin akan ada insiden kau hamil anakku nanti. Siapkan dirimu Minㅡsial!"

Burung Jimin ditendang lagi.

.
.
.

Nasi paginya di kunyah kesal, matanya masih berada pada obyek di depannya—si Park sialan itu dengan pandangan aku-akan-membunuhmu-nanti-cabul. Untung saja ia masih punya rasa terima kasih dengan memasakkan makanan untuk Jimin pagi ini. Inginnya ia menendang pria itu keluar dan berteriak pergi ke kantormu brengsek lalu ia banting pintunya. Mengganti passwordnya juga ide yang bagus.

"Hentikan ide gila yang kau rangkai di otak kecilmu itu, Yoongi."

"Kau—" sumpit di tudingkan, "berhenti mengataiku dan pergi ke kantor megahmu itu, sialan. Kau bahkan belum mandi." Sumpitnya kembali ia gunakan untuk makan.

Alis kanannya terangkat naik, membuat sebuah senyuman layaknya maniak gila, "mau mandi bersamaku?"

"Ohok!"

Sial, Yoongi baru saja memasukkan daging ke mulutnya dan akan mengunyahnya saat Jimin berbicara. Jelas saja dia tersedak, klise sekali, dude. Matanya mendelik marah dan kaki si pemilik kantor di tendang dari bawah meja, "pergi saja sesegera mungkin, bangsat!"

"Well—", tangannya di tumpuk di atas meja, pandangan mengunci iris Yoongi yang tengah memandangnya, "kurasa aku akan mengambil cuti hari ini."

"Well—" Yoongi mengikuti gaya Jimin di depannya, "kurasa kau akan di pecat karena cutimu yang mendadak."

"Oh?" Jimin mendesus mengeluarkan tawa remeh, "apa kau lupa jika aku pemiliknya? Membakar atau meruntuhkannya bahkan bisa ku lakukan dengan jentikkan jari."

"Terserah," bicaranya ketus, terkesan malu karena kebodohannya yang melupakan hal itu, "dan atas dasar apa kau harus cuti?"

Duduknya menyender pada kursi dengan tangan menyilang di depan dada, "ada yang harus mendapatkan pelajaran karena bersekongkol dengan Park Seokjin."

"Siapa?" suaranya hampir pecah karena dominasi Park Jimin di hadapannya yang berwajah kurang ajar. 

"Siapa ya?", siapa bilang hanya Yoongi saja yang bisa 'bermain main'? Jimin ini dominan sejati, men. Ia tau di mana letak kelemahan submisifnya meskipun ia di tolak setelah dulu Yoongi ia cium di pulau Jeju saat study tour semasa SMA. 

"Seharusnya kau tau, hyung," Jimin mulai serius ketika ia memanggil Yoongi dengan sebutan kakak setelah sebelum sebelumnya hanya memanggil nama, "kau sendiri yang memutuskan untuk masuk. Jika kau bisa masuk dengan mudah, aku jelas tak akan membiarkanmu keluar dengan jalan yang sama. Jangan harap kau bisa kabur setelah mencampuri hidupku."

"Apa?!" suaranya bahkan jadi agak melengking saat berteriak, "aku sama sekali tidak berminat untuk melakukan itu, Park."

"Yeah," tangan ia gunakan untuk menumpu dagu, "tapi kau sudah melakukannya, hyung. Kau tak bisa lari."

"Apa kau tidak bisa kembali pada keluargamu saja?!"

Hening. Kalimat spontan Yoongi membuat Jimin terdiam. Sementara Yoongi mengumpat kesal begitu ia sadar apa yang baru saja ia ucapkan. Ini misinya dan malah ia beritahu pada orang yang bersangkutan? Bunuh saja Yoongi.

"Kau tidak mengerti." Jimin berbicara pelan. Yoongi mendengarnya, hanya saja ia tak yakin dengan pendengarannya, "apa?"

