7 DAYS of DATING [NCT DREAM]

By fantastrik

38.4K 5.8K 1.4K

Kamu percaya dengan adanya Jin? Jin yang bisa mengabulkan 3 permintaanmu? Terdengar tidak mungkin. Namun baga... More

Casts
1. Tell Me Your Wish
2. Day 1
3. Day 2
4. Day 3
5. Day 4
6. Day 5
7. Day 6
8. Day 7
9. Mark
10. Finding Genie
11. Truth
13. Puzzle Piece
Apa nih
GOING SEVENTEEN
🎁 GIVEAWAY NOVEL 🎁

12. Last Wish

2.1K 392 143
By fantastrik

Special Day

"Wow, Mark Lee."

Juni berdecak kagum melihat teman jinnya tersebut. Mark sudah layaknya kakak senior populer di kampus Juni. Pria itu mengenakan baju kaos putih, jaket denim, dan celana jeans. Tak heran jika dulu dirinya jatuh hati pada pria ini. Mark Lee sungguh bisa menjadi pria yang begitu memukau.

Untung saja Juni sadar diri kalau sekarang dirinya sudah punya pawang sendiri. Ya, meskipun hubungan mereka belum resmi.

"Ini lo nyamar jadi manusia kan? Orang-orang bisa liat lo?"

"Bisa. Tadi gue ngobrol sama abang-abang yang jualan bubur ayam di depan kos lo!" sahut Mark, terdengar pamer.

"Ngapain lo ke sana?" heran Juni. Ia membuka pintu kosnya lebar-lebar dan membiarkannya terbuka. Mark mengikutinya masuk lalu duduk di tepi ranjangnya.

Gadis itu pun mencari tas kecil yang ingin ia bawa hari ini.

"Makan bubur lah! Masa ngajakin abangnya maen hago!"

"Lo bisa makan makanan manusia juga?" kaget Juni. Dia belum pernah melihat Mark makan sebelumnya. Well, tidak tahu sebelum ingatannya dihapus.

"Bisa kalo gue mau. Udah lama juga gak makan bubur abang-abang itu," tuturnya, menyiratkan kalau sebelumnya pria itu juga pernah makan di sana.

Juni pun menduga kalau Mark makan di sana saat mereka masih bersama.

"Lo udah sarapan?" tanya Mark.

Gadis itu menggeleng sambil memasukkan sebuah lipcream dan sisir kecil ke dalam tasnya. "Mampir indomaret aja ntar."

"Pasti beli sari roti sama buavita," tebak Mark. Pria itu masih ingat kebiasaan Juni. Gadis itu memang bukan tipe orang yang selalu sarapan atau makan banyak di pagi hari. Makan sebungkus sari roti lima ribuan juga sudah kenyang.

"Yuk! Berangkat!" ajak Juni.

"Mau ke mana nih?" tanya Mark setelah Juni mengunci pintu kosnya.

"Ke Penglipuran aja yuk? Biar jauh," usul Juni. "Apa sekalian kita mandi ke pemandian air panas yang di Kintamani itu, Toya Devasya?"

"Ah males gue mandi-mandian," tolak Mark.

"Ya udah, abis dari Penglipuran, kita liatin gunung Batur aja di Penelokan sambil ngopi-ngopi."

"Boleh deh." Mark mengangguk setuju.

Setibanya di depan gedung kos Juni, mereka disambut oleh penampakan sebuah mobil Lexus. "Lo bawa mobil???" Juni nampak terkejut sekaligus terpana.

Melihat reaksi Juni yang berlebihan, Mark memutar matanya. "Menurut ngana?"

"Bisa ancur reputasi gue sebagai genie eksis jaman now kalo gak bawa mobil mewah," sombongnya.

***

Dalam perjalanan menuju Penglipuran, Juni bercerita tentang keluarganya. Sementara Mark bercerita tentang Hendery dan Lucas, orang-orang yang mendekati 'keluarga' untuk Mark. Mereka berbagi kisah layaknya orang yang sedang belajar saling mengenal.

Kebanyakan sih Mark sudah tahu tentang keluarga Juni. Namun pria itu tetap mendengarkan penuturan Juni, tidak menginterupsi sedikitpun. Baginya bisa mendengar Juni banyak bicara seperti sekarang adalah anugerah yang mungkin tidak bisa ia dapatkan lagi di lain waktu.

"Bang Yuta tuh ya, kalo lagi ngeselih beuuuh, kalah lo Mark. Doi udah gak ada lawannya."

"Haha, iya gue inget tuh dulu lo pernah berantem sama dia di grup keluarga!" tawa Mark.

Flashback

"Mark!" seru Juni. 

"Kenapa sayang?" Mark mendongak dan melihat kekasihnya. Gadis itu terlihat frustasi.

"Rekamin aku ya," pinta Juni sambil menyerahkan ponselnya pada Mark yang sedang rebahan di ranjangnya sambil main adu domba di hago. Benar-benar mengganggu. Padahal Mark lagi berusaha mencetak rekor baru dengan melawan seseorang bernama Kangmin.

"Hah? Rekamin apaan?"

"Aku mau sholat!"

"Ngapain sembahyang direkam-rekam? Kamu mau bikin video tutorial kayak di yutub-yutub gitu?"

"Dah ah! Rekam aja, jangan banyak tanya! Bete!" omel Juni.

Mark pun menyerah dan mengikuti keinginan pacarnya itu. Heran dia sama manusia, ada aja kelakuannya. Baru kemarin dia nonton video tutorial membalik tangan selama 3 menit, sekarang pacarnya mau membuat video yang aneh-aneh juga.

"Mana sini hpnya." Mark menyerahkan ponsel tersebut pada si pemilik.

Ia pun mengintip dari pundak Juni. Ternyata gadis itu membuka grup whatsapp keluarganya. Juni mengirim video yang Mark rekam tadi lalu mengetik pesan singkat.

'[fancam] juni sholat'

'Mending nonton fancam ini daripada fancam twice. Sholat rajin, mata zinah mulu. Rugi!'

"Astaga.... Kirain buat apaan, ternyata buat di-share di grup doang," ujar Mark.

"Biar gak banyak cingcong tuh si Yuta! Sok ibadah paling oke aja ngata-ngatain gue kafir jarang sholat!" Oceh kekasihnya.

Bukan hal yang asing melihat gadis inu marah-marah karena kakaknya. Dia dan kakak lelakinya memang bak Tom and Jerry. Ribut mulu tapi tetap sayang dan perhatian pada satu sama lain.

