Better With You [VENAL]

By Velova95

44.5K 4.4K 1.3K

18+ Akan ku penuhi seluruh sarafmu dengan kenikmatan hingga kita menegang dan terbakar hangus.. Kita akan ter... More

#1
2. FIGHT
3. GAME
4. MY FIRST KISS
5. SIAPA DI HATIMU?
6. THE PERFECT BASTARD
7. TIDUR BARENG
8. LOVE ME YA
9. DILUAR NALAR
10. DIMENSI LAIN
11. CREEPYPASTA
12. TESTPACK
13. SEBUJUR BANGKAI
15. MELAMAR?
16. DRAMA QUEEN
17. BAD LIAR
18. WANITA PILIHAN
19. LOSING MY MIND
20.
21. KAMU DAN KAMU

14. SECRET ADMIRER

855 170 48
By Velova95

Kantin sekolah sedikit ricuh, sorakan tak tertahankan dari segala penjuru. Tertuju pada meja Keynal yang merasa sedikit terganggu akan hal itu.

Jadi Keynal memutuskan untuk pindah ke gudang belakang sekolah, yang kini jadi markas mereka untuk sementara waktu. Sekolah ini terletak pada perbatasan kota dan hutan. Tidak terpencil, namun sangat asri.

Sial, tuh guru terus berceloteh, soal angka—angka pembentuk aljabar yang aneh. Ngebosenin!

Gerutu yang paling tua diantara KFC cs, Maul, yang memukul samsak tinju yang ada di depannya, dengan membabi buta. Melampiaskan amarah dan semua beban dalam hatinya lewat samsak seperti ini adalah hobinya.

Sementara Keynal dan ke—3 temannya Ebby, Vino dan Nabil hanya diam mematung. Menyaksikan Maul sembari duduk di bawah lantai kotor tanpa alas.

Udahlah bro, selow ini. Seenggaknya, lo, cuma harus ikut pelajaran, sebelum ujian sekolah.”

Dengar ya, tuan Eby, ahli otak yang terhormat. Gue lebih bahagia tidur di atap sekolah, daripada dengarin rengekan radio butut mr. Jaelani.”

Ebby hendak menyela, sebelum Vino menghentikan niatnya, dengan memamerkan jam tangan baru di depan wajahnya. Hidung Ebby sedikit membesit tak nyaman, akibat gesekan yang dilakukan Vino dengan wajahnya.

Widiiih, keren tuh, beli di pasar loak ya? Nabil hendak memperawani arloji berwarna putih mengkilap itu.

Vino dengan sigap menepis tangan Nabil jauh—jauh. Najis, jangan pegang—pegang, tangan lo kotor, habis ngupil ‘kan lo?!

Dih, medit amat lo, jadi human! Dasar kecoak alaska.”

Bodo. Ketimbang lo, beruk wakanda!

Mana? Coba sini gue liat! Maul membegal jam tangan itu dari tangan Vino. Hmmm, kok gua mencium aroma—aroma betina. Jam tangan ibu—ibu kost mana yang lu colong Vin?

Matamu, ini pemberian calon bini, hehehe!

Calon bini? Ebby menatap Vino dengan angkatan di alis, berimplikasi tanya—tanya. Maksud lo, Shani?

Yoi.” Maul, dan Nabil memutar bola matanya malas.

Sementara Keynal memberi konverensi begitu cepat. Membuat mata elangnya sedikit redup dan penuh sesal di dada. Omong—kosong telah menyita waktunya sepersekian menit.

Ebby memijit pangkal hidungnya, dan sesekali ia menguap dengan sisa susu kotak yang hampir kosong. Mata onyxnya menatap Keynal yang terpejam sedikit lelah.

Apa dia benar—benar bilang begitu?

Maul mengangguk selepas menenggak air mineralnya habis. Lalu sedikit mengingat topik pembicaraannya dengan Keynal di kelas tadi. Yah. Riki kembali nantangin elo, Key. Dia kirim pesan ke gue, semalam via imbox, katanya kita harus menemui mereka.”

Alis Vino menyatu. Tunggu dulu, imbox? Lu punya Fb, Ul?

Maul mengangguk. Hhmmm.”

Eee, wakwaw! Nabil tertawa terbahak—bahak.

Keynal yang menyimak hanya mengangkat bahu, sebelum beranjak dari tempatnya. Malas menanggapi tantangan Riki Cs. Jelas—jelas dirinyalah akan yang keluar sebagai pemenang.

