Senandika - [nomin]

By dazzlingyu

13.6K 1.7K 276

Tentang asa akan perasaan, soal penyesalan yang datang belakangan, dan penantian yang tak pernah terlupakan... More

;prolog
1. taruhan dan balas dendam
2. senandika
4. mari mulai
5. sebaris pesan
6. menjelang tengah malam
7. jumat barokah
8. kencan di hari sabtu
9. kemelut pikiran
10. hujan di jumat sore
11. siksaan keputusasaan
12. dimana, ketika saya butuh?
13. kekeliruan tak berujung
14. merelakan untuk sebuah kegagalan
15. sanggup atas kemenangan (atau kekalahan?)
16. hal fatal
17. rentetan kejujuran
18. kilas balik
19. keinginan kecil
20. sebuah saksi bisu; cermin di kamarku
21. terima kasih, haedar
22. pahitnya kenyataan
23. senyum pilu yang menyakitiku
24. keputusan terbesar, titik balik kehidupan
25. harapan dan perjuangan
26. pengakuan terdalam
27. pernyataan sulit

3. saujeno

478 75 14
By dazzlingyu

Kalau Saujeno; adalah seratus persen kebalikannya Senandika.

Ceria, penuh energi. Tampan dan tinggi. Jago basket dan mahir genjreng gitar. Wah, pokoknya banyak poin plusnya, termasuk kelebihannya yang memiliki rahang tegas dan hidung mancung bak perosotan.

Itu kata Bayu, sih.

Tapi, yang namanya manusia pasti punya kekurangan. Hal tersebut berlaku juga pada Saujeno—tentu saja, karena dia masih termasuk manusia, bukan keturunan setengah dewa atau semacamnya.

Kekurangannya yang kesatu, dia playboy. Alias tukang kerdus, demikian Bayu menyebutnya.

Mulutnya licin kayak belut, kata-katanya semanis madu—apalagi kalau lagi menggoda cewek-cewek cantik incarannya. Udah pasti gak cuma satu-dua yang kena jebakan mulut mautnya. Dari kelas sepuluh, terhitung sudah ada tiga belas yang jadi korban. Semuanya gak ada yang tahan lebih dari satu bulan. Paling mentok tiga puluh tiga hari, itu pun udah makan hati banget si cewek korban perasaan karena ternyata Saujeno gak deketin satu orang doang.

Makanya, soal remuknya hati Senandika, Bayu mempercayakan sepenuhnya pada sobat karib bermulut kardusnya itu. Karena ia tahu, sobatnya itu benar-benar jago soal menerbangkan hati lalu membantingnya jatuh hingga berkeping-keping.

Saujeno itu anaknya pintar, tapi semena-mena. Gak kayak kakaknya, Danarendra, yang pintar dan berprestasi juga patuh pada orang tua.

Danarendra itu bagai emas dalam keluarga, makanya Saujeno suka kesal kalo orang tuanya udah mulai banding-bandingin dia sama kakaknya yang selalu lebih dalam segala hal.

Saujeno itu sebenarnya pintar, cuma malas aja. Begitu kata Danar. Meskipun demikian, Saujeno tetap sayang sama kakak semata wayangnya itu, kok.

Kembali lagi ke topik, selain semena-mena, kekurangannya yang kedua : bandel.

Hobi dia balapan dan kadang ngerokok ikut-ikut Bayu. Pernah sekali ketahuan sama Danar, alhasil dia dijemput pulang saat itu juga dengan motor matic berstiker Snorlax milik kakaknya itu, buat seluruh tempat tongkrongan terpingkal-pingkal melihatnya begitu tunduk dan penurut di depan Danar.

Selama jalan pulang, Saujeno hanya bisa merengut mendengarkan ceramah Danar yang seakan tak ada habisnya. Ia menyerocos hingga dibukakan pintu gerbang oleh mama yang serta merta lanjut menceramahinya di ruang keluarga.

Tapi Saujeno gak pernah kapok, sampai ketika sepupunya yang tinggal persis di samping rumahnya—Haedar namanya—tertangkap basah hendak pergi balapan oleh ayah Saujeno.

Sayangnya hari itu, Saujeno udah cabut duluan ke arena, dan waktu Haedar menghubungi sepupunya itu, ponselnya gak aktif. Dengan panik ia menelepon Bayu yang lalu memberitahunya bahwa Saujeno sedang balapan putaran ketiga dan akhirnya ketahuan lah oleh ayahnya yang tiba tepat setelah Saujeno menghentikan Rebecca di garis finish.