Flashback end

"Oooh... jadi lo yang pertama kali ngerekam fancam sholat gue? Dulu gue kira Yeri."

Mark mengangguk. Seingatnya juga ketika orang tua Juni bertanya pada gadis itu sedang dengan siapa putri mereka, Juni selalu menjawab Yeri. Saat diminta kirim 'fancam,' Mark pun menggunakan kemampuannya untuk membuat video yang seolah-olah menunjukkan memang ada Yeri di kos Juni.

"Sampe sekarang tuh, keluarga gue kalo mau minta bukti lagi di mana gitu, bilangnya pasti bukan 'pap dong' tapi 'fancam dong' haha," kekeh Juni.

"Papa masih suka baca manga?" tanya Mark tiba-tiba saat teringat akan hobi ayah Juni tersebut.

Mark bahkan tidak sadar kalau dia masih memanggil ayah Juni 'papa' bukan 'bokap lo' atau 'ayah lo.' Juni sih tidak terlalu ambil pusing.

"Masiiih laaah! Mama sampe pusing, makin tua rak bukunya penuh manga bukannya buku-buku berfaedah kayak orang-orang tua pada umumnya. Mana gue tiap mau pulang ke rumah pasti disuruh mampir ke gramed dulu buat beli manga!"

Tak terasa mereka ngobrol hingga sampai di lokasi pertama. Obrolan terus mengalir, tak ada putusnya. Syukurnya juga meskipun mereka banyak mengungkit masa lalu, Juni tak merasa tidak nyaman sedikitpun. Mark sendiri berusaha untuk hanya menyinggung hal-hal yang bersifat umum, bukan personal.

"Panes banget ya kalo jalan jam segini," ujar Juni melihat ke luar mobil melalui jendela di sisinya. Karena berangkat jam 9 pagi, mereka pun tiba di lokasi jam 11an. Jadi sudah lumayan panas untuk berjalan-jalan di bawah terik matahari.

"Gue bikin berawan tuh!" Sahut Mark.

Benar saja, cuaca tiba-tiba berubah. Panas terik matahari terganti oleh angin sepoi-sepoi dan cuaca yang berawan. "Anjaaayyy, emang gak sia-sia punya koneksi jin!" Puji Juni tapi malah membuat Mark bersungut karena lagi-lagi dikatai jin.

"Pake nih!" Mark menyerahkan topi floppy yang biasa dipakai kaum hawa jalan-jalan di pantai atau di tepi jalan Kuta maupun Ubud.

Juni menerima topi tersebut dengan senang hati. Warna dan designnya juga matching dengan dress floral yang ia kenakan hari ini. "Sunglasses-nya gak sekalian nih?"

Mark berdecak namun tetap mengeluarkan sepasang kacamata hitam. Kini mereka benar-benar nampak tak jauh berbeda dari turis-turis mancanegara yang hari itu juga berkunjung ke Penglipuran.

"Ada apaan sih di sini?" tanya Mark penasaran. Mereka baru selesai membayar tiket untuk masuk.

"Gak ada apa-apa sih. Cuma sering nongol di FTV aja hahaha."

Mark langsung memutar bola matanya. Tipikal Juni yang bisa punya alasan serandom itu untuk menyukai atau menginginkan sesuatu.

Pria yang kini dalam wujud manusianya tersebut mengedarkan pandangan matanya. Ia memperhatikan tempat yang sesungguhnya hanya pemukiman warga setempat. Ia pun paham mengapa tempat ini menarik. Tempat ini menunjukkan keunikan sebuah desa di Bali yang bangunannya masih memperlihatkan suasana Bali asli. Tidak banyak sentuhan modern pada setiap rumah yang memenuhi lokasi desa wisata ini. Selain itu tempatnya juga asri. 

"Sebenernya bagusan kalo kita ke sininya pagi-pagi sih," ujar Juni. "Kalo jam segini biasanya panas banget. Ini untung lagi berawan."

Mark sih tidak masalah mau mereka datang pagi atau siang hari. Pemandangannya akan tetap bagus dan suasananya juga tetap mampu membuat pengunjung merasa kerasan alias nyaman. Yang terpenting baginya adalah dengan siapa ia berbagi momen penting ini. Pria itu pun melirik Juni sekilas. Sudah berkali-kali ia mengingatkan diri kalau Juni yang sekarang bukanlah lagi Juni-nya yang dulu. Tetapi, pria itu tidak bisa mengelak, Juni yang sekarang berjalan di sampingnya benar-benar bersikap sama persis dengan kekasihnya.

Mantan kekasih lebih tepatnya.

Cerewetnya, senyumnya, binar matanya saat melihat sesuatu yang menarik perhatian, serta dengusan atau decakan lidahnya saat kesal masih sama. Tentu saja tidak ada yang berbeda. Mereka adalah satu orang yang sama.

Yang membedakan hanyalah ingatan dan perasaan yang dimiliki oleh gadis itu. Tidak ada Mark lagi di kepala maupun hatinya.

"Mau cabut sekarang?" tanya Mark. Saat ini mereka sedang duduk-duduk di teras salah satu rumah sambil menikmati minuman dingin yang mereka beli.

Juni melihat waktu di ponselnya. Tidak terasa sudah hampir dua jam mereka di sini. "Boleh deh! Biar bisa ngunjungin banyak tempat juga."

Mereka pun pamit pada sang pemilik rumah lalu beranjak ke arah pintu keluar.

"Jauh gak sih dari sini ke tempat yang satu lagi?" tanya Mark sambil memutar kemudi untuk memundurkan mobilnya.

Juni mengecek estimasi jarak dan waktu menuju Penelokan melalui aplikasi Google Maps-nya. "Sekitar 20 menitan."

Mark mengangguk lalu melajukan mobil mewahnya, meninggalkan lokasi Desa Wisata Penglipuran. Pria itu mengemudi dengan kecepatan standar. Dia tidak mau terlalu terburu-buru. Menikmati perjalanan seperti ini juga menyenangkan.

Juni menghidupkan radio di mobil Mark lalu memilih saluran yang sedang menyiarkan lagu-lagu dalam dan luar negeri.

So, before you go
Was there something I could've said to make your heart beat better?
If only I'd have known you had a storm to weather
So, before you go
Was there something I could've said to make it all stop hurting?
It kills me how your mind can make you feel so worthless
So, before you go

"Ya elah lagunya ngapa galau amat dah?" komentar pria berperawakan bak bule Kanada tersebut. Kan dia jadi baper mendengar lagu Before You Go dari Lewis Capaldi itu.

