Chapter 4 - Perjalanan ke Ibukota

58 4 2
                                    

Milo ternganga melihat bangunan berpilar-pilar tebal dengan lantai marmer dan pintu masuk yang besar terbuat dari kaca gelap.

“Mingkem, hoi. Kalau kau berlaku seperti orang kampung begitu, aku akan berpura-pura tidak mengenalmu,” desis Dalluf sambil memastikan bahwa orang di sekitar mereka tidak peduli pada Milo.

“Siapa yang tinggal di rumah besar ini?”

“Ini bukan rumah! Ini perpustakaan.”

Ketika mereka berada di dalam, Milo dapat menebak apa yang dimaksud dengan perpustakaan. Di kabin Dalluf ada salah satu dinding yang berisi penuh dengan buku, Dalluf menyebutnya perpustakaan pribadi. Tapi di gedung ini, tidak hanya seluruh dinding yang dipenuhi buku. Ada banyak dinding tambahan dari kayu setinggi tiga meter berderet rapi di atas lantai marmer, dan semua dipenuhi buku.

“Orang kota suka sekali dengan buku, yah?” ujar Milo perlahan, masih mencoba untuk memahami kenapa orang kota butuh membaca buku banyak-banyak.

“Bukan suka, tapi terpaksa. Kalau tidak baca buku kita tidak lulus ujian, kalau tidak jadi sarjana, kita sulit dapat pekerjaan di departemen pemerintahan dan hidup miskin.”

“Maksudmu orang kota dapat banyak uang dari membaca buku?”

“Kau mengatakannya seakan-akan kita hidup di alam sihir dimana dengan membaca, hujan uang pun turun. Dan kenapa aku berharap itu nyata?” Dalluf mengeluh sambil melangkah mendahului Milo masuk lebih dalam ke perpustakaan. Pada dinding di paling belakang, terdapat ruang baca berupa deretan kursi kayu dan meja belajar seperti ruang makan massal. Di sana terpajang peta seluruh benua Asgares secara penuh.

“Kau lihat itu, Milo?” bisik Dalluf.

“Ya … seperti air ludah yang jatuh ke atas tanah.”

Sontak orang-orang di sekitar mereka menoleh ke arah Milo dengan mata terpincing. Dalluf pun cepat-cepat menyuruh teman barunya untuk diam, “jangan keras-keras ngomong di perpustakaan, bodoh!”

“He? Kenapa?”

“Karena di sini ruang belajar, orang butuh konsentrasi. Dan terlalu banyak suara bisa mengganggu konsentrasi!”

“Aku tidak bermaksud menggang…”

“Sttt…!!” seorang pelajar berwajah stres membentak dengan desisan. Matanya yang merah melotot tajam pada Milo. Dalluf langsung teringat pada dirinya sendiri saat bersiap untuk ujian sulit yang akan datang beberapa hari lagi. Pelajar itu pasti belum tidur sejak kemarin.

“Ngomongnya bisik-bisik saja!”

Milo akhirnya menurut, “oh, bilang daritadi.”

“Itu bukan air ludah, itu Asgares. Bentuknya memang bulat dengan beberapa tanjung dan teluk pada sekelilingnya. Tapi itu adalah benua tempat kita tinggal.”

“Oh, begitu …”

“Ortarica letaknya di selatan-barat …” Dalluf menunjuk bagian kiri bawah dari benua, kemudian menggerakkan tangannya secara sirkular pada perbatasan utara dan timur Ortarica. “Di utara dan timur ini ada tebing tinggi yang sangat tebal, ini seperti tembok alami yang memagari Ortarica dari negara lainnya. Satu-satunya jalan keluar melalui daratan adalah di sini …” Dalluf menunjuk titik dimana tebing utara dan timur bertemu, di sana ada celah kecil.

“Tapi tempat itu dipenuhi oleh hutan lebat yang mengerikan, Forest of Silence. Siapapun yang masuk ke sana bisa hilang tak berbekas. Tapi jangan tanya aku kenapa. Walau tidak semua orang yang masuk ke sana mati, faktanya saat perang pecah 18 tahun lalu, para imigran beramai-ramai masuk ke Ortarica ada yang lewat hutan ini dan selamat. Dan dia mengaku bahwa dia tidak akan mau masuk ke hutan itu lagi.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

War of Asgares LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang