Aksara Dan Suara

By khanifahda

1.5M 166K 6.7K

Bukan waktu yang singkat bagi Grahita Sembrani Pramonoadmodjo untuk menghapus bayang-bayang penghianatan cint... More

Jaladri
Rawi
Griya
Ludira
Sakwari
Samira
Udaka
Darani
Nirada
Lenggana
Asta
Peningal
Brawala
Pakara
Pralapa
Kawur
Kaningaya
Samapta
Persudi
Kanin
Adanu
Lawya
Purwa
Mara
Hastu
Sangsaya
Weling
Kaharsayan
Samagata
Mahatma
Wiyoga
Asti
Balakosa
Smara
Mandrakanta
Darba
Soma
Adicandra
Sakanti
Balun
Adyuta
Abhipraya
Syandana
Gama
Jantaka
Nisita
Palar
Byuha
Locana
Nayottama
Agata
Gandring
Radinka
Ilir
Adhikari
Dayita
Adyatma
Wasana
'Naditya'
'Cundamani'
'Woro-Woro'

Wibana

25K 2.9K 77
By khanifahda

"Ngapain disini?"

Grahita tertawa miring seraya mendengus, "bukan urusan anda."

Laki-laki bersetelan rapi itu menatap Grahita tajam. "Ayo ikut papa." Ucap Sadewa tegas. Lalu laki-laki itu meraih lengan Grahita cepat. Hal itu membuat Grahita menatap tak suka.

"Lepas! Anda nggak berhak memaksa saya!" Sengit Grahita kemudian. Matanya menyipit tajam menatap sang papa. Demi apapun ia muak harus bertemu laki-laki yang menyebabkan dirinya ada di dunia ini. Hatinya terlalu keras untuk sekedar berlagak biasa saja di depan laki-laki tersebut.

"Kamu nggak ada sopan santun ya sama orang tua!" Grahita langsung membalas ucapan sang papa dengan tertawa mengejek. "Sopan santun?"

"Omong kosong!" Tekan Grahita kemudian. Nafasnya mencoba ia atur supaya tak terkesan memendam emosi berlebih. Bertemu dengan laki-laki di depannya itu menyebabkan rasa benci dan dendam bercampur menjadi satu, terasa sangat menyakitkan bila diingat sedikit saja. Terasa sangat panas dan membakar sampai begitu kejamnya rasa marah dan kecewanya dia pada sang papa.

"Ikut papa." Ucap Sadewa kemudian. "Ini permintaan seorang papa. Tolong." Nada Sadewo melembut, tak setajam dan sekeras tadi. Beliau hanya ingin berbicara dengan sang putri. Demi apapun, ia juga sakit di musuhi oleh sang putri. Tetapi ia pun sangat sadar dan mengakui bahwa ia salah dan terlambat untuk sekedar membuat Grahita memaafkan dirinya. Sadewa paham dengan sakit hati yang dialami sang putri, tapi ia tak berdaya untuk sekedar memperbaiki. Ego dan gengsi terlalu menutup mata sehingga kesalahan hanya di biarkan sia-sia, melapuk dan menghancurkan kepercayaan yang sempat di tawarkan melalui hati yang mau membuka. Tapi sayang, semuanya seakan terlihat terlambat.

"Disini juga cukup? Kenapa saya harus beranjak dari tempat duduk saya?" Sahut Grahita kemudian. Baginya ruang yang di ciptakan sempit sehingga tak ada lagi ruang kosong yang mampu mengisi, terlalu keras untuk sekedar di tetesi air. Hanya waktu dan kesabaranlah yang bisa melunakkan, tapi kapan?

