ROUND✔

By silxcx_

134K 11.8K 3K

(FOLLOW DULU SEBELUM DIBACA) "Bagaimana rasanya bertemu dengan idol yang kau kagumi?" Mencintai sesuatu yang... More

Prolog
1//
2//
3//
4//
5//
6//
7//
8//
9//
10/
11//
12//
13//
14//
15//
16//
17//
18//
19//
20//
22//
23//
24//
25//
26//
27//
28//
29//
30//
31//
32//
33//
34//
35. We're over
Epilog
KEJUTAN!
Bonus Part : Sugarry Min Yoongi

21//

2.7K 249 127
By silxcx_

Jangan lupa vote, komen dan share banyak-banyak~

Baca author note dibawah ya!!

HARUS PINTER KAYA YOONGI 😭😭

--

Hari ini tepat hari ketiga setelah kepulangan Kyei dari rumah sakit-pun ia hanya dua hari satu malam untuk singgah. Waktu itu seperti yang dikatakan dokter, ia kelelahan hingga membuat detak jantungnya tidak stabil. Mengenai transplantasi yang disembunyikan oleh Bima, Kyei sudah tahu. Setelah memutar kembali otaknya, Kyei mendadak merasa lega saat mengingat betapa frustasinya Bima saat meluapkan emosinya--sayang sekali. Awalnya tentu Kyei merasa dongkol bukan main, toh, ia tidak tahu apa-apa malah mendadak dikatakan akan hilang. Terkejut bukan main saat mengetahui fakta yang menyerang tubuhnya--jantungnya melemah dan itu bukan salah satu informasi yang bagus. Pun disela-sela waktunya, Kyei terkadang menyalahkan dirinya karena semudah itu tenggelam dalam rayuan Jimin.

Mengenai Jimin dan Hoseok. Kyei dibikin tertawa hampir lima belas menit tanpa henti. Malam itu--hari yang sama saat Yoongi menghampirinya ke rumah sakit-- Kyei mendapat panggilan video dari Hoseok. Bisa ditebak tentu mereka minta maaf dengan cara yang berlebihan--jurus paling manjur kalau kata Hoseok. Lagi-lagi membuat Kyei tenggelam dalam kegemasan mereka dan hanya bisa tertawa dan berkata iya. Ditebak lagi, sudah pasti yang menyuruh mereka meminta maaf pada Kyei adalah Yoongi. Lucu sekali, Kyei tidak bisa membayangkan bagaimana gemasnya wajah datar Yoongi memarahi dua laki-laki itu. Pasti seperti seekor kucing yang berdiri gagah di depan dua ekor anak itik. Jadi pengen culik.

Bunyi dentingan kecil dari mesin kopi menarik atensi Kyei yang tengah sibuk memutar kembali memori hari itu. Ia segera bangkit menuju dapur, mempersiapkan segelas kopi untuk Yoongi yang katanya akan mampir sebentar. Setelah segelas kopi ia letakkan di atas meja makan, matanya kembali melirik Bima yang tampak gundah sekali menatap lekat ponselnya.

"Bim mau kopi?" tanya Kyei akhirnya.

Bima masih sibuk berkutat dengan ponselnya. Seolah suara Kyei adalah angin lalu yang benar-benar tidak penting untuk diterima rungunya. Kyei merotasi penuh bola matanya, tangannya meriah sendok bekas yang lupa ia cuci lalu melemparnya tepat mengenai bagian samping wajah Bima.

"Apa, sih?!" geram Bima.

Kyei berkacak pinggang. "Kakakmu ni bertanya. Mendadak tuli?!" geramnya tak kalah geram.

Bima mendelik dan memilih tidak menjawab. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding sofa dan kembali fokus pada ponselnya. Sekali lagi, tidak berselang lama sebuah pir mendarat tepat mengenai hidung indahnya. Senyum Kyei sontak merekah saat ponsel milik Bima ikut terbanting dan si empunya mendesis menahan sakit.

"Kau gila?!" pekik Bima. Ia menatap Kyei dari ujung matanya sembari mengusap hidungnya yang ngilu.

