Memoria

By fihaainun_

248 41 61

~Book or writing in which someone tells the memories and events of his life~ Bagi Yoona, Bani adalah segalany... More

Prolog
Tentang Bani
Tentang Pertemuan
Tentang Peduli
Tentang Percaya
Tentang Jatuh Cinta
Tentang Suka

Tentang Prioritas

4 2 0
By fihaainun_

Gue mengedipkan mata beberapa kali, berusaha menyesuaikan cahaya matahari yang mengenai mata. Gue bangkit dan melirik jam di atas nakas. Masih jam 6 pagi.

Gue bangkit lalu berjalan ke arah jendela kamar, berdiri sambil memejamkan mata, menghirup udara pagi yang sangat menyejukkan.

Setelah beberapa menit menikmati sensasi udara pagi, akhirnya gue memilih keluar. Gue berjalan ke arah dapur untuk membuat secangkir kopi di pagi hari.

Hot Cappucino.

Gue membawa secangkir kopi itu ke ruang keluarga. Gue mengambil remote dan mulai menyalakan televisi. Gue meniup kopi itu lalu mulai meneguknya dengan perlahan.

"Kak." Suara itu otomatis menginterupsi gue menghentikan minum kopi. Gue menoleh dan melihat Justin yang kini duduk di sebelah gue.

Setelah meletakkan cangkir kopi itu, akhirnya gue bertanya. "Ada apa?"

"Kakak semalem kenapa nggak ke rumah sakit lagi. Kakak belum pernah sekali pun nengok Mama."

Gue mengalihkan pandangan. "Kakak tidur." Gue berbohong.

Justin mengangguk pelan. "Aku kira Kakak mengabaikan pesan aku lagi."

Gue tersenyum canggung. "Kemarin gak terjadi apa-apa, kan?"

Justin menggeleng. "Nggak. Papa mana berani macem-macem ke Mama kalau ada aku ataupun Kakak."

Gue mengangguk pelan. "Kamu istirahat aja hari ini, mumpung libur sekolah."

Justin menoleh. "Kakak mau gantiin aku jagain Mama?" tanya Justin kaget.

Gue terbelalak. Padahal bukan itu maksud gue.

"Kakak hari ini ada acara." Gue berbohong lagi.

"Acara apa?"

"Ada lah. Acara kelas."

Justin mengangguk pelan. "Kalo gitu, mana bisa aku istirahat hari ini. Nanti gak ada yang jagain Mama."

Gue mengembuskan napas pelan lalu bangkit. "Ya udah. Kalo gitu Kakak mau siap-siap dulu, mau pergi."

"Se-pagi ini?" tanya Justin.

Gue mengangguk. "Kamu kalau capek, berhenti."

Justin menatap gue dengan bingung. "Berhenti apa?"

"Berhenti peduli ke mereka. Berhenti urusin mereka. Itu semua cuma buang waktu kamu aja."

Justin langsung bangkit berdiri dan menatap gue lelah. "Nggak ada yang buang waktu, Kak. Ngurus Mama itu suatu kewajiban buat aku, karena aku anaknya. Kakak ini sebenarnya kenapa, sih? Kenapa benci banget sama keluarga kita?"

Gue menatap Justin lekat. Mungkin pagi ini gue sudah membuat Justin kembali kecewa. Tapi gue bisa apa? Gue tak bisa berbohong pada Justin kalau gue tak benci mereka. Karena sejujurnya gue punya alasan sendiri yang tak pernah Justin tahu kenapa gue bisa sebenci ini.

"Kak. Aku mohon, balik lagi jadi Kak Yoona yang dulu. Kak Yoona yang aku kenal. Kak Yoona yang selalu jadi panutan aku," pinta Justin dengan lelah. Matanya sudah mulai memerah menahan tangis dan kecewa.

Ketika gue hendak menjawab, gue melihat Papa keluar dari kamar dan berdiri di depan pintu kamarnya sambil menatap gue dengan pandangan sulit terbaca.

Gue mengepalkan tangan menahan amarah, lalu kembali memandang Justin. "Kakak duluan." Gue bergegas masuk ke kamar.

Sejak Justin kecil, gue selalu menuruti apapun permintaan Justin. Karena gue selalu menyayangi Justin lebih dari diri gue sendiri.