Sadewa lalu menghembuskan nafasnya panjang, lantas matanya menatap Grahita yang wajahnya sudah menjadi datar, tak ada ekspresi apapun kecuali perasaan yang memendam rasa sakit yang kian tertanam kuat. Dengan melihat Grahita, beliau serasa melihat dirinya sendiri. Perempuan cantik itu sangat mirip dirinya dengan versi perempuan. Wajah campurannya tak dapat di bohongi jika wajah Sadewa lah yang nampak di sana. Hatinya tiba-tiba nyeri, kelakuan iblis apa yang membuat dirinya terjebak dalam situasi dan peristiwa seperti ini? Bahkan sekedar untuk kembali rasanya sangat mustahil. Seperti sebuah kalimat, ini terlalu terlambat, tapi bukan sebuah akhir yang tragis.

"Papa nggak tau harus mulai dari mana, nak, tapi tolong kali ini papa minta waktu sama kamu, sebentar." Mungkin ini cara terakhir Sadewa untuk meminta sang putri agar mau diajak bicara dengan dirinya. Ia terlalu bingung untuk sekedar berkata, Hai? hal inilah yang menutup pintu damai keduanya. Mereka sama-sama berego tinggi dan merasa bahwa semuanya akan sembuh dengan sendirinya. Tetapi, justru sakit yang bertambah parahlah yang ada. Tak ada kata maaf yang memecah amarah diantara mereka.

Mereka lalu terdiam. Grahita memilih memejamkan matanya seraya menyenderkan kepalanya di kursi di koridor rumah sakit. Sedangkan Sadewa tetap setia berdiri di dekat Grahita. Ada keraguan untuk sekedar duduk di samping sang putri.

Lalu tiba-tiba Grahita berdiri. "Setengah jam." Bukannya tak sopan tapi demi kebaikan dirinya ia harus mengurangi intensitas bertemu dengan sang papa. Ia hanya ingin menyembuhkan hatinya dengan tidak bertemu dengan orang-orang yang menjadi sebab dirinya menyimpan amarah yang besar.

Akhirnya Sadewa bisa bernafas lega. Laki-laki itu langsung mengekor di belakang Grahita yang berjalan keluar dan memilih taman samping rumah sakit yang agak lengang sebagai tempat untuk mereka mengobrol. Tak banyak orang berada di sana karena letaknya yang jauh dari keramaian. Hanya beberapa kursi taman dan jalan setapak yang menghiasi taman tersebut.

Mereka duduk bersanding tetapi ada space di antara mereka. Grahitalah yang membuat ruang di antara mereka. Namun Sadewa bersyukur setidaknya Grahita berkenan membuka hatinya untuk sekedar berbicara empat mata seperti ini.

"Gimana kabarmu?" Tanya Sadewa. Grahita masih sibuk menatap lampu taman yang berjejer rapi di depannya. Sebenarnya juga Sadewa penasaran dengan apa yang dilakukan Grahita di rumah sakit tersebut.

"Seperti yang Anda lihat." Balasnya. Wajahnya tak berubah sedikitpun dari ekspresi awal. Bahkan dirinya tak mau melihat sang Papa yang sudah lama tak bertemu dengannya. Anehnya, dirinya tak merasa rindu, hanya perasaan biasa saja yang Grahita rasakan. Hatinya telah tertawan oleh rasa sakit yang begitu mendalam.

Sadewa nampak menghela nafasnya. "Papa kesini kebetulan menjenguk rekan papa yang sakit. Kalau kamu? Pasti ada alasannya. Nggak mungkin seseorang pergi ke rumah sakit tanpa alasan yang jelas."

Grahita belum juga menjawab. Perempuan itu memilih berdiam diri menatap taman di depannya tanpa berminat untuk menatap sang papa.

"Maaf," ujar Sadewa pelan.

"Buat apa?" sahut Grahita cepat tetapi dengan nada yang pelan.

"Mungkin ribuan maaf dari papa nggak bisa balikin kamu kayak dulu lagi." Sudut bibir Grahita tertarik ke atas. "Bukannya dari kecil memang Grahita seperti ini ya? atau lupa?"

"Apa yang bisa saya harapkan ketika masa kecil saya begitu menyakitkan? Punya orang tua tapi seakan saya terlahir yatim piatu. Saya tidak akan meminta maaf atas ucapan lancang saya ini. Saya sudah kenyang meminta maaf pada diri saya sendiri."

"Nak,"

Grahita memejamkan matanya, rasanya sakit mendengar panggilan tersebut. Bila saja 5 tahun pertama ia di panggil tersebut, tentu tak sesakit sekarang. Apa yang bisa ia harapkan setelah 25 tahun berlalu? rasanya seperti sangat terlambat.

Grahita lalu membuka matanya dan menarik nafasnya dalam. "Mungkin jika panggilan itu menggaung di 5 tahun pertama, akan sangat bahagia hati anak perempuan ini. Merasa bahwa dunia tengah memperhatikan dirinya. Tetapi, apa yang bisa diharapkan setelah 25 tahun berlalu? Nggak ada, semuanya seakan sudah jauh dari rengkuhan."

Sadewa menunduk. Perkataan Grahita sangat benar. Dirinyalah yang paling berperan dalam pembentukan karakter Grahita yang keras dan dingin. Dirinyalah yang seharusnya bertanggungjawab atas sakit hati yang di rasakan oleh sang putri. Ayah macam apa dirinya ini?

"Maafkan papa," ucapnya lirih kemudian. Memang penyesalan akan datang di bagian akhir.

Grahita masih enggan melihat sang papa yang sudah sangat menyesal. Sungguh hari yang sangat berat. Grahita kira hatinya bakal sembuh seiring berjalannya waktu, tetapi kembali menganga ketika ia dihadapkan dengan realita yang ada.

"Tak ada permintaan yang berat kala itu. Uang memang bisa membeli barang, tetapi kasih sayang dan perhatian tidak bisa ditukar dengan apapun."

Lalu kepala Grahita memberanikan diri untuk menatap sang papa yang sudah tertunduk lesu di tempatnya. Sadewa nampak seperti merenungkan dosa dan salahnya pada sang putri yang pastinya sudah sangat membekas itu.

"Anda tahu apa permintaan seorang gadis kecil umur 10 tahun kala itu? Bukan uang untuk membeli kebahagiaan diluar, tapi saya sedang menantikan sosok papa yang datang dengan membawa senyuman. Datang dengan telinga yang siap mendengar keluh kesah gadis kecilnya. Datang dengan berbagai pertanyaan kecil yang membuat sang putri merasa di perhatikan. Apa papa pernah bertanya tentang bagaimana ujian saya? Berapa nilai matematika saya? Bagaimana hari saya? Dan apakah saya bahagia? No. Never. Bahkan say hi pun terhitung jari."

"Lalu apa yang bisa saya harapkan selain mengubur impian saya itu? Tidak ada yang saya harapkan sama sekali, bahkan sampai diumur 25 tahun ini. Semuanya gelap dan tidak berarti."

Mata Grahita berkaca-kaca setiap harus menceritakan bagaimana hidupnya dulu. Ia terlalu lelah untuk menumpahkan air matanya berkali-kali.

Sadewa lalu memejamkan matanya, menghalau air mata yang tanpa permisi datang. Hatinya memerih mendengar sekilas tentang apa yang dialami oleh sang putri. Itu baru segelintir cerita yang mau diungkap oleh sang putri. Lalu selama 25 tahun itu? Ah membayangkan saja membuat Sadewa merasakan hatinya sangat perih dan sakit. Sesakit itukah Grahita memendam perasaannya berpuluh tahun itu sendirian? Betapa berdosanya dia selama ini.

"Lalu apa saya bisa memaafkan semuanya? Entah. Rasanya sudah sangat terlambat." Ucap Grahita memelan. Perempuan itu lalu membuang nafasnya kasar. Demi apapun ia benci berada di situasi seperti ini.

Kemudian Grahita memilih beranjak dari duduknya. Langkah kakinya meninggalkan sang papa sendirian, tanpa sepatah kata apapun termasuk kata perpisahan yang semestinya diucapkan antara anak dan bapak.