Wah kurang ajar sekali. Kyei malah tertawa keras ketika melihat hidung Bima yang memerah seperti badut. Lucu sekali. Rasanya ingin melemparkan pir sekali lagi hingga pahatan hidung yang sempurna itu ikut memerah dengan sempurna. Dengan begitu Kyei bisa mengais rezeki tambahan dengan membawa Bima ke taman kanak-kanak. Wah cukup menguntungkan.

Kyei kembali meraih pir yang tersimpan rapi di atas meja. Ia melempar-lempar kecil pir itu sesuai jangkauan tangkapnya. Senyum miring terpatri jelas di birai tipisnya. Sungguh, ide Kyei tadi sangat bagus bukan main. Setelah itu kalau Bima memilih protes, Kyei bisa memberi pengertian, 'Bim, hidup itu keras. Memang harus bersakit-sakit dahulu, baru kau bisa bersenang-senang.'

"Kyei, kau punya masalah apa, sih, padaku?" tanya Bima heran. Ia menutup wajahnya dengan membentuk angka X dari dua lengan beruratnya. Takut-takut sikap gila kakaknya yang bisa datang kapan saja itu menyerangnya. Kyei itu kejam sekali. Tidak tahu terimakasih sama sekali. Harusnya dia bersyukur Bima sudah mau mengurusnya saat ia sakit. Benar-benar tidak tahu terimakasih. Untung sayang.

Senyum Kyei semakin merekah. Pir yang sedari tadi ia lempar kecil kini ia genggam erat. "Bukan begitu, Bim. Ini keuntungan, kau harus paham."

"Apanya?! Kau--"

Suara bel interkom menarik atensi dua manusia yang tengah mempertaruhkan hidup dan mati itu--entah hidup dan mati seperti apa yang ada dipikiran mereka. Kyei menghela napas. Gugur sudah harapannya untuk menambah penghasilan. Tungkai kecil itu melangkah menuju pintu, tanpa memeriksa siapa yang datang, Kyei langsung membuka pintu begitu saja.

Seorang laki-laki menggunakan kemeja dengan kaus hitam di dalamnya berdiri dengan tenang di depan apartemen Kyei. Laki-laki itu langsung masuk begitu saja tanpa mempedulikan tatapan tajam yang Kyei lemparkan padanya. Membuka masker, kacamata dan topinya, laki-laki itu langsung berjalan menuju kopi yang sudah tersimpan manis di atas meja. Benar-benar tanpa sepatah kata. Mengesalkan bukan main. Laki-laki itu langsung menyesap kopinya dan melirik Kyei dari ujung matanya.

"Kenapa berdiri di situ?" Yoongi membuka suara.

Kyei membuang napas tidak percaya. Wah benar-benar. Yoongi seperti manusia tidak memiliki sopan santun sama sekali. Seenaknya, mentang-mentang ini apartemen gadisnya. Kyei melangkah menuju Yoongi dan duduk di seberang laki-laki itu. "Harusnya kau itu mengucapkan selamat pagi atau basa-basi lain. Bagaimana kalau di dalam apartemenku ada orang lain?"

Yoongi menukikkan alisnya. Ia menyesap kopinya sejenak lalu berucap, "Memang siapa yang akan ada di apartemenmu selain Bima dan Hani? Selingkuhanmu?"

Kyei menggertakkan giginya menahan kesal. Demi apapun, Kyei tidak tahu ia bermimpi apa tadi malam sampai harus menghadapi dua makhluk yang mampu menarik tinggi emosinya. Bagaimana bisa Yoongi berkata seperti itu padanya sementara dirinya tidak jauh-jauh dari apartemen, supermarket, dan gedung BigHit.

"Kalau iya, bagaimana?" sulut Kyei naik pitam sendiri.

Yoongi yang tadi hampir kembali menyesap kopinya langsung terhenti dan memberi atensi penuh pada Kyei. "Kau benar-benar selingkuh? Dariku? Min Yoongi?"

Baik. Kyei tidak tahu harus bagaimana mengekspresikan dirinya sendiri setelah mendengar kesombongan mutlak dari birai tipis Yoongi. Ayolah, mereka baru saja bertemu. Kenapa sudah harus berdebat, sih? Pun sebenarnya tidak ada salahnya Yoongi menyombongkan diri. Dia memang pantas sekali kok untuk menyombongkan diri. Toh, ia memiliki sesuatu untuk disombongkan. Ketampanan, salah satunya.

