War of Asgares Land

Por BlindTyper

877 42 15

Pohon Yggdrassil hanya ada dalam mitos, dimana siapapun yang memakan buahnya dapat berubah dari mortal menjad... Más

Prakata
Prolog
Chapter 2 - Udik di Urban
Chapter 3 - Orang aneh di dalam hutan
Chapter 4 - Perjalanan ke Ibukota

Chapter 1 - Tunas

404 11 11
Por BlindTyper

Seorang lelaki tinggi kurus dengan wajah keras dan kumis tebal di wajahnya menjejakkan kakinya di pelabuhan Duman yang terletak di pulau di seberang pelabuhan Besteban.

Tatkala benua Asgares sedang dilanda perang, desa nelayan ini tetap tidak tersentuh kekotoran dunia ramai dan kehidupan di sini berjalan apa adanya. Bahkan hampir tak ada orang yang tahu bahwa ada desa bernama Duman di sini.

Bila dari pelabuhan, berjalanlah lurus hingga menemukan sebuah lapangan, di sana adalah bagian tengah desa. Biasanya di lapangan tersebut setiap saat akan digunakan para pemuda untuk berolahraga, dan bocah-bocah kecil berlarian di tepiannya. Pada malam hari beberapa anak muda membuat api unggun untuk berkumpul dan bergurau di sana sambil menunggu turnamen gulat yang akan diadakan seminggu sekali.

Ini adalah kunjungan pertama Damascus ke Duman. Dari lapangan tersebut, ia berbelok ke arah kiri dan sampai pada sebuah rumah yang didirikan diatas panggung yang menjorok ke laut. Damascus mengetuk rumah bambu yang nyaris tak berdinding itu.

Ia tak perlu mengucapkan salam untuk membuat seisi rumah menyadari kedatangannya.

"Oh, rupanya Pak Kapten yang datang!" sapa seorang wanita dengan ramah.

"Lama tidak berjumpa, Sersan," kata Damascus.

Wanita itu tersipu, "hari itu sudah lama berlalu, Kapten. Tapi ... selamat datang. Aku tak percaya anda sungguh-sungguh datang untuk menengok kami."

Mereka berdua berpelukan seperti saudara yang sudah lama tidak bertemu.

"Bagaimana kabar Gideon?" tanya Damascus.

"Ia sedang memancing bersama kakaknya di laut. Seorang pelaut selalu melaut," jawab Laya.

"Aku senang dia kembali melaut lagi," kata Damascus.

Laya mempersilahkan tamunya untuk duduk dan menyuruh seorang anak perempuan untuk menghidangkan makanan dan minuman ringan.

Damascus menikmati siang ini, rambutnya yang bergelombang berwarna keabuan itu berkibar tertiup angin pantai yang cukup kencang dan hangat. "Duman memang santai... tak heran Gideon memilih kembali kemari."

"Tapi harus kuakui, aku rindu Ortarica."

"Dracke titip salam untukmu."

"Aku harap dia baik-baik saja setelah kematian putranya."

"Apa yang tampak darinya memang baik-baik saja, tapi seperti biasa, kita tidak pernah tahu apa yang dia sembunyikan. Bila aku sendiri, kehilangan seorang anak seperti itu, tidak akan cukup satu atau dua tahun untuk melupakannya."

"Dracke sangat fokus, itu sebabnya anda sangat percaya padanya, bukan, Kapten?"

"Begitulah. Kuharap anakmu sehat," Damascus melirik bagian perut Laya yang sudah jelas terlihat mengembung.

Laya tersenyum sambil mengusap perutnya, "menurut bidan, ia akan lahir pada awal bulan april nanti..."

Damascus tersadar bahwa kawan lamanya itu tengah mengandung. "Gideon junior? Atau Laya kecil?"

Laya tertawa kecil, "menurut bidan, ia lelaki."

Damascus tersenyum kalem, "aku senang kau punya hidup yang sangat wajar disini ..."

Laya terlalu mengenal mantan kaptennya untuk menyadari ada sesuatu yang sedang mengusik lelaki itu, "apakah ada masalah besar di ibukota?"

"Kita harus merayakan kehadiran masalah, tanpa hal itu, hidup ini tidak menarik," kata Damascus.

Seorang gadis belia datang membawa sebuah mangkuk dari keranjang anyaman jerami berisi kacang-kacangan. Kemudian ada dua cangkir kosong yang diletakkannya di sisi Laya dan Jon Damascus. Kedua cangkir itu lalu diisi dengan air teh yang warnanya merah menyala.

