PERSONA

By fantaesi

2.5K 210 15

[❗️DIMOHON UNTUK TIDAK TERPENGARUH/MENIRU ADEGAN DI DALAM CERITA INI❗️] ➖➖➖➖➖ PERSONA. Sebuah arti dari sisi... More

PERSONA
PERSONA : 1
PERSONA : 2
PERSONA : 3
PERSONA : 4
PERSONA : 5
PERSONA : 6
PERSONA : 7
PERSONA : 8
PERSONA : 10

PERSONA : 9

199 15 1
By fantaesi

"The bravest thing I ever did was continuing my life when I wanted to die.."

***

Angin malam membuat rambutku berterbangan.

Aku mendengarkan suara Saka yang bercerita sepanjang jalan. Memecah kesepian ditengah jalan malam yang kami lewati. Sesekali aku tertawa saat mendengar cerita konyol yang selalu ia bawakan.

"Bisa-bisanya lo jailin dia, Sa."

Dia tertawa. "Serius, anjir. Lagian dia polos banget gue suruh apa-apa malah mau."

Saka bercerita tentang teman yang ia kenal dari kelas di sebelah kami. Dari ceritanya, si teman itu seperti anak yang polos dan penurut. Bisa dibilang anak cupu yang kurang pergaulan.

"Oh iya, Na. Gue mau cerita lagi. Tapi mampir dulu ya? Sambil nge-teh sebentar."

"Iya. Mau dimana?"

"Mm.." dia memutar stir motornya ke kiri dan menemukan sebuah warung kecil yang masih buka. "Disitu aja, ya?"

Aku mengangguk, anggukanku cukup terasa karena aku menempelkan kepalaku di bahunya. Setelah Saka berhenti, aku segera turun agar dia bisa memarkirkan motornya di tempat yang aman.

"Bu, teh angetnya dua ya!" Saka duduk terlebih dahulu di sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu. "Sini, Na."

Menurut kepadanya, aku duduk di dekatnya. Mengambil gorengan yang tersedia, mumpung masih hangat.

"Tadi gimana acara lo sama Mirah?"

Tiba-tiba, Saka menghentikan kunyahannya. Lelaki ini menatapku, dan wajahnya kini berubah terlihat sangat antusias untuk menceritakan sesuatu padaku.

"Tadi gue ajak dia main di Timezone. Lucu banget dia kalah terus kalo mainan sama gue. Beda kalo sama lo, malah gue yang kalah terus."

Aku dan Saka dahulu memang sering bermain ke Timezone disaat kami memiliki waktu luang. Dan setiap permainan yang mengharuskan aku bersaing dengan Saka, aku selalu menjadi juaranya.

Kenangan yang cukup menyenangkan bagiku.

"Terus-terus?"

"Yaa.. abis itu gue nonton."

"Film horor?"

"Oiya dooong!" dia menaikkan kerah kemejanya. Seperti tengah menyombongkan diri. "Biar gue bisa gitu tuh.." ujarnya sambil memainkan alis.

Aku melotot dan memukul lengannya. "Mesum lo!"

"Ini tehnya, dek." Tiba-tiba, seorang ibu-ibu yang merupakan penjaga warung ini datang sambil menyuguhkan teh hangat pesanan kami tadi.

"Makasih, bu." Aku mengambilnya dan meletakkannya di meja. "Sa,"

"Apa, Na?"

Aku menyeruput sedikit tehku yang masih panas, "Lo beneran serius deketin Mirah?"

Dia mengangguk. Dan itu membuatku terkejut.

"O-ooh.." aku sedikit gagap. Mengedarkan arah pandangku untuk menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin ku tunjukkan ke Saka.

"Kenapa, Na?"

"N-nggak sih," sedikit menggaruk tengkukku. "Nanti lo malah ke asikan sama Mirah lagi ketimbang sama gue."

"Yaelah, Na," dia tertawa. "Kita pagi ketemu, gue anter-jemput lo rutin, siangnya lo nemenin gue main basket walaupun itu lama, terus malemnya gue jemput lo juga kan waktu lo udah selesai kerja?"

"Y-ya iya sih," aku menggigit bibirku. Sudah, aku tidak mau memperpanjang lagi. "Tehnya abis, kita pulang ya? Nanti gue dicariin Mama."

"Iya siap."