Juni terkekeh. "Tauk tuh penyiarnya! Tau kali dia lo galau bakal pisah sama gue," godanya.

"Yang ada lo kali yang bakal kangen sama gue!" sahut Mark tak mau kalah.

Gadis di sebelahnya itu tersenyum lalu mengangguk. "Pasti Mark. Pasti gue bakal kangen lo," jujurnya.

Suasana pun berubah agak melow. Apalagi lagu Lewis Capaldi itu masih mengalun. "Ah elo mah bikin gue tambah baper aja!"

Juni menoleh sekilas lalu kembali membawa pandangannya ke depan. Ia menyandarkan tubuhnya ke jok mobil. "Kalo kita gak bakal ketemu lagi, apa lo bakal tetep inget sama gue?"

Mark terdiam sejenak. Pandangannya tetap fokus ke jalan namun pikirannya mulai melanglang buana. Jujur ia selalu menghidari berpikir tentang masa depan. Tetapi dia tahu jawaban untuk pertanyaan Juni. Dia sudah memiliki jawabannya jauh sebelum dirinya kembali ke bumi untuk menjalani masa hukumannya.

"I will never forget you," gumamnya. "I don't think I'll be able to do it even tho I want to."

"Chessy banget!" Juni terkekeh.

Baru saja Mark ingin membantah. Itu bukan sekadar gombal. Dia sungguh-sungguh dengan ucapannya. Namun Juni mendahuluinya.

"I know, Mark. I know."

"Gue juga gak bakal bisa lupain lo," Juni mengucapkannya dengan suara agak pelan.

Kemudian gadis itu menoleh lalu menunjukkan senyum lebarnya. "I mean, gak semua manusia punya kesempatan istimewa buat temenan sama jin kan?" tambahnya bangga. Ya, walaupun lebih terdengar seperti ucapan untuk menghibur diri.

Mark tertawa kecil sambil memutar bola mata menanggapi ucapan Juni tersebut. "Yeah. Dan gak semua jin bisa dapet klien rempong bin nyebelin kayak lo!" guraunya.

"HEH! Ngaca!" seru Juni mulai bar-bar. "Yang ada lo kali yang nyebelin!"

Dan dengan begitu, keributan di antara mereka pun tak bisa dicegah lagi. Kendati begitu, hal tersebutlah yang membuat mereka merasa normal. This is normalcy for them.

***

Mereka memilih sebuah tempat makan dengan view gunung Batur di daerah Penelokan. Sama seperti di Penglipuran, suasana di sini juga ramai dan dipenuhi oleh banyak turis.

"Bisa saya catat sekarang pesanannya mas, mbak?" tanya pelayan wanita yang menghampiri mereka.

"Nasi goreng seafood sama jus tomat kan?" tanya Mark pada Juni. 

Gadis itu langsung mengangguk semangat. "Wah lo tau aja gue mau mesen apaan!" kagumnya.

Nyatanya Mark masih ingat semua hal tentang Juni. Tak ada satu pun yang ia lupakan dari gadis itu meskipun satu tahun telah berlalu.

"Gue jadi gak enak karena gak tau apapun tentang lo," ujar Juni, sedih.

"Mie ayam, semangka, coca cola. Inget tuh!" balas Mark.

Pria itu menoleh lalu menyebutkan pesanan mereka agar si pelayan bisa mencatatnya. Karena di cafe ini tidak menjual mie ayam, Mark pun memesan mie goreng spesial.

Setelah si pelayan pergi, Juni pun bertanya pada Mark. "Dulu kita sering makan gini?"

Mark sebenarnya takut membuat Juni tidak nyaman apabila dia sering mengungkit masa lalu mereka. Apalagi Juni tidak mengingatnya sama sekali. Tetapi karena ini Juni yang bertanya, jadi Mark merasa aman untuk membicarakannya.

Pria yang kini bersurai hitam itu mengangguk. "Setiap hari malah kalo lo gak pulang ke rumah."

"Lo jadi manusia gini juga?"

"Iyalah! Ntar lo disangka gila kalo ngomong sendiri di tempat makan!"

Juni mengangguk paham. Tetapi kemudian matanya membulat. "LAH? Berarti gue sebelum ini bukan jomblo abadi dong?!"

Mark mengedikkan bahunya.

"Eh tapi, kok gak ada yang tau sih gue pernah punya pacar kalo dulu kita sering keluar gini?"

"Kita pacaran juga cuma bentar, Jun. Itu juga kalo keluar pasti ke tempat yang kemungkinan gak didatengin orang yang lo kenal. Sekalinya lo ngeliat orang-orang yang lo kenal, kita pasti langsung ngehindar. Intinya kita tuh backstreet level dewa udah!" tutur Mark.

"Oooh... gitu."

"Mark," panggil Juni di sela-sela makan mereka.

"Hm?"

"Ada yang pengen lo lakuin gak hari ini?"

Mark mengunyah makanannya sembari berpikir. Sebenarnya ada banyak yang ingin ia lakukan dengan Juni. Hal-hal yang dulu ia lakukan saat masih menjadi kekasih Juni.

Hanya saja, kali ini ia ingin melakukannya sebagai teman Juni.

"Gue pengen nonton ke bioskop, maen di arkade, shopping, nemenin lo beli novel, jajan bareng, stargazing di pantai, jalan-jalan jauh kayak gini, terus apalagi ya...."

"Oke! Let's do all of them!" seru Juni semangat. 

Untuk kesekian kalinya hari ini, ujung bibir Mark tertarik ke atas, membentuk senyuman tulus yang mungkin dirinya sendiri tak menyadari jika salah satu bagian tubuhnya melakukan hal tersebut. Terlalu mudah rasanya untuk tersenyum jika bersama Juni yang sedang berapi-api seperti sekarang. Gadis itu tak hanya mampu menularkan semangat, namun bisa menularkan energi serta semangatnya juga.

***

"Aaahh... lo ngalah kek! Kalah mulu gue!" rengek Juni. Saat ini mereka sedang bermain di Trans Studio Mall Bali. Sudah ronde ketiga mereka berlomba mencetak skor paling banyak di mesin permainan lempar bola basket. Naasnya, sekalipun Juni tak pernah menang.

Mark tertawa melihat wajah cemberut Juni.

"Lo pake sihir kan?" tuduh Juni.

