Karena-Nya, Dengan Perantara...

By NurlatifahSyifa

2.9K 98 5

Cahaya terang itu yang menuntunku keluar dari kegelapan. Kegelapan yang sudah lama melingkupi hatiku. Walau t... More

Aku Percaya
LDR (lagi?)
Katakan!
Mengagumimu Dari Jauh
Kisahku
Pergi!
Melukis Senja

Kunci Hati

154 10 0
By NurlatifahSyifa

Bantu cek typo yaa
Happy reading ❤️

Seorang laki-laki yang memakai kaos polos berwarna hijau army dengan celana bahan berwarna hitam keluar dari sebuah rumah kontrakan. Pandangan matanya fokus menatap benda pipih di tangannya, hanya sebentar untuk melihat notifikasi pesan masuk dari operator lalu memasukannya ke dalam saku celana. Kegiatan memakai sepatunya terhenti saat Daffa menepuk bahunya pelan, meminta perhatian dari Azlan.

"Mau kemana lo?" mata Daffa memperhatikan Azlan dari atas hingga bawah sambil ikut mendudukkan diri di bangku panjang yang terbuat dari bambu, mereka duduk bersebelahan.

Azlan mengikat tali sepatu kanan miliknya yang kini sudah terpasang, menoleh ke arah Daffa sebentar lalu kembali fokus memakai sepatu sebelah kiri. "Biasa,"

Mulut Daffa membulat sambil mengangguk mengerti. "Eh, si Bima mana? Curang banget dia malah pergi subuh, padahal hari ini jadwal dia nyiapin sarapan."

Suara kekehan Azlan mengudara, merasa lucu mendengar gerutuan Daffa karena teman mereka yang satu lagi seakan melarikan diri dari tanggung jawab untuk menyiapkan sarapan mereka pagi ini. Kalau Azlan sendiri tidak masalah walaupun ia tidak sarapan, karena memang ia jarang sekali sarapan. Dan karena hal itu membuat Umi Nadia semakin khawatir akan kesehatan Azlan.

"Oh iya, kemarin lo pulang kan?" Azlan mengangguk, menegakkan badannya karena kini kedua kakinya sudah terbalut sepatu. Senyum Daffa mengembang lebar, "Umi bawain makanan gak?"

Kali ini Azlan benar-benar tertawa melihat raut wajah Daffa yang seperti minta dikasihani. Selapaar itu kah dia? "Umi bawain ayam ungkep kemarin, tinggal goreng aja. Jangan males, nasinya udah mateng di rice cooker."

Seakan mendapat harta karun, senyum Daffa mengembang dengan kedua mata berbinar senang. "Alhamdulillah.. rezeki anak sholeh," Daffa mengangkat kedua tangannya lalu mengusapkan ke wajahnya penuh syukur. "makin cinta deh gue sama Umi."

Azlan berdiri sambil menggelengkan kepalanya pelan, speechless dengan tingkah sahabat karibnya yang kini sedang memandanginya dengan mata berkaca-kaca dan tangan yang ditangkupkan di depan dadanya. "Yaudah, gue berangkat. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati, bro."

Setelah itu terdengar suara klakson mobil Azlan, seakan membalas ucapan Daffa.

Azlan mendudukan dirinya di bangku taman fakultas, menghela napas pelan. Hari ini sangat melelahkan untuknya karena ia ada kelas dari pagi sampai jam setengah dua belas siang, hanya kosong satu jam lalu kembali masuk kelas sampai sekarang pukul empat sore. Waktu istirahatnya yang hanya satu jam tadi ia manfaatkan untuk pergi ke mushola lalu ke perpustakaan. Ia sedang berusaha menyelesaikan pendidikannya secepat mungkin.

Ia tadi juga sudah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Sebelum ke taman ia sudah terlebih dahulu pergi ke mushola untuk sholat ashar, lalu memilih taman fakultas untuk mencari udara segar. Beruntungnya ia karena kini taman fakultas sedang sepi, karena memang ini yang ia inginkan. Ketenangan.

Ransel miliknya ia letakkan tepat di samping tubuhnya, punggungnya bersandar dengan mata terpejam, berusaha mengusir rasa lelahnya hari ini. Suasana tenang taman tiba-tiba berubah saat sekelompok laki-laki menghampiri seorang wanita yang sedang membaca buku di bawah pohon.

Awalnya Azlan tidak terlalu peduli karena diantara mereka tidak ada yang ia kenal, namun karena mendengar suara laki-laki berkaos merah dengan balutan jaket kulit hitam itu meninggi ia jadi membuka kelopak matanya dengan tubuh ditegakkan. Matanya hanya memperhatikan dari tempatnya duduk, masih enggan ikut campur.