Tapi untuk permintaan Justin yang satu ini, gue benar-benar sudah tak bisa menurutinya. Permintaan Justin agar gue kembali seperti dulu, menghilangkan rasa benci ini pada mereka.

Entah kenapa hati gue seakan sudah beku, tak dapat dicairkan lagi. Gue cuma berharap suatu waktu, Justin dapat mengerti kenapa gue jadi seperti ini.

🍁🍁🍁

"Ya elaahh, Neng. Niat mau jenguk orang atau nggak ini? Masa iya gak bawa makanan apa-apa, sih?" seru Sebastian sewot.

Gue memang di rumah Sebastian. Gue ke sini hanya karena ingin kabur dari Justin, karena gue tak bisa menuruti permintaannya untuk menengok Mama di rumah sakit.

"Gue bawa sesuatu."

"Bawa apa?" tanya Sebastian langsung terbelalak senang.

Gue menoyor keningnya. "Bawa catatan utang lo! Gak usah pakai sakit-sakitan ngapa biar lo bisa kerja, terus bayar utang ke gue."

Sebastian mendesis. "Ck, perhitungan banget sih sama temen. Utang aja sampe dicatetin kayak Rentenir."

Gue menahan tawa melihat wajahnya, dan memilih untuk duduk di sofa. "Mahesa bentar lagi ke sini. Gue nitip makanan juga ke dia."

Sontak Sebastian langsung terbelalak senang. "Seriusan nih?"

Gue berdeham sebagai jawaban.

"Ya ampuunn..." Sebastian langsung duduk di sebelah gue. "Yoona hari ini cantik banget, deh."

Gue tertawa sambil menendang pantatnya untuk menjauh dari gue. "Najis lo, kalo lagi ada maunya."

Selang beberapa menit, akhirnya Mahesa tiba. Dia membawa beberapa snack ringan dan beberapa minuman kaleng.

Kami pun memilih duduk di lantai dengan sebuah meja di tengah-tengah kami. Gue dan Mahesa duduk berhadap-hadapan, sementara Sebastian duduk di sebelah kiri meja.

"Jadi, di sini kita mau ngapain, nih?" tanya Mahesa sambil membuka sebungkus snack ringan.

"Kan lo berdua mau nengok gue," jawab Sebastian.

"Kan kemaren urusan nengok lo yang sakit mah udah," balas Mahesa.

"Terus sekarang ngapain dong?" tanya Sebastian.

"Nengok lo lagi." Gue pun menjawab. "Nengok lo yang lagi sakit. Sakit jiwa tapi."

Sebastian mendesis sementara Mahesa terkekeh geli.

"Udah udah, Kun. Jangan dengerin omongannya Nyai Ronggeng. Tau sendiri kan omongan dia mah beracun, bisa langsung bikin lo sesek napas."

Gue tertawa dan langsung melempar sebungkus snack ke Mahesa. "Nambah lagi aja nama julukan gue."

"Kita main PS yuk! Bete nih gue," usul Sebastian.

Gue mendengus. "Ya elah, lo mah berdua asik sendiri aja. Terus gue ngapain nanti."

"Lagian tumben banget sih lo ke sini, biasanya juga gak pernah ke sini," seru Mahesa.

"Gue bete kali di rumah terus."

"Gak jalan sama Bani?" Goda Sebastian.

"Bani-nya lagi sibuk sama istri tuanya," tambah Mahesa disusul gelak tawa dari mereka berdua. Mereka ber-high five ria melihat gue yang langsung menekuk wajah.

Istri tua di sini maksudnya Kia.

"Tau ah! Gak asik lo berdua!" Gue langsung bangkit dan tiduran di atas sofa, membiarkan mereka berdua semakin tertawa.

Akhirnya mereka berdua langsung asik di dunianya. Main Play Station tanpa memedulikan gue di sini. Gue cuma menghela napas melihat mereka. Kenapa, sih gue cuma punya mereka sebagai teman?

Kalau sudah seperti ini, yang ada gue hanya bisa suntuk sendiri.

Akhirnya gue memilih memainkan ponsel dan men-scroll beranda Instagram karena jenuh. Dan tanpa sadar, gue semakin mengantuk dan tidak sengaja malah tertidur di sofa.

Ketika gue bangun, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, dan gue mendapati mereka sudah tak ada di sini.

Ke mana mereka berdua?

Gue bangkit dan melihat sekeliling, lalu melihat ada Ibunya Sebastian yang berjalan dari arah dapur.