"Kau tidak mengerti, Yoongi. Kau tidak mengerti apa alasan yang membuatku melangkah meninggalkan masion dan memutuskan untuk tinggal di kondominium."

Yoongi mengedip, simpati menyusup pada bilah hatinya. "katakan."

Jimin mengenyahkan nafas pendeknya tak serantan, mengelus keningnya yang terantuk pening. dia menggeleng, sebuah jawaban non verbal yang tak bisa Yoongi paksa. 

Jimin bukan lagi anak kecil yang bisa dipancing dengan iming-iming, jika ia siap mungkin Jimin akan mengutarakannya, lagi pula Yoongi masih mempunyai banyak waktu untuk mencukil diari kecil yang bersarang di pikiran Jimin.

"aku akan mengunjungi makam ibuku hari ini." aju Yoongi, terdengar seperti meminta ijin atau mengirim sinyal pemberitahuan pada Jimin.

Jimin mengkerut, Yoongi terlalu random. sejenak murka sejenaknya lagi alim seperti diciprati air suci. Jimin meyakini kalau Yoongi tidak positif bipolar meski senang bermalas-malasan, Yoongi adalah manusia paling sehat yang pernah Jimin temui, sebut saja dulu ketika seluruh kota terserang flu, Yoongi menjadi keajaiban dunia, bersama wajah anggunnya ia meliuk di koridor sekolah dengan sesetel seragam musim panas, "kau mau mengajakku?" Jimin memainkan alisnya, letak pesonanya disini. di smirk runcingnya yang menawan, menjarah hati yang memandang, "wah akhirnya telah tiba masanya aku diperkenalkan pada ibu mertua."

"tidak jadi. pergi kau sekarang." Yoongi menendang kaki Jimin dari kolong meja. tangannya gesit merapikan bekas makannya dengan Jiminㅡseperti profesi pembantu tapi Yoongi menyebut ini kesucian hati. ia tengah menumpang, ia memang harus tau diri bukan? 

"ini rumahku. aku tuan rumahnya." Jimin menaruh punggungnya pada sandaran kursi. menggulirkan netranya pada seisi ruangan lalu berakhir bertumpu pada Yoongi. 

benar, Jimin tidak akan menampik kalau Yoongi cantik serupa berlian tak tergapai. kakinya yang melangkah sangat ringan membuat Jimin terpukau, tapi sesaat bayangan itu hilang ketika acungan jari tengah menistai netra Jimin. Yoongi sadar ia sedang dipandang, diamati seperti hasil penilitian,

"Jimin, kuharap pikiran jorokmu disimpan rapat-rapat sebelum kucabik-cabik tubuhmu." 

ancamannya jadi angin lalu, Jimin bersiul. saat matanya bersinggung tatap lagi dengan Yoongi ia menunjuk televisi. "ambilkan remot untukku."

.
.
.

"Kau serius mengambil cuti rupanya." 

suara Yoongi mengalun disamping telinga Jimin. pasalnya setelah masuk ke ruang abu sanksi rasanya kalau menaikkan oktaf kalau sedang bercengkrama.

Jimin dengan gugup menoleh, setelah berkendara selama hampir dua jam, Yoongi baru membuka mulutnya saat ini. ditangannya sudah tergenggam bunga cantik yang Jimin beli tanpa persetujuan Yoongiㅡmungkin karena itu dia enggan bicara. tak ambil pusing, Jimin menaikkan sudut bibirnya. "tentu." apa yang tidak untukmu

yoongi tersenyum, digiring Jimin berdiri di sisinya menghadap foto kecil dengan pasu bertulis hangul nama mendiang ibu Yoongi. Yoongi mengedip tak pelak ia baru saja menahan tangis, Jimin yang menangkap momen itu menyodorkan tisu.

"jangan jadi jelek di depan ibumu." bisik Jimin.

Yoongi menubrukkan bahunya pada bahu Jimin yang lebih kokoh. Jimin mengajaknya bercanda dengan cara kekanakan, membuatnya malu sampai kealtar Tuhan.

