Beautiful Ship: Chika X You

By Leospad

5.4K 494 65

Takami Chika dan Watanabe You adalah dua sahabat karib yang sudah lama bersahabat sejak kecil. Namun menjaga... More

PROLOG #1
Kesedihan You #2
Jujur Saja! #3
Kejutan Untuk Siapa? #4
Berkemah #5
Berkemah (2) #6
Berkemah (3) #7
Memori Yang Hilang #8
Mengulang Dari Nol #9
Aqours #10
Aqours (2) #11
Aqours (3) #12
Tokyo #14
Bertanya pada Bintang #13
Scopolamine #15
Delapan VS Tiga #16
Rahasia Riko-chan! #17
Rahasia Lili dan Yohane-sama! #18
Jangan Jauh-jauh Dariku! #19
Berdua #20
Si Murid Baru #21
Masalah #22
Siasat Gagal? #23
Maafkan Aku! #24
Bukan Sekedar Kecelakaan #25
Aku Merindukanmu #26
Kecewa #27
Dua Anak Kecil #28
Satu Kesempatan #29
Sesuatu Yang Baru #30
Bimbang #31
Pertemuan Pertama #32
EPILOG #34

The END? #33

179 13 3
By Leospad

Jika aku melewati garis itu, tidak apa-apa kan? Benar. Karena semua pasti, baik-baik saja.

Ya, aku telah memantapkan tekadku bahkan ketika kaki kiriku telah menginjak garis dan setengah tubuhku telah melewati batas-

"Tunggu."

Aku terkejut, menoleh. "Si, sia-pa?" di alam seperti ini, memang ada orang selain diriku?

"Kenapa kau melewati garisnya?"

"Siapa di sana?" kataku, tak menghiraukan pertanyannya dan malah balik bertanya. Belum menemukan wujudnya.

"Kau tak perlu tahu. Jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kau melewati garisnya?"

Aku meneguk ludah. Pertanyaan macam apa itu? "Tentu saja aku harus pergi. Karena sudah waktunya untuk mengakhiri ini."

Suara itu terkekeh, terkesan meledek. "Kau bahkan tak menjawab dengan benar. Yang kuminta adalah alasan yang jelas dari hatimu sendiri."

Hatiku?

"Jangan pergi." ucap suara itu.

"Kenapa?"

"Kurasa tak perlu bertanya pun, kau sudah tahu alasannya."

Aku mengernyit, tak mengerti.

"Apa kau sungguh-sungguh ingin meninggalkannya?"

"Hah?"

"Dia masih membutuhkanmu. Chika-chan memerlukanmu untuk tetap berada di sisinya."

Aku menunduk, baru paham maksudnya. "Itu-" ucapanku terputus. Tubuhku dengan sendirinya terjatuh. Kepalaku terasa berat, dan kakiku serasa mati rasa. Tubuhku terasa panas tak tertahankan.

"Hmm.. efeknya sudah muncul rupanya."

"Apanya?" tanyaku sambil menahan sakit.

"Yah, kau tahu sendiri apa yang terjadi jika kita melewati garis itu, artinya, kita mati, baik secara raga maupun ruh. Dan setengah tubuhmu sebenarnya sudah melewatinya, jadi..." terdengar suara helaan nafas. "Sepertinya tubuh aslimu di sana akan mengalami masa kritis, antara hidup dan mati."

"Apa?"

*****

Chika dan teman-teman baru saja akan membuka pintu untuk meninggalkan ruangan-

"Uh.."

Semua berbalik.

"Ukh.."

"Y, You-chan?!" Chika bergegas kembali mendekati ranjang.

Secara aneh, tangan You bergerak perlahan, dan bibirnya bergerak, mengeluarkan suara.

Awalnya semua mengira akan pertanda baik. Tapi semakin lama, suaranya seolah meraung kesakitan dan makin jelas.

"Uh..! Uh!"

"Panggil dokter!" perintah Kanan. Riko yang paling dekat dengan tombol, segera menekannya.

Ibu You yang baru saja kembali dari toilet terkejut bukan main. Kamar itu dipenuhi orang-orang yang terus meneriaki nama anaknya.