"Tante." Gue menghampiri dan langsung menyalami Ibunya Sebastian.

"Eh, Yoona udah bangun," seru Tante Mia, Ibunya Sebastian.

"Sebastian sama Mahesa pada ke mana ya, Tante?" tanya gue bingung.

"Oh, mereka tadi katanya keluar sebentar mau beli sesuatu. Sebentar lagi juga dateng orangnya."

Gue mengangguk sebagai jawaban.

Akhirnya gue memilih membasuh wajah terlebih dahulu, lalu kembali duduk di sofa menunggu Sebastian dan Mahesa.

Gue meraih ponsel yang tadi diletakkan di sofa dan melihat ada beberapa panggilan tak terjawab dari Bani.

Akhirnya gue memilih untuk meneleponnya. Saat dering ke tiga, Bani pun mengangkat panggilan teleponnya.

"Hallo?"

"Kamu ke mana? Kok aku telpon gak diangkat terus?" Cecar Bani menggebu-gebu. Mungkin Bani agak kesal karena sudah menelpon lebih dari sepuluh kali tapi tak ada jawaban.

"Aku ketiduran."

"Aku jemput di rumah, ya?"

Gue sedikit tersentak. "Loh? Aku lagi di rumah Sebastian ini. Emangnya kenapa?"

"Mama suruh aku jemput kamu, mau ajak kamu makan malam di sini. Kamu udah dari tadi di rumah Sebastiannya?"

"Aku dari pagi di sini."

"Terus masih ada urusan nggak di situ?"

"Nggak. Mahesa sama Sebastiannya juga lagi pergi tuh gak tau ke mana. Kamu jemput aku di sini aja, ya."

"Iya aku jemput. Send location alamatnya aja."

"Oke, aku send location."

"Ya udah. Kamu tunggu di sana, jangan ke mana-mana."

"Iya iya."

"Love you...."

"Love you too...."

Setelah panggilan telepon berakhir, akhirnya gue segera membereskan sampah-sampah snack bekas Sebastian dan Mahesa, lalu bersiap-siap untuk pergi.

🍁🍁🍁

"Hallo, Yoona. Kamu apa kabar?" Mama Nisa_Ibunya Bani_langsung menghambur ke pelukan begitu gue memasuki rumahnya.

Gue tersenyum dan balas memeluknya. "Aku baik, Ma. Mama sehat?"

Mama Nisa melepas pelukannya. "Alhamdulillah Mama sehat." Dan dia langsung menarik hidung gue. "Duh, makin cantik aja sih calon mantu," serunya disusul tawa pelannya, tak pelak membuat gue langsung ikut tertawa juga.

"Makasih, Mama."

"Udah, ngobrolnya sambil makan aja yuk. Udah laper nih." Bani yang sudah terlihat lapar langsung menuju ruang makan dengan tak sabaran, membuat gue dan Mama Nisa tertawa.

Gue memang sesekali datang ke sini, makanya gue sudah akrab dengan keluarga Bani.

Gue menyalami Papa Bram yang sudah duduk di meja makan dengan Bani.

"Duduk di samping Mama, Yoona." Mama Nisa menginterupsi, dan gue pun dengan senang hati menurut untuk duduk di sampingnya.

"Ini Mama buat masakan kesukaan kamu tau," serunya sambil menyodorkan sepiring udang saus tiram ke gue.

Gue terbelalak senang. "Wah, makasih banyak, Mama."

"Sama-sama cantik." Mama Nisa pun ikut tersenyum juga.

Bani yang sudah menyantap makanan terlebih dahulu langsung memajukan bibirnya. "Mama kok licik, ih. Caper banget sama Yoona. Pakai dimasakin makanan kesukaannya segala."

Penuturan Bani langsung membuat semuanya tertawa.

"Kamu kok jadi orang sirik aja sih."

"Mama kamu, kan pengen punya anak perempuan. Makanya dia perhatian ke Yoona," tutur Papa Bram.

"Terus aku yang anak kandungnya dicampakin, gitu?" tanya Bani sambil memasang ekspresi kecewa membuat semuanya kembali tertawa.

"Tuh, kan? Ini yang syirik terus, ya kamu ini," seru Papa Bram lagi.

"Udah, udah, Pa. Bani mah gak usah diladenin," balas Mama Nisa.