"Terima kasih, Omi," ucap Laya, mengantar gadis itu undur diri.

Setelah Omi berlalu, Damascus meliriknya sambil bertanya "siapa?"

"Omi, keponakan Gideon."

"Oh," Jon Damascus mencoba mengingat-ingat kembali wajah Gideon yang dulu sering membuat onar karena sulit mengikuti instruksi militer. "Tidak mirip."

Laya menutup mulutnya sambil tertawa kalem, "yah, mereka beda ibu. Ngomong-ngomong, Jon.. aku penasaran apa yang dilakukan kapten Ortarica di desa kecil ini..?"

"Memangnya aku tidak boleh menengok kawan lama?"

"Ah, bukan, bukan begitu maksudku. Maksudku ... aku kenal kau seperti apa, bukan? Menurutku kau bukan tipe orang yang suka membuang waktu melakukan hal seperti bersantai atau bersilaturahmi. Seingatku kau seorang workaholic."

Damascus menyesap air tehnya sedikit, "Laya, bolehkah kupinjam anakmu?"

Tentu saja gadis itu jadi terkejut, karena dia tidak punya anak lain selain yang sedang dikandungnya sekarang ini. "Apa maksudmu?"

"Sulit menjelaskannya," Damascus memalingkan wajah, mungkin dia merasa sedikit malu pada ucapannya barusan yang bagaimanapun terdengar tidak masuk akal, bila bukan sedikit kurang ajar. Ia pun menceritakan tentang apa yang sedang terjadi di benua Asgares saat ini. Laya belum tahu bahwa Eshara kini mencari pengganti Boudica untuk menjadi lawan perang. Negara itu terlalu haus darah untuk didiamkan.

"... jadi, kami menemukan kuburan Goliath."

Kedua mata Laya terbelalak, "jadi ...?"

"Sepertinya, kamu benar."

"Tapi, kenapa anda datang ke tempat ini dan mengatakan padaku soal itu?"

Sekali lagi, Damascus menyesap tehnya, "penelitian tidak dihentikan, Laya. Kami melanjutkannya kembali di tempat lain yang lebih tersembunyi. Sampel yang kamu bawa saat itu, tidak dihancurkan, itu hanya rekaannya saja untuk mengelabui Raja. Maaf telah menjadikanmu tumbal, tapi aku rasa kau perlu tahu bahwa sekarang, kerja keras para ilmuwan telah selesai, kita hanya butuh seorang bayi untuk melihat apakah sudah sesempurna aslinya atau belum."

Laya tertegun sesaat mendengar ucapan mantan kaptennya itu. Beberapa tahun lalu, ada insiden di Ortarica yang nyaris merenggut nyawa Kapten dan semua yang terlibat dalam penelitian rahasia. Laya tahu benar apa yang sedang disajikan di hadapannya ini; Kapten sedang meminta kelinci percobaan.

Laya mengusap perutnya yang buncit dan menatap laut dengan wajah yang damai, "baru kemarin aku bermimpi seekor naga mendatangiku. Itu adalah naga paling tampan yang pernah kulihat, gerak-geriknya jinak seperti anak anjing yang manis. Kemudian naga tersebut berubah menjadi cahaya dan masuk ke dalam tubuhku.Ketika aku terbangun dipagi harinya, aku telah mengandung anak ini."

"Bermimpi tentang naga kabarnya adalah suatu pertanda baik," kata Damascus.

Laya mengangguk. "aku rasa ini sudah takdirnya. Aku akan bawa dia padamu bila dia sudah siap nanti."

Damascus kemudian mengeluarkan pisau miliknya yang bergagang tembaga. Belatinya berwarna hitam seperti batu Opal, dan gagangnya dibingkai emblem emas. Laya tahu benda apa itu, itu adalah pusaka asli keluarga Damascus yang tiada duanya. Sang Kapten memberikannya pada Laya.

"Kau tahu apa yang harus kau lakukan dengan benda ini?" tanya Damascus, Laya menjawabnya dengan anggukan kepala.

"Tunjukkan ini padaku, agar aku tahu bahwa orang yang datang padaku kelak adalah anak ini."

Laya menerima belati itu dan mendekapnya di dada.

"Maafkan aku. Aku memilih anakmu karena aku tidak bisa mempercayai anak orang lain. Bagiku, kau dan Gideon adalah dua orang yang paling bisa kupercaya."

Laya menerima pisau tersebut. "Siap, Kapten!"

"Aku bukan kapten lagi. Jendral Lombert telah menaikkan pangkatku menjadi komandan," kata Damascus dengan senyum tipis.