Dokter pria berkacamata yang biasa menangani segera datang. "Permisi, permisi.." mengecek denyut nadi pergelangan tangan You. Ekspresinya seketika menegang. "Suster! Suster! Kemari!"

Dengan begitu, tiga orang suster menghampiri, dan suara You makin terdengar sakit. "Ukh! Uh..! Uh!" tangannya juga terus bergerak-gerak tidak jelas.

"Maaf, bisa tolong keluar?" kata salah seorang suster. Mau tak mau, mereka terpaksa melangkah keluar pintu. Seluruh jendela dan kaca ruangan ditutupi tirai, menandakan serius.

Chika bingung. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

*****

"Apa katamu? Tubuhku sekarang akan mengalami masa kritis?"

"Yeah, begitulah."

Bagaimana ini? Tak terbayangkan bagaimana perasaan Mama di situ.

Suara itu tertawa. "Hahaha.. sudah kuduga."

Aku menegakkan kepala, menatap ke atas. "Apa yang lucu?" di saat begini ia malah santai dan menertawakan orang.

"Biar kutanya sekali lagi. Mengapa kau melewati garis itu?"

"Karena sudah saatnya kan?," jawabku. Tak tahu kenapa, aku merasa.. ada sesuatu yang janggal dalam perkataan itu.

"Makanya kubilang jangan pergi. Toh, kau tak pernah sungguh-sungguh ingin melakukannya. Saat kutanya mengapa, kau hanya menjawab itu sebagai keharusan. Padahal, tak ada yang mengharuskanmu juga untuk pergi."

Kepalaku tertunduk kembali.

"Aku bisa mengembalikan keadaannya. Kau masih bisa hidup. Bagaimana?"

Tetap saja, aku...

"Aaah.. kenapa 'diriku' ini keras kepala sekali sih?!" keluhnya.

Eh, tunggu. Diriku?

"Padahal kalau orang lain diberi kesempatan seperti ini, mereka pasti tak akan menolak. Kau ini kenapa merepotkan sekali?!"

"Ah, itu.. aku minta maaf."

Dia tambah kesal. "Kenapa malah minta maaf? Aku jadi semakin membencimu, tau!"

Aku tertawa. Entahlah, ini terasa lucu bagiku.

"Baiklah. Ini tinggal kemauanmu saja. Kau ingin hidup kembali, atau mati dan merelakan semua?"

Tetap, aku ingin meninggalkan segalanya, tapi..

"Dengar ya. Aku ini paling benci dengan orang yang tak mengikuti kata hatinya. Memaksakan diri demi hal-hal tak guna." suaranya mengasar. "Juga.. jikalau kau memang memilih mati, ini satu pesanku."

"Jangan menyesal nantinya."

Lagi-lagi, kata-katanya serasa menusuk hati. Perasaan yang tetap saja tak bisa kupahami.

"Kalau begitu aku pergi. Panggil aku kalau kau berubah pikiran."

Hawanya tiba-tiba mendingin. Sepertinya suara aneh itu memang telah menghilang. Dan sekarang.. jalan apa yang akan kupilih? Melewati garis atau memanggilnya kembali? Haruskah aku kembali ke pelukan hangat mereka, atau membuang semuanya?

"Aku akan menjadi school idol!"

Ucapannya waktu itu.. sangatlah membuatku senang. Kalau bisa, aku tetap ingin selalu di sampingnya. Tapi...

"Syukurlah, Riko-chan baik-baik saja."

Setetes air jatuh, diikuti yang lainnya. Padahal, semua baik-baik saja. Bahkan setelah Iren-chan sadar pun, aku tetap bisa memahaminya. Tapi kenapa.. kenapa...? Kenapa... air mataku terus mengalir?

Aku beranjak bangun, mengusap mata. Tubuhku mendapat banyak kekuatan untuk melakukannya lagi. Tak ada gunanya seperti ini terus. Mau ditunda sampai kapan pun.. pada akhirnya setiap orang akan mengalaminya juga.

Baiklah, aku telah siap. Sekuat tenaga, aku berlari, menuju garis itu. Apapun itu, semua tetap harus berakhir!

-----

Perlahan mataku membuka. Putih, semua putih. Inikah alam akhir?