"Yaelaaah maen ginian doang pake sihir, buat apa coba? Ini mah game ez (easy)!" Mark menjentikkan jarinya di depan wajah Juni, mengejek gadis itu.

Sebagai balasan, Juni mendengus. "Ganti game lah! Capek gue lempar-lempar bola mulu!"

Selama satu jam lebih, mereka bermain di sana, hingga akhirnya Juni bosan. Gadis itu pun mengusulkan untuk berpindah tempat, yakni ke theme park-nya. Mark sih tidak protes. Dia mau-mau saja mengikuti kemauan gadis itu.

Setelah membayar tiket masuk. Mereka langsung melihat ke kiri dan ke kanan, mencari wahana yang ingin mereka coba lebih dulu.

"Keliling Indonesia dulu gimana?" Juni menunjuk wahana Flying Over Indonesia yang berada di Culture Zone.

"Gaskeun!" sahut Mark.

Begitu mendapat lampu hijau dari pria itu, Juni langsung meraih tangan Mark lalu berlari ke wahana tersebut. Tentu saja perbuatan Juni tersebut membuat Mark terkejut. Mark tahu Juni pasti tidak merencanakan ini. Gadis itu terkadang melakukan hal tanpa dia pikirkan terlebih dulu. Dia juga terlihat biasa saja. Tidak seperti Mark yang hatinya mulai menyalakan sinyal bahaya.

Pria itu pun menggelengkan kepala, mengingatkan dirinya kembali kalau hari ini bukanlah kencan. Mereka pergi sebagai teman.

HANYA TEMAN, batin Mark.

***

Entah sudah berapa banyak wahana yang mereka berdua coba, Mark tidak menghitung lagi. Saat ini mereka sudah menduduki salah satu tempat duduk di Boomerang Coaster. Pengamannya juga sudah terpasang. Mark tahu dirinya tak memiliki jantung seperti manusia, tapi entah mengapa ia merasa berdebar.

Juni menoleh dan mendapati wajah Mark yang agak tegang. Tangannya meraih tangan Mark lalu menggenggamnya, sebagaimana ia menggenggam tangan Yeri tiap kali mereka berdua menaiki wahana ini. Gadis itu tidak tahu saja efek yang perbuatannya timbulkan pada diri Mark.

Makhluk halus itu seolah baru saja dianugerahkan sebuah jantung oleh sang maha pencipta.

"WAAAAAAAAAA!!!"

"MORK LEEEEEEE!!!"

Jeritan mereka berdua bercampur dengan jeritan pengunjung lainnya. Tangan keduanya terangkat ke atas, menunjukkan pada orang-orang kalau tangan mereka bertautan layaknya sepasang kekasih.

"Ngapain lo neriakin nama gue?" tanya Mark saat roller coasternya berhenti.

Juni tertawa. "Gatau, tiba-tiba aja kepengen neriakin nama lo waktu kita sampe di puncak tertingginya. Aneh banget asli," jawab Juni.

Dan seketika Mark terhenyak.

Flashback

Keduanya duduk di emperan salah satu toko yang terletak di tepi jalan. Mereka sedang gowes alias bersepeda di Ubud hari itu dan memutuskan untuk beristirahat sejenak.

"Temen kuliahku, Felix, tau gak?" tanya Juni sambil membuka bungkus es krim paddle pop yang mereka beli di toko tersebut.

"Gak tau," jawab Mark sebelum menjilati es krimnya sendiri.

"Ya pokoknya dia temenku lah. Lusa dia mau mendaki ke gunung Batur."

"Terus?" tanya Mark tak paham.

"Aku bukan orang yang suka olah raga atau kegiatan yang berat gitu, tapi pengen deh sekali aja dalam hidupku aku mendaki gunung," jawab Juni.

"Ya udah, ayo mendaki. Mau kapan?" balas Mark santai.

"Iiih! Mau mendaki itu perlu persiapan tau!"

Mark melihat Juni, "Kamu lupa aku siapa? I can take you there right now if you want."

"No magic please. Aku pengen yang normal. Apalagi kalo ke sana bareng pacar." Gadis itu terkekeh geli.

"Apa spesialnya?" heran kekasihnya.

"Bisa ngelakuin hal yang cringe-cringe gitu."

"Like what?" Pikiran Mark sudah berpetualang entah ke mana.

"Neriakin nama pacar waktu kita nyampe di puncaknya!"

Mark mendengus. "Biar apa coba kayak gitu?" cibirnya.

"Biar semesta tau kamu pemegang hati aku ea ea!" Lalu gadis itu tertawa.

Sementara Mark, lelaki itu menggigit bibir bawahnya, mati-matian menahan senyum yang ingin terkembang. Cheesy, but he likes it. Cinta memang bisa membuat makhluk mana pun bertingkah semenggelikan itu.

"Lagian aku gak bisa tunjukin sama orang-orang yang aku kenal di sini kalo kamu pacarku. Makanya aku pengen cari tempat yang jauh, terus tinggi biar aku bisa teriak sepuasnya ngasi tau dunia kalo aku gak sendiri lagi." Juni melihat orang-orang yang terus berlalu lalang di depan mereka.

"Kalo pun manusia gak bisa denger, seenggaknya ada makhluk lain yang bisa dengerin sekalipun itu cuma tanaman, hewan, sama makhluk tak kasat mata lainnya."

Dan untuk kesekian kalinya setelah Mark menapakkan kakinya di bumi, ia merutuki nasib. Kenapa sih ia tidak terlahir sebagai manusia saja?

Flashback End

"Kenapa sih?" tanya Juni membuyarkan lamunannya.

"Hah?"

"Kayaknya lagi kepikiran sesuatu." Juni menatapnya penasaran.

Lelaki itu menggeleng. "Gak pa-pa!"

Mendengar respon Mark, Juni mengerucutkan bibirnya. Ia yakin ada yang sedang dipikirkan oleh temannya itu. Namun, nampaknya Mark enggan membicarakannya. Oleh karena itu, Juni pun memilih untuk menghargai keinginan Mark dan tidak mendesaknya.

"Mau nonton apa nih?" tanya Juni begitu mereka tiba di bioskop yang terletak di mall itu.

Mark melihat semua judul film yang sedang tayang saat ini di layar yang tertera di kasir. Dari semua film yang ada, hanya A Quiet Place II yang merupakan selera Juni. "A Quiet Place seru kayaknya tuh!"