"Wah! Apa yang terjadi?" tanya Laya.

"Ceritanya begini..."

Percakapan mereka pun berlanjut..

Setelah kunjungannya dari Pulau Duman, Damascus segera menjalankan tugasnya yang diembankan langsung dari Raja Rexes. Damascus membuat sebuah program dimana anak-anak yatim piatu di seluruh Asgares akan diam-diam dikumpulkan dan dididik untuk menjadi seorang tentara sejak mereka kecil.

Ia menamai program ini dengan nama Ortarica Special Elite Soldiers, OSES.

Ia menyuruh para kapten yang ditugasinya memunguti anak-anak yatim piatu tersebut dengan diam-diam, atau dengan terselubung. Mereka berpura-pura menjadi pedagang budak, atau pengurus panti asuhan, yayasan sosial. Anak-anak itu akan diseleksi, dan dipersiapkan menurut bakat mereka masing-masing.

Salah seorang diantara prajurit yang bertugas untuk mengumpulkan anak-anak yatim piatu itu adalah Neil Dracke. Ia menyamar menjadi seorang pedagang budak dari Terbet yang pergi ke Sundria untuk memungut para yatim piatu liar.

Ketika truknya tiba di sana, Neil Dracke melihat bagaimana Eshara menghancurkan negeri yang terlantar dari politik itu. Mereka seperti habis diinjak-injak oleh para dewa dan dibiarkan begitu saja dalam keadaan sekarat. Para penduduk yang tersisa hanya perempuan dan anak-anak, dan mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Kelaparan, dan terjebak dalam duka cita.

Neil Dracke begitu prihatin melihat keadaan Sundria. Di sana-sini terdengar suara tangisan wanita dan anak-anak. Anak pertama yang dipungutnya dari jalanan adalah seorang bocah yang sedang menangis pilu, pipinya basah oleh air mata dan debu gurun menempel di wajahnya.

"Ibu, ibu jangan tinggalkan aku. Aku bagaimana kalau kau mati?"

Si ibu masih bernafas, namun kondisinya seperti tanaman tak pernah disiram. Pasir sudah masuk ke dalam mulutnya yang terbuka, tanpa bisa ia muntahkan keluar. Tubuhnya kurus kering seperti tidak pernah makan. Neil Dracke menghampiri ibu malang itu dan membuka botol airnya. Ia menuangkan air segar ke dalam mulut wanita itu, dan senyum lemah terlihat sebelum kematian menjemput. Tangan ibu itu gemetar mencengkram lengan Neil Dracke, tanpa sanggup berbicara langsung, ia menitipkan putranya pada orang asing yang memberinya air tadi.

Neil Dracke segera bekerja, mengumpulkan anak-anak yatim piatu untuk dijadikan budak sebelum dibunuh orangtuanya sendiri untuk bertahan hidup. Harus diakui Sundria bangsa yang sadis, kadang-kadang. Kulit mereka rata-rata kecoklatan dengan rambut pirang yang kusam. Biru dan hijau menari tanpa bercampur pada iris mata mereka.

Hampir dua minggu di Sundria, jumlah anak-anak yang terkumpul sangat banyak sehingga membuat kerangkeng menjadi sesak. Seorang tentara Eshara mendatangi dan mengejeknya. "Ada bangsa yang sedang sekarat, tapi orang Ortarica malah panen budak. Kukatakan padamu, pak, kalian orang Ortarica sangat jahat."

Dracke mencoba mengendalikan emosinya, bagaimanapun kata-kata tadi terdengar sangat munafik di telinganya. Tapi bila dia marah, besar kemungkinan terjadi keributan dan bisa-bisa anak-anak ini tidak akan pernah sampai ke Ortarica, dan misinya gagal. Dracke pun berlaku layaknya seorang yang datang untuk mencari calon budak sungguhan. "Bergurau kau? Lihatlah mereka, bodoh dan rendah diri. Mereka budak yang sempurna!"

"Lihat, yang kalian pikirkan hanya uang. Bila kelak kami datang ke negeri kalian dan menguasai kalian, jangan dendam pada kami. Kalian memang pantas mendapatkannya!" kata tentara itu sambil tertawa dan pergi meninggalkan Dracke.

Dracke masih mencoba untuk tidak mengucapkan apapun. Ia mencoba untuk tidak terhasut dan mengarahkan pikirannya pada misi. Bagaimanapun dia tidak boleh sampai ketahuan bahwa ia sesungguhnya adalah orangnya Damascus dan datang untuk melatih anak-anak ini menjadi prajurit. Orang Eshara sangat sombong dan memiliki faham yang sangat salah terhadap bangsa lain, ini yang harus ia manfaatkan betul, dia tidak boleh sampai emosi. Maka Dracke menyimpan rasa geramnya ini untuk kelak bila dia ditempatkan di garis depan saat berhadapan dengan Eshara.

