House of Cards✓

By dydtedi

8.5K 1.3K 788

Even if you say you see the end Even if you say it will collapse again Even if you say its a useless dream Ju... More

Prolog
1st Card
2nd Card
3rd Card
4th Card
5th Card
6th Card
7th Card
8th Card
9th Card
10th Card
11th Card
12th Card
13th Card
15th Card
16th Card
17th Card
18th Card
Secret Card
19th Card
20th Card
21st Card
22nd Card
23rd Card
24th card
25th Card
26th Card
27th Card
Epilog
Author's Card

14th Card

246 42 16
By dydtedi

Warning!

This chapter contains self-harming behavior.

Skip sampai bagian bertanda bintang (*) jika kamu merasa tidak nyaman membaca hal-hal yang berhubungan dengan selfhate, harming, cut dsb.

Adegan yang tidak baik dalam part ini bukan untuk ditiru. Jika kamu sedang mengalami keadaan yang tidak baik, aku harap semuanya lekas membaik dan kamu tetap baik baik saja💜

--------

Sebetulnya, semua ini salah siapa?

“Sepertinya kau harus mengingat latar belakang pernikahan kita.”

Jihye mengalihkan pandangan ke arah lain selain lengan kirinya. Memandang langit-langit kamar yang biasa saja. Kosong dan membosankan. Menghalau cairan bening yang siap membasahi pipi, tapi tidak! Jihye tidak mengizinkan dirinya menangis. Tangan kanannya bergerak dengan yakin.

“Aku setuju untuk mengurus restoran dan menerima perjodohan ini karena ayah menjanjikan kehidupan bebasku kembali.”

Satu gores.
Jihye tidak merasa apa pun.

“Bukankah kau memang menyedihkan? Bersedia menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak mencintaimu?”

Dua gores.
Sepertinya tidak ada lagi rasa sakit yang bisa dia rasakan..

“Kau tahu, Jihye? Menjadi ayah secepat ini tidak pernah ada dalam rencana hidupku.”

Cukup Jihye …

“Mari akhiri semuanya dengan benar.”

*
Cukup! Perempuan itu memejam mata dan menghela napas panjang. Dadanya terasa lebih lapang sekarang. Tangannya tampak biasa meletakkan kembali jarum yang diambilnya dari laci kecil di samping ranjang. Beberapa hari lalu Jihye menjahit robekan kecil pada salah satu bajunya yang masih bisa dipakai. Jadi benda kecil itu masih ada di sekitarnya.

Bibir tipis itu menyungging senyum getir.

Ini bukan kali pertama Jihye melukai diri seumur hidupnya. Bukan juga kali pertama Jihye melukai diri sejak bersama Hoseok. Perempuan itu bahkan pernah mencoba benda-benda tajam lain yang membantunya melampiaskan kesedihan―juga emosinya.

Jihye ingat, pengalaman pertamanya adalah saat ayah dan ibunya bertengkar hebat beberapa tahun yang lalu. Mendengar isak tangis ibunya, diam-diam Jihye turut meratap di balik pintu kamar yang terkunci. Jihye tahu, ibunya mengunci pintu dari luar supaya Jihye tidak terbangun mendengar perselisihan yang tidak jarang tersebut. Ibunya terlalu menyayangi Jihye. Namun Jihye bahkan bisa mendengar suara-suara benda dilempar dan pecah menghantam dinding kamarnya. Jihye takut, ingin berontak, melawan, marah pada sang ayah, tapi ia tahu hal itu akan membuat Ibunya semakin sedih. Menatapnya dengan perasaan bersalah karena mengkhawatirkan psikologi Jihye yang kerap melihat pertengkaran orang tua. Jadi selama ayahnya hanya melampiaskan pada benda sekitar dan tidak menyentuh ibunya, Jihye menahan diri demi tidak melihat ibunya merasa bersalah. Namun demi tetap terlihat baik-baik saja seolah pertengkaran yang ia dengar tidak pernah terjadi, Jihye butuh pelampiasan.

Saat itu dia melihat jarum jahit yang biasa disimpan di meja rias. Beberapa luka yang harus dia tutupi dengan baju lengan panjang keesokan harinya, membuat hatinya mati. Setidaknya untuk saat itu.

Jihye tidak suka terlihat lemah. Pengendalian emosi terbaik yang ia temukan adalah melukai diri sendiri. Dia tidak bisa melawan ayahnya, tentu, jadi dia melampiaskan semua kekesalannya dengan goresan-goresan kasar pada lengannya. Tidak pernah terlalu parah. Tidak sampai disadari oleh orang lain. Namun bagi Jihye, cukup membuatnya kembali tenang. Kembali tampak dingin. Melihat bekas-bekas panjang yang tidak terlalu dalam, tapi tetap terasa perih, air matanya seakan diusir kembali masuk dan tidak diizinkan keluar. Perempuan itu kembali menarik napas dalam. Begitulah selama ini cara Jihye melindungi diri.

Sejak bersama Hoseok, ini sudah kali ketiga Jihye membuat luka baru di tangannya. Bukan masalah besar, tidak perlu terlalu dipikirkan. Hoseok tidak sepenuhnya salah di sini. Dia sendiri yang mengatakan bahwa mereka punya alasannya masing-masing untuk mempertahankan pernikahan. Jihye tidak berhak marah. Jangan. Itu akan membuatnya terlihat konyol.

Mari kita lihat saja sampai sejauh mana semua drama ini akan berlanjut. Sekuat apa Jihye bisa bertahan. Sekeras apa Hoseok pada pendiriannya. Pernikahan serupa tumpukan kartu ini, mungkinkah dapat tetap berdiri utuh meski memiliki pondasi yang rapuh?