Mata Juni pun berbinar. Sejujurnya ia sudah menyiapkan mental untuk mengalah dan mengikuti kemauan Mark walaupun nanti film yang dipilih bukanlah seleranya. Tapi ternyata pria itu memilih film yang ia inginkan. "Great choice, bruh!" ujarnya senang sembari menepuk lengan Mark.

***

Seusai menonton film, mereka berpindah tempat. Tujuan berikutnya adalah Pantai Kuta. Lumayan mereka bisa shopping dulu, jajan, lalu menatap bintang di pantai Kuta sampai waktu yang mereka miliki habis.

"Coba ini gih! Warnanya gue suka, mumpung ada ukuran gue juga!" Juni memegang sebuah hoodie di depan dada Mark sambil melihat pantulan diri Mark di cermin yang berada di area mereka melihat-lihat hoodie.

"Eh, Mark! Ini juga bagus nih buat lo!" Gadis itu menambah satu kemeja ke tangan Mark.

"Gila! Ini sih gaya lo banget!" Dua potong baju kaos mendarat di tangan pria itu.

"Celananya yang ini kayaknya masuk deh buat baju apa aja! Nih coba sekalian!"

Mark masih diam, pasrah mengikuti Juni menjelajahi area pakaian pria. Tangannya menenteng tas belanja yang hampir seluruhnya pakaian untuk dirinya. Gadis itu sendiri baru memilih sebuah hoodie saja.

"Jun," panggilnya membuat Juni berhenti menyibak pakaian di display toko. Gadis itu menoleh lalu melempar pandangan penuh tanya pada Mark.

"Gue udah banyak nih." Mark mengangkat tas belanja mereka yang hampir penuh. "Gimana kalo lo cari baju buat diri lo sendiri?"

"They will stay with you, so take as many as you want," imbuhnya lagi.

Juni menghela nafas, mengingat waktu mereka yang semakin menipis. Sekarang saja sudah pukul 9 malam. "Kalo gue maruk sih maunya satu toko aja gue borong, tapi ntar gak muat di lemari."

"Terus jadi keinget lo mulu kalo bajunya dibeliin lo semua haha," tawa Juni agak hambar.

Mark berdecak, "Lo mah! Bikin gue ngerasa gak enak aja!"

Juni cengengesan. "Ya udah ayok, gue pilih deh beberapa!"

***

"Jadi, kayak pacaran tau gak sih kalo kayak gini!" Keluh Mark sambil melihat tubuhnya yang kini berbalut hoodie couple yang mereka beli. Juni juga mengenakan hoodie yang sama.

Padahal dirinya sudah merasa sangat tampan dan berkharisma dengan jaket denimnya. Buktinya banyak perempuan terutama abege yang dari tadi memperhatikannya.

"Emang yang boleh pake barang kapel cuma yang pacaran?" Juni memandangnya skeptis sambil menyeruput minuman boba di tangannya.

"Ya biasanya kan gitu! Kalo orang jalan bareng gini pake baju couple pasti disangka pacaran!" Sahut Mark.

"Gue pernah tuh pake baju samaan sama Yeri. Apa itu artinya kami lesbi?" Balas Juni.

"Tapi kan lo sama Yeri sama-sama cewe! Gak bakal ada yang ngira kalian pacaran kali!"

"Loh? Emang yang pacaran di dunia ini cuma cewe-cowo doang? Cewe sama cewe gak boleh pacaran?"

"Ini kenapa dibolak-balikin gini sih? Kita debatin apa coba?" Mark mengusap kepalanya, frustasi.

"Debatin asumsi orang yang gak penting! Lagian di sini gak bakal ada yang peduli mau kita pake baju kek, celana kek, ato bh samaan sekalipun!"

"Iya deh iya! Nyerah gue debat sama lo!" Ujar Mark.

Gadis di sebelahnya itu pun tersenyum penuh kemenangan.

Keduanya berjalan memasuki sebuah toko pernak-pernik dan aksesoris di lantai tiga. Tangan Juni yang tidak memegang apapun saat ini karena sudah membuang wadah minumannya, menarik lengan Mark. Mereka berhenti di depan deretan bandana.

"Cute banget nih!" Gadis itu mengambil bandana bermotif bunga dengan warna merah maroon lalu mencobanya.

Ia membalik badan dan menghadap pada Mark. "Cocok gak?" Tanyanya sambil merapikan rambutnya yang tergerai.

Mata Mark mengamati kepala hingga wajah Juni dan berakhir terpaku pada paras cantik mantan kekasihnya tersebut.

"Mark ih! Gue nanya! Malah bengong!" Sungut Juni, sebal.

"Ha-hah?! Eh, iya cocok! Cocok!" Pria itu menganggukkan kepala dengan cepat.

Juni kembali melihat-lihat koleksi bandana yang terpampang di etalase toko. Perhatiannya pun tertuju pada sebuah bandana yang berbentuk seperti antena lebah. Tanpa memohon ijin lebih dulu, gadis itu langsung memasang benda tersebut di kepala Mark, membuat Mark sontak terkejut.

"EANJIR! APAAN SIH!"

Juni terkekeh. "Aaa! Gumush banget!" Godanya sembari mencubit pipi Mark.

"Idih! Geli ah, geli! Lepas buru!" Perintah Mark.

"No no no! Lucu banget Mark seriusan!" Tolak Juni.

"Gak! Gak! Ancur reputasi gue anjir!"

"Reputasi apaan coba! Lagian gak bakal ada yang inget sama lo di sini!"

"Ahelaaah...."

Akhirnya, lelaki itu pun menyerah dan mengalah. Mereka memasukkan dua item tersebut ke dalam belanjaan mereka.

"Dateng udah boy crush sekampus, balik-balik kayak bucin alay!" Keluh pria itu sambil mengekori Juni.

Meskipun mendengar dumelan Mark, Juni tidak membalas. Ia memilih tersenyum dan tertawa kecil.

"Bentar, Jun!" Seru Mark.

Pria itu meletakkan kantong belanja mereka di lantai lalu mengambil sebuah jepit. Ia pun kembali ke hadapan Juni. Seperti sudah biasa, tangannya meraih kepala Juni lalu memasangkan sebuah jepitan kecil di rambut temannya tersebut.

Juni tidak menolak maupun berontak. Gadis itu berdiri tenang sambil memandangi wajah Mark. Ia memang tidak mengingat apapun tentang hubungan mereka sebelumnya. Namun, berdiri bersama Mark, berada di dekat lelaki itu seperti sekarang, rasanya familiar. Dia tak merasa canggung sedikitpun.