Truk penuh, dan Dracke menutup jeruji besi pada truknya bersiap untuk membawa anak-anak itu ke Ortarica. Saat Dracke hendak masuk ke dalam truknya, seorang wanita berlari-lari mendatangi Dracke sambil menangis-nangis. Ia menggendong seorang anak lelaki pirang yang bertubuh gemuk.

Dracke heran ada anak yang gemuk di sini, sementara yang lainnya kekurangan gizi. Tapi setelah ia perhatikan lagi, anak itu tidak sekadar gemuk. Untuk suatu sebab, tubuhnya lebih seperti membengkak daripada gemuk. Dan ia tidur seperti mayat yang bernafas dengan pipi kemerahan yang sehat. Sungguh kondisi yang aneh.

Wanita Sundria itu menangis tersedu-sedu. "Aku tidak sanggup membesarkan anak ini, aku juga tidak punya apa-apa lagi. Demi darah suamiku yang jatuh ke Gaia, mana mungkin aku membiarkan anak ini mati seperti ini...? Tolonglah anak ini, tuan, jadikan ia budak atau gelandangan, asalkan ia tidak berada di Sundria ... Asalkan ia bisa hidup."

"Nyonya, maaf, kami tidak menerima anak lagi. Sudah cukup banyak," kata Dracke yang memang beralasan. Truk sudah penuh sesak sehingga anak-anak yang ditempatkan di dalamnya tidak bisa berselonjor kaki. Bila punya energi, anak-anak itu pasti sudah ribut karena ketidak nyamanan itu.

"Tolonglah, tuan ... Aku sudah kehilangan ayah, suami, mertua dan sepupuku ... Aku tak ingin melihat satu orang yang kucintai lagi mati dipelukanku ...," kata perempuan itu.

"Nyonya..." Dracke hendak menolak lagi.

"Apakah anda punya anak?"

Timber.

Dracke pun gemetar.

Ia masih ingat Timber. Suara tangisnya yang keras, suara tawanya yang riang, dan tatapannya yang jernih tanpa dosa. Bayi itu berkepala besar, seperti bayi Sundria ini. Bila dia melihat sesuatu yang baru, matanya akan membesar penuh rasa penasaran. Bila seseorang memanggil namanya, dia akan segera menoleh dan menjawab dengan gumaman bayi yang lucu.

Suatu hari, Setelah ulang tahunnya yang pertama, Dracke untuk pertama kali menggendong anaknya untuk ditimang hingga tidur. Timber terlelap di bahunya, tangan kecilnya merangkul leher Dracke, seakan mengucapkan terima kasih karena telah menjadi orangtuanya.

Dracke dan istrinya membicarakan Timber dengan bangga, meletakkan harapan di masa depan Timber. Anak ini mungkin akan jadi tentara yang hebat, kata Dracke. Tapi istrinya selalu percaya bahwa Timber akan menjadi pria yang tampan yang sanggup membuat para gadis berbunga-bunga. Dalam benak Dracke, tersimpan harapan muluk, Timber mungkin calon jendral, mungkin kecerdasannya bisa membuat kemanusiaan mengalami kemajuan yang signifikan. Apapun itu, Dracke dan istrinya malam itu sibuk berandai-andai, membayangkan saat mereka telah menua dan layu, mereka melihat Timber menjadi pahlawan. Minimal orang yang berguna bagi sekitarnya.

Tapi Timber tidak pernah bangun lagi. Ia bernafas, namun tertidur pulas. Sesekali ia tersenyum, atau mengigau, namun dia tidur. Bayi mereka tercinta itu terjebak di alam mimpi. Dokter bilang otaknya lumpuh tanpa sebab yang jelas, menciut dari hari ke hari. Hati kedua orangtua itu hancur, menangis merelakan anaknya di euthanasia agar tidak menderita lebih lama.

Sampai akhir hayatnya, Timber tetap tersenyum. Hingga peti mati ditutup, pipinya masih kemerahan seakan ia masih tidur.

Isak tangis perempuan Sundria itu membawa kembali ingatan Dracke tentang Timber, "aku tahu ia akan mati ... Tapi aku tak kuasa menguburnya, ia putraku satu-satunya. Maukah anda menguburnya untukku bila ia sudah mati kelak?"