Saujeno kena tampar di tempat, disaksikan secara langsung oleh puluhan pasang mata di arena balap. Setelahnya, ayah langsung menyuruh anak buahnya untuk mengamankan Rebecca hingga waktu yang tak ditentukan, lalu menyeret Saujeno pulang.

Dan lagi, Saujeno tidak merasa kapok sedikitpun. Meskipun Rebecca diamankan, dia masih aja pergi ke arena balap nebeng Bayu karena setelah kejadian ditampar ayah di arena, Saujeno betulan mengibarkan bendera perang pada sepupunya itu.

Rebecca entah diamankan dimana. Saujeno rindu banget sama motor kesayangan yang ia beli dengan jerih payahnya sendiri itu. Ia disuruh berjanji tidak akan lagi pergi balapan hingga kedepannya dan janji akan menggunakan Rebecca sebaik-baiknya.

Tapi tetap aja, yang namanya Saujeno, keras kepala anaknya. Kalo kata Haedar; "Batu lo, jing!"

Iya, anaknya emang suka ngegas. Harap maklum, ya.

Jadi, waktu mendengar tawaran Bayu tempo lalu jelas membuat Saujeno tergiur. Apalagi Elizabeth kastanya lebih tinggi daripada Rebecca dan harganya dua kali lipat lebih mahal. Dalam hati, Saujeno bersorak girang. Bayangin aja, motor seharga dua kalinya Rebecca diberikan secara cuma-cuma oleh sahabatnya.

Dia mau lah, apalagi tantangannya cuma bikin Senandika patah hati. Bisa lah, nanti Saujeno deketin, baperin, tinggalin. Gampang kan? Iya, Saujeno 'kan udah jago.

Haha, dasar Saujeno. Memangnya yakin bisa?

Saujeno menatapi kunci motor yang ada di tangannya dengan senyum lebar tak tertahan. Perasaan senangnya membuncah dalam hati ketika sadar akhirnya dia gak memiliki hambatan lagi untuk mengejar kesenangannya, yaitu balapan.

Ditengah lamunannya, pintu kamar Saujeno terayun terbuka, menampilkan sosok yang dia musuhi akhir-akhir ini karena omongan Bayu kemarin di arena balap.

"Mau apa lo?" Saujeno bertanya ketus, mendengus menatap pemuda seumurannya yang tengah menyenderkan bahu di kusen pintu kamarnya.

"Lo bawa pulang motor Bayu?"

"Kenapa? Mau lo aduin ke bokap gue lagi?"

"Jen, I'm sorry, okay? Gue terpojok banget, sama sekali gak ada maksud ngaduin lo ke om—"

"Halah, gak usah ngeles. Semua orang tau lo gak pinter bohong, Chandra," Saujeno mendegus lagi, membuang wajah.

Haedar Chandra Dibrata—pemuda manis berkulit tan yang adalah sepupu Saujeno itu—cuma bisa menghela napasnya. Dia gak bermaksud ngaduin soal Saujeno yang ikut balapan ke ayahnya. Waktu itu dia mau nyusul Saujeno ke arena, diajak balapan juga sama sepupunya itu, tapi sialnya, ayah Saujeno keburu memergokinya duluan bahkan sebelum motornya melaju meninggalkan rumah.

"Gue cuma mau minta maaf," Haedar menegakkan tubuhnya. "Rasanya gak enak banget tinggal sebelahan, sepupuan, marahan gara-gara motor yang kesita doang."

"Doang?! Lo bilang 'doang'?! Rebecca hampir dijual, tolol! Lo mikir dong, gue dulu belinya pakai uang siapa?! Emang gue belinya minta ke bokap sambil ngerengek-rengek kayak lo?!" Saujeno membentak, jadi emosi dengan ucapan sepupunya yang seolah menyepelekan masalah motor kesayangannya yang disita itu.

"Jen, bukan gitu maksud gue!"

"Terserahlah, Chandra. Gue lagi gak mau marah-marah, apalagi lo SEPUPU gue."

Haedar menghela napasnya lagi ketika melihat Saujeno malah berbalik memunggunginya. "Gue gak sengaja denger Bayu cerita kemaren di arena, soal taruhan kalian berdua."

Saujeno langsung berbalik lagi menatap sepupunya itu dengan mata memicing.

"Senandika, 'kan?"