Kyei bangkit dari duduknya saat bunyi mesin kopi kembali berdenting. Ia memang memutuskan untuk menyiapkan segelas kopi untuk Bima. Untung saja pikirannya untuk mengkambinghitamkan Bima dalam urusan uangnya hilang begitu saja. Bima harus berterimakasih seharusnya. Kyei melirik Bima yang baru keluar dari kamarnya, sepertinya mengambil sebuah masker. Tidak lucu juga kalau Bima sebagai mahasiswa baru yang langsung terkenal karena ketampanannya itu diledeki si tampan berhidung merah. Tidak bisa dibiarkan.

"Minum dulu kopinya," sahut Kyei saat Bima memasukkan ponsel ke dalam tas selempangnya. Tanpa menjawab Bima melangkah mendekati Kyei, meraih gelasnya sedikit kasar lalu meneguk dengan cepat. Mata Bima beralih pada Yoongi yang masih sibuk dengan kopinya lalu meletakkan kopinya yang tersisa setengah.

"Hyung, aku berangkat."

Tanpa perlu menunggu jawaban Yoongi, Bima langsung melesat begitu saja lalu tertelan pintu. Tidak mempedulikan Kyei yang kini melotot tidak percaya seiring dengan umpatan-umpatan kecil di birainya.

Sungguh, mungkin Kyei harus membenarkan opininya beberapa bulan yang lalu mengenai Bima adalah anak pungut yang tidak sengaja ditemukan orang tuanya di selokan. Tidak salah lagi. Lihat saja, ia bahkan menolak untuk memperlihatkan sopan santunnya pada Kyei. Walau ia masih marah akibat hidungnya memerah, harusnya tetap ada sopan santun. Wah benar-benar.

Beda lagi dengan Yoongi, perempatan muncul secara samar di dahinya. Kyei hari ini entah kenapa sangat sensitif sekali. Sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit mengumpat. Pun saat Yoongi kembali berpikir, ia tidak perlu bertanya. Mungkin Kyei sedang kedatangan tamu hari ini. Dengan sebulat tekat akhirnya Yoongi memilih untuk tetap bersikap tenang daripada membuat Kyei terusik lalu merepotkan Yoongi dengan meminta berbagai macam makanan. Yoongi tidak mau direpotkan. Tidak suka.

"Duduklah," sahut Yoongi.

Kyei mengikuti tanpa bantah. Ia kembali duduk di tempatnya semula. "Kau ada rencana apa hari ini?" tanya Yoongi. Menurunkan intonasi bicaranya agar terdengar sangat lembut-tidak mau mengambil resiko.

Kyei menumpukan dagunya pada telapak tangan lalu menyapu pandangannya pada kanan atas-berpikir. "Aku ada konsultasi hari ini, jam sepuluh nanti."

Yoongi meletakkan kopinya lalu menatap Kyei heran. "Konsultasi? Kenapa harus konsultasi? Kaukan hanya demam dua hari lalu."

Kyei sedikit melebarkan matanya. Wah Yoongi benar-benar sulit dikibuli dan Kyei baru saja selesai merutuki betapa bodohnya dirinya. Setelah berpikir dalam waktu benar-benar singkat, Kyei memilih mengangguk lalu berucap, "Benar. Kata dokter untuk persiapan saja."

Yoongi menurunkan gelasnya, melipat kedua tangannya di atas meja lalu menatap Kyei lekat. Sementara Kyei gugup bukan main, ia dengan mental sekuat batu yang dibuat-buat membalas tatapan Yoongi dengan sedikit menukik alisnya. Tentu ia tidak mau membuat Yoongi curiga, bisa mati dia kalau Yoongi mendadak membisu dan memilih meninggalkan apartemen Kyei tanpa kata.

"Apa?" tanya Kyei setelah tenggelam dalam tatapan Yoongi hampir melebihi satu menit. Ia menghela napas dan melirik jam yang tergantung rapi di dinding apartemennya--mengalihkan.