Pada nyatanya Jihye masih ingin mengetahui, apakah pernikahan masih merupakan suatu ikatan yang suci.




“Nanti kujemput jam berapa?” tanya Hoseok, menghentikan mobilnya tak jauh dari kantor penerbitan tempat Jihye bekerja. Hubungan mereka memang masih tampak baik-baik saja. Baik-baik saja karena Jihye menyembunyikan perasaannya dari Hoseok. Hanya saja dia mengurangi berbicara dengan Hoseok. Menghindari keinginan untuk mengumpatinya diam-diam dalam hati.

“Terserah,” jawab Jihye singkat. Perempuan itu membuka pintu mobil dan bersiap keluar. Namun Hoseok cepat menahan pergelangan tangannya. Sejujurnya, Jihye merasa tidak nyaman dengan itu.

Melepas pergelangannya dari cekalan Hoseok, Jihye menunggu laki-laki itu mengatakan apa yang dia ingin.

“Jangan lewatkan makan siangmu, jaga bayi kita baik-baik.” Jihye membalasnya dengan gumaman malas. Terlalu malas berlama-lama dengan suaminya sendiri. Sebentar saja dia ingin jauh dari laki-laki itu. Nanti jika dia sudah benar-benar tenang, akan dia lanjutkan peran sandiwaranya menjadi istri Hoseok yang kooperatif.

Jika yang dikhawatirkan Hoseok hanya tentang bayinya, tenang saja, Jihye tentu akan menjaganya dengan baik.

Di sisi lain, Hoseok menyadari ada yang berbeda dengan Jihye beberapa hari ini. Selain fisiknya yang semakin berisi karena kehadiran bayi mereka, Jihye juga kembali tampak dingin. Hoseok sendiri tidak tahu apa yang salah. Dia selalu berusaha dekat dengan Jihye, tapi istrinya seakan membatasi diri. Laki-laki itu menyandarkan kepala pada sandaran pengemudi, mengamati Jihye yang berjalan memasuki kantor dan menghilang setelah melewati pintu kaca otomatis.

Setelah ini dia juga harus bergegas menuju restoran. Namun mengingat perdebatan terakhir dengan kakaknya, Hoseok semakin merasa enggan.

Bergelut dalam bidang yang tidak ia sukai, lama kelamaan Hoseok merasa jenuh.

Dia ingin kembali pada kehidupannya sebagai seorang dancer. Rasanya lebih bebas dan tidak terlalu banyak tekanan. Tidak ada persaingan bisnis, tidak ada tuntutan untuk kenaikan pendapatan. Tidak sibuk di satu tempat saja. Lagipula beberapa bulan ini pendapatan restoran selalu mengalami peningkatan. Bagi Hoseok itu sudah merupakan bukti bahwa dia bisa menciptakan kemajuan. Hoseok tidak berniat untuk selamanya mengurus bisnis keluarga ini. Jika mengingat lagi pembicaraannya dengan sang ayah rasanya dia seperti dijebak.

“Jangan kekanakan!” Hoseok bisa melihat betapa frustrasi Jiwoo berbicara dengannya, tapi dia juga tidak mau mengalah. “Kalau bukan kau, siapa lagi yang akan meneruskannya Hoseok-ah! Restoran itu satu-satunya aset keluarga kita yang berharga. Namanya sudah terlanjur besar. Lagipula darimana kau mendapatkan penghasilan jika bukan dari restoran itu?”

Membicarakan penghasilan? Ternyata kakaknya juga sama dengan sang ayah. Hoseok tidak suka mendengarnya. “Jangan meremehkanku, Noona! Meski bukan karena restoran itu, aku masih bisa mendapatkan uang!”

“Seok, sudah sejauh ini. Kalau kau menginginkan kehidupanmu semasa menjadi dancer kembali¸ bagaimana dengan Jihye? Jangan konyol!”

“Memangnya kenapa dengan Jihye? Dia tetap istriku, Noona. Aku tidak sebajingan itu.”

“Tapi dibanding saat kau sering latihan untuk kompetisi, mengurus restoran membuatmu punya waktu luang lebih banyak kan? Kau harus menerima kenyataan. Kau sudah tidak bisa sebebas dulu, Seok. Dulu kau masih lajang, bisa melakukan apa pun yang kau mau. Pergi ke mana saja yang kau ingin. Sekarang kau punya istri dan calon anak yang sudah jadi tanggung jawabmu. Kau tidak boleh egois.”

Sepertinya … kakaknya benar.

Dengan berat hati Hoseok mengakui hal itu.

Dia punya Jihye sekarang―yang status dan kondisinya jelas berbeda dengan Hana. Namun rasanya masih tidak rela. Apa memang Hoseok sudah tidak bisa menari lagi? Satu-satunya hobi yang sangat dia suka bahkan cinta. Apa memang Hoseok hanya akan menghabiskan sisa hidupnya sebagai seorang suami, ayah dan pemilik restoran yang selalu menyelesaikan pekerjaan di  ruangan membosankan? Sungguh? Membayangkannya lebih jauh membuat Hoseok pening. Dia tidak bergairah lagi untuk berangkat kerja.

xxxxx
Dikit nggak sih ini?
Kurang apa part ini gaes?
Kalau ada bagian yang menurut kalian kurang jangan sungkan sungkan kasih tahu ya. Aku menerima beragam pendapat.
Jaga kesehatan

Dydte, 18 Mei 2020

Continue Reading

You'll Also Like

453K 45.7K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
1M 83.7K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
222K 33.3K 60
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
1.1K 93 7
[COMPLETED] (Memories In Nature Series) Dia, aroma musim gugur yang hangat. Copyright © 2018 by ayundaauras