Hanya saja, Saka tidak menyadari bahwa secara perlahan, lelaki ini sudah mulai sedikit melupakanku.

***

"Saya duduk dimana, Miss?"

Aku berdiri sambil membawa secarik kertas dan kotak pensil di tanganku. Mengikuti arah kemana Miss Wati pergi karena aku akan menjalani ulangan susulan.

"Duduk di kursi Miss aja." Miss Wati memundurkan kursinya dan membereskan buku-buku yang memenuhi mejanya.

Aku mengangguk dan duduk di kursi Miss Wati. "Soalnya mana, Miss?"

"Ah iya," beliau membuka sebuah map plastik yang di dalamnya berisi kertas yang cukup banyak. "Nih, kerjain 5 essay aja ya."

"Okay!" jawabku dengan semangat. Aku membaca soalnya dengan saksama. Mencoba menjawab nomor-nomor yang menurutku penting.

"Kamu ini, memang nggak bisa diatur!"

Konsentrasiku sedikit buyar ketika mendengar Pak Andri—Guru BK— di sekolah tengah berjalan dengan tergesa-gesa dan dibelakangnya diikuti oleh seorang murid laki-laki yang berjalan dengan santainya.

"Berapa kali kamu bikin onar di sekolah ini, hah?! Duduk!"

Aku mencoba untuk tidak menghiraukannya. Kembali untuk mengerjakan soal yang belum selesai.

"Saya tidak bisa memberikanmu skors lagi. Karena hukuman itu sudah tidak mempan buat kamu."

Ya ampun, suara Pak Andri ini memang terbilang sangat amat keras. Beliau adalah guru yang sangat tegas, apalagi terhadap murid-murid nakal di sekolahku.

"Panggil orangtua mu!"

"Saya nggak ada orangtua."

"Ya sudah, panggil Kakakmu."

Soalku sudah selesai ku kerjakan semua. Awalnya aku ingin bergegas keluar dari ruang guru ini, namun ketika aku ingin bangkit, ada seseorang yang masuk dengan hoodie hitamnya.

"Permisi,"

Aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa sosok itu. Namun, suaranya sangat terdengar familiar di telingaku.

"Akhirnya anda datang. Silahkan duduk disebelah saudara anda."

Menyipitkan mataku, aku sedikit terkejut setelah menyadari siapa pria tinggi itu.

"Adikmu berulah lagi, Bara. Saya sudah benar-benar lelah memarahinya. Tidak akan mempan untuk adikmu."

Kak Bara?

Memilih untuk berpura-pura menulis, aku mendengarkan pembicaraan mereka. Di ruang guru ini, hanya ada aku, Yovan—si anak nakal—, dan Kak Bara.

"Maaf, Pak. Tolong berikan hukuman yang berat saja untuk adik saya."

"Tidak akan mempan, Bara. Dia berbanding terbalik sekali dengan kamu. Kamu dulu 'kan murid teladan di sekolah ini. Dan sekarang adikmu ini? Menjadi murid ternakal dan yang paling rajin masuk ruang guru karena sering membuat onar di sekolah."

Kak Bara alumni di sekolahku? B-bagaimana bisa?

"Nana?"

Oh tidak, namaku dipanggil. Aku menoleh ke arah Pak Andri, mata beliau menatap ke arahku.

"Kamu kenapa disitu?"

"Ng-ngerjain ulangan susulan, Pak." jawabku sedikit gagap.

Pak Andri berdiri, berjalan ke arahku dan melihat pekerjaanku. "Ini sudah selesai?"

"I-iya, Pak. Sudah selesai.."

"Ya sudah, kamu kembali ke kelas."

Aku mengangguk. Oke, aku ketahuan menguping. "B-baik, Pak." berdiri dan membereskan pulpenku.

Ketika aku berjalan keluar ruang guru ini, aku sedikit melirik ke arah Kak Bara dan kebetulan juga,

Dia tengah menatapku.

Aku mencari ponselku ketika sudah keluar dari ruang guru. Mencari nama Ko Joan dan bertanya soal Kak Bara kepadanya.

Nana : Ko! Kak bara dulu alumni sekolahku?

Sent.

"Iya! Kak Saka kayaknya pacaran deh sama Kak Mirah. Lo liat nggak sih setiap Kak Saka main basket, pasti Kak Mirah juga disana nemenin sambil nyemangatin. Kadang juga ngasih air gitu pas istirahat ke Kak Saka."

