Ten Million Dollars

By padfootblack09

50.7K 7.7K 2.5K

Min Yoongi itu kejam. Tapi keluarganya kaya raya. "Seungwan? Kamu punya uang?" Seungwan punya feeling. Ketika... More

Prolog
Chapter 1 Min's Planning
Chapter 2 After All this Time
Chapter 3 That Son Seungwan
Chapter 4 Two Years in Anger
Chapter 5 First Meeting
Chapter 6 the Wedding
Chapter 7 First Day
Chapter 8 New Staff
Chapter 9 Do Kyungsoo
Chapter 10 On Call
Chapter 11 Uninvited Guest
Chapter 12 Slapped too Hard
Chapter 13 Reality
Chapter 14 Jeju the Disaster Island
Chapter 15 Worst Night in Jeju
Chapter 16 Secretary Wendy
Chapter 17 Cruise Ship Vacation
Chapter 18 maeu pyeon-anhan
Chapter 19 Unreasonable Reasons
Chapter 20 Two Schedules
Chapter 21 Vacation in italic
Chapter 22 Worse Prediction
Chapter 24 Yoongi's Reason
Chapter 25 Old but More Hurt

Chapter 23 Sick's Problem

1.6K 267 146
By padfootblack09


Note: tolong umpatin authornya aja ya :D


                Yoongi tidak berangkat ke kantor. Seungwan sudah menghubungi interkomnya beberapa kali dan baru menyadari Yoongi tidak berada dalam kantornya ketika Seungwan masuk ke dalam sana. Yoongi juga tidak ada di dalam kamar tersembunyinya. Yoongi tidak sedang sarapan di kafetaria. Yoongi tidak sedang berkumpul di ruang rapat. Yoongi tidak ada dimanapun dalam kantornya.


Seungwan sampai di kantor dalam keadaan menyesakkan. Ingin marah, membutuhkan penjelasan, sedih dan kecewa, bercampur menjadi satu. Tapi menangispun Seungwan tak bisa. Jadi Seungwan memutuskan untuk pulang ke rumah lebih awal, berharap bertemu Yoongi disana, dan membicararakan semuanya.


Seungwan sampai di rumah pada pukul tiga sore, dan tidak menemukan tanda-tanda Yoongi ada di dalam sana. Mobilnya tak ada, pintu masih terkunci, dan semua lampu dalam keadaan mati. Seungwan melangkah dengan berat, masuk ke dalam rumah yang sunyi. Hatinya masih sama keadaannya seperti tadi. Dan Seungwan tahu ia tak akan bisa lebih baik sebelum ia bertemu dengan Yoongi.


Yoongi hampir tidak memunculkan diri di rumah maupun di kantor selam tiga hari. Hal itu semakin membuat Seungwan sedih, sekaligus marah. Sedih karena Seungwan jadi tahu kalau Yoongi serius dengan perkataannya kemarin, dan marah karena Yoongi menelantarkannya begitu saja.


Meskipun begitu, Seungwan tetap menunggu, di rumah dan di kantor. Pekerjaan kantornya jadi terbengkalai, dan hal yang dilakukannya selama di rumah hanyalah melamun. Usahanya untuk menghubungi ponsel Yoongi tak pernah membuahkan hasil. Yoongi tak pernah mengangkat panggilannya. Ia juga tak tahu harus menghubungi siapa karena Seungwan tak pernah kenal dengan teman Yoongi, dan ia terlalu takut untuk bertanya pada mertuanya, sedangkan nomor Jin dan Jisoo tidak bisa dihubungi.


Tepat pada hari ke empat, Yoongi akhirnya pulang.


Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika Seungwan mendengar Range Rover terparkir di halaman depan rumahnya. Seungwan yang sedang duduk melamun di dapur terlonjak di tempatnya, ia terburu-buru bangkit dan berjalan keluar. Seungwan menggunakan piyama tidurnya, rambutnya tergelung dengan asal, dan kakinya telanjang. Ia membuka pintu kemudi mobil Yoongi, agak terlalu kasar, melihat Yoongi masih duduk di belakang kemudi, baru saja mematikan mesin mobilnya.


Rasanya Seungwan sudah ingin menangis, tapi ditahannya.


"Yoongi kita perlu bicara." Kata Seungwan tanpa basa-basi lagi.


Yoongi mengangkat wajahnya, hanya untuk menunjukkan betapa pucatnya wajah Yoongi sekarang. Pertahanan Seungwan mengendur. Sedikit. Emosinya tertekan dan perasaan khawatir melandanya. Tapi walaupun begitu Seungwan tetap berdiri di tempatnya, menunjukkan wajah menuntut.