"Bagus nih! Wajib lo beli!" Ujarnya senang sambil terus memandangi jepitan di kepala Juni.

Juni berbalik lalu melihat refleksinya di cermin. Bibirnya langsung menyunggingkan senyum tatkala ia melihat jepit pilihan Mark.

"Lo emang maniak semangka ya?"

Mark menaikkan alisnya sekali, "Ya gitu."

Keduanya saling berpandangan melalui refleksi mereka di cermin. "Semangka itu warna kulitnya hijau kayak lambang kedamaian, bikin adem gitu. Terus pas dibelah, mau itu warna kuning atau merah, kita gak bakal pernah tau rasanya bakal semanis apa. Kadang kalo lo sial lo bakal dapet yang hambar. Tapi sehambar apapun, buat gue semangka itu tetep ngademin karena lo tau sendiri kadar airnya buah itu tinggi."

"Terus intinya?" tanya Juni.

"Intinya semangka itu enak! Cuma psikopat yang gak suka semangka!" Tangan lelaki bertubuh jangkung itu mengusak rambut Juni dan tertawa.

"Apa sih, Mark?! Garing banget lo!"

"Dih, marah! Ya, pokoknya, apapun yang keliatan adem di luar belum tentu di dalemnya bagus! Life is like that! It seems promising, but when you go for it, we can never be sure whether we'd get a sweet life or a flat one."

Just like me. I will never have the love I desire. Selamanya gue bakal hidup kayak gini, batinnya merana. Meskipun di luar ia terlihat tenang dan anteng-anteng saat ini, tapi sebenarnya ia gelisah. Waktunya sebentar lagi akan habis dan itu tandanya ia akan berpisah dengan gadis di depannya ini.

"Dah ah! Gue mau bayar!" ujar Juni.

***

Pantai Kuta malam itu ramai, namun tak seramai saat hari masih terang. Hanya ada beberapa pengunjung yang duduk di atas pasir dan berjalan-jalan di pesisir pantainya. Juni dan Mark sendiri memilih duduk di atas hamparan pasir putih tersebut.

Kepala keduanya menengadah, melihat langit malam yang indah karena bertaburan bintang. Tentu saja itu ulah Mark. Di hari-hari biasa sangat sulit melihat bintang sebajak ini, apalagi jika kau hidup di tengah kota. Polusi cahaya adalah penyebab sulitnya melihat banyak bintang di kota. Jika di desanya, Juni masih bisa melihat banyak rangkaian bintang dengan jelas.

"Ada yang lo pengenin lagi gak?" Mark bertanya, memecah keheningan di antara mereka.

"Hmm," gumam Juni panjang, memikirkan apa yang ia inginkan. Sebenarnya dia memiliki banyak keinginan. Sayang, waktu mereka terlalu singkat untuk mewujudkan semua keinginan yang ia punya.

"Gue belum pernah liat bintang jatuh...."

Pengen deh liat bintang jatuh secara langsung sekaliii aja dalam hidupku.

"Pengen deh liat bintang jatuh secara langsung sekali aja dalem hidup gue," sambung gadis itu, membuat Mark menyembunyikan senyum getirnya dengan sedikit berpaling, berpura-pura melihat orang yang baru saja lewat di depan mereka. Juni mengatakan sesuatu yang sama persis dengan yang ia katakan tahun lalu. Dia mungkin sudah tak mengingatnya, tapi Mark masih mengingat jelas memori malam itu.

"Mau yang jatuh satu doang apa hujan meteor sekalian?" tawar Mark.

"Boleh deh hujan meteor!" Gadis itu menoleh dan tersenyum sumringah. "Cakep juga ide lo! Kapan lagi gue bisa liat hujan meteor di Kuta secara live, iya gak?" Juni menyundul lengan lelaki itu dengan bahunya.

Mark terkekeh sembari menggeleng kepala. Pria itu lalu menjentikkan jarinya dan tadaaa... hujan meteor menghiasi langit Kuta malam itu. Orang-orang langsung bergerak mendekat untuk mengabadikan momen tersebut. Tapi tenang, ini hanyalah fantasy. Semua orang yang ada di sini tidak akan mengingat apapun di kehidupan nyata mereka.

"Woah." Mulut Juni terbuka lebar.

Mendengar kekaguman wanita di sebelahnya ini, Mark menoleh dan seketika dibuat ikut terkagum oleh keindahan di hadapannya sendiri. Meski mulutnya terbuka, bagi Mark Juni tetap manis dan cantik. Sinar bulan menerangi paras menawan gadis itu. Matanya berbinar dan jika diperhatikan lekat-lekat, orang bisa melihat pantulan hujan meteor di matanya.


Flashback

"Woah! Hebat banget! Kereeen!" decak Juni kagum.

Malam itu, alih-alih berada di pantai, Juni dan sang kekasih gaibnya itu berada di sebuah bukit yang berlokasi tak jauh dari tempat tinggal Juni di kampung. Tempatnya sangat sepi. Biasanya sih orang-orang akan takut datang kemari karena konon tempat ini dihuni oleh banyak makhluk tak kasat mata.

Tapi berhubung Juni sendiri membawa seorang makhluk gaib, dia jadi tak terlalu takut untuk datang ke tempat ini. Lagipula Mark dengan mudah menyulapnya menjadi tempat kencan dengan beberapa lampu warna-warni yang menerangi mereka.

Keduanya sedang menikmati pemandangan hujan meteor yang hanya bisa disaksikan oleh mereka berdua. Ini bukanlah fantasi, jadi gawat kalau sampai ada manusia biasa yang melihat peristiwa aneh ini.

"Aku sambil nyanyi ya," ujar Mark. Sebuah gitar kini ada dipangkuannya.

Sebelumnya, Juni pernah meminta Mark untuk menyanyikan sebuah lagu yang sedang ia sukai. Oleh karena itu, pria berahang tegas tersebut dengan senang hati mempelajari lagunya. Jemarinya memetik dawai demi dawai, menghasilkan suatu harmoni berupa nada yang sangat dikenal oleh Juni.

Kepala gadis itu pun ikut bergerak ke kiri dan ke kanan, mengikuti alunan lagu yang Mark mainkan. Namun, matanya belum lepas dari ribuan bintang yang saling jatuh di atasnya.

