Dersik

By khanifahda

758K 94.4K 6.6K

Hutan, senjata, spionase, dan kawannya adalah hal mutlak yang akan selalu melingkupi hidupku. Namun tidak se... More

Peta
Khatulistiwa
Proyeksi
Kontur
Skala
Topografi
Distorsi
Spasial
Meridian
Citra
Evaporasi
Kondensasi
Adveksi
Presipitasi
Infiltrasi
Limpasan
Ablasi
Akuifer
Intersepsi
Dendritik
Rektangular
Radial Sentrifugal
Radial Sentripetal
Annular
Trellis
Pinnate
Konsekuen
Resekuen
Subsekuen
Obsekuen
Insekuen
Superposed
Anteseden
Symmetric Fold
Asymmetric Fold
Isoclinal Fold
Overturned Fold
Overthrust
Drag fold
En enchelon fold
Culmination
Synclinorium
Anticlinorium
Antiklin
Sinklin
Limb
Axial Plane
Axial Surface
Crest
Through
Delta
Meander
Braided Stream
Oxbow Lake
Bar Deposit
Alluvial Fan
Backswamp
Natural Levee
Flood Plain
Horst
"Graben"

Perkolasi

12.2K 1.4K 62
By khanifahda

n penyaringan

Tn perembesan air tanah ke arah bawah, biasanya terjadi ketika tanah dalam keadaan jenuh.

.
.

"Fokus amat Ya." Gayatri mendongak. Meta datang membawa sebuah bungkusan di totebag berwarna hitam.

"Heem."

"Lagi fokus apa?" Meta duduk di kursi depan meja Gayatri. Gadis itu menatap bendelan berupa kasus yang sedang di tangani oleh Gayatri.

"Ini lagi baca-baca sih."

"Gimana perkembangan kasus pembunuhan berencana kemarin?" Tanya Gayatri. Meta sedang menangani kasus pembunuhan berencana yang melibatkan satu keluarga.

"Sejauh ini masih aman-aman aja sih Ya. Terus kasus lo?"

Gayatri mengernyit. "Agak janggal menurutku Ta. Dari kemarin gue baca bolak-balik dan nemu gap yang mencurigakan."

"Mencurigakan gimana?" Meta mengeluarkan kotak bekal dari totebag yang ia bawa. Lantas seperti biasa yaitu membukanya dan dimakan bersama Gayatri.

"Ada pihak yang terputus di sini. Kita udah ngintai sekitaran sebulan bahkan beberapa tim udah kebentuk setengah tahun yang lalu. Cukup lama tapi data yang gue baca nggak masuk akal."

"Ini nih. Pergerakan si A dari Aceh, Palembang langsung ke Malaysia. Pertanyaannya, gimana bisa kecolongan gap yang begitu lebar, sedangkan sebelum ke Malaysia dia ke deteksi sedang berada di Papua. Gila, jauh banget kan?" Gayatri memperlihatkan skema kasusnya. Gayatri membuat skema pergerakan dengan rapi di buku catatannya. Hal itu memudahkan dirinya untuk membuka suatu kasus dan bisa menemukan jalan keluar yang terbaik.

"Dan di Papua, dia nggak ada catatan mencurigakan. Hanya liburan dan yah, makan-makan kayak orang kaya. Tapi selama itukah transaksi narkoba cuti? Nggak bakal gembong narkoba internasional cuti order dengan penghasilan per bulan di taksir 10 miliar. Kan tambah aneh Ta." Meta mengangguk. Benar apa yang dikatakan oleh Gayatri. Disini rasanya sangat janggal. Tak mungkin dibiarkan begitu saja.

"Dan disini, dideteksi kembali di Malang selama seminggu, tapi nggak tahu di sana ngapain karena tim telat buat tanggap dan ini adalah pihak B alias tangan kanan A."

"Jadi ini ada pihak yang terkait." Gayatri mengangguk, ia sepemikiran dengan Meta.

"Oke. Nggak heran sih. Ini proyek gede, ganja narkoba, laris manis di mana pun. Nggak bakal satu pihak aja dengan resiko yang sangat besar ini."

"Dan pihak B pake other identity. Tambah ruwet kan?"

Meta lantas mengambil bendelan dan ikut membaca. Ia masih penasaran dengan hal ini.

"Konspirasi perdagangan perempuan dan pasar gelap." Meta mengernyit, lalu menatap Gayatri.

"Holy sh*t!" Gayatri mendengus menatap Meta. "Santai aja kali Ta." Meta di tempatnya kesal setelah membaca bundelan kasus yang Gayatri tangani.

"Tapi ini gila Ya. Kita bakal kerja keras kalau gini. Ini bukan kasus ringan. Ini perdagangan manusia dan narkoba, gila! Match banget dan tumbuh subur."

"Dan gue nggak bisa mastiin ini prostitusi dari pihak kalangan bawah. Ini bisnis gede."

"Kok gue tertarik sama kasus lo Ya. Ini tuh boom banget, misal kita berhasil, suatu kebanggaan Kepolisian dan bisa ngungkapin kasus lain. Gue nggak yakin kasusnya nggak cuma ini doang. Ribuan kasus kecil mesti terlibat."

"Dan laporan terakhir, pihak A ada di Jakarta. See, neraka sudah dekat Ta." Meta terkekeh pelan. "Lo seharusnya masuk BIN aja deh Ya. Sumpah ini terlalu beresiko buat lo. Dunia mafia itu kejam dan psikopat. Tumbuh layaknya jamur dan tersebar bagai virus. It's not simple case. Its complicated and you must be carefull."

Gayatri menghela nafasnya, lantas tersenyum kecil. "Dari awal gue masuk intelegen, gue udah setor nyawa. Gue udah nyakinin kalau gue bakal siap terluka, kena teror balik bahkan sampai di bunuh. Ini bukan perkara simple memang. Tapi kalau kita nggak gerak? Siapa lagi? Narkoba, ganja, perdagangan manusia, toxic yang harus di berantas. Ini bukan mengancam kelangsungan dan ketentraman bernegara, tetapi mengancam generasi muda. Gue nggak bisa bayangin negara ini hancur karena pihak apatis yang nggak mau gerak lihat bandar narkoba dan ganja tetap melenggang manis di jalanan sambil menjajajakan dagangannya."

"Sama alkohol aja gue nggak toleran kok ini ganja narkoba. No way. Merusak akal sehat dan merusak jiwa yang harusnya tenang." Lanjut Gayatri. Entah mengapa ia tak bisa toleran dengan alkohol tetapi jika orang lain yang minum, Gayatri tak akan sampai kepanasan untuk menegur karena itu hak mereka, mereka pasti sudah tahu hukum dan dampaknya.

"Tapi ini sulit Ya. Ini besar. Dan bukan libatin pihak ABC aja, tapi ada payung besar yang naungi mereka. Gue bukan nuduh siapa-siapa, tapi ini pendapat gue.

"Bener juga ucapan lo." Gayatri menerawang jauh. Gadis itu tiba-tiba mendapat ilham setelah berbicara dengan Meta.

"Semoga Tuhan menjauhkan aparat negara dari hal ini." Gumam Gayatri sambil membuka data-data yang ia punya.

Gayatri mendesah di tempatnya. Lantas menatap Meta yang sudah menunggu respon Gayatri. Wajah Gayatri berubah, layaknya mendapat kabar yang tak sedap. "Lo bener Ta. Gue bukan hanya mencari mati, tapi cuma-cuma nganterin nyawa ke bedebah sial*n itu."

*****

Raksa memutar bola matanya malas ketika menjemput seorang perempuan dengan sepatu boot hitam dengan tunik tebal berwarna putih dan celana jeans hitam. Jangan lupakan juga pashmina yang begitu simple di pakai olehnya. Namun, Hira justru terlihat aneh dimata sang abang.

"Lo mau ke LN dek? Kenapa pake baju ala-ala musim dingin sih? Lo lupa Indonesia itu panas. Bukan dingin."

Hira memutar matanya jengah, merasa kesal dengan komenan sang abang. "Sama aja kayak Mas Eling. Selalu komen penampilan Hira. Pada nggak tau arti style sih. Style anti mainstream, Hira kan beda."

Raksa mendengus dan memilih membukakan pintu untuk sang adik.

"Jakarta panas ya Bang?"

"Menurut lo?" Hira memutar bola matanya malas. Selalu saja abangnya itu terlihat menyebalkan baginya.

"Seharusnya kan lo hafal cuaca, bukan malah balik tanya gue."

"Bukan gitu bang. Ternyata panasnya Jakarta bukan hanya mitos. Gue kan kesini cuma beberapa kali aja."