Saujeno menatap Haedar tajam dari balik kacamatanya, "Kenapa? Lo mau apa? Mau gangguin gue lagi?"

"Lo lupa dia temen sekelas gue?"

Saujeno mengernyit, menaikkan sebelah alisnya, sementara Haedar tersenyum miring balas menatapnya.

"Sebagai permintaan maaf gue, gue bantu lo deketin Dika. Imbalannya lo jadi dapet Elizabeth 'kan? Gimana?"

Saujeno terdiam menatap sepupunya, sejenak berpikir, emang iya Haedar temenan sama Senandika? Sejak kapan? Setaunya, Senandika cuma deket sama Bang Raka?

"Lama banget lo mikirnya, Jen."

"Ya udah," Saujeno mengedikkan bahunya cuek. "Kalo lo maksa."

"Dih, si Sipit dikasih bantuan bukannya makasih. Kalo berhasil 'kan, enaknya di lo juga. Itu R25 jadi punya lo."

"Ya ya ya," Saujeno mengedikkan lagi bahunya sama cueknya. "Terserah lo aja, Dar."

"Ya udah. Deal ya kita. Jangan lupa makan, ada nasi goreng di bawah."

"Iya, bawel."

"Dih, si Sipit kalo dibilangin nih?!"

"Iya, Haedar, iya," Saujeno akhirnya mendengus tertawa, membuat Haedar ikut tertawa seraya menutup pintu kamar Saujeno kembali. "Dasar gembul."

"Gue bisa denger ya heh!"

Motor disita betul-betul gak bisa disebut sebagai halangan bagi Saujeno untuk tetap ikut balapan. Contohnya sekarang, dia lagi duduk santai di atas jok Elizabeth, mengetuk-ngetuk tangkinya perlahan sementara kerumunan orang di sekitarnya tengah menyorakinya, meneriakinya dengan seruan semangat.

Sementara ia menyalakan motornya—motor milik Bayu—sorakan penonton makin terdengar riuh. Saujeno cuma mendengus tertawa sembari memakai helmnya, bersamaan dengan datangnya seorang lelaki jangkung yang kemudian menempatkan motor balapnya di samping Elizabeth.

"Rebecca apa kabar, Jen?" Pemuda itu bertanya sembari menyeringai, membuat Saujeno menaikkan kaca helm fullface yang ia kenakan.

"Sehat dan selamat. Kak Lucas gak perlu khawatir, begitu Rebecca balik, gue bakal ngalahin lo lagi kok. Sementara aja nih selingkuh sama Elizabeth."

Lucas—pemuda jangkung tadi—tertawa terbahak sembari mengenakan helm dan menyalakan motor.

"Siap, siap," ia mengangguk-angguk, suaranya teredam helm. "Siap buat kalah, Saujeno?"

Saujeno balas menyeringai sebelum menutup kaca helmnya. Ia menarik gas dan rem bersamaan, membuat knalpot motor Bayu berbunyi nyaring dan kerumunan pun bersorak semakin keras.

Balapan tak terelakkan. Adrenalin Saujeno terpacu di detik pertama Elizabeth melaju melintasi arena. Dadanya berdebar keras begitu ingat tawaran Lucas untuknya jika ia berhasil memenangkan dua putaran melawannya.

"Gue punya helm baru gak kepake karena Hendery beli keduaan. Gratis, kalo lo berhasil kalahin gue dua putaran."

Saujeno yang kebetulan memang suka mengoleksi helm pun mengangguk menyetujui. Apalagi, helm yang Lucas tawari harganya lumayan juga. Gimana Saujeno bisa nolak, ya 'kan?

Begitu satu putaran sudah terlewati, Saujeno bersorak dalam hati karena sadar Lucas tertinggal jauh di belakang. Gak sampai lima menit kemudian, motornya melewati garis start yang kedua kali, dan Lucas menyusul selang beberapa detik kemudian.

Begitu Elizabeth mengerem, Saujeno langsung membuka helmnya seraya bersorak senang, melayangkan tinjunya ke udara. Sementara Lucas terkekeh, merangkul Saujeno begitu turun dari motornya.

"Lusa gue bawain ke arena. Helmnya masih ada di Dery."

"Siap," Saujeno menaruh telapaknya di pelipis, memasang pose hormat. Lucas kembali tertawa, menepuk-nepuk bahu Saujeno sebelum membawa motornya menyingkir ke pinggir arena.

"Saujeno!"

Saujeno menengok ke sumber suara, Bayu datang menghampiri bersama Haedar yang melambaikan tangannya semangat.