"Apa lagi—" Yoongi menjawab dengan malas, nyaris mendesis.


"Kau bahkan belum bicara apa-apa, Min Yoongi." Jawab Seungwan, merasa bahunya terdorong ke samping, Yoongi baru saja melewatinya, mendorong Seungwan untuk menyingkir.


"Yoongi." Panggil Seungwan mengekor Yoongi yang berjalan masuk ke dalam rumah, melepas sepatunya di ambang pintu dapur dan melempar dengan asal tas kerjanya ke ruang tengah. 

"Kita perlu bicara."


"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi." Jawab Yoongi, meneruskan langkahnya masuk ke kamar.


"Apa maksudmu?" tuntut Seungwan di belakang Yoongi. "Bagaimana dengan kepergianmu ke Jepang? Mengapa tidak pernah memberitahuku mengenai rencana kepergianmu? Mengapa tidak mengangkat panggilanku? Mengapa tidak membaca pesanku? Menghilang kemana selama tiga hari ini? Aku mengkhawatirkan mu, aku memikirkanmu, aku bingung dengan semua perkataanmu. Lupakan? Lupakan semuanya? Bagian mana maksudmu yang ingin kulupakan?" tanya Seungwan bertubi-tubi.


Yoongi akhirnya berbalik melihat Seungwan, wajahnya masih sama pucatnya seperti tadi, tapi tatapannya tajam. "Itu sama sekali bukan urusanmu, Seungwan." bisik Yoongi. "Dan yang kumaksud semuanya adalah semuanya."


Pandangan Yoongi sangat mengintimidasi dan itu membuat Seungwan menciut, terlebih mendengar jawaban Yoongi atas pertanyaannya tadi.


"Semuanya?" ulang Seungwan.


"Semuanya." Kata Yoongi menekankan setiap suku kata.


"Kau pasti bercanda..." lirih Seungwan, berhenti di tempatnya, air mata berlinang di kedua sudut matanya. Tapi Yoongi tak mengatakan apa-apa lagi, ia hanya menyeringai, kemudian membuang pandangannya.


"Min Yoongi!" teriak Seungwan, lagi, membuntuti Yoongi yang hendak masuk ke kamarnya, Seungwan menarik lengan Yoongi dengan kuat, membuat Yoongi terpaksa membalik tubuhnya. "Kau tidak bisa memperlakukanku dengan seperti ini, kau tak boleh memperlakukan siapapun, seperti ini. Aku adalah istrimu, aku istri sah-mu, Min Yoongi. Paling tidak, kalau kau membenci istrimu, kau tetap tak boleh memperlakukan rekan kerjamu dengan seperti ini. Aku juga adalah rekan kerjamu, sekretarismu. Aku—"


"Cukup. Seungwan. Cukup." Yoongi menggeretakkan giginya, "Aku ingin kau melupakan semuanya. Semua hal yang ada di kepalamu. Dan tak ada lagi yang bisa dibicarakan—"


"Ini tidak lucu, Min Yoongi. Tidak lucu." Bantah Seungwan dalam kesesakan. "Aku tidak bisa melupakan semuanya begitu saja. Dan bagaimana juga kau bisa semudah itu melupakan semuanya? Ayo bicarakan semuanya. Aku akan mendengarkan, Yoongi. Apa yang terjadi? Apa yang membuatmu begini? Apa aku melakukan kesalahan? Apa aku—"


"Semuanya sudah salah, sejak awal, Seungwan." potong Yoongi dengan nada frustasi, Seungwan menatap tepat di manik mata Yoongi yang sekarang –Seungwan bersumpah, berkaca-kaca.


Melihat mata Yoongi yang berkaca-kaca bahkan lebih menyakitkan.


"Semuanya sudah salah sejak awal." Ulang Yoongi. "Hal yang terjadi beberapa bulan terakhir, pemilihanmu sebagai sekretarisku, bahkan pernikahan kita adalah sebuah kesalahan."


Hati Seungwan seperti tercabik sesuatu.


"Sesuatu berjalan tidak seperti seharusnya." Lanjut Yoongi. "Jadi, Seungwan, aku ingin kau melupakan semuanya. Semua hal yang ada di dalam kepalamu—"


Yoongi mengatakan banyak hal lain lagi yang Seungwan tak bisa ingat. Terlalu terkejut dengan perubahan Yoongi, terlalu tak mampu untuk menerima semua ucapan Yoongi dan terlalu sakit untuk menuruti permintaan Yoongi. Dengan begitu Yoongi melepas tangan Seungwan yang masih melingkar di lengan Yoongi. Memutar tubuhnya, dan masuk ke dalam kamar. Mengunci pintunya sehingga siapapun tak bisa masuk kesana.