Sadewa hanya bisa menatap nanar punggung kuat itu dengan tatapan redup. Entah berapa beban yang telah di pikul Grahita hingga menjadi manusia keras yang tak mudah di goyahkan itu. Entah dosa dan karma apa yang membuat Sadewa berlaku bak iblis yang tega menelantarkan sang putri.

"Maafkan papamu ini nak, maaf." ucap Sadewa kemudian dengan suara bergetar dan air mata yang mengalir di pipinya.

*****

Suara pintu di dorong menyebabkan dua orang yang sedang bersenda gurau terhenti dan langsung menatap pintu masuk kamar inap.

"Tata? Udah makan?" Pertanyaan pertama yang Oma layangkan kepada sang cucu sangat berbeda dengan orang-orang. Disaat orang lain bertanya dari mana? justru Oma bertanya apakah sudah makan apa belum. Lalu Grahita hanya mengangguk sebagai jawaban walau dirinya belum makan juga. Ia tak mau membebani Oma dengan berbagai pikiran.

Grahita mematung melihat siapa yang datang, lalu perlahan menutup kembali pintunya dan meletakkan satu totebag ke atas nakas.

"Oma kira kamu kemana eh tadi mbak perawat bilang kalau kamu mau pulang dulu."

"Ganti baju Oma, udah lecek juga."

Sementara itu Ghandi hanya menatap Grahita yang nampak tak seperti biasanya. Grahita yang terlihat lebih kuyu tak bersemangat itulah yang ia lihat saat ini. Kantung matanya terlihat jelas dan menandakan bahwa Grahita tak baik-baik saja akhir-akhir ini.

"Kamu bawa apa itu?"

"Sup asparagus kesukaan Oma. Tadi sempetin masak bentar. Oma makan ya?"

Oma mengangguk, "tapi nak Ghandi yang harus menyuapi Oma."

"Oma-"

"Nggak apa-apa. Biar saya saja." Sela Ghandi cepat. Lalu laki-laki itu mengambil alih mangkuk yang berisi sup asparagus hangat.

Dengan telaten Ghandi menyuapi Oma Shinta. Laki-laki itu begitu sabar dan tak jarang mengajak berbicara Oma. Mereka terlihat sangat akrab sehingga membuat Grahita tak bisa berkata lagi. Mereka layaknya satu darah. Oma begitu nyaman berada di sisi laki-laki tersebut.

"Oma tidur ya habis ini. Udah jam 8 malam juga." Ucap Grahita setelah makanan Oma habis. Lalu perempuan itu membantu Oma meminum obat dan membaringkan Oma dengan nyaman.

"Makasih ya nak Ghandi. Oma seneng banget kamu bisa datang nemenin Oma dari sore tadi."
Ghandi tersenyum, "sama-sama Oma. Saya juga senang bisa menjenguk Oma. Cepet sembuh ya Oma. Biar nanti saya bisa di ajarin buat kue sama Oma."

Oma Shinta tergelak ringan, "kalau buat kue, noh si Tata lebih jago daripada Oma." Sedangkan Grahita pura-pura sibuk menata sesuatu di nakas. Lalu Ghandi nampak salah tingkah di tempatnya, menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Setelah itu, Ghandi memilih keluar dan membiarkan Oma untuk beristirahat. Sementara Grahita masih berada di dalam kamar inap. Ghandi tak langsung pulang. Laki-laki itu memilih duduk di depan kamar inap Oma yang tersedia kursi panjang.

Tiba-tiba Grahita keluar dan bingung ketika masih menemukan Ghandi disana, "nggak pulang?" Reflek Grahita bertanya pada Ghandi yang langsung mendongakkan kepalanya. Laki-laki itu sempat hendak bermain game online sebentar sebelum memilih pamit pulang pada Grahita.

Ghandi langsung berdiri kemudian. "Em nanti mungkin. Kamu sudah makan?" Tanya Ghandi tanpa disangka. Sementara Ghandi merutuki dirinya yang asal bertanya seperti ini.

'Dasar payah kau Ghan.'

"Kalau belum ayo kita makan sama-sama di kantin."

