"Ra, diem dong," ucap Adam sembari memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri. Kepalanya yang pusing terasa semakin pusing saat mendengat tangisan Ara. "Ra, diem, kalau ada apa-apa aku bakal tanggung jawab kok," bujuk Adam yang membuat tangis Ara semakin pecah.
"ENTENG BANGET SIH NGOMONGNYA!" teriak Ara.
Duh, salah bujuk kayaknya. Sial kepalaku pusing banget, batin Adam.
"JANGAN-JANGAN KAK ADAM EMANG LAKUIN YANG ANEH-ANEH KE ARA!" tuduh Ara di sela tangisnya.
Adam mengembuskan napas lelah dan mengabaikan Ara. Ia kembali berbaring dan menutup badannya menggunakan selimut. "Terserah."
"Bang, Si Adam ngeselin!" sunggut Ara kemudian berlari meninggalkan kamar Ilham menuju kamarnya. Setelahnya ia menutup pintu dengan cukup keras, menimbulkan suara dentuman.
"Cihh, baru ditinggal Ayah sama Bunda sehari udah kayak gini," gerutu Ilham dan menghampiri Adam.
"Dam," panggil Ilham yang tidak disahuti Adam.
"Dam," panggilnya lagi, kali ini sembari menyentuh bahu Adam, bermaksud untuk membangunkannya.
"Loh, badanmu panas!" seru Ilham kemudian menempelkan tangannya ke dahi Adam. "Dam! Woi, kenapa?"
"DEK!" teriak Ilham.
Ponsel Ilham berdering. Sebuah telepon dari kontak bernama Blvd ❤️ masuk.
"Halo," ucap Ilham.
"........."
"Iya, bentar ya, Sayang. Sabar, kamu pasti bisa kok. Ya udah, aku berangkat habis ini," ucap Ilham kemudian menutup telepon.
Ilham mengembuskan napas dan berjalan meeninggalkan Adam. Ia menuju ke kamar Ara yang tadi merajuk.
"Dek," panggil Ilham sambil mengetuk pintu kamar, namun tidak ada sahutan. "Dek, Abang masuk."
Saat memasuki kamar Ara, Ilham melihat adiknya itu sedang berbaring di atas kasur dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung kepala, terlihat bergetar dan terdengar suara tangis.
Ilham berjalan mendekati Ara. "Dek, udah jangan nangis lagi, terus juga semuanya masih belum pasti. Adam masih belum stabil keadaannya buat inget kejadian kemarin."
"Dek, Abang mau keluar, gebetan Abang lagi operasi usus buntu. Kamu bisa nggak jagain Adam? Dia badannya panas, kayaknya demam gara-gara kehujanan kemarin."
"Anumu nggak sakit kan? Abang bukannya nggak mau peduli atau jahat, tapi tadi dari kejadiannya juga nggak sengaja terjadi."
"Dek jangan diamin Abang! Jangan berpikiran negatif dulu. Kalian satu ranjang belum tentu kalian ngelakuin hubungan suami istri! Jangan kayak anak kecil. Abang keburu waktu, Adam lagi sakit, jadi jangan kekanak-kanakan. Jagain Adam, Abang pergi dulu!" seru Ilham kesal dan keluar kamar dengan menutup pintu kamar keras.
Adam bergegas menuju garasi dan melajukan motornya membelah jalanan.
Di dalam kamar, Ara dipusingkan dengan kenano-nanoan pikirannya. Antara gengsi, merasa bersalah, merasa kesal kecewa, merasa kasihan.
Air mata kembali menetes di pipi Ara, bingung menjelaskan keadaan hati dan pikirannya hari ini. Sedangkan Abangnya kesal padanya.
"Apa aku aja yang kekanakkan? Saat aku merasa takut hal yang paling berharga dalam hidupku direnggut dan aku merasa khawatir apakah itu kekanak-kanakan?" sendunya.
Ia pun berdiri dan berjalan mengambil kotak obat sebelum menuju kamar Ilham.
Ia mengintip, di kamar Ilham, Adam berbaring dengan wajah yang sedikit pucat dan keringat bergerumbul di dahinya.