Seungwan tak sanggup melakukan apa-apa. Begitu pintu kamar berdebam tertutup, ia merosot di tempatnya, menangis sesenggukan, menekan dadanya yang terasa sakit. Seungwan tak tahu berapa lama ia menangis, sampai ia tertidur, di sofa ruang tengah, berharap ketika ia bangun nanti, semua yang terjadi hari ini hanyalah mimpi.

.

.

.

Jam dinding ruang TV rumah milik Yoongi menunjukkan pukul enam pagi. Suasana masih sunyi, lampu padam, dan tak terlihat aktivitas satupun manusia kendati dua orang penghuni tempat itu berada di dalamnya.


Tak seperti biasanya Seungwan bangun seterlambat ini. Ia selama ini selalu dibangunkan oleh alarm ponselnya, atau alarm bawah sadarnya yang memang sudah terbiasa. Tapi hari ini berbeda, moodnya buruk dan suasana hatinya kacau, mungkin itu salah satu penyebab mengapa Seungwan akhirnya baru bisa terbangun pukul enam lebih lima.


Perempuan berparas cantik itu mengusap matanya dengan punggung tangan, kedua matanya bengkak, karena terlalu banyak menangis. Pun kedua pipinya masih lengket dengan air mata. Netranya langsung bergerak kearah pintu kamar utama, kamar milik mereka berdua, masih tertutup rapat—Seungwan langsung berharap bahwa kejadian semalam hanyala imajinasinya saja, kejadian semalam adalah mimpi terburuk sepanjang hidupnya, kejadian semalam tidak pernah terjadi.


Menghipnotis diri sendiri dengan pikiran seperti itu justru membuat Seungwan merasa bodoh. Ia jelas-jelas tahu bahwa semua yang terjadi semalam adalah nyata, bahkan sesak di dalam hati Seungwan masih ada. Tas Yoongi yang tergeletak asal di lantai masih ada di sana. Sepatu Yoongi yang berserakan di ambang pintu dapur juga terlihat di tempat Seungwan duduk.


Seungwan sudah ingin menangis lagi.


"Se-seungwan...Every thing will be okay..." terbata-bata, Seungwan mulai bicara pada dirinya sendiri. "Yoongi hanya sedang lelah, mungkin dia punya banyak hal yang dipikirkan, dan aku terlalu tidak sabar untuk minta penjelasan—aku bertanya di saat yang salah—"


Terdengar terlalu membela diri, terlalu menganggap enteng kejadian semalam, Seungwan tetap melanjutkan kalimatnya, menguatkan dirinya sendiri, "Mungkin—pagi ini, ketika semuanya sudah membaik, ketika Yoongi sudah bisa lebih berpikir jernih, ia akan menjelaskan semua kesalah pahaman ini—"


Dengan keyakinan yang nekat itulah, akhirnya Seungwan berdiri, mendekati pintu kamar mereka, dan mengetuknya, memanggil nama suaminya dengan lembut, "Yoongi? Kau di dalam?"


Tak ada jawaban.


Seungwan mencoba lagi, "Yoongi? Kau baik-baik saja?"


Masih tak ada jawaban.


Tanpa aba-aba, Seungwan memutar pegangan pintu, mencoba untuk membukanya, pintu mengayun terbuka, tak dikunci sama sekali. Seungwan masih ingat kalau semalam Yoongi mengunci rapat pintu kamarnya—tapi ia tak sempat heran, netranya membulat ketika mendapati Yoongi terbaring di lantai dekat ambang pintu kamar, melengguh kesakitan.


"Yoongi!"

.

.

.


Setelah usaha luar biasa Seungwan memapah tubuh suaminya yang hampir dua kali lebih besar darinya, Seungwan terduduk di tepi tempat tidur, mengatur nafasnya, ia memegang tangan Yoongi yang terasa dingin, dan menggunakan tangannya yang lain untuk menghubungi dokter keluarga Yoongi, dokter Kim.


Sementara menunggu dokter Kim datang, Seungwan menyiapkan baskom berisi air hangat dan washlap, segera ia mengompres Yoongi untuk mengurangi demam Yoongi. Seungwan juga melepaskan kemeja kantor Yoongi sejak semalam, menggantikannya dengan piyama tidur yang nyaman, menyeka wajah Yoongi, menyelimuti tubuh Yoongi yang kedinginan.


Seungwan cemas, ia kalut, pikirannya melayang kemana-mana dan hatinya masih juga kacau, dan sekarang, sumber kekacauan itu sedang terbaring tak berdaya, meracaukan sesuatu yang Seungwan tak tahu.