"Oi, bangun."

Deg! Suara menyebalkan ini.. rasanya... tak asing.

Aku berusaha bangun, mengucek mata, terkejut setelahnya.

"Sudah bangun rupanya."

Apa..? Apa... ini?

"Ng? Ada apa? Oh, kau pasti terkejut ya? Wajar saja."

"Kenapa.. kau? Aku?" Menutup mulut, tak percaya. Kenapa wajah dan tubuhnya sama persis denganku?!

"Tentu saja wajah dan tubuh kita sama. Aku itu kau, tau. Namaku juga Watanabe You." Seolah dapat membaca pikiranku, ia menjawab.

Pantas saja suara-suara itu terdengar tak asing. Ternyata suaranya adalah suaraku juga.

"Eh..? Tapi rasanya.. aneh. Mana mungkin-"

"Apanya yang aneh? Sifat kita? Pribadi kita memang berbeda. Tapi itu tak mengherankan, kok. Karena aku adalah Watanabe You dari segi lain. Aku adalah bagian paling kecil dan paling jauhmu. Semua perasaan yang selalu kau buang, adalah aku. Karena aku tercipta dari segala sifat dan pikiran yang pernah kau rasakan, namun akhirnya tak jadi dilampiaskan dan terus tersimpan di bagian paling dalam hatimu."

"O, oh.." meski tak begitu yakin, kurasa aku sudah sedikit mengerti. "Eh, sebentar. Kenapa aku masih hidup?!" baru saja sadar. "Bukankah seluruh tubuhku juga sudah masuk garis?"

"Hm? Aku menarikmu kembali." jawabnya santai.

"Apa?! Kenapa kau lakukan itu? Kau bilang semua tergantung padaku, dan aku sendiri yang memutuskannya. Lalu kenapa kau membatalkannya?"

"Sudah kubilang, aku benci dengan orang yang tak mengikuti kata hatinya. Dan kau, adalah orangnya."

Aku benar-benar kesal, lebih kesal lagi karena kenyataannya aku sedang memarahi dan dimarahi oleh diriku sendiri.

"Kau itu, ya.." dia mengusap kepala, kelihatan ikut sebal. "Katakan saja. Kau cemburu pada Riko-chan kan?"

Deg! Menusuk lagi.

"Kau tahu kenapa Riko-chan lebih dewasa dan dapat memahami Chika-chan walau mereka baru saja bertemu di kelas dua ini?"

Kepalaku menggeleng.

"Tidak hanya satu sisi, ia memandang Chika-chan dari berbagai sisi. Ia berusaha mengerti pribadi Chika-chan bukan hanya dari sudut pandangnya, tetapi juga dari sudut pandang Chika-chan sendiri."

Aku terdiam.

"Kau juga, lakukanlah. Coba untuk memahami Chika-chan lebih dalam dengan memperhitungkan segi-segi lain. Jangan cuma berpangku tangan dan menganggapnya tak membutuhkanmu lagi."

"Hatimu.. masih ingin bertemu dengannya. Aku bisa merasakannya. Kau masih ingin tetap hidup, dan menjalani keseharian. Oleh sebab itu aku berusaha menghentikanmu. Ikuti kata hati dan perasaanmu sebenarnya, serta jangan berpikir aneh-aneh. Paham?"

Ini adalah pertama kali dia mengatakan hal yang membuatku cukup senang dan membuatku tersadar akan apa yang selama ini kuperbuat. Bodoh, bodoh sekali.

"Fyuuh.. lega." ia menghela nafas. "Nah, sekarang apapun keputusanmu, takkan kuhentikan lagi. Cepatlah putuskan, karena tubuh aslimu di sana sudah tak berjiwa lagi. Putuskan sebelum kau tak dapat menggunakan lagi tubuhmu itu."

"Jadi aku.. telah mati?"

Dia mengangguk. "Tenang saja. Selama belum terlambat, semua bisa diperbaiki. Aku akan menunggumu di sini, dan takkan berkomentar apapun itu."

"Lalu... apa keputusanmu, Watanabe You?"

*****

Lama, sangat lama. Berkali-kali suster-suster itu bolak-balik keluar-masuk ruangan, dan mereka tetap harus menunggu.