"Eomma, neo gwenchana? sudah 'kah kau berjumpa Appa?  hari ini aku membawa orang lain, aku takut eomma sedih karena aku tidak pernah membawa teman dan kau akan salah sangka aku tidak punya teman. ah, lucunya." Yoongi tergelak dengan senyum frustasi dirundung kerinduan. "aku baru saja diusir dan dia memberiku tempat tinggal."

"dengan paksaan." imbuh Jimin.

Yoongi tergelak, lebih lepas sampai air matanya meluber tak terbendung. Jimin mengusap bahunya simpatik dengan kelembutan seolah ia memahami perasaan Yoongi. "yeah, dengan paksaan. baik-baiklah di surga eomma. aku akan punya tempat tinggal sendiri setelah ini. lalu satu lagi, dia bernama Jiminㅡ" Yoongi menahan lidahnya meluncurkan bait kata selanjutnya.

diafragmanya tiba-tiba menyempit dan suaranya jadi mengecil dan rapuh, "Eomma pasti mengenalnya dengan baik."

"uh, beliau kenal aku? kau pernah menceritakan 'ku? kok aku tidak tau?"

"mulai hari ini aku akan sering-sering mengunjungimu. berbahagialah disana dengan appa. terimakasih telah hidup untuk bersamaku walau sebentar." Yoongi mengacuhkan Jimin, setelah berdoa selama beberapa menit, Yoongi membungkukkan badan pamit dengan tangan menggandeng erat jemari Jimin. 

.
.
.

"kalau kau setiap hari semanis itu, setiap hari pasti ada yang melamarmu Min Yoongi-ssi." seru Jimin, karena Yoongi bilang tidak ingin panas membakar kulitnya. mereka memilih duduk di kursi rumah abu dengan bersisian walau tanpa tujuan pasti. Yoongi disebelah kiri Jimin merapikan jas sembari sesekali melihat arloji yang melilit lengannya. 

"apa kau termasuk didalamnya?" tanya Yoongi, matanya yang cemerlang mengedip menciptakan lubang besar bertanda tanya di dalam hati Jimin. apa ia juga akan melakukannya? melamar Min Yoongi?

Jimin menyeringai, "tsk. kau hanya masa lalu untukku Hyung."

"defensif," Yoongi memutar dirinya agar benar-benar menghadap Jimin sampai lutut mereka bersinggungan. "acap kali kau menyeringai maka kau tengah mempertahankan sesuatu Jimin, entah itu egomu atau sebuah kepalsuan." Yoongi tersenyum. menggasak rambut Jimin yang melambai riang memanggil tangannya sedari tadi.

Jimin menangkap jemarinya saat hendak melepaskan kelembutan yang ditawarkan rambut Jimin, Yoongi awalnya terkejut tapi ketika Jimin memejamkan mata dia terkekeh lalu tetap mengelusnya. "sebentar Hyung, sebentar saja." ucap Jimin halus. tiap hitungan hembus nafas rasanya ia semakin terbuai. Yoongi pun tak keberatan. tangannya turun mengelus pipi Jimin lalu menepuknya perlahan, "kalau kau senang diberi afeksi begini. pulang 'lah." komentar Yoongi memancing Jimin untuk membuka kelopak matanya.

Yoongi melanjutkan, "kau tidak tau seberapa kesal rasanya  anak tanpa ibu melihat anak yang memiliki orang tua lengkap tapi tak ingin pulang."

"aku diminta menikah."