Kira-kira dua puluh menit kemudian, dokter Kim tiba. Seungwan buru-buru membuka pagar, menyambut laki-laki paruh baya yang sudah mengenal Yoongi sejak kecil itu untuk masuk ke dalam.


"Dyspepsia." Begitu ucapan dokter Kim ketika memeriksa Yoongi, pada Seungwan yang terduduk di samping tempat tidur, memilin tangannya sendiri dengan khawatir. "Demam dan tukak lambung. Tak ada yang perlu dikhawatirkan." Katanya lagi, melihat kekalutan di wajah Seungwan.


"Dia harus diberi tambahan vitamin." Kata dokter Kim, kemudian ia mengeluarkan vitamin dalam bentuk injeksi dan langsung menyuntikkannya ke lengan kanan Yoongi.


"Terimakasih, dok." Kata Seungwan sungguh-sungguh.


"Aku akan meresepkan obat lambung dan demam, akan kutambahkan juga anti nyeri jika diperlukan." Kata dokter Kim sembari mengeluarkan tiga jenis obat oral dari tas besarnya, kemudian ia menyerahkan pada Seungwan. "Yang berwarna pink, berikan segera, sebelum makan. Yang warna putih dan biru, berikan setelah ia makan. Harus setelah ia makan, dan harus diminum karena ini untuk menurunkan demam."


Seungwan mengangguk-anggukan kepalanya mengerti, ia menerima ketiga jenis obat itu, ketika dokter Kim berkata, "Mungkin dia kelelahan, Seungwan. Banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini dan mungkin ia terlalu memikirkan banyak hal. Apa lagi Yoongi adalah tipe orang yang tidak peduli dengan dirinya sendiri—"


Tiga puluh menit kemudian, dokter Kim pamit untuk pulang, bersamaan dengan Yoongi yang mulai tersadar dari tidur panjangnya. Setelah mengantar dan mengucapkan terimakasih pada dokter Kim, Seungwan buru-buru kembali ke kamar, duduk di tepi tempat tidur dan memegang telapak tangan Yoongi.


"Yoongi...." Bisik Seungwan. Dadanya bergemuruh, kekhawatiran dan kesesakan melandanya. "Are you alright?"


Yoongi sudah membuka kedua netranya, tapi enggan melihat kearah Seungwan, pun enggan menjawab pertanyaan Seungwan. Ia melepaskan pegangan tangan Seungwan, kemudian berusaha duduk di tempatnya, tangan Seungwan yang berusaha membantupun ditepisnya. Seungwan diam saja, menahan tangis yang keluar, tak tahu apa yang harus dilakukan.


Yoongi meraih beberapa obat yang tadi diberi oleh dokter Kim di nakas tempat tidur, membuka sebuah botol yang berisi obat lambung berwarna pink, tanpa menggunakkan sendok atau ceruk takaran, ia meminum obat itu langsung dari botolnya sebanyak satu tegukan.


Seungwan membelalakan kedua matanya. "Yoongi! Kau hanya boleh meminum itu sebanyak lima belas mili!"


Tapi Yoongi tak mendengarkan Seungwan, tangannya terangkat lagi untuk mengambil dua obat lainnya, tapi terdahului oleh Seungwan, yang otomatis berdiri di tempatnya, sehingga Yoongi tak bisa merebut dua obat itu, memelototi Yoongi dan berkata, "Kau harus makan dulu."


"Berikan padaku." Desis Yoongi tak peduli.


"Tidak bisa. Kau harus makan dulu!" jawab Seungwan.


"Jangan ikut campur urusanku, Seungwan." balas Yoongi mendelik.


"Dokter Kim berkata padaku kau harus makan dulu!" kata Seungwan ngeyel.


"Aku tak akan mati jika minum itu tanpa makan. Jangan larang aku melakukan ini-itu, urus saja dirimu sendiri dan berikan obat itu padaku—"


"Lambungmu akan semakin sakit, Min Yoongi—"


"Itulah apa fungsinya obat berwarna pink tadi—shit, Seungwan berikan padaku!" kata Yoongi menaikkan nadanya, ia merasa kesakitan lagi, nyeri di kepalanya.


Seungwan melempar obat dalam genggamannya ke meja rias, kemudian terduduk untuk memegang pundak dan kepala Yoongi, membimbing Yoongi untuk berbaring lagi, dan Yoongi menurut. "Tunggu sebentar disini, aku akan buatkan sesuatu."

.

.

.