Woi Nal, lo mau kemana? Kita belum selesai ngomong! Keynal tetap melangkah maju. Tunggu, Key! Mereka punya penawaran khusus. Kalo lo menang, mobil Riko akan jadi milik lo.”

Maul menyeringai penuh makna tersirat, melihat Keynal membeku di tempatnya. Bahkan teman—temannya juga menganga tak bersuara, tergugu di tempat masing—masing.

Ya, Maul tahu, sudah cukup lama Keynal menginginkan kendaraan roda empat. namun orang tuanya tidak mengizinkan Keynal untuk membelinya.

Ayahnya hanya berjanji akan mengabulkan permintaan itu, jika Keynal bisa menjadi ranking 1 di sekolah. Tapi Keynal sadar, mustahil baginya meraih gelar tersebut. Sementara nilainya selalu dibawah KKM.

Terlebih lagi posisi itu sudah diisi Naomi, kekasihnya. Naomi lebih membutuhkan posisi tersebut untuk kelangsungan beasiswanya.

Keynal memilih bungkam, menatap Maul sekilas sebelum berbalik dia bicara pada Ebby. Kita pulang, gue udah lapar.”

Maul melempar ransel milik Keynal. persetan perihal sopan santun. la adalah tetua disini. Kalian duluan aja, gue mau jalan—jalan sebentar.” Keynal menangkap tas hitamnya dengan tangan kiri.

Ke mall? Alis Ebby terangkat sebelah.

Maul menggeleng cepat. Gak, gue masih mau disini.” Keynal keluar meninggalkan rekan—rekannya yang masih bertapa di dalam gudang.

Sebenarnya apa yang lo cari di sini? Udah 2019, lo, masih aja jomblo.”

Braaak!

Maul menggebrak meja usang di sampingnya kasar, hingga menciptakan suara dentuman keras. Eh ayam, ayam.” Nabil sampai tak sengaja buang angin karena penyakit latahnya.

Eh, suek lu, ogut sampe kaget, fucek you!

Firasat buruk menerpa Maul, terlebih ketika hidungnya mencium bau busuk yang cukup menyengat. Anjir lo Bil. Kentut ga bilang—bilang.” Maul menutup hidungnya kesal. Dia mengepak—ngepakan tangannya, mengusir bebauan yang beraroma seperti kemenyan bercampur telur busuk.

Ebby yang diam saja akhirnya bangkit, pemuda itu menghempas tiap debu yang tidak sopan menempel pada kain celananya. Sedikit membesit lantaran hidungnya gatal.

Untung, lo ga kentut pas kena kepala gue.”  Ebby menyumbat lubang hidung dengan seragamnya sekaligus mengibas—ngibaskan tangannya. Berharap aroma gas alam itu segera lenyap.

Kentut lo bau bangke. Lo, makan apaan tadi pagi?! Rasa mual perlahan mulai mengaduk—aduk perut Vino.

Bau busuk seolah merangsang otot lambungnya untuk berkontraksi. Ueeekk! Vino melompat ke pintu belakang. Memuntahkan isi perutnya di tanah lapang dengan muka pucat.

○●○●

Suara derum motor menggema memasuki halaman rumah yang besar. Keynal menyetandard motor sportnya di garasi. Lalu membuka pengait helm yang dia pakai, dan melepasnya.

Pemuda itu duduk di tepian teras, guna membuka sepatu hitam bercorak putih kesayangan. Converse, adalah sepatu sejuta umat. Keynal menaruh sepatu itu di rak yang tersedia.

Keynal masuk ke dalam rumahnya yang semegah istana. Dia melangkah melalui pintu samping yang langsung terhubung dengan ruang makan juga dapur.

Seketika itu, indra penciumannya seperti mendapat rangsangan yang memikat. Aroma bawang goreng menyeruak begitu pekat, perang antara spatula dengan wajan menambah suasana ramai.

Keynal mencari sumber aroma lezat yang membuat perutnya berdemo. Dengan insting penciuman yang tajam langkah kakinya membawa Keynal semakin masuk ke dapur.

Di atas meja makan, telah tersedia beberapa hidangan seperti nasi goreng dan omelet. Air liur Keynal menetes kala mencium aroma telur dadar yang menggelitik hidung. Perutnya merintih lapar.

Keynal mencubit sedikit omelet favoritnya itu, lalu mendadak seseorang memukul tangannya. Hingga Keynal tidak jadi mengambil omelet tersebut.