Yoongi memiringkan kepala bingung, Jimin melepas tangan Yoongi lalu menunduk. memainkan jemari yang lebih tua seakan tak ingin lepas kenyamanan yang membalut hatinya saat ini. "aku tidak berencana lari dari mereka, aku hanya tidak ingin direcoki pernikahan. sebelum bersama Namjoon, kau tau 'kan Seokjin pernah gagal dalam pernikahan? aku belum siap untuk hal seperti itu lalu mengalami hal yang sama. dengan usia dua puluh lima tahunku ini kupikir aku bisa mengubah opini mereka dan berhenti menawarkan pasangan hidup untukku lewat biro jodoh. tapi itu mana bisa, sama sepertikuㅡSeokjin, Ibu dan Ayahku juga keras kepala." Jimin mengangkat bahu. tubuhnya merosot lalu tanpa tau diri menyandarkan kepalanya pada bahu Yoongi.

"Kau berkata takut gagal seolah telah memiliki pasangan." Yoongi mencibir, panas terik telah menjadi kemilau sore yang sejuk. suara kepak sayap burung pulang ke sarang jadi imbuhan mutlak dalam percakapan intens mereka. 

"aku punya, baru saja aku sadar aku memilikinya sedari lama."

Yoongi tergelitik, tersenyum ia dengan cara yang begitu manis dan melelehkan. "oh ya? selamat kalau begitu Park. jangan lupa kenal'kan padaku."

Jimin tersenyum miring. dia memasukkan tangan Yoongi yang bertautan dengan miliknya pada kantong jas hitamnya yang terbuka lebar. dia menggeleng kecil, menolak negosiasi Yoongi tentang perkenalan itu, "aku takut kau akan minder padanya nanti."

Yoongi mendengus, tidak percaya Jimin mengucapkan kalimat yang mencoreng harga diri Yoongi terang-terangan. "perkenalkan dia pada orangtuamu, mungkin dia bisa membantumu melewati suruhan menikah karena khawatir kau jadi bujang tua."

"25 tidak lebih tua dari 28 tahun Yoon." 

"tidak perlu meledek umurku." singgung Yoongi, tangannya merasa lengket karena terlalu lama digenggam Jimin, dia ingin menarik lengannya tapi dengungan terganggu Jimin membuat ia mengurungkan niat, Jimin membutuhkannya seperti dia membutuhkan pegangan untuk membuatnya yakin bercerita panjang lebar tidak akan jadi hal yang Jimin sesali nanti.

Jimin sedang berusaha membuka cangkangnya yang ditutup sedemikian rapat dan jemari Yoongi dalam lingkup jemarinya adalah bantuan hangat, kekuatan kecil yang mendorongnya terbuka.

"menurutmu aku harus membawanya?"

Yoongi mengangguk setuju teramat kencang sampai sisi rahangnya menggasak puncak hidung Jimin. "tidak mungkin," terka Jimin. suaranya menipis ditiup angin sejuk yang menyusup diantara mereka. "dia tak tergapai."

Yoongi menunduk memastikan perkataan Jimin selanjutnya tak ikut menyayat hatinya, "dia memiliki aku, tapi aku tak memilikinya." tatapan Jimin gelap, menusuk dalam pada pusaran ditengah mata Yoongi menciptakan keyakinan. ada luka yang Jimin pancarkan dan anehnya Yoongi tau perasaan tertolak yang Jimin hidangkan padanya itu perbuatan siapa.

ia tercenung karena berkaca-kaca.

perkataan naif dengan serajut perasaan semrawut Jimin itu ditujukan

ㅡpadanya.
.
.
.

"Tunggu sebentar," Jimin menyipitkan mata,  memastikan penglihatannya tidak salah. Karena Yoongi membawanya ke–"pasar malam?"

"Kenapa?" Yoongi terlihat menantang. Dagunya di naikkan dengan gaya angkuhnya melipat kedua tangan di depan dada. Yang justru membuat Park Jimin mendesus geli, "konyol."

Matanya melotot, murka pada respon Jimin. Tangannya terangkat menunjuk hidung Jimin dengan telunjuk, "aku tidak peduli pendapatmu, Park. Di sini makanannya lebih murah serta bervarian bentuk dan rasa."

"Bilang saja kau miskin."