"Singkirkan." Itu adalah penolakan untuk yang ketiga kalinya yang sudah Seungwan terima. Di hadapannya tersedia bubur kerang yang mengepul panas, baru saja diangkat dari atas kompor dan langsung disedikan di hadapan Yoongi. Tapi nasib bubur kerang yang kelihatan enak itu sama seperti sup kacang merah tadi yang sebelumnya dimasak Seungwan: ditolak mentah-mentah oleh Yoongi.


"Yoongi...." Bisik Seungwan terduduk di tepi tempat tidur, setengah memohon, dia menomor duakan hatinya yang sakit, saat ini hanya kesembuhan Yoongi yang memenuhi pikirannya. "Kau harus makan, Yoongi. Kau harus minum obat, kau harus sehat."


Yoongi tak mau dan tak mampu untuk menjawab. Tubuhnya tak berkompromi, dan ia memutuskan menutup matanya lagi, merasakan nyeri mendera kepalanya.


"Yoongi..." Seungwan menggenggam tangan Yoongi yang terasa dingin, "Duduk sebentar dan aku akan menyuapimu—"


"Pergi saja kau..." desis Yoongi, menarik tangannya dari genggaman Seungwan.


Seungwan menekan sakit hatinya, meskipun begitu air matanya tak mau berkompromi, pun isak tangisnya yang mulai keluar.


Seungwan beranjak dari kamar Yoongi dan mengambil ponselnya. Tertera nama kontak 'Ibu Yoongi' di layarnya yang terbuka. Segera saja jarinya menyentuh tombol 'calling'.

.

.

.

"Ibu... ini Seungwan bu."


"Hmm. Kenapa?"


"Yoongi sakit bu."


"Sudah menghubungi dr. Kim?"


"Sudah bu. Sudah diresepkan obat juga. Tapi Yoongi tidak mau makan."


"Hmm..."


"Seungwan sudah buatkan bubur, sup—"


"Yoongi tidak akan pernah mau makan itu."


"Seungwan minta tolong, apa ibu bisa kesini atau kirimkan makanan ke—"


"Tidak bisa. Di Jepang sekarang. Jisoo-pun tidak bisa, menemani Seokjin ke Guangzhou."


"Apa ada koki rumah yang bisa kesini atau membuatkan—"


"Tunggu. Nanti ibu kirimkan orang."


"Baik, terimaka—tutututut..."

.

.

.

Sekarang perasaan Seungwan sedikit melega. Setidaknya setelah ini Yoongi bisa makan. Seungwan duduk sebentar di tepi tempat tidur Yoongi hanya untuk mendapati Yoongi tertidur lagi, wajahnya sangat pucat dan Yoongi kelihatan sangat lemah. Hati Seungwan sangat sakit hanya dengan melihatnya. Dua menit kemudian, Seungwan baranjak untuk duduk menunggu orang utusan ibu mertuanya datang.


Tak perlu waktu lama bagi Seungwan untuk menunggu, dua puluh menit kemudian bel rumah Yoongi berbunyi. Seungwan buru-buru bangkit dan membuka pintu depan. Di hadapannya berdiri seorang wanita dengan celana jeans dan t-shirt oversizenya, sangat sederhana. Walaupun begitu aura kecantikannya terpancar, matanya mirip kucing dan giginya mirip kelinci, rambutnya tergerai panjang hingga ke punggung. Ia melihat Seungwan dan tersenyum, agak sungkan dan kikuk, ia memperkenalkan dirinya, "Selamat pagi, aku Jennie Kim."

.

.

.

Sekali lagi, jangan umpati karakternya ya :D authornya aja. wkwk


maaf kemaren belum sempet ngebalesin komen karna rada eror wpku gamau muncul chapter terbarunya. hehe


enjoy ya semuanyaaa love youuu

Continue Reading

You'll Also Like

722K 58.1K 63
Kisah ia sang jiwa asing di tubuh kosong tanpa jiwa. Ernest Lancer namanya. Seorang pemuda kuliah yang tertabrak oleh sebuah truk pengangkut batu ba...
75.4K 8.2K 86
Sang rival yang selama ini ia kejar, untuk ia bawa pulang ke desa, kini benar-benar kembali.. Tapi dengan keadaan yang menyedihkan. Terkena kegagalan...
YES, DADDY! By

Fanfiction

305K 1.8K 9
Tentang Ola dan Daddy Leon. Tentang hubungan mereka yang di luar batas wajar
92.2K 11.8K 37
Jake, dia adalah seorang profesional player mendadak melemah ketika mengetahui jika dirinya adalah seorang omega. Demi membuatnya bangkit, Jake harus...