Masuk tidak salam,” kata Lilis berkacak pinggang sembari geleng—geleng kepala.

Ibunya meletakan capcay yang baru selesai dimasak di atas meja makan. Assalamualaikum, Mamihku tercinta,” Keynal berucap dengan cengiran di wajah kasualnya.

Lilis mendengkus sebal. Waalaikumsalam putraku yang jorok ini. Main comot aja, padahal belom cuci tangan.”

Keynal hanya cengengesan. Laper Mih,” Dia mengusap perutnya itu, seakan—akan tidak makan selama tiga hari.

Iya—iya aku cuci tangan dulu.” Keynal membalikan badan berjalan malas, menuju wastafel setelah mendapat tatapan membunuh dari sang ibu.

Selepas itu Keynal menarik kursi paling tengah dan bersiap siaga mengambil omelet kesayangannya. Lilis hanya menggeleng pelan seraya tersenyum simpul, melihat tingkah putra bungsunya yang kini telah beranjak dewasa.

Bahagianya seorang ibu memang sederhana. Lilis menuangkan air bening untuk putranya minum, sembari menarik kursi di depan Keynal untuk dirinya duduk.

Tanpa ba—bi—bu, Keynal mengambil sendok dan mulai memotong omeletnya. Terlihat uap mengepul begitu benda kuning itu terpotong. Selang beberapa detik, Keynal memasukkan potongan itu ke dalam mulutnya.

Keynal mengecap lidahnya, citarasa telur beradu dengan berbagai rempah di dalamnya. Rasa gurih potongan sosis berperang dengan lembutnya keju mozzarella yang lumer di mulut. Serta irisan bawang putih yang mampu memberikan sensasi wangi yang khas pada masakan, semakin memperkaya rasa.

○●○●

Jum’at petang seusai melaksanakan acara kerja bakti, bersama membersihkan dan menata lingkungan sekitar rumah. Keynal tampak sibuk dengan memberi pakan Suki, kucing persia yang menjadi sahabatnya.

Suki, ras kucing domestik berbulu panjang, dengan karakter wajah bulat dan moncong pendek. Veranda tersenyum memperhatikan Keynal yang terlihat telaten, membersikan bulu kucing gendut itu dengan cairan khusus agar terhindar dari kuman dan bakteri.

Hari ini Suki pulang babak belur, sehabis tawuran dengan kucing oren di seberang kompleks. Setelah dibersihkan, bulu Suki kelihatan bersih berkilauan dan wangi sabun beraroma buah segar.

Suk, besok diet ya, lo udah obesitas ini! Keynal mengelus acak perut si Suki, dan sesekali menggelitik perut buncit milik kucing tersebut.

Suk, besok—besok lu nikah ya, ntar gue cariin penjantan di kompleks tetangga, biar lo gak stress.” Kucing itu mengeong lembut, mencakar—cakar manja, lalu menggigiti jari—jemari Keynal.

Sementara di depan sana, Veranda tengah berjongkok, semangat memetik beberapa tangkai bunga Dandelion di atas hamparan rumput yang tertata rapi di kebun belakang rumahnya.

Keynal ujug—ujug menghampiri Veranda, dan memetik sepuncuk bunga Dandelion dengan kasar. Hingga benih—benih bunganya berguguran di tanah. Lo, suka bunga jelek ini? Keynal memang urakan, sedikit cuek dari caranya berbicara dan berpakaian.

Veranda membesarkan matanya, dengan nada tinggi gadis cantik itu berkata, iya, ini bunga kesukaan gue. Dan lo, berhenti buat ngerusaknya.” Dia tak habis pikir, ada orang sekasar Keynal dalam memetik bunga.

Keynal yang tengah meniup bunga di tangannya lantas bertanya, kenapa?

Karena amarhumah nenek pernah bilang, ‘benih Dandelion yang ditiup akan membawa semua harapan kita ke surga’.” Veranda tersenyum secantik musim panas, dan lebih terang dari jutaan bintang di atas antariksa.

Dia berkata dengan binar—binar kecil di matanya yang tampak seperti karamel. Lo, tau Nal? Bunga Dandelion memang tidak secantik mawar, dia tidak seindah lili, tidak seabadi edelweiss, tidak pula memiliki mahkota, bahkan dia juga tak sewangi melati. Dandelion ini hanyalah bunga sederhana dengan kuntum bunga se—ringan kapas, berwarna putih.”