Tidak mau kalah, Yoongi ikut menghela napas. Yoongi mengangkat tangannya dan mengelus lembut puncak kepala Kyei penuh sayang. Bagaimanapun ia tidak bisa untuk tidak percaya dengan Kyei. Sudah sayang sekali dan tidak terkalahkan. "Ya sudah." Yoongi melepas tangannya dan melirik jam berharga puluhan juta yang melingkar di tangan penuh uratnya lalu melanjuti, "Aku akan bekerja. Kau hati-hati nanti, kalau ada masalah langsung hubungi aku atau Bima."

Kyei hanya mengangguk dan melemparkan senyum termanisnya. Yoongi bangkit dan memakai atribut yang tadi sempat ia lepaskan. Benar-benar pertemuan yang singkat dan cukup merepotkan. Entah kenapa Kyei sedikit mengernyit saat Yoongi mendadak meneleponnya untuk meminum kopi buatan Kyei, biar semangat katanya. Manis disatu sisi dan mengherankan. Sebelum benar-benar pergi Yoongi membawa tungkainya mendekati Kyei. Mengusap rambut gadisnya lembut dan mengecup singkat puncak kepalanya. Jangan lupakan senyum Yoongi yang manis mengalahkan permen termanis di dunia.

"Aku berangkat, ya. Kau hati-hati." Yoongi pamit dan melangkah menuju pintu diikuti oleh Kyei.

Kyei mengangguk kecil dan tersenyum senang. "Kau semangat hari ini. Jangan malas-malasan," godanya. Yoongi terkekeh kecil dan segera memperbaiki kacamatanya.

Setelah tepat Yoongi berada pada langkah ke lima, Kyei menutup pintu apartemennya. Berdiam diri menatap benda tinggi menjulang berwarna hitam di depannya. Senyumnya merontok seiring dengan mata yang terpejam.

Tebak. Dalam hitungan lima detik setelah memejamkan matanya, tubuh Kyei merosot jatuh. Berjongkok di depan pintu sembari menenggelamkan wajahnya. Gundah. Gundah sekali. Bukan main. Perlahan tubuh Kyei tergoncang kecil akibat isakan yang tanpa permisi main timbul begitu saja.

"Yoon, kenapa susah sekali? Jangan membuatku semakin merasa bersalah."

--

Suara langkah kaki menggema di sepanjang koridor rumah sakit. Kyei menatap kertas kecil ditangannya yang bertuliskan nama dokter serta ruangan yang harus ia kunjungi. Melewati tiga sampai empat ruangan, langkah kaki Kyei terhenti di depan sebuah pintu berwarna putih. Menggigit birainya sejenak lalu mengetuk pintu di depannya dengan pelan. Setelah mendengar jawaban dari dalam, dengan gerakan pelan Kyei memutar kenop pintu.

"Selamat siang, Dokter." sapa Kyei. Gadis itu berjalan mendekati meja sang dokter, sedikit mengangguk saat tangan dokter terarah pada kursi di seberangnya lalu menduduki kursi tersebut.

Dokter Shin tersenyum kecil, ia mengetik sesuatu pada komputer di depannya lalu meraih sebuah map yang berisi keterangan mengenai data-data Kyei. Wanita berkepala empat itu membaca sekilas kertas-kertas di tangannya lalu beralih menatap Kyei.

"Jadi, bagaimana keputusanmu?"

Kyei sedikit menggeser tubuhnya ke depan. Berusaha untuk membuat dirinya tetap nyaman walaupun masih tersisa secuil rasa gugup di hatinya. Menghela napas sebentar guna memantapkan hati, Kyei mengangguk kecil. "Tidak ada pilihan lain. Bagaimanapun aku harus menepati janji dengan adikku untuk menemaninya di sini."

Mengarahkan tiga lembar kertas di tangannya pada Kyei, dokter Shin mengangguk setuju. "Keputusan yang bagus. Nanti saya akan mengatur memindahkan datamu dari Indonesia. Kau hanya perlu menulis nama dokter dan rumah sakitmu dulu," jelas dokter Shin.

