House of Cards✓

By dydtedi

8.6K 1.3K 788

Even if you say you see the end Even if you say it will collapse again Even if you say its a useless dream Ju... More

Prolog
1st Card
2nd Card
3rd Card
4th Card
5th Card
6th Card
7th Card
8th Card
9th Card
10th Card
11th Card
12th Card
14th Card
15th Card
16th Card
17th Card
18th Card
Secret Card
19th Card
20th Card
21st Card
22nd Card
23rd Card
24th card
25th Card
26th Card
27th Card
Epilog
Author's Card

13th Card

262 40 29
By dydtedi

Coba bacanya sambil dengerin House of Cards🎶
Selamat membaca💜
----

Es serut, sirup, susu kental manis dan taburan buah-buah segar. Hoseok menyodorkan seporsi Bingsu buatannya ke hadapan Jihye. Meski masih tidak yakin dengan rasanya, tapi dia percaya diri. Buah dan susu tidak pernah punya rasa yang aneh, kan?

“Berantakan.”

Hoseok mendelik mendengar itu.

“Aku tidak minta pendapatmu, Hyung!” Dengan isyarat matanya, laki-laki itu menyuruh Seokjin keluar.

“Memang tidak tahu terima kasih kau Jung Hoseok!” hardik Seokjin, sedikit kesal. Dia keluar dari ruangan Hoseok dengan masih menggerutu. Laki-laki itu memang sedikit membantu Hoseok tadi. Maklum saja, meski anak dari pemilik restoran, Hoseok kan belum pernah membuat Bingsu sendiri. Kalau makan dia sering. Apalagi saat masih menjalin hubungan dengan Hana

Sebatas pengetahuan Hoseok Bingsu hanya es serut dengan topping buah-buah. Namun menyajikannya untuk orang lain ternyata tidak sesederhana itu. Dia akui tampilan bingsunya memang jauh bila dibanding buatan Seokjin yang dihidangkan untuk para pelanggan, tapi … Hey! Dia kan membuat ini khusus untuk anaknya. Tidak ada yang bisa menandingi untuk hal itu.

“Bagaimana?”tanyanya pada Jihye. Entah mengapa dia begitu gugup, persis seperti peserta master chef menunggu komentar juri. Apalagi perempuan itu sedang menempati kursi kerja Hoseok, sementara Hoseok duduk di hadapannya.

“Berantakan,” komentar Jihye membeo Seokjin. Begitu datar. Jika bukan karena senyum jahil Jihye setelahnya, Hoseok sudah mengira Jihye serius.

“Ayolah Jihye. Kau bahkan belum mencoba rasanya,” keluh Hoseok tak teruma. “Mau kusuapi lagi?”

“Tidak, terima kasih.” Jihye menyendok sesuap penuh Bingsu. Sensasi dingin yang manis langsung menyapa indera perasanya saat serutan es itu lumer di mulut. Rasanya nikmat. Jihye mencoba sesendok lagi. Kali ini segarnya potongan buah membuatnya ingin makan lagi dan lagi.

“Enak!” komentar Jihye tulus membuat Hoseok tersenyum lega. Apalagi melihat betapa antusiasnya Jihye. Laki-laki itu meraih sendok baru untuk turut mencicipi. Belum sampai sendok Hoseok menyentuh gelas, Jihye menahan dengan miliknya sendiri.

“Punyaku,” ujarnya kembali datar. Kali ini benar-benar serius. Dia mendorong  sendok milik Hoseok menjauh dari bingsunya.

“Jihye?” Hoseok hanya ingin mencicipi sesendok. Masa tidak boleh? Hoseok bandel dan Jihye tetap bersikeras melarangnya.

“Hoseok!”

“Oh baiklah! Makan semuanya aku bisa buat sendiri lagi nanti!” Hoseok bangkit dan meninggalkan Jihye. Bukan merajuk. Dia memang harus menyelesaikan sesuatu untuk restorannya. Mengetahui hal itu Jihye tidak peduli. Bingsunya lebih menarik.

“Enak kan, Sayang? Kapan-kapan kita kerjai ayahmu lagi,” gumam Jihye, tersenyum. Menghabiskan buah buah masam dalam gelasnya.