Dan sepanjang koridor sekolah, aku sedikit mendengar percakapan dari adik kelasku.

Dan ya, sudah ku bilang tadi. Posisiku perlahan akan tergantikan oleh Mirah.

"Nana!"

Dan akhirnya, yang sedang kita bicarakan muncul dibelakangku. Berlari menghampiriku dengan rambut cokelatnya yang berterbangan.

Dia berdiri disampingku, dengan napas yang memburu. Saka memegang bahuku, bermaksud untuk bersandar sebentar dan mengatur napasnya.

"Gue cari-cari lo dari tadi," ujarnya sambil berdiri. "Nanti tungguin gue ya. Jangan pulang dulu."

"Kenapa?"

"Temenin gue main basket sebentar." tangannya berlari merangkul pundakku. Dan kami pun berjalan bersamaan.

"Kenapa tiba-tiba bilang minta ditemenin? Kan biasanya juga gue bakal kesana mampir."

"Lo udah 3 hari ini nggak pernah mampir nemenin gue, Na."

Oh ya?

Aku mengingat kembali. Ya memang benar, pasalnya aku tidak mau mengganggu. Karena sudah ada Mirah disana, dan aku tidak mau merusak mood Mirah saat aku juga berada disana untuk menonton Saka berlatih basket.

"Kan ada Mirah, Sa."

"Nggak seru kalo bukan sama lo, Na."

Oh, ternyata keberadaanku masih dianggap olehnya.

"Sama aja perasaan."

"Beda lah!" suaranya meninggi. "Saka tanpa Nana itu seperti sepatu beda warna."

"Ada apa sama sepatu beda warna?"

"Nggak cocok."

Aku tertawa. Bisa-bisanya lelaki ini membuat perumpamaan yang aneh. "Iya, nanti gue temenin."

"Nah, gitu dong! Kan cantik!" kali ini, perlakuan Saka mengejutkanku. Tangannya mengacak rambutku asal. Dan senyumnya yang kulihat di depan mataku, membuatku ikut tersenyum juga.

Dan anehnya, baru kali ini jantungku berdebar disaat Saka memperlakukanku seperti tadi.

Tidak sadar, kamu berjalan sangat jauh hingga sampai di taman belakang. Aku tidak tahu mengapa Saka menuntunku menuju taman sekolah.

Lelaki di hadapanku ini hanya menatap lurus ke arah kolam ikan besar di tengah taman. Lengannya masih setia bertengger di bahuku, merangkulku seperti tidak ingin lepas.

"Coba liat tangan lo," dia menarik tangan kananku, bekas luka akibat meninju aspal kemarin. Dan ditambah luka di lenganku akibat cutting yang kuperbuat kemarin juga belum sepenuhnya sembuh.

Saka mengusap lukaku dengan hati-hati. Agak perih saat dia menyentuhnya, tetapi rasa sakit itu hilang ketika aku melihat wajahnya. Terlihat ingin menangis, tetapi ia berusaha menahannya.

"Jangan sakitin diri lo sendiri, Na."

Kata-kata yang selalu ku dengar dari teman-temanku,

Jangan sakiti diri kamu,

Jangan rusak kepribadianmu,

Jangan benci diri kamu sendiri,

Sudah ratusan kali, bahkan ribuan kali mereka mengingatkanku akan hal itu. Namun tetap saja,

Aku tetap membenci diriku.

Menarik tanganku dari Saka, aku menyembunyikannya di belakang badanku. Tersenyum ke arah Saka dan berusaha memberitahu lelaki itu lewat senyumanku bahwa,

"Gue nggak apa-apa, Sa."

Dia memalingkan wajahnya. Seperti sangat kesal ketika aku mengatakan kata-kata itu.

"Pulang nanti, nggak jadi main basket. Gue mau ke rumah lo."

Aku terkejut. Tidak, aku tidak ingin Saka berkunjung ke rumahku. Tidak akan.

"Tapi g—"

"Nggak, Na. Gue harus ke rumah lo."

"Sa, lo nggak ngerti.."

"Nggak ngerti apa, Na?" kata-katanya sedikit penuh penekanan. Seperti dia ingin membentak padaku, namun ditahan olehnya. "Setiap gue tanya lo kenapa, lo pasti jawab kalimat sialan itu."