Kyei menatap kertas-kertas itu dan meraihnya. Manik coklatnya tampak sangat serius membaca sepatah demi sepatah kata yang tertoreh di sana. Sungguh, Kyei takut bukan main. Katakan ia anak durhaka karena keputusannya kali ini tidak memberitahu siapa pun, termasuk orang tuanya. Menurut Kyei, memang ini salah satunya. Menyebrangi dua pulau sekaligus. Tetap menepati janjinya dengan Bima dan tidak membuat orang tuanya khawatir. Mungkin ini salah satu keputusan yang bagus.

Kepala Kyei terangkat menatap dokter Shin. "Jadi, apa waktunya--" tanya Kyei ragu. Mungkin keputusannya kali ini sedikit membawa keberuntungan.

Seakan paham dokter Shin mengangguk. "Semoga saja. Kau bisa sedikit mendapat lebih cepat daripada menunggu yang di Indonesia," ucapnya lembut. Benar-benar lembut dan sifat keibuan yang sangat kental. Pun membuat Kyei sedikit merasa tenang.

Sebenarnya, Kyei memang harus melakukan tranplantasi secepatnya. Ia tahu itu satu tahun yang lalu. Cukup lama untuk menyimpan rahasia pada diri sendiri. Tapi, kenyataan berkata lain, saat Kyei sedang fokus-fokusnya pada penerbitan novelnya, Ibu Kyei tidak sengaja menemukan kertas mengenai kesehatan jantungnya. Dengan segenap jiwa dan sempat menangis meraung-raung agar tidak diberitahu siapapun termasuk Bima. Kyei juga segenap tenaga menenangkan kedua orang tuanya kalau akan menemukan jantung baru secepatnya. Tapi, di dunia ini yang membutuhkan donor jantung bukan hanya Kyei. Ratusan bahkan jutaan nama sedang berderet rapi menunggu giliran.

Kyei mengangguk. "Baiklah. Aku akan melakukan operasi di sini."

Keputusan finalnya.

--

"Iya, Yoon. Aku sudah hampir sampai. Baru saja keluar dari lift." Kyei menjepit ponselnya diantara telinga dan bahunya. Tangannya sibuk membuka tasnya untuk memasuki obat yang baru saja ditebusnya.

Kyei meraih ponselnya dan memindahkan ke telinga sebelahnya. Ia terkekeh kecil saat mendengar suara Yoongi yang kentara sekali didatar-datarkan. Kyei terkadang masih bingung kenapa Yoongi masih saja menjaga imej di depannya. Kan Kyei jadi semakin cinta. Gemas bukan main.

"Iya. Kau ini nyinyir sekali," sindir Kyei. Ia menunduk singkat pada salah satu tetangganya. "Iya. Kenapa, sih? Aku ini sudah besar, tidak perlu dimanja Bima yang masih bocah," desisnya tidak suka. Pasalnya Yoongi masih memaksa Kyei untuk kalau pergi kemana-mana harus bersama Bima atau setidaknya menghubungi Yoongi. Sejak kejadian hari itu, Yoongi benar-benar perhatian sekali. Kyei jadi semakin sayang.

Kekehan kecil menguar pada koridor yang tampak sepi. "Ah, kau ini. Sudah! Jangan menghubungiku terus. Kau ini kalau bekerja itu ya bekerja." Suara gadis itu sedikit menggeram. Memang benar sekali, Yoongi menghubunginya setiap satu jam sekali semenjak Kyei mengirimkan pesan kalau ingin pergi konsultasi. Kyei tidak tahu Yoongi hari ini latihan atau bagaimana, tapi bagaimana pun ini jam kerja laki-laki itu. Tidak baik kalau begini.

Kyei langsung mematikan panggilannya. Ia menunduk memasukkan ponselnya pada tas mini yang digunakannya. Terasa sedikit susah sebab memang sudah memenuhi daya tampung. Setelah memasuki ponsel dan mengeluarkan kartu apartemennya Kyei mengangkat kembali kepalanya dan mempercepat langkahnya.

Langkah kaki Kyei terhenti. Tubuhnya membeku kala jangkauan pandangnya menangkap seorang laki-laki berkaus hitam dengan topi hitam menutupi kepalanya berdiri di depan apartemennya. Laki-laki itu menekan-nekan bel interkom berkali-kali. Sesekali mengecek bel itu sebab meragukan apakah bel itu berfungsi dengan baik atau tidak, pasalnya sedari tadi tidak ada yang menyahuti.