"Woah, kece juga lo make Elizabeth!" Ujar Bayu sembari menerima kunci motornya yang disodorkan Saujeno. "Loh? Kok dibalikin?"

"Lo yang bawa pulang deh, bokap nanya-nanya kemaren ini motor siapa. Takut Rebecca gak bakal balik beneran kalo ketauan masih ikut balapan."

"Terus sekarang? Bokap kemana?"

"Pergi, ada acara kantor sama nyokap."

"Bokap lo, Dar?" Bayu beralih bertanya ke Haedar.

"Om gue mah santuy," Saujeno menyeletuk menjawab. "Haedar pulang tengah malem juga gak diomelin, gak ditanyain."

Haedar cuma nyengir sambil menggaruk pipi, "Btw, Kak Lucas nraktir kita semua pizza sama cola. Gak mau join, Jen?"

"Hm, ntar deh nyusul," Saujeno menimang-nimang sebentar. "Ada yang perlu gue kerjain."

Saujeno tersenyum tipis sembari menatap kursi tribun di pinggir arena, ke arah seorang pemuda yang tampak asik sendiri dengan dunianya entah sedang apa. Bayu langsung menepuk bahunya begitu sadar, menyeringai menatap sohibnya itu.

"Good luck, Bro."

"Beres lah," Saujeno tertawa, mengusap-usap jok Elizabeth dengan lembut. "Elizabeth, siap-siap punya majikan baru, sayang."

Bayu tertawa terbahak bersama Haedar sebelum pergi meninggalkan Saujeno yang beranjak menuju pinggir arena. Sembari memasang senyum gantengnya, ia melompati pagar besi pembatas arena, sedikit menarik perhatian si pemuda yang ternyata sedang mencoreti buku yang diletakkan di atas pangkuannya.

"Senandika Aditya, betul?"

Senandika—pemuda manis bersurai cokelat gelap tersebut sedikit mengangkat pandang dari bukunya, mengernyit heran menatap Saujeno, namun tidak lantas membuatnya bertanya mengenai maksudnya menghampirinya tiba-tiba.

"Gak sama Bang Raka?" Saujeno bertanya lagi berbasa-basi, mengambil duduk di kursi yang berjarak dua bangku dari tempat Senandika duduk.

Pemuda itu tidak menjawab, hanya terus mencoreti buku di pangkuan. Saujeno yang merasa diabaikan langsung memutar arah pandang, menatapi Senandika yang malah asik sendiri seolah menganggapnya hanya angin lalu.

"Gue nanya loh?"

"Terus?"

"Ya... jawab, dong?"

Saujeno tiba-tiba ingat nasehat dari sepupunya semalam.

"Senandika itu anaknya pendiam, Jen. Banget. Di kelas jarang ngomong. Dia gak suka basa-basi, anaknya to the point banget. Lo harus ekstra sabar kalo beneran mau deketin dia."

"Kamu lihat Kak Raka di sekitar saya?"

Saujeno menggeleng bingung atas pertanyaan Senandika. Oh, masih ada anak muda yang pakai saya-kamu zaman sekarang?

"Ya sudah."

Saujeno mengernyit heran, "Senandika—"

"Jangan ganggu saya. Pergi sana."

"Dia itu jutek dan dingin banget!"

Astaga, hati Saujeno tertohok karena diusir. Sumpah, seumur hidupnya, Saujeno tidak pernah merasa tertolak sebegininya.

"Buset, jutek amat?"

Senandika mendengus, tidak menyahuti apa-apa selain lanjut menuliskan sesuatu di buku tulisnya.

"Ngapain sih?" Saujeno belum juga menyerah, dia bergeser mendekat satu kursi. "Oh? PR?" tanyanya memastikan saat melihat deretan angka dan huruf di buku Senandika.

Senandika masih diam tidak menjawab dan Saujeno sendiri pun enggan beranjak pergi. Entah mengapa penolakan Senandika tadi seolah berdampak begitu besar buat suasana hatinya. Tiba-tiba Saujeno merasa tertantang. Gak heran, Bayu yang notabenenya pangeran sekolah aja ditolak Senandika mentah-mentah dengan muka datar. Kalau ingat kejadian tahun lalu itu rasanya Saujeno selalu ingin menertawakan Bayu. Tapi ternyata, dirinya sendiri kini merasakannya. Meskipun hanya sebagian kecil dari penolakannya, tapi rasanya memang benar menohok hati. Dan gak heran lagi, Bayu sampai galau tiga bulan karena cintanya ditolak Senandika hari itu.