Wajah wanita yang menggunakan ghamis berwarna merah jambu itu memucat saat laki-laki yang tadi membentaknya mendekatkan wajah mereka lalu membisikkan sesuatu. Memang tidak terdengar, namun sepertinya itu adalah ancaman karena setelahnya wanita itu menggeleng seakan menolak permintaan tersebut.

Azlan bangkit dari duduknya saat tangan laki-laki itu mencengkram pipi sang wanita keras, sedangkan tiga orang laki-laki yang lain tertawa melihat wanita itu kesakitan. Dengan langkah pasti Azlan menghampiri mereka, merasa kalau ini sudah melebihi batas wajar dan ia juga termasuk dalam laki-laki yang tidak bisa melihat wanita menangis apalagi mendapat kekerasan dari kaum Adam. Ia sudah pernah bilang kan tentang hal itu?

Tanpa suara Azlan menarik tangan laki-laki yang sedang mencengkram pipi wanita itu hingga terlepas, membuat laki-laki itu menatapnya tak suka. Tanpa menghiraukan tatapan tak suka itu, Azlan memberi kode dengan lirikan mata kepada wanita itu untuk pergi. Namun wanita itu hanya menyingkir ke belakang tubuh Azlan, tidak berniat pergi.

"Siapa lo?" lelaki itu melepaskan tangannya dari Azlan, masih dengan tatapan mata tak suka.

Senyum Azlan mengembang, tangannya terulur ke arah lelaki tersebut, "Azlan Raffa Arkana."

"Aufa." Aufa menyebutkan namanya tanpa berniat membalas uluran tangan Azlan yang akhirnya menurunkan tangan kanannya.

Azlan mengangguk, lalu matanya memperhatikan tiga laki-laki lainnya dengan pandangan menilai. Baru saja ia ingin berkenalan dengan mereka, namun pertanyaan Aufa membuat mulutnya kembali terkatup.

"Ada urusan apa lo?" pertanyaan Aufa yang sarat akan nada tidak suka itu membuat Azlan kembali ingat tujuannya tadi.

"Saya cuma nggak suka aja liat ada laki-laki yang berlaku seenaknya sama perempuan."

"Emang lo siapanya Rissa? Nggak usah ikut campur urusan orang deh, urusin aja hidup lo, emang udah merasa yang paling bener, hah?"

Ucapan Aufa berhasil menohoknya. Ia tidak bermaksud ikut campur dengan urusan orang lain, tapi perlakuan Aufa pada perempuan yang ternyata bernama Rissa itu sungguh bertentangan dengan prinsipnya bahwa wanita tidak boleh diperlakukan dengan kasar.

Sejatinya, wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Ia harus dibimbing dengan lembut agar tidak patah namun jangan juga dibiarkan bengkok. Laki-laki yang baik pasti akan memperlakukan wanita dengan baik. Jika ia menyakiti wanita maka ia sama saja sudah menyakiti ibunya sendiri.

"Maaf jika kamu merasa saya terlalu ikut campur—"

"Itu lo nyadar,"

Azlan menarik napas dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan, " Saya tidak bermaksud ikut campur, saya cuma nggak suka sama cara kamu memperlakukan perempuan. Kalaupun kalian ada masalah, coba bicarakan baik-baik."

"Siapa lo bisa ngatur-ngatur gue? Ini hidup gue, jadi ya suka-suka gue lah."

Kini kesabaran Azlan sedang diuji. Ia berdo'a dalam hati agar ucapan yang akan ia keluarkan nanti bisa diterima oleh Aufa tanpa terkesan menggurui dan menyinggung Aufa. Sebisa mungkin ia tidak ingin memicu rasa benci tumbuh di dalam hati orang lain kepadanya.

"Kenapa? Nggak bisa jawab? Nggak usah sok suci lo!"

Azlan mengucap istighfar di dalam hati. Mengapa lelaki itu su'udzon sekali padanya? "Bukan saya yang nyuruh kamu dan teman-teman kamu berlaku baik, tapi Allah. Nggak cuma sama perempuan, tapi sama sesama muslim."

Mereka berdecak kesal, merasa tidak terima akan nasihat yang dilontarkan Azlan. "Udahlah, kuping gue panas lama-lama di sini." Aufa mengusap kasar telinganya lalu kini pandangan matanya kembali focus menatap Rissa yang masih setia berdiri di belakang tubuh tegap Azlan. "dan lo, lakuin apa yang gue suruh tadi. Kalau nggak ya siap-siap aja dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi."