Jemari mini Kyei secara perlahan meremas kartu apartemennya. Merasakan tenggorokannya yang kering sebab susah sekali menelan salivanya--bahkan Kyei berpikir salivanya mendadak berubah menjadi batu. Manik coklatnya masih menatap laki-laki itu. Pikirannya bercabang ke sana kemari, melempar tanya entah pada siapa dalam bisu.

Bajingan. Kyei mengatup kuat birainya, menghiraukan posisinya yang memang membutuhkan sekiranya lima belas langkah lagi menuju pintu apartemennya, Kyei memilih berbalik dan melangkah cepat. Tapi, mungkin langkahnya yang terdengar tergesa-gesa menyadarkan laki-laki tadi kalau ada seseorang selain dirinya di koridor itu. Katupan birai Kyei beralih menjadi gigitan kuat pada bibir bagian dalamnya saat laki-laki itu memanggil namanya.

"Kyei? Kyeisha?"

Kyei menutup rapat sejenak matanya saat suara itu mengalun memenuhi rungunya. Ia menekan cepat tombol lift di depannya, berharap kalau benda balok itu tidak menampung siapapun dan segera terbuka lebar untuknya.

"Kyei?"

Jari telunjuk Kyei semakin menekan brutal tombol lift itu. Sorotnya menajam seakan ingin mengeksekusi tombol lift itu dengan gila sebab benar-benar memperburuk keadaan. Ayolah, terbuka. Aku mohon. Dentingan lift berbunyi seiring dengan terbukanya pintu lift sedikit demi sedikit. Namun, belum lift itu terbuka setengahnya, sebuah jemari menekan tombol lain pada lift tersebut sehingga pintu itu kembali menutup.

Kyei menutup rapat matanya menahan amarah atau--entahlah, perasaan Kyei benar-benar campur aduk tidak karuan. Ia berbalik dan mendongak menatap laki-laki itu penuh emosi.

"Apa?!" pekik Kyei.

Laki-laki itu menguar senyum sebab presensi yang sedari tadi membelakanginya benar-benar sesuai dengan perkiraannya. Lengan berurat itu terangkat dan menyentuh kedua bahu Kyei. Tidak dipungkiri kalau tatapan yang dilempar oleh pemuda itu penuh curah bahagia dan kelegaan. Entah apa maksudnya, terlebih Kyei benar-benar muak setengah mati. Rasanya ingin Kyei membuka pintu lift dibelakangnya lalu menutup kembali setelah menyangga leher laki-laki di depannya ini. Peduli setan kalau kepala laki-laki itu putus atau bagaimana.

"Kyei, kau baik-baik saj--"

Belum sempat laki-laki itu melanjutkan ucapannya, telapak tangan milik Kyei sudah mendarat sempurna pada pipinya. Tidak peduli jika menimbulkan suara yang menggema sebab di lantai ini hanya dihuni oleh Kyei dan seorang wanita karir yang tadi sempat Kyei sapa. Tentu, sekarang hanya ada mereka berdua.

Mata laki-laki itu terpejam. Wah brengsek sekali malah tetap mengukir senyum. Seakan menikmati tamparan yang Kyei sendiri merasakan teramat kebas pada tangannya. Kyei tidak habis pikir dengan laki-laki ini, mentalnya kuat bukan main. Semakin menaikkan hasrat Kyei untuk segera menghilangkannya di muka bumi.

Tidak main-main, dentingan lift di belakang Kyei semakin menggejolakkan hasrat Kyei untuk membunuh laki-laki di depannya. Sebelum tangannya terangkat untuk menjambak rambut tebal laki-laki itu, suara yang sangat dikenalnya menginstrupsi. Terdengar semakin brengsek dan menajiskan dirungu Kyei.

"Bang Raga sudah sampai?"