Aih, Saujeno jadi semakin penasaran.

Tiga menit saling bungkam, Saujeno dikagetkan dengan dengusan berat napas Senandika yang sedang menusuk-nusuk pipinya dengan ujung tumpul pensil yang ia genggam. Wajahnya terlihat kusut dari samping dan Saujeno malah dibuat mendengus tertawa karenanya.

Senandika langsung menengok menatapnya galak begitu mendengar suara tawa Saujeno mengalun pelan memasuki telinganya.

"Materi apa sih? Trigonometri?" Saujeno mendekat lagi satu kursi. Kini mereka duduk bersebelahan dengan bahu hampir bersisian.

Ia kemudian melongok buku tulis Senandika, mengernyit sejenak melihat coretan rapi tersebut.

"Loh? Jelas aja toh gak ketemu, lo salah masukin tangen sama sinusnya, habis itu dibagi, jangan dikali dulu." Katanya sembari menunjuk deretan angka dan rumus di buku tulis lusuh tersebut. "Eit, jangan buru-buru. Tangen itu sinus dibagi cosinus."

Senandika masih menatapnya galak meskipun tangannya tetap bergerak mencoret-coret buku catatannya. Saujeno cuma mendengus lagi, melirik diam-diam melalui ekor matanya.

"Ketemu..." gumamnya kemudian.

"Nah 'kan," Saujeno berdecak bangga, menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi.

Senandika cuma mengangguk pelan seraya lanjut menuliskan jawaban di bukunya. Alis Saujeno naik sebelah, mengernyit menatap Senandika.

"Terima kasihnya mana?"

"Saya 'kan gak minta bantuan kamu," Senandika menjawab singkat sebelum lanjut mengerjakan PRnya.

Saujeno terdiam kaget. Belum ada orang yang mampu membalas ucapannya dengan begitu datar dan dingin macam Senandika ini. Saujeno sukses dibuat makin merasa tertantang.

"Tapi gue udah bermurah hati bantu lo," balas Saujeno tak mau kalah, mengubah posisi duduknya menghadap Senandika.

"Tapi saya gak minta bantuan kamu, Saujeno."

Senandika pun langsung menutup buku tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas ranselnya yang ia taruh dekat kakinya, bangkit berdiri dan meninggalkan Saujeno setelah berkata demikian.

"Heh?! Mau kemana?!"

"Saya gak suka dekat-dekat kamu, jadi banyak orang yang mandangin saya." Senandika menjawab sembari menunjuk gerombolan anak perempuan yang nampak menatapi mereka di tengah arena sembari berbisik-bisik rumpi.

Saujeno dibuat melongo di tempat, tiba-tiba aja rasa tertolak yang diberikan oleh si manis bersurai cokelat tersebut membuat harga dirinya sebagai orang tampan terluka.

"Woy? Dia nolak gue?" Saujeno bermonolog sambil melongo tidak percaya, matanya terus mengekori Senandika yang melangkah menjauhi deretan kursi tempatnya duduk. "Gue? Ditolak?! Anjrit, pertama kalinya dalam sejarah seorang Saujeno Aprilio ditolak!"

Saujeno menghentak-hentakkan kakinya kesal sambil ikut beranjak turun dari kursi. Matanya kembali fokus ke arah Senandika yang tengah menghampiri Raka di seberang arena, sedang minum soda sambil menelepon seseorang. Otaknya mendadak perlu terus memutar kalimat penolakan dari Senandika bagai kaset rusak.

Sialan, yang benar aja?!















Haedar Chandra Dibrata

Continue Reading

You'll Also Like

11K 1.3K 21
"Jujurly, naksir banget gue sama Julian." ★AU!Lokal. Harshwords.
Fantasia By neela

Fanfiction

1.6M 5.1K 9
⚠️ dirty and frontal words 🔞 Be wise please ALL ABOUT YOUR FANTASIES Every universe has their own story.
16K 1.1K 17
Na Jaemin seorang siswa sma yang memiliki karakter ceria kini jatuh hati pada Lee Jeno yang merupakan seorang most wanted di sekolahnya. hingga suatu...
136K 17.4K 25
✒노민 [ Completed ] He's my hero, kadang aku selalu merasa insecure dia sempurna dan berhak mendapatkan yang sempurna, tapi dia memilihku yang banyak k...