AURORA BOREALIS 2 [ ✓ ]

By Mejikubillu

568K 40.1K 16.5K

[HARAP SIAPKAN HATI DAN PERASAAN UNTUK MEMBACA CERITA INI] BAGIAN 2 AURORA BOREALIS Pernah memiliki sebuah ma... More

01. AB2 • KEBIMBANGAN
02. AB2 • DESIRAN
03. AB2 • IT'S BEGIN
04. AB2 • COMPLICATED
05. AB2 • TANTANGAN TERBUKA
06. AB2 • (BU) KAN ANGEL ALGER
07. AB2 • FAULT
08. AB2 • PEMBALASAN
09. AB2 • TRUTH
10. AB2 • PERGI
11. AB2 • STRONGEST
12. AB2 • MALVIN
13. AB2 • SERPIHAN
14. AB2 • LET GO
16. AB2 • BUNGA LOTUS
17. AB2 • DIFFERENT
18. AB2 • SEMUA ORANG LICIK
19. AB2 • LOVELY?
20. AB2 • NOTHING
21. AB2 • ALGER MERINDUKAN ANGELNYA
22. AB2 • KETULUSAN?
23. AB2 • MISUNDERSTANDING
24. AB2 • TENTANG KEHILANGAN
25. AB2 • ANOTHER PERSON
26. AB2 • SEBUAH RASA
27. AB2 • WHO IS IT, THEN?
28. AB2 • KESEMPATAN
29. AB2 • KERTAS LUSUH
30. AB2 • ISAK LUKA
WE BACK

15. AB2 • WILL CHANGE?

17.2K 1.1K 451
By Mejikubillu

AURORA BOREALIS 2|BAGIAN 15

“You are free to choose but you are not free from the consequences of your choice”

****

Brak!

Suara itu menggema memenuhi ruang tengah keluarga Cavarson. Ada Lebaron, Aurora dan juga Gladys disana.

"Lancang sekali kamu Aurora!" bentak Lebaron, "tanpa sepengetahuan Kakek kamu menanam saham di Bagaskara Group!"

"Ini hak Aurora Kek! Bisnis resort itu udah atas nama Aurora jadi Aurora berhak atasnya!"

"Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya seperti itu Aurora! Kakek juga masih mengambil alih di bisnis itu!"

"Nama Kakek udah di coreng dari bisnis resort itu! Bisnis itu udah atas nama Aurora Pelangi Cavarson!"

Gladys mengelus punggung anaknya, "udah Aurora, ayo masuk kamar. Nggak baik marah-marah."

"Harusnya Mamah yang kasih tau ke Kakek untuk nggak marah-marah terus dan belajar untuk nggak mementingkan ego sendiri," ucap Aurora.

Plak!

Sebuah tamparan mengenai pipi Aurora.

"Pah!" kaget Gladys.

"Semakin lama kamu semakin kelewatan, liat saja setelah ini. Apa kamu masih bisa menentang Kakek," ucap Lebaron dengan tegas.

"Silahkan, Kek, silahkan! Lakukan sesuka hati Kakek! Tapi jangan harap Aurora akan tinggal diam."

Lebaron berbalik pergi. Namun langkahnya terhenti.

"Dan jangan harap Kakek akan menuruti keinginanmu ketika nanti kamu memohon menangis pada Kakek," ucap Lebaron.

"Oh jadi Kakek ngancam Aurora! Baik Aurora terima itu."

"Satu hal yang harus kamu ingat, terlalu memikirkan perasaan orang lain hanya akan membuat hidupmu semakin rumit."

Deg

Aurora tertegun mendengar kalimat kakeknya tersebut.

Setelah itu Lebaron melanjutkan jalannya—menuju kamar.

"Aurora ke kamar dulu Mah," pamitnya seraya berjalan menuju ke kamarnya.

Setelah mengunci rapat-rapat pintu kamarnya Aurora merebahkan tubuhnya. Menatap langit-langit kamarnya.

Apa gue terlalu memikirkan perasaan orang lain?

Setetes bening merambat dari pelupuk matanya hingga jatuh ke pipinya.

Kenapa hanya karena ucapan kakek lo jadi gini Ra? Jangan buat keadaan lo justru semakin runyam, lo yang paham apa yang harus lo lakukan.

🌈🌠

Suasana pagi ini begitu dingin, kabut menyelimuti. Dan sinar sang mentari tak sepenuhnya menyinari bumi.

Seorang perempuan berbalut jaket merahnya duduk di salah satu bangku kantin yang masih kosong.