--

Cahaya remang yang memenuhi dapur membuat suasana semakin tidak menyenangkan. Tiga manusia yang tengah duduk di balik meja makan itu seakan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Setelah menarik diri ke dalam apartemen untuk menghindari kekacauan kalau saja dilihat oleh tetangga--tidak ada perbincangan sama sekali. Keheningan nampak jelas berbanding terbalik dengan dua pikiran yang saling berselisih tidak tentu.

Bima yang merasa canggung akhirnya berdeham untuk memecah keheningan yang semakin mengental. Ia meletakkan tangannya di atas meja sembari melirik Raga yang tampak masih sibuk dengan pemikirannya. "Bang Raga kapan sampai?"

Raga mengerjab sebentar lalu melirik Bima. Ia berdeham dan merubah posisi duduknya agar lebih merasa nyaman. "Aku mendarat tadi pagi setelah itu langsung mencari kalian," jawabnya.

"Tidak ada gunanya kau mencari kami," sahut Kyei.

Memang tidak tahu malu. Kyei jengkel bukan main. Menatapnya saja Kyei enggan sekali, rasanya ia ingin muntah saja melihat presensi Raga di dalam rangkup pandangnya. Kalau saja mendorong orang dari lantai delapan tidak membuatnya masuk penjara, mungkin Kyei dengan senang hati dan berlapang dada melakukannya. Jika nanti keluarga Raga tiba-tiba menyosong pertanyaan padanya, Kyei bisa menjawab, 'Bukan begitu, Tante. Raga tidak sengaja tergelincir dan Kyei sudah berusaha membantu tapi tidak kuat.' Begitu lebih baik. Atau tidak Kyei menawarkan segelas kopi dan memasukkan kapur serangga sebagai pengganti gula. Demi Tuhan, Kyei muak sekali.

Seulas senyum tanpak bertengger rapi di birai tipis Raga, ia menatap lembut pada Kyei. "Ada, kok. Aku mendengar penyakitmu kambuh, jadi aku sangat khawatir."

Wah rasanya Kyei benar-benar ingin muntah sekarang. Kyei melirik tajam pada Bima yang kini meringis sembari menggaruk belakang telinganya. Kyei menghela napas lalu berkata, "Bim, masuk."

Bima menoleh. "Kak, tapi-"

"Masuk." Mau tak mau Bima mengangguk kecil lalu bangkit menuju kamarnya. Demi Tuhan, ia sama sekali tidak kuat jika harus menerima lebih lama lagi tatapan tajam Kyei. Sudah seperti hantu yang ujung matanya ditarik memanjang. Bima menutup pintunya pelan, tidak terlalu rapat. Ia juga sangat penasaran dengan perbincangan Kyei dan Raga.

Kyei berdeham, ia melirik Raga yang kini balas meliriknya. Tidak bisa terlalu lama sebab Kyei takut ia mendadak muntah. "Bagaimana kalau kita benar-benar berhenti? Maksudku benar-benar berhenti." Kyei kembali melirik Raga yang kini merubah sorot tatapnya menjadi-entahlah, Kyei tidak mau menjabarkan. "Kita tidak saling mengenal, kita tidak pernah punya hubungan, atau apapun itu. Aku tidak pernah bertemu denganmu dan kau--juga tidak pernah bertemu denganku. Hentikan semua hal menjijikkan ini."

Sebelum Raga mengeluarkan suara, Kyei cepat-cepat memotong. "Aku sudah memaafkan semuanya. Tenang saja. Jadi, berhentilah seperti ini." Suara Kyei sedikit memelan di akhir kalimatnya. Ia pun masih seperti tadi, bingung sendiri dengan apa yang dirasakannya walau memang kentara rasa benci.

Raga menghela napas, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Kyei. Menatap gadis itu untuk memberi atensi penuh padanya walau ia sendiri tahu itu mustahil. Raga tahu betul bagaimana Kyei membencinya bukan main. "Tapi, kau kata saat itu kita bisa berteman. Dan aku ke sini untuk melihat temanku yang sakit."

"Bodoh sekali." Kyei mendengus, "Otakmu tidak dipakai apa bagaimana sampai tidak bisa membedakan mana basa-basi atau ucapan asli?"