Libur sabtu minggu dimanfaatkan oleh Hira untuk datang ke Jakarta. Utamanya ke rumah sang Mama. Ia sudah lama ingin menginjakkan kakinya di kota Batavia tersebut. Selain itu, seperti biasa, Hira adalah orang yang tidak bisa berdiam diri di rumah. Sebisa mungkin ia akan datang ke mana saja untuk menjelajah.

"Dek habis ini gue mau tanya tentang pembacaan citra sama lo." Hira mengernyit dan langsung menatap sang abang yang fokus menyetir.

"Lo lupa ya bang kalau gue bukan spesifikasi Penginderaan Jauh?"

"Kan lo orang Geo dek. Masa nggak tau."

"Iya gue belajar tapi dikit. Nggak menjurus banget. Lagian ilmu itu agak sulit menurut Hira. Apalagi kalau udah berhubungan sama komposit dan pewarnaan citra. Siap-siap mata di buat keder sama warna yang kadang samar."

"Pernah ada teman satu departemen ada musibah terus setelah sembuh dia kena tremor, udah nggak bisa lagi yang namanya analisis atau deliniasi kalau bahasa di PJ. Buta warna aja juga nggak boleh. Jadi pas lah kalau misal di pelajari dalam militer. Itu sangat membantu bang. Percayalah abang nggak salah pilih S2."

Raksa mendengus. "Iya nggak salah pilih, tapi abang juga sulit dek. Tau abang cuma bahas strategi sama main kode dan sandi. Ini udah ke teknik dan melihat yang cuma warna ruwet."

Hira tertawa. "Nggak ada ilmu yang sulit kalau bisa di pelajari."

"Pake Citra apa bang? Quickbird atau Ikonos?" Hira kembali bertanya.

"Pake Quickbird." Hira mengangguk. Seingat perempuan itu, dua citra tersebut adalah citra dengan resolusi yang tinggi sehingga kemungkinan dimanfaatkan militer akan lebih banyak.

Tak terasa mereka sampai di rumah orang tua mereka di Jakarta. Rumah sederhana yang pernah di beli Damar dulu kini kembali di tempati.

"Assalamu'alaikum." Ucap Hira dan langsung masuk meningalkan sang abang yang justru menenteng tas berisi pakaian Hira. Lantas laki-laki itu terpaksa membawa tas sang adik ke dalam rumah.

"Pinter ya lo dek. Abang jadi babu lo." Hira menyengir dan memilih memakan tahu bakso yang tersaji di meja makan.

"Bang, nanti jemput ayah ya di kantor. Tadi pagi ke kantor pake ojek online gara-gara mobilnya mogok. Motor di bengkel juga."

Raksa menghembuskan nafasnya pelan. "Nasib ya sehari jadi sopir."

Sedangkan Hira dan Kencana terkekeh di tempatnya. "Derita lo sih bang. Tapi pahala. Harus ikhlas ya Ma."

Kencana tersenyum geli. Lantas menatap sang putri. "Kamu hampir setiap minggu ada kegiatan, apa nggak di omong sama pihak asrama nduk?" Tanya Kencana.

"Sejauh ini sih aman-aman aja Ma. Mereka juga maklum kok sama Hira. Tapi nggak tau di belakang. Dan itu urusan mereka masing-masing. Lagian Hira udah mengerjakan kewajiban Hira juga kok."

"Eh bang. Jangan lupa beliin Hira es doger deket kantor ayah ya." Pinta Hira sebelum Raksa pergi. Sementara Raksa sudah memutar bola matanya malas.

"Ngongkonan!" Seru Raksa kesal. Namun justru Hira tertawa.

"Mah, bang Raksa udah ada calon belum sih? Kok perasaan sendiri mulu. Ini feeling Hira loh ya." Ujarnya pada sang mama sesaat setelah Raksa pergi.

"Nggak tau mama Ra. Kayaknya emang abangmu mirip ayah. Paling males bahas perempuan."

"Jodohin aja." Seloroh Hira asal.

Kencana menggelengkan kepalanya pelan. "Biar dia cari sendiri. Di jodohkan itu antara enak dan nggak enak. Kalau nasib baik kayak mama ayah gak papa. Trus kalau sama-sama ego tinggi? Mending abangmu cari sendiri aja."

Ditempatnya, Hira membenarkan. Tak enak di jodohkan bila terpaksa, layaknya dirinya yang terjebak permainan Eling dulu. Untungnya juga ia bukan korban perjodohan, tetapi korban permainan cerdas sang suami.