I can only perceive by usin' my imagination
Believe that everything will be real
How magical
Wherever you go, I too will go
There are things in life I can't ignore
Like how I'm connected to you
Because I know
Wherever you are, I'm in your heart
The further that we are far apart
The more I'm connected to you
The more I'm connected to you

(Connected to You by Billy Simpson) [Dengerin deh terus bayangin Mark nyanyi ini buat lo/Juni.]

"The more I'm connected to you...," pria itu mengakhiri nyanyiannya.

"Gi- loh?" ucapannya terpotong karena ia terkejut saat wajahnya terangkat, ingin melihat Juni dan menanyakan pendapat gadis itu tentang nyanyiannya barusan. Ia tercenung untuk beberapa detik, bingung mendapati wajah sang kekasih berurai air mata. "Kok nangis?" tanyanya lembut.

"Tau gak? Tiap denger lagu itu aku selalu keinget kamu," gadis itu menelan ludahnya. "Inget kita."

"Aku suka banget lagunya karena gambarin perasaan aku, tapi di saat yang bersamaan.... I can't help but feel so much in despair."

"Tau kok apa yang kita lakuin ini tuh sebenarnya gak bener. Kita berdua sama-sama sadar itu, aku yakin. Tapi kenapa ya, susah banget buat nerima kenyataan dan ngelepas?" lirih Juni.

Mark masih bungkam. Semua kalimat Juni masuk ke telinga dan langsung menghujam jantungnya. Jantung yang tak pernah ada sejak awal.

"Padahal kenalnya juga gak lama-lama banget. Tapi aku ngerasa klik banget sama kamu. Aku nyaman. Dan makin ke sini aku bener-bener takut buat ngehadepin masa depan nanti." Juni menarik nafas, membuat suara ingusnya yang naik terdengar.

"Gak siap sumpah. Kalo misalnya saat itu tiba...," ia menggantung ucapannya sejenak. "Saat kita harus pisah." Bibir gadis itu kembali bergetar. Air mata baru pun meluncur membasahi pipinya

"Aku gatau bakal kayak apa ancurnya aku dan harus gimana cope up with the fact that I don't have you anymore."

"Jun...," desah Mark. Jujur ia tak tahu harus berbuat apa untuk membuat perasaan gadisnya ini membaik. Yang bisa ia lakukan saat ini adalah menyentuh tangan gadis itu lalu meremasnya pelan.

Tiba-tiba Juni tertawa. Dia nampak seperti orang yang kehabisan akan. Tapi entah mengapa, di mata Mark, wanita ini nampak begitu bersinar. Air mata gadis itu membuat sinar bulan, bintang jatuh, dan juga lampu kerlap-kerlip menari-nari di atas wajah basahnya. Bibirnya terbuka, menyunggingkan senyum lebar. Tawa yang sarat akan kemirisan tersebut membuat apapun dalam tubuh Mark tersayat. Herannya, ia bisa merasakan cinta yang tulus dari pengakuan Juni ini.

"This is so fucking insane, I know! But I do Mark."

"I do love you."

"Like really-really lo-"

Mata Juni seketika melebar. Sepasang bibir lembut yang anehnya terasa hangat menyentuh miliknya, membuat ia tak mampu menyelesaikan ucapannya itu.

Malam yang dingin berbanding terbalik dengan hangat yang menjalar di sekujur tubuhnya. Baginya, tubuh Mark selalu terasa lebih dingin dari suhu tubuh manusia normal. Namun kali ini, pria itu terasa hangat.

Juni pun memejamkan matanya, membalas ciuman Mark. Ciuman pertamanya.

Dan kemungkinan ciuman pertama Mark juga.

Untuk sesaat ia ingin larut dalam perasaan yang memenuhi dadanya. Tak ingin ia pedulikan masa depan yang membuatnya ketakutan. Saat ini yang terpenting hanyalah mereka. Mark dan dirinya. Nothing else.

Orang-orang sering bilang, cinta bisa membuatmu gila. Juni dan Mark setuju.

Tapi mereka tak keberatan.

Flashback End


"It's almost midnight...," gumam Juni pelan, menyadarkan Mark dari lamunannya.

Biarlah Juni tidak pernah tahu kalau ciuman pertamanya itu bukan Jaemin, tapi dirinya. Mark merasa akan tidak adil bagi Juni jika gadis itu diberitahu sesuatu yang tak akan pernah ia ingat. Itu hanya akan menodai kebahagiaan yang saat ini dimiliki oleh Juni. Cukup Mark yang memiliki kenangan tersebut seorang diri.

"Then, it's time to say goodbye," lontar Mark diiringi hembusan nafas. Pria itu bangkit lalu memandang lurus ke depan.

Juni mengikutinya. Gadis itu menepuk-nepuk belakang dressnya untuk membersihkan pasir pantai yang menempel.

"Lo gak sedih mau pisah sama gue?" Juni mengerucutkan bibirnya, membuat pria di hadapannya itu spontan tergelak.

"Gak cocok banget lo sok sedih!" ejek Mark seraya mendorong pelan bahu Juni.

"Abisan, gak ada yang bisa gue ajak adu urat lagi deh! Terus gak ada yang gue paksa dengerin ocehan-ocehan gak jelas gue malem-malem. Ya... meskipun lo suka ngomel dulu setiap gue mau cerita," tutur Juni.

"Lah? Kan udah ada Jaemin. Orang 5 langkah dari kos gitu kayak lagu dangdut, tinggal nyamper," jawab Mark.

"Kalo sama Nana sih adu mulut, bukan adu urat." Lantas gadis itu terkikih geli sembari menutupi mulutnya, bertingkah malu-malu. Mark langsung memberikan pandangan jijik ke arahnya.

"Belum jadian aja udah kemana-mana pikiran lo. Dasar mesum!" Mark menoyor kepala Juni.

"Iiihh, nggak mesum! Dia tuh emang suka nyium tau! Terus meluk-meluk manja gitu," ungkapnya.

Mark menutupi kedua telinganya sambil menggeleng-gelengkan kepala. "JUNI PLEASE! I DON'T NEED TO KNOW THE DETAIL! GROSS!!!" protesnya.

Yang pria itu dengar selanjutnya hanyalah kekehan kecil dari mulut gadis itu. Lalu sepasang tangan melingkar di pinggangnya.

"Makasi Mark," ujar Juni tulus.

"Jangan gini ah!" pinta Mark.

"No. Let me say this to you, something that maybe I couldn't say in our past," tandas Juni.

Mark akhirnya diam. Waktu mereka tinggal 5 menit lagi.