Gue tersenyum lalu mulai menyantap makanan lagi. Saat masih asyik menyantap makanan, terdengar deringan ponsel yang ternyata milik Bani.

Gue mengangkat wajah dan melihat Bani yang duduk di hadapan gue bangkit berdiri untuk mengangkat teleponnya. Gue menoleh memandang Bani yang mulai menjauh.

Selang beberapa menit, Bani kembali lagi ke meja makan dan menginterupsi Mama Nisa untuk segera mengikutinya.

Mereka terlihat berbincang-bincang sebentar, dan gue lihat Bani seolah tengah meminta suatu persetujuan ke Mama Nisa.

Akhirnya mereka kembali ke meja makan. Mama Nisa langsung duduk kembali, sementara Bani masih tetap berdiri dan memandang gue.

"Ada apa?" tanya gue bingung.

Bani menghela napas perlahan. "Kamu gak papa kan, ditinggal dulu di sini?"

Gue mengerjap kaget. "Emangnya kenapa? Kamu mau ke mana?"

Bani menoleh menatap Mama Nisa, dan Mama Nisa mulai mengelus pundak gue. "Bani mau pergi dulu sebentar, nanti dia ke sini lagi."

"Emangnya Bani mau ke mana, Ma?" tanya Papa Bram mewakili gue.

Bani mengembuskan napas. "Aku mau ke rumah Kia dulu."

Gue tertegun. "Tapi kamu belum selesai makan. Emangnya mau ngapain ke rumah Kak Kia?"

Bani diam, seperti bingung harus menjawab apa. Dia pun berjalan ke samping gue dan mengelus puncak kepala gue dengan pelan. "Aku cuma sebentar ke sananya. Nanti aku ke sini lagi. Kamu jangan pulang dulu, ya. Biar aku yang anterin."

Gue menelan ludah dengan pahit. Bahkan, saat ada gue yang tengah berkumpul bareng keluarganya pun, Bani lebih mementingkan Kia?

Bani ini kenapa sih?

Gue menatap lurus ke depan. "Ya udah pergi aja."

"Kamu gak apa-apa kan, ditinggal di sini?" tanya Bani lagi.

"Iya."

"Ya udah aku pergi dulu." Bani menatap kedua orang tuanya. "Ma, Pa, aku pergi dulu."

Setelah Bani pergi, gue hanya melanjutkan makan dengan diam. Sesekali hanya menjawab apa yang ditanyakan Mama Nisa dan Papa Bram. Entah kenapa, ditinggal Bani seperti ini rasanya sesak sekali, seolah ada sesuatu yang menindih dada gue.

Dan lebih menyesakkan lagi, ketika Bani berjanji hanya pergi sebentar, tapi dia pun mengingkari janjinya.

Gue yang duduk di sofa sambil memegang ponsel pun hanya bisa menelan pahit rasa kecewa.

"Bani belum bisa dihubungi?" tanya Mama Nisa menghampiri gue.

Gue tersenyum. "Belum, Ma. Aku pulang aja, ya."

"Tapi Bani nanti nanyain kamu."

Gue kembali tersenyum. "Nggak papa. Nanti aku kirim pesan ke Bani kalo aku pulang sendiri."

Mama Nisa terlihat gelisah. "Biar Papa Bram aja yang anterin kamu pulang, ya?"

Gue menggeleng. "Nggak usah, Ma. Yoona bisa kok pulang sendiri."

"Tapi ini udah malem loh, Nak."

Gue tersenyum. "Nggak papa, Ma. Yoona berani kok."

Mama Nisa mengembuskan napas pelan. "Ya udah. Biar Mama yang pesen taksi online-nya."

Gue menatap ponsel kembali dengan kecewa. Kenapa Bani selalu ingkar janji setiap pergi bersama Kia?

Dan, kenapa Bani lebih mementingkan Kia dibanding gue pacarnya?

Sebenarnya gue ini siapanya Bani.

Prioritas, atau mayoritasnya?

🍁🍁🍁

Continue Reading

You'll Also Like

30.8M 2M 103
COMPLETED! MASIH LENGKAP DI WATTPAD. DON'T COPY MY STORY! NO PLAGIAT!! (Beberapa bagian yang 18+ dipisah dari cerita, ada di cerita berjudul "Private...
2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.❞▫not an...
790K 53.3K 40
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
2.3M 135K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...