Grahita menatap Ghandi sebentar. Niat awalnya keluar memang untuk mencari makanan berkuah yang pedas untuk disantap di malam yang agak dingin ini.

Lalu Grahita mengangguk, ajakan Ghandi juga tak buruk-buruk amat sehingga kali ini ia mengiyakan untuk sekedar makan malam bersama di kantin rumah sakit.

Ghandi tersenyum tipis. Setidaknya tindakan konyolnya tidak berakhir sia-sia. "Ayo." Kemudian mereka berjalan bersama menuju kantin rumah sakit.

"Mau pesan apa?" Tanya Ghandi. Sebagai Laki-laki ia berinisiatif menawarkan sesuatu kepada Grahita.

Mata Grahita menatap deretan menu yang ada. Lalu matanya menangkap makanan yang sudah lama ia tak merasakannya selama berada di Paris.

"Bakmi Jawa kuah."

"Minumnya?"

"Teh hangat." Sejenak Ghandi terdiam dengan apa yang dipesan Grahita. Ia kira perempuan itu akan memesan makanan yang agak Western.

"Bingung kenapa saya nggak pesan makanan barat?" Tanya Grahita seakan tahu isi pikiran di kepala Ghandi. Sedangkan Ghandi hanya tersenyum kikuk ketika Grahita tahu dengan apa yang ia pikirkan.

"Makanan Indonesia lebih memberikan kesan ketimbang makanan barat. Menurut saya pribadi. Tapi beberapa makanan barat juga jadi makanan kesukaan saya."

"Padahal masakan barat terlihat sangat menarik."

"Terlihat sangat menarik, oke. Benar, sebagian kita yang nggak tahu bagaimana memasaknya? apa bahannya? dan gimana rasanya pun dengan melihat makanan barat yang cantik platingnya pun menganggap mewah, padahal lidah kita sudah beda, beda bumbu, beda cara penyajiannya." Sembari menunggu pesanan mereka datang, mereka berbincang santai. Awalnya Ghandi mengira jika Grahita tak akan bicara banyak dengannya. Namun kali ini perempuan itu lebih terbuka dengannya. Tak secanggung dulu intinya.

Lalu pesanan mereka datang. Ghandi memesan nasi goreng babat yang nampak menggoda di mata Grahita namun karena dirinya ingin memakan berkuah jadilah ia lebih memilih Bakmi ketimbang nasi gorengnya.

Setelah menyelesaikan makannya, mereka kembali lagi ke kamar inap Oma. Ghandi hendak mengambil jaketnya yang ternyata masih tertinggal di dalam. Namun tiba-tiba perasaan Grahita tak enak. Perempuan itu berjalan cepat ke arah kamar inap sang Oma.

Perempuan itu membuka cepat kamar inapnya dan menemukan Oma masih tertidur dengan pulas. Sejenak ia menghembuskan nafasnya lega. Sementara Ghandi baru kemudian masuk setelah tadi Grahita berjalan lebih dulu.

Ghandi yang baru masuk turut menatap Oma yang terlelap tidurnya. Namun tiba-tiba ia melihat sesuatu yang ganjal. Laki-laki itu dengan cepat memegang tangan Oma yang ternyata terasa dingin. Lalu bergerak cepat memeriksa denyut nadinya.

"Apa ada sesuatu sama Oma?" Tanya Grahita melihat Ghandi yang agak panik memegang tangan Oma.

"Cepat panggil dokter!" Ucap Ghandi cepat setelah menemukan denyut nadi Oma melemah.

"Apa ada memangnya? Oma baik-baik saja kan?!" Sahut Grahita panik. Demi apapun ini bukan lelucon. Namun dengan cepat juga Grahita menekan nurse call. Tangan Grahita langsung memegang tangan Oma yang memang terasa mendingin. Jantungnya berdetak menggila.

"Kamu jangan panik, oke. Oma baik-baik saja." Lalu dokter beserta perawat datang dan Ghandi dengan cepat mengajak Grahita keluar untuk memberi ruang tenaga medis agar memeriksa Oma.