Lagi-lagi sebelum Raga kembali bersuara Kyei memotong. Ia ingin percakapan ini cepat selesai dan manusia brengsek di depannya segera lenyap dari pandangannya. "Sudah, Ga. Kembalilah ke Indonesia. Dia membutuhkanmu."

Raga diam tidak menggubris. Ia sendiri tidak sanggup untuk bergerak atau membuka suara setelah mendengar kalimat terakhir dari Kyei. Benar-benar menusuk jantungnya hingga Raga tidak yakin jantungnya akan baik-baik saja.

"Pergi, Ga. Aku muak."

Raga masih tidak berkutik, ia setidaknya bisa mendongak menatap Kyei yang kini sudah bangkit dari duduknya. "Raga, pergilah." Ah, Raga rindu dipanggil seperti itu oleh Kyei. Sudah lama sekali.

"Pergi, brengsek!!" pekik Kyei akhirnya saat Raga benar-benar tidak mendengar. "Kau tidak pernah mendengarkan, ya?!"

Jiwa Raga yang tadinya sempat melayang-layang langsung masuk secara paksa ke raganya. Seiring setelah teriakan itu Bima keluar dari kamarnya diikuti suara pintu yang dibuka kasar. Bima memang merasa bersalah sebab memberitahu Raga kalau baru-baru ini penyakit Kyei kumat. Pun ia menyetujui keputusan Raga untuk mengikuti mereka ke Korea.

Bima sendiri tau bagaimana manisnya hubungan Kyei dan Raga dulu, bahkan sampai mereka selesai dan saling memaafkanpun Bima tahu. Dan dia ingin membuat mereka berhubungan baik kembali--bukan, bukan untuk menghancurkan hubungan Kyei dengan Yoongi. Tapi, memang ingin mereka berteman saja. Tidak enak juga Bima melihat hal yang dulunya sangat manis menjadi pahit sekali.

Kyei melangkah menjauh. Ia tidak bisa lama-lama di posisi ini. Kepalanya mulai mengulang kembali masa-masa dimana ia tenggelam ke dalam relung rasa sakit yang ia tidak bisa tanggung. Tapi, langkahnya terhenti oleh Bima. Kyei menatap Bima datar. "Usir dia."

Bima menggeleng dan memasang muka memelas. "Kak, biar Bang Raga di sini dulu sampai menemukan hotel."

Kyei berdecih tidak suka. "Dia bisa mencari hotel mulai detik ini," jawabnya terdengar sangat tidak peduli. Namun, melihat Bima yang masih memasang wajah memelas, Kyei memalingkan wajahnya. "Aku tidak mau Yoongi salah paham dengan keberadaan si brengsek itu. Aku menyayangi Yoongi setengah mati."

"Tapi Kak, bukan begitu, maksudku hanya sehari--"

"Aku mencintai Yoongi." Hanya dengan kalimat itu Bima paham sekali. Tapi, ah. Bima sendiri jadi bingung.

"Kalau kau cinta, kau pasti mengatakan mengenai penyakitmu pada Yoongi-hyung. Sekali ini saja. Dia juga sibuk bekerja dan kau--"

"Bim! cukup!"

--

Gantung ga nih? WKWKWK

Nah, akhirnya si mantan muncul.

Jadi, sudah ada yang bisa nebak mana konflik sama pra-konfliknya? Ayo dong, jelasin menurut kalian.


Sampai berjumpa minggu depan~

Continue Reading

You'll Also Like

23.2K 2K 50
"Kita baru menikah dua bulan, bagaimana mungkin kau bisa hamil secepat ini, Y/n?" -Yoongi- "Bukankah seharusnya kita bahagia? di luar sana, banyak pa...
144K 10.3K 43
Min Yoongi seorang pewaris dari orang tua kaya raya yang selalu sibuk mengurus perusahaan sehingga yoongi tumbuh dengan kurang kasih sayang. Yoongi t...
1.9M 178K 126
Kamu pikir dating sama suga itu enak? emang ena sih ( ͡° ͜ʖ ͡°) Note: gak selamanya Suga itu swag ?
170K 25.2K 31
[Pengidap penyakit UWUPHOBIA dilarang mendekat!! kalo ngelanggar tanggung sendiri akibatnya] ✌️ .. Skripsi...