Mereka bertahan hidup diantara semak belukar di padang rumput, tebing tinggi, daerah pegunungan, di sela—sela batu. Atau bahkan ditempat—tempat yang sulit terjamah oleh manusia. Sehingga dinilai kurang berharga.”

Keynal hanya terpaku mendengarkan perkataan Veranda. Sementara itu di atas langit sinar senja semakin mengindahkan wajah Veranda.

Dia emang berbeda, pikir Keynal seraya tersenyum.

Gatau kenapa, gue suka bunga ini,” seru Veranda sembari terus menatap tangkai bunga Dandelion di tangannya. Bunga ini juga sangat cantik menurut gue. Cuma kelihatannya aja rapuh, tapi punya benih pemberani.”

Pemberani?

lya, benih bunga ini  berani. Walaupun kecil dia berani terbang seorang diri, hanya mengandalkan angin yang menyeretnya entah kemana.”

Memetiknya pun gak boleh sembarangan, harus nutup mata, lalu curahkan isi hati lo dan buatlah permohonan di depan bunga ini. Baru sesudah itu benih—benih yang lo tiup, akan berterbangan hingga ke langit, dan Tuhan akan mengabulkan permohonan kita.”

Bunga inilah yang selalu mendengarkan curhatan hati gue dan menyampaikannya pada seseorang. Berharap dia akan baik—baik saja dan selalu bahagia. Walau gue tau, dia gak pernah anggap gue ada.” Veranda tersenyum miris.

Entah kenapa, saat dia mengucapkan itu ada gelenyar aneh turut menusuk sanubarinya. Keynal berdehem pelan demi menghilangkan ketegangan yang mengelilingi keduanya.

Kata—kata Veranda barusan menyusup lewat pori—pori pikiran, hingga sampai meremas relung hatinya yang terdalam. Tadi, gue belum minta permohonan.”

Keynal meringis penuh sesal melihat raut wajah Veranda berubah murung mungkin masih kesal dengan Keynal yang menggugurkan bunga kesayangan, namun Veranda terlihat lucu dimata Keynal.

Sekarang aja lagi,” saran Veranda kemudian tersenyum sabar.

Keynal kembali bertanya, emang, boleh?

Veranda mengangguk setuju. Tentu.” Keynal bergerak memetik satu tangkai kecil bunga Dandelion yang dirawat Veranda.

Sebelum meniupnya, Keynal menutup mata sesaat, untuk meminta permohonan. Entah apa yang dibicarakan Keynal pada bunga itu. Jelas Veranda tak dapat mendengarnya dan hanya menerka—nerka dari gerakan bibir adiknya.

Keynal meniup bunga Dandelion di tangannya. Dan semua kelopaknya berterbangan, hanya satu yang masih tersisa. Menempel erat di tangkainya, lalu Keynal meniupnya sekali lagi.

Maka terbanglah benih pemberani itu menyusul saudara—saudara yang lebih dulu lenyap, ditelan angin muson yang bergerak ke arah barat. Membawa serta permohonan Keynal untuk segera dikabulkan.

Apa permohonan lo barusan? Veranda bertanya dengan penuh harap.

Kepo, yang jelas, ra—ha—sia.”

Jahat! kata Veranda pelan. Keynal terkekeh geli melihat sikap anak kecil kakaknya.

Veranda yang melihat Keynal tersenyum manis lantas senyum itu tertular padanya. Dia pun segera melakukan hal sama seperti yang Keynal lakukan.

Terima kasih, telah mendengarkanku Tuhan. Dengan melihatnya saja, itu sudah cukup membuatku bahagia. Terima kasih, telah memenuhi keinginanku. Semoga dia terus seperti ini.

Veranda pun menghembuskan napas meniup benih bunga Dandelionnya itu. Lalu tersenyum ketika melihat benih—benih itu, berterbangan menjelajahi langit  jingga.

Di tengah taman belakang rumah. Di sana ada sebuah kursi kayu, satu dudukan beralas busa tebal dilapisi kain batik dan satu lagi terdapat dua dudukan untuk dua orang.

Veranda dan Keynal duduk saling berpandangan mata. Di tengah—tengah mereka terdapat meja bundar terbuat dari kaca tebal, berdiameter 60 cm. Tak lama kemudia ibu mereka datang membawakan minuman juga makanan.


Saat ini di atas meja tersaji dua cangkir teh mint kesukaan Veranda. Uapnya masih mengepul dan menguarkan harum khas daun mint yang baru dipetik. Tak lupa beberapa bungkus snack cheetos jagung bakar dan chitato rasa sapi panggang.