Kenapa cuma karena satu kalimat seorang Lebaron Cavarson gue jadi ragu kayak gini? Apa gue terlalu memikirkan perasaan orang lain? Apa gue udah membuat hidup gue sendiri menjadi rumit tanpa gue sadari?

Aurora menenggelamkan wajahnya dilipatan tangan yang berada di atas meja kantin.

"Ra?"

"Ra?"

"Aurora!"

Aurora terlonjak kaget, "eh iya!"

"Ngapain lo?" tanya Alana seraya duduk di bangku yang berhadapan dengan Aurora.

"Eng–enggak."

"Lagi banyak pikiran ya?"

Aurora tak menjawabnya, dia hanya melemparkan senyuman singkat pada Alana.

"Ra, kita udah kelas dua belas sebentar lagi bakal ada ujian, nggak seharusnya lo memikirkan hal-hal yang bisa membuat lo nggak fokus untuk apa yang ada di depan lo Ra," ucap Alana.

Aurora paham arah pembicaraan Alana, bagaimanapun juga tanpa dia membuka mulut pasti semua sudah tau.

Alana berpindah tempat duduk ke sebelah Aurora dan kemudian memeluk perempuan itu, "gue tau Ra, gue tau perasaan lo sekarang. Gue tau begitu berat beban lo, tapi boleh nggak gue minta satu hal ke lo."

Aurora mengurai pelukannya dan mereka berdua bertatap dengan tangan Alana di kedua bahu Aurora.

"Tolong, jangan terlalu memikirkan perasaan orang lain. Akan ada saatnya lo harus bersikap bodo amat untuk itu semua. Lo berhak bahagia."

Deg!

Aurora tertegun mendengar apa yang diucapkan Alana, dia kenal Alana belum lama dan dari sekian orang yang pernah dan masih berteman dengannya, hanya Alana yang mengerti keadaannya.

"Lo berhak pergi, lo berhak mengabaikan, ketika peduli lo sama sekali nggak dihargai bahkan diharapkan."

Setetes bening membasahi pipi Aurora. Alana yang melihat itu tidak tahan untuk tidak menangis juga.

"Lo berhak nangis ketika lo udah nggak kuat lagi, lo juga manusia, lo makhluk berperasaan. Bukan hanya orang lain yang punya perasaan."

Aurora tidak dapat lagi membendung tangisannya.

Dia juga manusia. Makhluk ciptaan Tuhan yang rapuh yang lemah.

Dia tidak tangguh sepenuhnya, dia hanya menangguhkan dirinya, menguatkan hatinya, dan menjajakan kakinya seolah dia bisa berdiri sendiri, bahkan ketika pijakannya tak lagi kuat, dia selalu mencoba menopang segalanya sendiri.

"Cobalah Ra, untuk memikirkan diri lo sendiri, lo harus berusaha untuk membiarkan semuanya berjalan tanpa lo bercampur tangan untuk mengubahnya."

Aurora memeluk Alana dengan eratnya, isaknya terdengar memilukan. Bukan layaknya Aurora Pelangi Cavarson yang tangguh dalam menghadapi para musuh-musuhnya, tapi layaknya seorang perempuan yang rapuh dan butuh penompang untuk bangkit.

"Orang lain nggak akan tau diri lo, bahkan orang tua lo nggak akan pernah tau gimana cara lo melihat, cara otak lo berpikir dan cara hati lo merasakan semua hal yang lo rasain di dunia ini. Jadi hanya lo yang bisa merubahnya."

"G–gue cuma nggak mau dunia melihat gue yang sehancur-hancurnya, gue mau semesta tau kalo gue bisa kuat dengan segala beban yang diberikan.."

"Akan ada saatnya lo mengibarkan bendera putih Ra, nggak semua hal harus lo genggam sendiri, lo hidup bukan seperti superhuman yang akan mendamaikan dunia, lo hidup bukan sebagai tokoh fiksi yang dibuat tahan banting oleh penulisnya, lo adalah Aurora Pelangi Cavarson, murid SMA Pangeran dengan segala prestasi."

Tiba-tiba seseorang menarik paksa Alana kebelakang, sehingga pelukannya dan Aurora terlepas.

"Nggak guna lo ngomong kayak gitu ke dia."

Alana menoleh dan disisinya berdiri Alister dengan tas ransel menyampir di bahu kirinya.

Alister menoleh pada Aurora, "dia adalah sumber dari segala masalah yang dia hadapi."

Deg!

Aurora menatap tak percaya pada Alister.