Ghandi mengajak Grahita duduk di depan depan. Perempuan itu tak henti-hentinya berdoa agar Oma baik-baik saja. Melihat Grahita yang nampak sangat cemas, Ghandi berinisiatif memberikan ketenangan dengan memberikan bantuan. "Kamu boleh meremas tangan saya daripada menyakiti tangan kamu sendiri."

Ghandi tak tega melihat Grahita yang melampiaskan kecemasannya dengan meremas tangan yang satu dengan kuat. Maka dari itu ia menawarkan diri untuk menjadi tempat pelampiasan Grahita.

Grahita tak menjawab. Perempuan itu menatap nanar pintu kamar inap Oma yang didalamnya entah apa yang terjadi. Lalu seorang dokter muda keluar dan Grahita langsung menghampiri dengan cepat.

Dokter laki-laki tersebut lalu menepuk bahu Ghandi yang ikut berdiri. "Maaf,"

Cukup satu kata sudah mewakilkan semuanya. seketika dunia Grahita runtuh total. Demi apapun ini adalah berita paling ia takutkan untuk di dengar. Mengapa orang-orang baik di sekitarnya meninggalkan dirinya begitu cepat?

Grahita menatap kamar inap Oma lewat kaca kecil di pintu. Perempuan senja itu sudah di tutup dengan kain putih dan bersiap untuk di pindah ke kamar jenazah.

"Om-omaaa..." jerit Grahita tertahan. Air matanya mengalir sangat deras. Hatinya hancur berkeping-keping. Orang yang menjadi tujuannya meraih kesuksesan kini meninggalkan dirinya untuk selamanya. Separuh hatinya hilang bersama Omanya. Ia lemah, ia hancur dan tak mampu menahan beban sendirian.

Dengan cepat Ghandi meraih tangan Grahita dan memegang kuat untuk menjadi penopangnya. Namun melihat Grahita yang sangat terguncang membuat hati laki-laki itu tergerak cepat dengan membawa Grahita ke dalam pelukannya.

"Tolong katakan ini hanya mimpi, Ghan." Bisik Grahita dengan air mata yang sangat mengalir deras. Tubuhnya sangat lemas dan tak mampu menerima ini dengan ikhlas.

Ghandi tak menjawab. Laki-laki itu tetap memeluk Grahita dan berusaha memberikan kekuatan. Ia juga terguncang dengan berita ini. Padahal tadi ia sempat bercerita banyak dengan perempuan senja itu. Namun malamnya Oma pergi tanpa sepatah kata yang terucap. Oma pergi tanpa pamit dan itu amat menyakitkan.

Pelukan Ghandi memberat. Hal itu membuat Ghandi langsung sigap menangkap tubuh perempuan itu. Grahita tak kuasa menahan sendirian. Perempuan itu runtuh seketika.

.
.
.

Wibana : nirwana

Karena masih momentum bulan Syawal, saya mengucapkan selamat hari raya idul fitri 1441 H. Minal aidin wal-faizin ya🙏mohon maaf lahir dan batin. Saya mohon maaf ketika menulis maupun membalas komentar banyak salahnya kepada kalian semua 🙏🙏Terima kasih

Continue Reading

You'll Also Like

1M 62.4K 55
Story Kedua Neo Ka🐰 Duda Series Pertama By: Neo Ka Gayatri Mandanu itu ingin hidup simpel, tidak ingin terlalu dikekang oleh siapapun bahkan kadang...
269K 18.8K 38
Sebelum meresmikan hubungan pacaran, sepasang anak manusia sudah mengetahui perasaan satu sama lain. Saling mencintai, saling menyayangi, saling meng...
1M 117K 43
Bagi Radika melamar kekasih di kapal pesiar sebuah momen indah yang nanti ketika mereka menikah, lalu menua bersama akan terus teringat di kepala. Sa...
175K 16.8K 113
"Tolong jadikan aku rakyat biasa." Perkataan dari anak perempuan itu membuat satu aula terdiam. "Tapi kau berada di nomor dua puluh empat dari tahta...