Bayi Sundria itu tidur dengan nyaman dalam pelukan ibunya. Dracke mengambil bayi itu dari ibunya. Tubuhnya berat sekali. Sadarlah Dracke bahwa anak lelaki ini memiliki struktur tulang yang berat, maka dari itu ia terlihat besar.

Wanita itu mencium kening anaknya yang tertidur pulas untuk terakhir kalinya. "Bila dia bangun, tolong berikan kalung ini setelah ia dewasa, ini adalah warisan keluarga Tof. Ia harus memilikinya. Bila dia tidak pernah membuka matanya lagi, tolong kalungkan ini di lehernya saat anda mengurburnya."

Wanita itu berpaling tanpa menoleh lagi. Langkahnya lunglai, letih dan rapuh. Air mata masih terus berderai di pipinya saat dia berjalan pergi meninggalkan Dracke dan putranya. Setidaknya ia sudah lega sekarang.

Dracke lupa menanyakan nama anak kecil yang kira-kira berusia 1-2 tahunan ini. Tapi kemudian ia berpikir "ah, sudahlah, paling anak ini akan tewas ditengah perjalanan dan tidak akan sampai ke Ortarica."

Namun pendapatnya salah.

Setibanya di Ortarica, anak ini membuka mata. Bola mata dengan iris Sundria dimana biru dan hijau bercampur tanpa menyatu. Melihat anak itu bangun, Dracke jadi terharu seakan Timbernya akhirnya bangun dari tidur.

Di kota Trodes, anak-anak tersebut dikumpulkan, kemudian mereka dipisah menjadi 2 kelas. Yang dibawah 6 tahun dimasukkan tempat penampungan, yang 6 tahun ke atas dimasukkan ke asrama. Untuk selanjutnya, mereka diseleksi lewat tes fisik dan inteligensi. Bagi yang fisiknya lebih tinggi dibanding intelijen, dimasukkan militer, sedangkan yang intelijensinya lebih tinggi daripada fisik, akan dikirim ke Luchburd. Yang berimbang, akan disuruh memilih.

Anak yang diberikan wanita Sundria itu adalah satu-satunya anak dibawah 3 tahun yang ada diantara mereka. Ia yang termuda. Dracke membawanya pulang ke rumah dan mempertemukan anak itu dengan istrinya.

"Apa ini?" tanya si istri.

"Anak Sundria."

"Kau ingin ia tinggal di sini?" tanya istrinya lagi.

Dracke menatap anak itu. "Ya, dia tidur cukup lama, akhirnya dia bangun juga."

Mata istrinya juga turut berkaca-kaca dan dengan cepat mereka berpelukan karena suara tawa Timber masih terngiang jelas dalam ingatan mereka. Seperti melihat Timber nya dalam diri anak Sundria itu, istri Dracke berjongkok hingga kepala mereka sama tingginya dan bertanya lembut, "siapa namamu?"

Anak itu tidak tahu nama lengkapnya. Akan tetapi ia hanya ingat nama apa yang sering digunakan ibunya untuk memanggilnya.

"Mekai," jawabnya, terdengar seperti "McKay" di telinga pasangan suami istri itu.

Neil Dracke meletakkan telapak tangannya pada rambut anak itu sambil berkata pada istrinya, "Biarlah kita membesarkan dia tanpa harus melupakan asal usulnya. Kita akan menamainya Timber MacKay."

Demi MacKay, Dracke membeli seorang budak yang berasal dari Sundria untuk mengajarinya adat istiadat Sundria. Tujuannya adalah agar MacKay tidak melupakan asal usulnya. Karena kelak Dracke yakin bahwa perang akan berakhir. Dan MacKay harus kembali ke Sundria, ke rumah keluarganya. Setidaknya ibu kandungnya harus tahu bahwa dia masih hidup dan dibesarkan dengan baik.

Seguir leyendo

También te gustarán

3.7M 240K 77
Selama 28 tahun hidup, Rene sama sekali tidak memiliki pikiran untuk menikah apalagi sampai memiliki anak. Dia terlalu larut dengan kehidupannya yang...
468K 32.6K 43
menikah dengan duke Arviant adalah hal yang paling Selena syukuri sepanjang hidupnya, ia bahkan melakukan segala cara demi bisa di lirik oleh Duke Ar...
3.2M 309K 87
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya.
78.2K 4.9K 18
KAILA SAFIRA gadis cerdas berusia 21 tahun yang tewas usai tertabrak mobil saat akan membeli martabak selepas menghadiri rapat perusahaan milik mendi...