Ia memejamkan mata dan mengembuskan napas panjang sebelum berjalan mendekati Adam.
Ara duduk di samping Adam berbaring dan mengambil ponselnya. Ia mengetikkan sesuatu di browser.
'Merawat orang demam.'
"Tes pakai termometer," gumam Ara membaca petunjuk. Ia mengambil termometer di kotak obat dan menempelkan ke dalam telinga Adam. Sembari menunggu termometer mengukur suhu, Ara membaca kembali.
"Suhunya kalau demam di atas 37 ya? Huh 40° bisa kejang?!"
Bippbipp
Termometer berbunyi. Ara langsung mengeceknya. Ia mendesah lega saat suhu Adam tidak mencapai 40° walaupun memang di atas 37°. Ia jadi merasa bersalah karena kejadian hujan-hujanan kemarin.
"Kan, jadi demam. Lagian punya mantel kok lupa nggak dipake."
"Jika penderita bingung atau tidak sadar, segera cari bantuan tenaga medis profesional. Sambil menunggu pertolongan, lepaskan penderita dari lingkungan yang panas dan lepaskan pakaian yang dikenakannya. Selain itu, tubuh harus didinginkan dengan spons basah atau kipas angin yang diarahkan ke penderita secara terus menerus," gumamnya membaca petunjuk.
"Kak Adam tadi bingung nggak ya?" pikirnya mencoba mengingat. Dan ia teringat bahwa Adam tadi bingung saat ditanya tentang kejadian kemarin malam. "Waduh, berarti butuh bantuan medis segera!"
Ara berlari ke dapur mencari spons dan sebaskom air, tak lupa juga kursi lipat untuknya.
Ia menaruh baskom di atas nakas samping posisi Adam berbaring. Ara dengan takut menarik selimut yang menutupi tubuh Adam.
"Bjir, masih belom pakek baju!" Ara mengalihkan pandangannya ke tembok. Tidak sanggup melihat roti sobek di hadapannya.
Ara mencelupkan spons dan memerasnya, kemudian ia menyeka tubuh Adam dengan spons tersebut masih dengan pandangan ke arah tembok.
Ara jadi teringat saat mendapati bahwa dirinya bangun satu ranjang dengan Adam dengan pakaian yang tidak menutup tubuhnya dengan benar.
"Kak Adam udah liat aku waktu gitu, jadi ngapain aku sok-sokan malah liat ke tembok gini?!" kesalnya lalu mengalihkan pandangan ke tubuh Adam. Kemudian memalingkan wajah kembali ke tembok. "Gakuad," gumamnya kemudian menggeleng dan menatap Adam kembali. "Nggak! Gini! Biar satu sama!" pikir Ara gila.
Ara kembali menyeka tubuh Adam dengan spons basah yang ia lakukan setiap 5 menit sekali.
Lama-lama, Ara mulai lelah. Ia memutuskan untuk menunggu 5 menit berikutnya dengan menempel dahinya ke atas kasur. Bermaksud istirahat.
Namun, ia malah hanyut ke alam mimpi, masih dengan spons basah di tangannya.
---
Waktu terus berjalan. Adam mengerjapkan matanya, menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Kepalanya sudah tidak terasa pusing seperti tadi, dan badannya juga sudah merasa ringan.
Pandangannya tidak sengaja melihat ke arah Ara yang tertidur dengan posisi duduk dan dahi menempel di atas kasur.
"Ra," panggil Adam lemah. Ara tidak merespon.
Setelah kejadian kemarin dan tadi pagi, Ara masih mau rawat aku?
Adam tersenyum. Tangannya terulur ke arah rambut Ara dan mengelusnya pelan. "Terima kasih, Ara."
---
Ara emang dodol banget. Pengen ngegas banget aku pas nulis wkwk. Bisa-bisa pakek nanya. Yakali dia snusnu gak kebangun dari tidur.
Hujat ajalah. 😭
Mohon maaf lahir batin ya, Gess. Maapkeun ya kalau Zahtul punya salah.
Semoga kalian nggak bosen sama cerita ini.
🙏