"Alister!" bentak Alana.

Detik selanjutnya Aurora berlari pergi.

Plak!

"Lo keterlaluan Alister! Apa otak lo nggak pernah di pake buat mikir?! Dia sedang diambang kegundahan hidupnya dan lo malah ngomong kayak gitu?!" bentak Alana.

"Na gue cuma—"

"Mau lo apa sih! Selama ini lo mengabaikan gue dan kenapa tiba-tiba lo justru ngelarang gue buat ngomong ke Aurora kayak gitu ha?!"

Alister terdiam. Ucapan Borealis terngiang begitu saja di pikirannya.

'Jadi menurut lo, lo itu nggak brengsek! Sadar! Lo tau kalo Alana suka sama lo, tapi sikap lo ke dia apa! Lo nggak beda brengseknya kayak gue!'

"Lo nggak berhak mengatur hidup gue Alister, disaat lo hanya menganggap gue sebagai parasit dalam hari-hari lo," sarkas Alana seraya berjalan pergi meninggalkan Alister.

🌈🌠

Aurora masih berlari sambil mengusap kasar airmata yang terus menetes.

Bruk!

Tubuhnya bertubrukan dengan seseorang.

"Ck! Lo lagi," decaknya.

Aurora menoleh dan mendapati Tamara dan Siska berdiri di hadapannya.

"Ngapain lo disini?!" sarkas Aurora.

"What? Lo nanya ngapain gue ada disini? Ini SMA pangeran, dan gue udah hampir 3 taun disini, lo amnesia atau emang dasar tolol?!"

"Nggak penting ngeladenin lo," ucap Aurora berjalan pergi, namun belum sempat melangkah, lengannya sudah di tarik oleh Tamara.

Aurora menepisnya dengan kasar, "apaan sih!"

"Gue nggak salah liat nih?"

Aurora menyernyit.

"Seorang Aurora Pelangi abis nangis?" ucap Tamara dengan nada meremehkan dan dibarengi gelak tawanya.

"Kayaknya dia udah jadi cewek nih Mar," sahut Siska.

"Eh mulut kalo ngomong di jaga!" ucap Aurora.

"Weh, santai kali. Ngegas aja kayak mau balapan."

"Gue heran deh Sis, lo itu pada dasarnya baik, tapi kok bisa sih lo temenan sama iblis macam—"

Plak!

Tamparan Tamara lolos begitu saja di pipi kiri Aurora, "kalo ngomong di jaga! Gue bukan iblis! Dan lagi, jangan sok menggurui, lo bukan orang paling baik di dunia ini."

"Masih punya muka lo dateng ke SMA Pangeran!"

Ketiganya menoleh, dan disana sudah berdiri Borealis Gareth Alison.

"Terserah gue dong, ini sekolah tempat gue, lagian gue disini juga bayar," sewot Tamara.

"Gue pikir lo cuma berani di kandang Leon aja."

"Eh Borealis! Gue nggak sepengecut itu ya! Sebelum itu pun gue udah berani, cuma depan lo aja gue pura-pura lemah. Eh tapi kenyataannya salah gue udah suka sama lo."

"Kenapa lo nggak nyadar aja dari dulu? Dan nggak usah capek-capek bujuk gue buat bareng lo disaat gue udah bareng Edeline?"

"Gue itu penuh ambis nggak kayak cewek lo yang lemah itu, sok lemah."

"Jaga ucapan lo ya Tamara!"

"Dahlah gue males berdebat sama lo, cowok nggak punya pendirian, buang-buang waktu aja."

Setelah itu Tamara dan Siska pergi.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Borealis.

Aurora menatap lekat Borealis.

Gue pernah di perlakukan layaknya seorang ratu, tapi kemudian gue di buang layaknya budak

Borealis mengibaskan tangannya di depan wajah Aurora.

"Ra?"

Aurora mengerjapkan matanya beberapa kali dan kemudian memalingkan pandangannya.

"Sorry, gue harus ke kelas," ucap Aurora—melangkahkan kakinya menjauh.


Continue Reading

You'll Also Like

2.8M 436K 50
your source of happiness
22.3K 1K 29
"Kenapa kita harus sembunyi, ketika mendengar kabar orang meninggal?" "Takut!" "Apa yang perlu di takutkan? Bukankah kita semua juga akan meninggal...
31.9K 3.5K 24
Jeon Jungkook dan Jung Eunha mereka berdua sangat dekat layaknya sebuah perangko, karena mereka berdua memang berteman dari sejak kecil bisa di bilan...