"Lo nggak bisa bohong sama gue, Na. Mata lo itu, memperjelas semuanya." lanjutnya.

Aku tidak bisa berkata apa-apa selain diam. Persetan dengan mataku. Mata adalah anggota tubuh yang tidak bisa diajak bekerja sama. Mau seberapa pintarnya kalian berbohong, itu tidak akan bisa dilakukan dengan mata kalian. Karena mata kalian adalah organ paling jujur dibandingkan yang lain.

Detik selanjutnya, aku merasakan bahwa badanku hangat. Sehangat seperti dipeluk oleh hangatnya mentari.

Saka mendekapku. Membawaku ke pelukan eratnya. Pelukannya sedikit menafsirkan sesuatu.

Seperti merasakan bahwa lelaki ini takut kehilangan seseorang yang ia sayangi.

Lagi.

***

Seperti kata Saka tadi, lelaki ini benar-benar menepati perkataannya.

Membuka pintu utama rumahku, sepanjang perjalanan tadi aku terus berdoa agar orang tuaku tidak ada di rumah.

Dan aku bernapas lega saat melihat mobil Papa dan Mama sudah tidak ada di garasi.

"Kamar lo dimana?"

Aku berjalan menuju dapur. Saka mengekoriku dari belakang. Mengambil segelas air dingin dari kulkas dan meminumnya hingga tersisa setengah.

"Minum dulu, Sa. Tuh kalo mau air dingin, ambil aja di kulkas." aku meletakkan gelas yang berisi airku yang masih tersisa di atas meja pantry.

"Eh—"

Tiba-tiba, lelaki itu meminum airku yang tersisa setengah. Meneguknya hingga habis.

"Ih, itu gelas bekas gue, Saa!"

"Santai kali," dia mengelap bibirnya. "Lagian juga kita sering satu piring berdua, satu pipet berdua kan?"

Yang Saka katakan ada benarnya juga. Merebut gelas yang ada di tangannya, dan membawanya ke wastafel.

"Udah yuk, naik."

Saka mengikuti kemana kakiku melangkah. Satu per satu menaiki anak tangga, dan sampai lah di kamarku yang terlihat seperti kapal pecah.

"Maaf berantakan," aku mengambil buku-buku yang berserakan di karpet, dan menaruhnya di meja belajarku. Membersihkan apapun yang menghalangi jalanku.

Saka mengedarkan pandangannya. Matanya menatap sisi ruanganku. Seperti mendikte sesuatu.

Aku melihatnya berjalan ke arah meja belajarku. Dia duduk disana, sambil menunduk. Sepertinya dia tengah melihat sesuatu.

Penasaran, aku pun menghampirinya. "SAKA, IH!" terkejut bukan main saat melihat lelaki itu membuka buku kecilku. Buku yang sangat terlarang untuk dibacakan ke orang-orang.

"Lah, kok diambil?"

"Buku keramat. Nanti lo kesurupan pas bacanya." aku menyimpan buku kecil ini di dalam tasku. "Dah ah, lo udah puas belum liat-liatnya?"

Saka tidak menjawab. Tangannya membuka laci mejaku. Aku merasakan punggungnya terlihat sedikit menegang. Ntah apa yang dilihatnya, aku hanya bisa menatapnya dari belakang sini.

Dia mengeluarkan satu per satu silet dan cutter yang kusimpan disana. Beserta beberapa tissue yang berisi bercak darah yang sudah mengering.

Semua itu ia keluarkan dan lelaki ini menoleh ke belakang. Menatapku dengan tatapan datar. Aku tidak bisa membaca apa arti tatapan itu.

"Terakhir kapan?" tiba-tiba dia bersuara.

"A-ah?"

"Ini," dia menunjuk barang-barang tadi. "Terakhir kapan lo make ini?"

"Gue nggak mau bahas—"

"Kapan, Na?"

Suaranya sedikit menekan. Saka tetap menatapku dengan tatapan membingungkan. Menghela napas, aku berdiri menghampirinya. Membuang tissue yang berisi noda darah ke tempat sampah.

"Dua hari yang lalu." ujarku sambil kembali memasukan silet dan cutter ke laciku.

"Lo seneng ngelakuin hal itu?"

Melarikan tanganku ke rambut, aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Mmm.. gimana ya gue jelasinnya?"