"Makasi banyak Mark. Makasi udah sayang dan cinta sama Juni yang dulu. Mungkin juga yang sekarang. Makasi udah jadi temen gue selama ini. Gue gak bakal minta maaf kok, tenang. Gue tau maaf bukanlah sesuatu yang pengen lo denger saat kita pisah. Jadi, makasi. Makasi udah bertahan, jalanin hukuman lo, dan ngelepas gue dengan kenangan yang indah. Gue harap, kenangan menyakitkan yang dulu bakal terganti sama waktu-waktu kita bahagia bareng-bareng."

"Gue pengen lo inget yang indah-indah aja. Bahagia, Mark."

Juni mendongakkan kepalanya, melihat paras tampan jin kekinian yang telah menjadi temannya selama dua bulan ini. Ujung bibirnya tertarik, membentuk senyum lebar nan manis.

"Then you have to be happy, Juni. Live a happy life with Jaemin."

Gadis itu mengangguk pelan. "I will," bisiknya. "Thank you, Mark."

Mark menarik tubuh Juni dan mendekapnya erat. 

5

Mengecup puncak kepalanya dan menghirup aroma rambut gadis itu dalam-dalam untuk yang terakhir kalinya.

4

"Goodbye, Juni." Karena tidak akan ada pertemuan berikutnya.

3

"Goodbye, Mark." Goodbye karena ini adalah perpisahan yang baik.

2

Mark memejamkan matanya, dalam hati menyenandungkan lagu milik Billy Simpson dengan lirik yang sedikit diubah. 

'Because I know, wherever you are, you're in my heart...'

1

Lalu yang tersisa hanyalah Juni yang kini memeluk angin.

Tak ada hujan meteor. Tak ada Mark.

Tangan gadis itu terjatuh dan menggantung di kedua sisi tubuhnya. Matanya memandang tempat Mark berada sedetik yang lalu.

Semua sudah berakhir.

Gadis itu mengeratkan hoodie yang ia kenakan, hoodie yang sama dengan milik Mark. Mulutnya menghembuskan nafas yang sempat ia tahan sesaat. Ada lubang kecil di dalam dadanya, tempat yang ia tahu akan selamanya menjadi milik Mark.

Getar ponselnya mengalihkan perhatian Juni dari spot kosong yang telah ia pandangi sejak Mark menghilang.

"Halo," sapanya. Sekilas ia sempat melihat waktu yang tertera di ponselnya. Pukul 00.01.

Jaemin memang sangat gercep.

"Kamu di mana?"

"Di pantai Kuta."

"Aku jemput ya?"

"Hm," angguk Juni meskipun Jaemin tidak bisa melihatnya.

"Masih rame kan di sana? Jangan diem di tempat yang terlalu sepi."

"Iya, Na."

"Ya udah aku otewe."

"Hati-hati, Na."

"Pasti, Ju!"

Sambungan telepon pun terputus.


Sembari menunggu Jaemin, Juni duduk kembali di atas pasir pantai, memandang jauh ke depan. Hanya kegelapan yang menyambut netranya. Tak ada cahaya kerlap-kerlip dari bintang maupun hujan meteor seperti tadi. Untuk saat ini ia membiarkan pikirannya kosong. Duduk diam, menikmati hembusan angin malam ditambah suara deburan ombak yang bercampur dengan hiruk pikuk di jalanan.

Memberikan perpisahan yang baik adalah keinginannya. Juni lega ia bisa mewujudkan hal tersebut. Ia harap, saat ini Mark, di dunia yang entah ada di mana itu, bisa tersenyum dan merasa selega dirinya. Perpisahan memang selalu menyedihkan. Tapi Juni mengingat janji mereka untuk saling bahagia. Oleh karena itu, Juni tidak akan sedih terlalu lama. Ia akan menjalani hidupnya sebaik mungkin dan berusaha untuk bahagia.


"Juju!"

Sekitar 15 menit kemudian, Jaemin tiba di pantai Kuta dan langsung menemukan sosok Juni yang sedang duduk sendirian di tengah pantai, disinari oleh cahaya rembulan. Tak sulit mengenali sosoknya, Jaemin sudah hapal di luar kepala.

Juni menoleh dan tersenyum lebar. Melihat Jaemin berlari ke arahnya, ia pun segera bangkit.

Pria itu langsung merengkuh tubuh Juni. "Kamu gak pa-pa?" tanyanya khawatir. Kehilangan teman bukan hal yang mudah. Jaemin sendiri akan sangat sedih jika harus kehilangan salah satu teman kampretnya tersebut.

"Aku gak pa-pa. Semuanya berjalan dengan baik kok." Juni menunjukkan senyumnya pada Jaemin untuk meredakan kekhawatiran pria yang belum menjadi kekasihnya tapi sudah seperti kekasihnya itu.

"Syukurlah," balas Jaemin lega.

"Kamu nungguin aku ya?" tanya Juni.

Jaemin mengangguk. "Aku kepikiran kamu bakal sempet pulang sama dia atau akhirnya diem di tempat lain sampe waktu abis. Aku asumsiin aja yang kedua. Jadi aku stand by buat jemput," papar pria itu.

"Makasi ya."

Makasi karena Jaemin ada di saat dia benar-benar butuh. Hal pertama yang dilakukan pria itu saat melihatnya adalah menghampiri lalu memeluknya. Dan Juni benar-benar butuh pelukan itu.

"Sama-sama," balas Jaemin. "Pulang, yuk?" ajaknya kemudian.

Pulang. Juni menyukai kata itu. Pulang artinya ke rumah. Sekarang Mark dan dirinya sudah sama-sama pulang. Mark ke dunianya dan Juni kepada Jaemin.

"Iya, pulang."

*END*

wkwk canda! masih ada 1 chapter lagi coy.

Nih sengaja panjang spesial buat Markeu jin gawl kesayangan kita. Ngefeel gak chapter ini? Gue ngebut banget soalnya nih, takut gak ngefeel wkwk. Vote dan komen bnyk2 ya. see you di chapter terakhir.

Continue Reading

You'll Also Like

12.8K 1K 27
[Follow dulu sebelum membaca] ***** Mandala yang memiliki arti lingkaran. Bagi Mahesa selaku ketua tim, Mandala adalah sebuah lingkaran pertemanan ya...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5M 287K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
28.3K 4.5K 13
[WINTER KIM x JAEMIN NA] siapa sih yang gak kenal winter dan jaemin? duo gosip anggota kebanggaan ceriwis. AESPA THE SERIES [2] 02.01.2021
6.4M 275K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...