Meylisa, atau Mami Lilis selalu punya banyak stok makanan untuk disuguhkan. Berbincang ringan sembari menikmati cemilan adalah paduan yang sempurna.

Hawa hangat dari api unggun membuat tubuh Keynal merasa rileks. Dan Veranda bisa menghirup wangi kayu pinus dan mahogany yang tumbuh bersisian di depan tembok, pembatas pekarangan belakang rumah.

Rumah mereka tipe—tipe hunian ramah lingkungan, aroma kayu pernis dimana—mana berpadu dengan aroma alam. Biasanya Veranda bisa lebih lama duduk disana, sembari membaca majalah fashion atau berselancar ke dunia maya.

Hari ini, Veranda dan Keynal habiskan untuk bercerita tentang segala hal. Diselingi dengan candaan absurd Keynal untuk sekian lamanya.

Veranda tidak menyangka, akan bisa sedekat ini dengan Keynal. Jujur Veranda sangat merindukan sosok Keynal yang seperti ini. Dan mereka berdua tidak tahu, takdir apa yang akan mereka temui setelah ini.

○●○●

Veranda POV

Aku memandangi lekat ukiran pintu kamar, menampilkan sesosok bidadari yang sedang memegang seikat bunga tulip dan beberapa peri kecil yang mengelilinginya.

Begitu pintu itu kubuka lebar—lebar, terhampar kamar dengan pencahayaan kuning temaram. Sudut pandangku lepas menembus kaca jendela nan jauh di sana.

Aku menutup pintu tanpa meninggalkan derit bunyi engsel besi. Kakiku melayang lepas, tidak ada apapun yang menghalangi pandanganku. Sofa biru tersusun rapi di sebelah ruang belajar yang ada di sayap kiri. Meja belajar terbuat dari kayu jati memanjang di sudut ruangan.

Sementara di depan sofa, tergantung televisi 42 inci yang terlihat kecil di ruang bersekat dengan interior minimalis ini. Langkah kakiku terbenam lembut ke dalam karpet biru yang melapisi kamar.

Entah kenapa, aku merasa tenang di sini apalagi saat hujan menyerang bumi. Meski sebenarnya ada kegelapan yang menghampiri, aku tahu jika aku tidak sendirian di dunia ini. Suara dan bau air hujan membuatku mengantuk. Rasanya dingin, tapi menyenangkan.

Aku melihat tumpukan bantal dari koleksiku keliling Indonesia, seraya menikmati lagu One Direction yang kuputar di komputerku. Aroma stroberi dan anggur menjadi saksi kebahagiaan ini.

Dekorasi cantik dan lembut, dilengkapi oleh suhu ruangan yang hangat saat malam hari. Musik pop mengalun pelan sebagai pengantar tidur. Aku tersenyum pelan menyaksikan bintang yang bermain dengan bulan guna mengusir hujan di luar sana.

Sayangnya bantal bulu—bulu selalu membuat hidungku gatal hingga membuatku bersin. Mau dibuang sayang, karena bantal ini yang sudah menjadi sahabat sejak aku lahir ke dunia ini.

Setelah sempat tertegun sekian detik dibawah kosen pintu, aku pun mantap melangkah menuju jendela depan menuju balkon.

Untukmu,
seseorang yang seperti matahari.
Cahayanya dekat tetapi menjangkaunya tampak begitu jauh.

     Aku jatuh hati padamu.

Mungkin ini hanya bias semata. Sebuah kesimpulan yang terlalu cepat dibuat. Tapi aku harap kau menerima cintaku. Terimalah cintaku ini dengan hidupmu yang beriak. Aku terlampau letih dalam kesunyian.

Aku berpikir, mungkin aku masih dalam keadaan bermimpi. Bermimpi mendapatkan surat cinta.

Mungkin karena sudah terlalu lelah menerima seluruh bunga, tanpa pesan yang kudapatkan dari laki—laki yang entah siapa di kampus. Hingga segala hal tersebut terbawa mimpi. Di sini, di mana aku menangkup secarik surat, di dalam ranselku.

Aku menggelengkan kepala dan mencoba memejamkan mata, lagi. Memaksa diri untuk tak banyak bergerak, merasakan alam bawah sadar yang belum aku tinggalkan, tapi gagal. Aku benar—benar sudah sadar.