Entah sejak kapan Hoseok dan Jihye menjadi sesantai ini. Mungkin setelah kejadian di rumah sakit? Atau karena Hoseok dan Jihye lebih sering berinteraksi saat di rumah orangtuanya? Jihye tidak mau terlalu memikirkan hal itu. Dia rasa hubungan yang seperti ini memang terasa lebih baik untuk mereka.

Meski mereka lebih leluasa bercanda layaknya teman, bukan berarti Hoseok dan Jihye telah menjadi dekat. Masih banyak hal yang tidak Jihye ketahui tentang Hoseok, begitu juga sebaliknya. Dan Jihye pun tidak memiliki keinginan untuk mengetahui lebih jauh. Jihye tidak ingin Hoseok berpikiran macam-macam karena hal itu. Lagipula Hoseok saja tidak begitu peduli dengannya, kenapa dia harus begitu peduli tentang Hoseok?

Selama semuanya tetap berjalan seperti biasa, semuanya masih baik-baik saja untuk Jihye.

Semuanya harus tetap baik-baik saja.

Ketika Hoseok dan Jihye kembali ke rumah, orang pertama yang menyambut mereka adalah Jung Jiwoo. Dengan senyum lembutnya dan pelukan hangat menyapa Jihye. Rasanya memang sudah beberapa bulan Jihye tidak pernah bertemu kakak perempuan Hoseok tersebut. Padahal Jiwoo adalah lawan bicara yang cukup menyenangkan.

“Selamat untuk kehamilanmu, Jihye,” ucap Jiwoo tulus. Perempuan itu sangat antusias menunggu kehadiran keponakan pertamanya. “Kuharap Hoseok bisa menjagamu dengan baik.”

Mendapat lirikan sekaligus sindiran halus dari kakaknya, Hoseok mendengus.

“Hoseok baik, kalau tidak aku tetap bisa menjaganya sendiri,” balas Jihye tak serius, tidak sepenuhnya bercanda juga. Meski nadanya terdengar biasa saja cenderung santai, tapi mendengarnya secara langsung membuat Jiwoo tidak kuasa menahan tawa.

“Aku mau mandi. Kalian lanjutkan saja reuninya,” ujar Hoseok, sebelum berlalu melewati dua orang perempuan muda di hadapannya. Daripada menjadi bulan-bulanan kakaknya. Jihye bisa melihat Jiwoo tersenyum puas. Seperti dia memang sengaja menggoda adiknya.

“Kadang kelakuannya masih seperti anak kecil bukan?”tanya Jiwoo retoris. Perempuan itu menatap Jihye yang hanya menanggapinya dengan gumaman. “Tapi dia sudah cukup dewasa untuk menjadi seorang ayah, Jihye. Hoseok orang yang sangat penyayang.”

“Aku tahu itu,” komentar Jihye singkat. Hoseok tidak mungkin tidak sayang anaknya. Jihye tahu itu. Pada nyatanya yang membuat laki-laki itu mau mengubah sikapnya adalah kehamilan Jihye. Jika bukan karena anaknya, Hoseok pasti tidak akan peduli.

“Percaya padanya Jihye. Hoseok pasti bisa membahagiakanmu. Dia pasti bisa menjagamu.”

Walaupun lebih terdengar sepeti bujukan, Jihye tahu Jiwoo begitu yakin dengan kata-katanya. Perempuan itu lebih mengenal Hoseok dibanding Jihye. Meski begitu, Jihye tidak tahu harus mempercayai ucapan Jiwoo atau tidak. Namun yang pasti, untuk sepenuhnya percaya pada Hoseok, Jihye belum bisa.

Jihye tidak terbiasa hidup bergantung pada orang lain. Lebih tepatnya dia tidak ingin hidupnya bergantung pada orang lain. Menyerahkan seluruh kepercayaannya pada laki-laki adalah gerbang pertama menuju patah hati. Sudah banyak pengalaman orang lain yang ditemuinya tentang itu.

Atau haruskah Jihye memberi Hoseok dan dirinya sendiri kesempatan?