"Sialan!" sepatu hitam mahal itu sukses di injak. Membuat korbannya menggeram dan menatap Yoongi tajam, "berhentilah menjadi bar bar, Min Yoongi."

Wajahnya berpaling di susul badannya yang kemudian berjalan meninggalkan Jimin. Berteriak cukup melengking yang membuat Jimin tegang seketika, "aku bar bar hanya padamu." Ambigue, sial.

Langkahnya tersusul. Mata si pucat itu terlihat berbinar saat melihat banyak jajanan yang rata rata memiliki rasa pedas. Tangannya menarik Jimin untuk membeli satu persatu jajanan jajanan itu, "kau yang bayar."

Jimin melotot, "kenapa aku?"

"Karena yang kaya itu kau." Dibalas desusan dan entah Jimin yang kelewat cinta atau bagaimana, ia tetap merogoh kantongnya mencari dompet. Mengambil beberapa lembar won lalu ia berikan pada Yoongi, "lebih baik kau berseragam dengan tubuh terbalut wangi alkohol pekat seperti pelacur."

Matanya melirik Jimin sinis. Menerima jajanan yang ia beli lalu membayar. Tubuhnya mendekat lalu melingkarkan tangan di seputar lengan Jimin. Menarik pria kantoran itu untuk berpindah ke stand jajanan yang lain.

"Kau seperti punya dendam tersendiri dengan kata pelacur." "Memang–" jawabannya bahkan lebih cepat dari yang Yoongi kira. Ia nyaris saja terbahak karena itu. "Seharusnya aku tetap berbohong saja, ya?"

"Bodoh–" dahi Yoongi di sentil cukup kuat, membuat empunya mendesis sakit "Aku menemukanmu di belakang meja bar dan sedang meracik minuman."

"Ya–" Yoongi mengangkat bahu, "bisa saja aku mengelak lalu langsung melompati meja menuju dance floor lalu bertelanjang. Hanya saja tiba tiba kau yang justru melakukan itu–melompati meja–dan," bisa Yoongi lihat senyuman Jimin tersungging menang, "lupakan."

"Kenapa di potong?" wajah Jimin mendekat, "itu bagian menariknya, sayang."

"Kepalamu!" Yoongi murka. Tangannya terangkat, kali ini benar benar untuk memukul Jimin bukan hanya menggertak, "itu pelecehan. Aku bisa melaporkanmu dan kau di penjara."

"Tidak, jika aku bersaksi bahwa pelapornya menikmati ciumanku."

"Mana ada yang seperti itu," wajah Jimin di todong dengan tusuk jajanan yang baru saja Yoongi makan. "Kau memaksaku dan aku mengecuhi wajahmu."

Jimin tertawa geli. "Lalu kau menangis setelah itu." Mungkin Yoongi tidak sadar jika wajahnya sudah merona merah. Entah karena dingin, malu atau marah. Atau ketiganya. "Aku tidak menangis."

"Kau iya, Yoongi." bibirnya mendesis. Kesal sekali karena Jimin tak berhenti menggodanya. "Itu karena kau bajingan tak tau diri."

Yoongi tak mengerti. Kalimatnya sepertinya datar, tidak bersifat menghakimi atau menyinggung meski Yoongi mengucapkannya dari lubuk hati. Si Park ini memang bajingan–terlampau bajingan karena kini memeluknya seenak hati. Menenggelamkan wajah di perpotongan leher Yoongi dan membisikkan kata maaf berulang ulang.

Jimin—sebegini mencintainya?

•••

Bersambung

Setelah sekian purnama dan perdebatan panjang bersama author gangsta, book ini akhirnya update :))

Continue Reading

You'll Also Like

70K 11.2K 29
Jennie mengalami trauma psikologis akibat dari sebuah peristiwa traumatis yang menyebabkannya amnesia. Jennie mengingat semua keluarganya kecuali se...
504K 6.8K 54
cerita singkat
383K 4.4K 24
Hanya cerita hayalan🙏