Tetapi akan sampai kapan, terus seperti ini? Pertanyaan itu terus terngiang di benak Chika.

Untunglah, sesaat kemudian, pintu dibuka.

Chika terdiam. Tubuhnya tak mau digerakkan. Melihat raut muka suster itu, ia punya firasat tak enak. Ia tak mau, tak mau masuk ke dalam ruangan itu. Chika tetap tak bergerak, ketika yang lain sudah memasuki kamar.

Satu detik, dua detik, tiga det- tak sampai tiga detik Chika menghitung, yang ia takutkan terjadi. Menutup kedua telinganya, tidak, ia tidak mendengar apapun.

Chika mengepalkan tangan. Ia tetap harus melihatnya kan? Semua akan berjalan baik sebagaimana semestinya.

Dengan berani, kakinya melangkah memasuki pintu. Matanya yang sedari tadi menatap ke bawah di paksakannya memandang ke depan.

Mematung. Reaksi pertama yang ia keluarkan ialah diam. Memandangi tiap-tiap temannya. Dan semuanya berlinang air mata. Begitu melihat arah ranjang, barulah ia paham. Elektrokardiograf (alat perekam aktivitas elektrik detak jantung) nya menunjukkan garis panjang tanpa ujung dan mengeluarkan bunyi "tiiiit" panjang.

"Bohong.. kan?" ucapnya pelan.

Kanan, yang matanya membasah, berusaha menenangkan. "Chika.."

"Ada apa.. dengan reaksi kalian semua?"

Ibu You, yang dalam pelukan suster ikut bicara. "Chika-chan.. aku tahu ini berat, tapi.." Meski sakit, ia tahu anak tunggalnya telah tiada.

"Apanya...? Mana mungkin.." walau tersenyum, air mata di pipi Chika tak tertahankan untuk keluar.

Dengan cepat ia mendekati ranjang, menatap You yang tak bernafas. "Jangan main-main, You-chan.." menggoyang-goyangkan badan sahabatnya itu. "Kamu tak mungkin pergi secepat ini kan?"

"Bagaimana dengan cita-citamu?" makin kuat menggoyangnya.

"Chika-chan, sud-" Riko mencoba memegang tangan Chika.

"Apa kamu akan menyerah begitu saja?"

"Bukankah kita sudah berjanji tak saling meninggalkan?"

Riko tak kuat menyaksikan. "Hentik-"

"BAGAIMANA DENGANKU?!"

"CHIKA-CHAN, HENTIKAN!!!"

Riko tersengal. Ia tak bisa lagi menahannya. Seluruh ruangan bahkan terkejut dengan suara lantangnya. "Cukup, sudah cukup, Chika-chan. Jangan lari dari kenyataan." katanya lagi, dengan air mata mengalir deras.

Chika, yang sudah jatuh terduduk, masih mengucapkan beberapa kata, tapi tak bersuara.

Ruby yang posisinya paling dekat dengan Chika sadar. "Su, suara.. Chika-chan, suaramu..."

Chika sadar. Suaranya hilang. Namun siapa yang peduli? Chika bangkit kembali. Memandangi raga tak bernyawa itu. Ia kehilangannya. You telah pergi, dan ia harus merelakannya. Ia harus rela, kehilangan sahabat terbaiknya. Harus... rela.

Chika tak kuasa lagi, memeluk You dan menangis sekencang-kencangnya. Air matanya memang keluar, tapi tidak dengan suaranya.

Menangis tanpa suara. Menyedihkan sekali.

Continue Reading

You'll Also Like

6.1K 582 47
"Sudah ku bilang dia bukan kakak ku! Aku tak sudi memiliki kakak sepertinya" - Choi Yuju "Yuju-yya, aku menyayangimu melebihi apapun" - Choi Sowon Te...
29.2K 2.8K 33
"Lo gemesin sih" - Ahn Yujin "Lo ngeselin" - Jo Yuri 📌WARNING! - Genbend - BxG - Bahasa non-baku Ranks #5 joyuri Oct'20 #1 yuri Jan'21 IcezCappucci...
210K 32.1K 58
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
829K 40.1K 40
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...