Memikirkan pembicaraannya dengan Jiwoo membuat Jihye sedikit kehilangan mood. Perempuan itu pamit untuk beristirahat sebentar setelah Hoseok keluar dari kamar mandi. Di dalam kamar, Jihye kembali berpikir, haruskah dia memberi pernikahan ini kesempatan? Kesempatan untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang benar dengan Hoseok. Kesempatan untuk membangun kebahagiaan bersama. Kesempatan untuk belajar tentang … cinta? Cinta? Serius? Tidakkah berlebihan membawa-bawa tentang cinta dalam kisah ini. Jihye memang sering mendengar bahwa cinta bisa datang karena terbiasa. Namun cinta hadir di antara dirinya dan Hoseok? Tidak mungkin.

Tidak mungkin. Sungguh. Jihye tidak bisa melihat cela di mana hubungannya dengan Hoseok bisa sampai ke tahap seserius itu. Ingatkan dia, jangan terlalu berharap.

Jangan terlalu berharap, karena nyatanya, harapan yang terlalu tinggi selalu bisa menghempaskanmu lebih jauh dari apa yang kau impi.

 “Kau gila ya! Setelah selama ini, kau tetap memikirkan perihal itu? Kau sudah hampir punya anak Jung Hoseok!”

Jihye tidak berniat menguping. Sungguh. Dia hanya merasa haus dan ingin mencari sesuatu yang menyegarkan di dapur. Namun langkahnya terhenti ketika menyadari adanya pembicaraan serius antara Hoseok dan Jiwoo. Dia diam di balik dinding sekat antara dapur dan kamarnya. Jihye tahu, pasti yang mereka bicarakan ada kaitan dengannya.

“Tapi aku memang melakukan semua ini, karena perjanjianku dengan Ayah, Noona!” Hoseok menahan suaranya agar tidak terlalu keras. Tidak cukup keras untuk terdengar sampai kamar mereka, tapi cukup untuk membuat Jihye merasa buruk dengan pemikiran-pemikiran di otaknya.

“Aku setuju untuk mengurus restoran dan menerima perjodohan ini karena ayah menjanjikan kehidupan bebasku kembali. Kau tidak tahu seberapa ingin aku kembali ke dunia yang kusuka. Sesuatu yang kucintai!”

Menarik napas dalam. Ada sesuatu yang terasa sesak di dalam dadanya. Kini Jihye tahu alasan Hoseok bersedia menikah dengan seseorang yang tidak menarik sepertinya. Kini dia tahu. Tapi apa salahnya Jihye? Kau juga punya alasan sendiri, kan? Namun entah mengapa, ada perasaan sakit yang Jihye rasakan mendengar pernyataan ini. Jadi sampai saat ini … dia adalah sesuatu yang dipertaruhkan untuk sebuah kebebasan? Rupanya kedudukannya sepadan dengan restoran yang baru tadi siang dia kunjungi.

“Kukira kau yang paling mengerti, Noona. Tidak bisakah kau bicara pada Ayah?”

“Tidak. Aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, Jung Hoseok!”

Jihye juga tidak mengerti. Sungguh. Apa maksud dari semua ini? Bagaimana dia harus menyikapi kenyataan ini ke depannya? Kenapa?

Tolong ingatkan Jihye, jangan terlalu berharap pada pernikahan yang rapuh dan seseorang yang tidak pasti.

xxxx
Kau terangi jiwaku kau redupkan lagi 🎶🎶🎶
Sebenarnya semua ini salah siapa 😭😭
Kritik, saran dan hujatannya dinanti Gaes
Semoga kalian sekeluarga selalu sehat 💜
Terima kasih sudah sampai sini🙏

Dydte, 8 Mei 2020

Continue Reading

You'll Also Like

3.1K 583 38
stereotip anak BEM; akademik bye, lebih penting proker daripada kuliah, rapat begadang bahkan sampe nginep di sekre berhari-hari. iya kah? #1 - hans...
981K 146K 33
[COMPLETED] Ya. Dia selalu mendominasi hidupku dengan kelembutan, kebaikkan, serta perhatian yang membuatku lupa dengan posisi ku. Tapi, sampai hari...
210K 22.7K 43
Menyesal! Haechan menyesal memaksakan kehendaknya untuk bersama dengan Mark Lee, harga yang harus ia bayar untuk memperjuangkan pria itu begitu mahal...
809K 59.3K 53
"Seharusnya aku mati di tangannya, bukan terjerat dengannya." Nasib seorang gadis yang jiwanya berpindah ke tubuh seorang tokoh figuran di novel, ter...