Nada suara Aufa yang penuh penekanan membuat Rissa kembali merasakan jantungnya berdegup tidak normal, ia ketakutan. Setelah empat laki-laki itu pergi, barulah Azlan membalikkan tubuhnya menghadap Rissa yang masih menunduk takut.

"Terimakasih,"

Suaranya bergetar. Ancaman apa yang dilayangkan oleh Aufa kepada Rissa? Batin Azlan bertanya. Azlan tersenyum sambil mengangguk. Tidak mau terlihat sedang berdua dengan wanita bukan muhrim, Azlan langsung pamit. Ia rasa cukup sampai di sini ia menolong Rissa, Azlan tidak mau jika nanti timbul fitnah. Na'udzubillah.

Azlan membenarkan posisi tas ransel miliknya yang hanya ia sampirkan di bahu kanannya. Langkahnya menjauh menuju parkiran. Tidak menyadari bahwa ada seorang wanita yang terus menatap punggung lebarnya penuh kagum dengan senyum yang terukir.

Hari ini Azlan tidak ada jadwal kuliah, jadi ia memutuskan pulang untuk menemui ibu dan adik perempuannya. Lagipula ia sudah berjanji kepada Umi Nadia akan lebih sering pulang.

Mulut Azlan bergerak ikut menyenandungkan lagu yang terdengar dari radio mobilnya, sesekali jemarinya mengetuk setir mobil. Terlarut dalam alunan musik tersebut, Azlan tak sadar bahwa ada seorang perempuan yang berlari ke tengah jalan.

Kakinya langsung menginjak rem, terkejut dengan pemandangan di depannya. Seorang perempuan berjilbab merah maroon tiba-tiba berlari ke tengah jalan tanpa melihat kanan-kiri.

Azlan mengelus dada seraya mengucap istighfar. Rasa kesalnya perlahan hilang saat ia sadar bahwa perempuan itu telah menyelamatkan anak kucing berwarna putih yang hampir ia tabrak. Kalau perempuan itu tidak nekat untuk menyelamatkan kucing lucu tersebut mungkin kini ia sudah menabrak kucing tak berdosa itu. Karena memang tadi ia tidak terlalu memperhatikan jalan.

Sesaat Azlan tertegun melihat perempuan itu. Namun lamunannya buyar saat Amanda, perempuan nekat itu mengetuk kaca mobilnya tak sabaran.

"Heh, buka!"

Tak ingin membuat Amanda semakin kesal, Azlan membuka pintu mobilnya.

Kedua bola mata Amanda membulat sempurna, terkejut dengan pengendara mobil yang hampir saja menabrak kucing milik kakak sepupunya, Lisa.

Amanda tadi sedang bermain bersama Aiza dan Haifa--anak kakak sepupunya-- dengan kucing peliharaan Lisa. Namun tiba-tiba anak kucing berwarna putih itu berlari ke tengah jalan, membuat Amanda mengikuti dan mengambil tindakan untuk menolong tanpa melihat kanan-kiri. Untung saja jalanan sedang lengang.

"Lo lagi!" Amanda refleks menunjuk Azlan tepat di depan wajahnya saat laki-laki tersebut membuka pintu mobilnya.

"Maaf," entah mengapa hanya kata itu yang keluar dari mulut Azlan. Padahal ia sendiri tidak tahu kesalahannya.

Amanda melengos, "maaf, maaf, Lo tau gak sih kalau Lo itu hampir aja nabrak Mely?"

Sekarang Azlan menjadi serba salah. Kenapa jadi dia yang disalahkan? Bukannya Amanda yang salah karena tidak melihat kanan-kiri?

"Heh! Ngapain bengong? Nggak mau tanggung jawab ya, Lo!"

"Kamu mau saya tanggung jawab?"

"Iyalah! Pake nanya lagi." Tangan Amanda masih betah menggendong kucing yang bernama Mely dengan sesekali mengelus kepalanya.

"Yasudah, besok saya datang ke rumah kamu dengan keluarga saya."



Assalamu'alaikum semuanya..
Maaf banget, akhir-akhir ini waktuku untuk nulis agak terganggu karena persiapan untuk tahun ajaran baru yang menurutku sedikit riweuh hehe..

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar nya jika berkenan🙏☺️

Continue Reading

You'll Also Like

14.4K 1.2K 28
Allah says in the Quran : ── "Women of purity are for men of purity, and men of purity are for women of purity" - This is the story of a girl named f...
4.1K 146 10
- He is the eldest She is the youngest - He is mature She is immature - He is ice cold She is jolly | •Aaliya Idrees (18 years) The youngest chi...
8.1M 343K 52
"I hope you realize you made the worst f**king decision of your life." She could feel his cold icy blue eyes piercing through her soul. "I didn't as...
938K 39.4K 59