Aku terduduk di atas kursi balkon, dengan satu pucuk surat biru pastel yang beraroma bunga mawar merah. Kukibaskan sekali lagi, dan surat itu tetap ada di sana.

Ini memang gila, batinku.

Aku berada di abad dua puluh satu dan di minggu terakhir bulan April seperti ini. Aku mendapatkan satu benda yang sudah hampir punah. Sebuah surat.

Aku bisa saja mengabaikannya, namun telanjur kembali membaca baris kalimat pertama yang digunakan sebagai pembuka. Kata—kata yang menggugah pertanyaan—pertanyaan lain kemudian muncul di kolase pikiranku.

Sepertinya aku pernah melihat tulisan ini tapi dimana ya? Aku lupa.

Lima belas menit berlalu. Aku duduk di depan laptop dengan tab google yang tertulis jelas alamat si pengirim, persis seperti yang tertera dalam surat ini. Aku harus menemui pengirim surat ini besok.

○●○●

Keesokan harinya aku benar—benar ke lokasi yang dituju oleh pengirim surat misterius itu. Semalam nomor asing menghubungiku dan mengirimkan pesan agar aku datang ke rumahnya.

Di hadapanku kini terbentang sebuah bangunan yang sangat megah, dengan lantai yang tampaknya tak pernah disapu berbulan—bulan.

Beberapa kursi kayu yang berserakan nampak lapuk busuk, sebab terkena bocoran air hujan di beberapa titik. Tempat ini mengingatkan aku pada makam nenekku di desa.

Ada dua buah jendela panjang menghadap ke teras, dan dua jendela pada setiap sisi kiri dinding. Sebagian besar kaca jendela itu sudah pecah. Disisi kanan dinding yang terkelupas terdiri dari satu jendela yang sudah rusak dan sia—sia.

Rumah kayu yang mudah lembab. Tulang yang ditusuk hawa dingin terasa mengerikan. Bernapas saja susah terhambat oleh oksigen yang terlanjur mengembun dan juga bau tanah yang tersiram air.

Langit mendung dengan kabut tebal, pertanda akan datang hujan. Aku bisa mendengar dengan jelas suara angin dan suara—suara alami alam lainnya.

Pemandangan indah dan suram dalam waktu yang bersamaan, sangat cantik juga berbahaya. Suara gesekan antar pohon menambah suasana tenang, namun mencekam.

Tak semua orang suka mendengar sesuatu yang bergesek seperti bayangan, termasuk aku. Angin ribut berhembus kencang dari arah tidur bumi bagian barat, menerpa kulitku hingga tengkorak belakang. Bisikan angin seakan menyuruhku untuk menjauh.

Semilir angin menggigit tubuhku yang mulai terasa mengkerut. Aku pun menghirup bau amis yang seperti bangkai hewan dari dalam rumah itu. Dengan perasaaan waswas perlahan kudorong pintu itu dan masuk ke dalamnya.

Kumpulan lumut hijau semakin jelas terlihat. Rumah yang besar dan megah walau ini tidak membuatku terkesan. Warna tembok yang serba hitam dan juga pudar. Tiap langkah, napas semakin tertahan, kaki semakin berat, dan tenggorokanku semakin kering.

Suara decit lantai kayu yang kuinjak ini membuat bulu tengkuk meremang. Seketika itu tubuhku terasa lemas, tatkala ada satu sosok bayangan melintas cepat di depan pintu yang mendadak tertutup dengan sendirinya.

Keringat mulai membajiri sekujur tubuh. Kedua lututku seakan tak bertenaga, dengan bibir terkunci rapat. Susah payah kutelan ludah, sesuatu menyumbat tenggorokan.

Hingga aku benar—benar kehilangan kesadaran. Seseorang menangkap tubuhku sebelum aku terhampar ke lantai.

🎬 05 Juni 2020

Continue Reading

You'll Also Like

3.7M 222K 59
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
9.7K 1.1K 9
Yakin cuman temen? Yakin cuman sahabatan? Yakin dia baik-baik saja saat kau jalan dengan pacarmu? Mungkin kau anggap dia sahabat, tapi dia menganggap...
68.4K 7.3K 28
Dia yang mencari teman, cinta, dan keluarga. Bisakah dia menemukan ketiganya? Start : Wed, Feb 17, 2021
1.8M 87.1K 60
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Kita emang nggak pernah kenal, tapi kehidupan yang Lo kasih ke gue sangat berarti neyra Gea denandra ' ~zea~ _____________...