Perempuan itu lalu memilih memakan sajian di meja makan. Hira sudah rindu dengan makanan buatan sang mama.

Sekitar 45 menit kemudian, deru suara mobil memasuki kawasan rumah. Raksa masuk ke dapur dengan membawa pesanan Hira. "Ya ampun, makasih abang gantengku." Ucap Hira begitu ia dibelikan pesanannya.

"Lebay!" Ucap Raksa tanpa ekspresi. Lalu laki-laki itu langsung membuka kulkas dan meneguk air dingin dari sana.

"Sensi!" Balas Hira tak mah kalah. Sedangkan Kencana hanya menggelengkan kepalanya. Walaupun mereka sudah dewasa tetapi kelakuan mereka juga kadang seperti anak kecil.

"Ada tamu ya Bang?" Tanya Kencana begitu mendengar orang berbincang di ruang tamu.

"Iya Mah. Ada Om Umar."

"Om Umar? Suaminya mbak Laras?"Raksa mengangguk.

"Sendiri?"

"Nggak. Sama satu perempuan."

Kencana mengernyit, "Siapa?"

"Kayaknya yang dulu sering main sama Hira pas di asrama. Kan anak perempuan Om Umar cuma satu."

"Siapa bang? Shazia? Temen Hira kecil?" Sahut Hira. Raksa mengangguk. Lantas Hira bangkit dan menuju ruang tamu.

"Shasaaa." Panggil Hira begitu benar memastikan bahwa itu temannya kecil. Lantas Hira mendekat dan memeluk perempuan cantik dengan mata belo dan hidung mancung itu.

"Eh Hira. Ya ampun nggak nyangka ketemu kamu lagi."

Hira tertawa. Lantas beralih ke Om Umar, "Assalamu'alaikum Om. Masih ingat Hira kan?" Hira mencium tangan Om Umar. Lantas Om Umar ikut tertawa. "Ingat dong. Bocah cilik yang selalu buat prajurit kelimpungan gara-gara kamu kerjain terus." Hira tambah tergelak. Begitupun orang-orang disana. Hira tertawa karena yang diingat Om Umar adalah nakalnya dirinya ketika kecil.

"Yah Om ingetnya cuma pas Hira nakal."

"Lah kamu emang jahil banget pas kecil. Maklum Om Umar inget." Timpal Kencana yang datang membawa nampan berisi makanan dan minuman sambil terkekeh.

"Tante Nana. Gimana kabarnya?" Langsung saja Shazia mencium punggung tangan Kencana.

"Alhamdulillah baik. Makin cantik kamu ih. Kemarin gak dateng ya ke nikahan Hira?"

"Maaf tan. Kemarin pas banget ada pameran di Leiden."

"Nggak papa. Tante maklumi kok."

"Iam sorry Hira." Ucap Shazia lagi pada Hira. 

"Iya sans aja. Gue udah puas kok sama lukisan lo. Keren parah, Sha." Kemarin ketika Shazia tak datang, gadis itu meminta Hira mengirimkan foto dengan Eling dan mendapat hadiah lukisan khusus dari Shazia. Hira pun dengan sangat lapang dada memberikan dan antusias ketika mendapat hadiah lukisan dari maestro muda dengan segudang prestasi itu.

Shazia terkekeh, lalu atensinya beralih ke Raksa yang memilih berbincang dengan Damar dan papanya. Laki-laki itu masih sama, cuek dan irit bicara sedari kecil. Raksa tetaplah Raksa, tidak ada yang berubah dari laki-laki itu kecuali terlihat semakin dewasa dan tampan di mata Shazia.

.
.
.

Continue Reading

You'll Also Like

33.7K 7.6K 30
Tiga tahun lamanya, Madhan tak pulang ke rumah, ia kabur karena tak tahan dengan perselisihan ia dan kedua orang tuanya. Asya, kakak perempuan Madhan...
2.3M 247K 31
Ayudia Sasikirana tidak menduga jika seseorang yang pernah menolak dijodohkan dengannya justru menjadi direktur di Media Cahaya Hati (MCH), tempatnya...
218K 7.5K 49
Shafea seorang wanita karir yang gila kerja tapi juga seorang ibu muda yang ingin membesarkan dan mendidik anaknya sendiri secara sempurna. Ikuti kes...
731K 6.3K 20
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...