"Kayak, lo bakal dapet sensasi yang amat puas banget gitu. Lega pokoknya." lanjutku sambil kembali duduk di tepi kasur, menghadap ke arah Saka.

"Dengan cara cutting?"

"Lo nggak bakal ngerti sama apa yang gue alamin selama bertahun-tahun, Sa."

"Pernah lebih dari ini?" tanya lelaki ini lagi, lebih mengarah ke sesuatu yang tidak ingin kubahas secara lebih lanjut.

"Pernah. Tapi Tuhan nggak pernah ngerestuin gue. Selalu gagal."

Tiba-tiba, memoriku tentang masa lalu, kembali terputar sendirinya..

[Flashback]

Pening sekali rasanya. Kepalaku terbentur tembok kamar mandi yang terasa lembab. Sekujur tubuhku basah, aku menggigil karena kedinginan.

"Masih kecil udah jadi preman kamu?!"

Lagi, air dingin mengguyur tubuhku. Tanganku panas karena bekas luka pecutan dari sabuk. Panas sekali rasanya.

"Mau berapa kali kamu malu-maluin keluarga?!" Satu guyuran air menghujaniku.

"Jawab Papa! Bisu kamu?!"

Aku terisak. Isakanku tidak terdengar jelas karena aku menahannya. Menahan tangis sekaligus menahan sakit di sekujur tubuhku.

Rambutku ditarik, menghadap ke arah Papa yang wajahnya sangat menyeramkan untuk dilihat.

"Jadi anak memang nggak tahu diri! Udah berapa kali Papa dateng ke sekolah hanya karena kamu bikin onar disana, hah?!"

Perih sekali rasanya. Ya Tuhan.. sampai kapan Kau mengujiku?

Sampai kapan aku akan terus mengalami penderitaan ini?

"JAWAB!"

Aku mendengar percikan air bathub yang sudah penuh. Rambutku ditarik, menuju ke arah bathub.

Napasku tercekat. Aku tidak bisa bernapas saat Papa menenggelamkan wajahku beberapa saat ke dalan bathub. Aku berusaha melawan, namun apa daya kekuatan dari bocah berumur 14 tahun yang mencoba membela dirinya?

"S-ssakit—"

Tuhan tolong aku. Aku tidak bisa bernapas..

Badanku kembali dibenturkan ke tembok kamar mandi. Napasku memburu, memundurkan badanku menjauh dari Papa. Tidak berani mendekatinya, apalagi menatapnya.

Samar-samar aku melihat Mama Rani yang berdiri diluar kamar mandi sambil melipat tangan. Wanita itu hanya bisa diam sambil melihatku. Membiarkan tubuh kecilku disiksa oleh Papaku sendiri.

Apakah sebutan 'Kasih ibu sepanjang masa' masih berlaku untuk Mama Rani?

"Tidur di kamar mandi sampai kamu nemu jawabannya!!!"

Pintu kamar mandi tertutup dengan sangat keras hingga menimbulkan suara memekikkan telinga.

Dan sekarang, aku bisa bernapas lega. Tanpa teriakan dan pukulan yang mendarat di badanku.

Kadang aku bertanya kepada Tuhan,

Apa salahku?

Apa dosaku?

Hingga aku mendapat hukuman untuk hidup seperti ini?

Mengapa mereka sangat suka menyiksaku? Menjadikanku pelampiasan amarah mereka?

Dan eranganku yang awalnya tidak terdengar, perlahan-lahan mulai meluapkan semuanya.

Aku mengerang. Menangis sekeras mungkin. Menangis karena merasakan sakit yang amat sangat di dalam hatiku, dan luka-luka yang dilukis di atas permukaan kulitku.

Ini benar-benar sakit..

"Mama.. Nana butuh Mama.."

Melihat sebuah porselene di pojok kamar mandi, dengan tangan bergetar, aku mencoba meraihnya.

Menatapnya sebentar, aku tidak bisa berpikir jernih. Aku kalut, tidak tahu harus melakukan apa. Aku hanya ingin, siksaan ini segera berakhir.

Aku meneguk porselene tersebut. Detik selanjutnya, tenggorokanku terasa panas. Seperti habis disulut besi panas.

Memegangi tenggorokanku, aku mulai terbatuk. Batuk dengan sangat keras hingga aku ingin muntah. Merasakan bahwa seluruh isi perutku seakan bercampur aduk.

"Uhhukk!"

Darah mencuat dari mulutku. Aku mulai kesulitan bernapas, dan pandanganku kabur. Badanku lemas dan aku terbaring di lantai kamar mandi yang basah.

Aku melihat bayang-bayang seorang wanita cantik, yang mengulurkan tangannya. Mencoba membawaku untuk pergi dari sini.

Meraih tangan tersebut, dan detik selanjutnya,

Pandanganku kabur. Seakan semut mengelilingi mataku yang masih setengah terbuka.

"M-mama.."

***

"Dan waktu itu gue dirawat, dan gue terus ngelakuin itu berulang-ulang."

Saka sudah duduk di hadapanku. Dia berjongkok dan dengan tekun mendengarkan sebagian cerita dari masa laluku yang kelam.

"Gue itu anak haram, Sa. Dan gue susah buat nerima kenyataan itu. Ditambah lagi gue nggak tau siapa ibu kandung gue, seperti apa wajahnya. Gue nggak tau, Sa.."

"Kejadian itu bikin gue jadi depressi berat. Gue yang awalnya anak yang periang, banyak prestasi, dan waktu itu malah jadi down gara-gara masalah itu. Semua kacau. Dan sejak saat itu, tiap malem, tiap gue sendirian, suara dari pikiran gue bermunculan terus. Mereka berisik banget, Sa. Nyuruh gue ini itu."

"Dan bodohnya juga, gue nurutin semua kemauan mereka." aku menunduk, mencoba menahan air mata yang sudah bergerumul di kelopak mataku.

Saka berdiri, memilih untuk duduk disampingku. Membawaku ke dalam dekapannya lagi. Dan saat itu, air mataku tumpah sejadi-jadinya.

Lengannya mengusap punggungku. Mencoba menenangkan diriku yang sudah menangis seperti orang gila.

"Sstt.." usapannya makin kencang. "Nana, udah.."

"Maaf kalo lo temenan sama orang gila macam gue, Sa. Maaf kalo lo kebingungan sama masalah hidup gue. Maaf kalo—"

"Belum lebaran. Nanti aja maaf-maafannya."

Aku sedikit terkekeh. Bisa-bisanya dia bercanda disaat seperti ini. "Anjir lo," melepas pelukannya dan menghapus air mataku.

Saka berdiri, kembali ke meja belajarku dan membuka lacinya. Mengambil silet dan cutter yang baru saja kusimpan tadi. Membawanya ke hadapanku.

"Mulai sekarang, nggak ada yang namanya cutting-cuttingan. Barang-barang lo gue sita. Sebagai gantinya, lo bisa hubungi gue 24 jam setiap hari. Dan gue janji, gue bakal ada buat lo kapan pun lo butuh gue."

Cukup tertegun dengan perkataannya, aku berdiri, memeluk lelaki ini dengan sangat erat. Sungguh, aku sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Saka.

"Janji sama gue, lo nggak akan sakitin diri lo lagi. Nggak akan bikin lukisan lagi di tangan lo. Dan stop pura-pura berlagak seolah-olah lo adalah anak yang bahagia di depan kita-kita, Na."

"Itu namanya Persona, Sa. Topeng yang sehari-hari kita pakai. Dan Persona itu udah jadi rutinitas yang harus gue pakai setiap waktu, Sa."

"Masa bodo sama Persona," Saka melepas pelukanku, tangannya mengusap air mata yang masih mengalir di permukaan wajahku. "Yang terpenting sekarang, lo harus mulai jadi diri lo sendiri. Percaya sama diri lo sendiri. Gunain akal sehat, jangan dengerin pikiran negatif yang terus muncul di pikiran lo. Oke?"

Aku mengangguk. Saka kembali menarikku ke dalam pelukan. Berapa kali aku harus bilang bahwa, aku bangga memiliki sahabat seperti dia.

Seorang sahabat yang membuatku jatuh hati untuk pertama kalinya.

Dan jangkar di kapalku, sudah mulai ku tancapkan di pelabuhannya..

***

To be continued..

Mulmed : cr on pict

Bagaimana? Feelnya dapet?

Continue Reading

You'll Also Like

527K 19.8K 33
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.6M 311K 34
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
1.7M 76.4K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.7M 230K 69
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...