Love Potion

By milleamillea

18.8K 2K 468

Dea, seorang hotelier, menyukai seorang pria flamboyan yang memiliki nama hampir mirip dengannya, Dean. Masal... More

Part 1 - Dean dan Dea
Part 3 - Badminton
Part 4 - Di Lapangan
Part 5 - Keceplosan
Part 6 - MOD
Part 7 - Ambyar
Part 8 - Makan Malam
Part 9 - Berdebat
Bagi THR
Part 10 - Tidak Peka
Part 11 - In Charge Bersama

Part 2 - Dean Andrestha

1.7K 202 18
By milleamillea

Dea melemparkan gulungan kecil kertas ke arah Zoya yang terbahak mendengarkan ceritanya.

"Nggak lucu, Zo!"

"Lucu", bantah Zoya sambil memegangi perutnya.

"Apanya?" Dea menekuk wajah.
Zoya masih tertawa.

"Gue bisa ngebayangin gimana kekinya lo tadi. Gue yakin, andai aja si AT itu bukan GM kita, pasti lo udah maki-maki dia. Iya 'kan?"

"Ya iya, lha!" sahut Dea cepat. "Si AT tuh cuma beruntung aja dia jadi GM di sini. Coba kalau bukan, udah gue bejek-bejek mukanya yang sok kegantengan itu", ujar Dea dengan napas memburu. "Mana dia bikin malu gue di depan semua orang pula."

"Di depan Dean maksudnya?" Zoya menggoda.

Dea bisa merasakan wajahnya memerah.

"Hahaha... Benar ‘kan tebakan gue? Malu depan Dean ‘kan? Iya ‘kan?" Zoya tertawa-tawa, membuat wajah Dea semakin memerah.

“Lo bisa nggak pelan dikit ngomongnya? Malu kalau yang lain tahu." Dea mencubit lengan Zoya.

"Tenang aja, yang lain udah pergi sales call. Bu Hana masih sama tamu."

"Biya ke mana?"

"Lagi motret sama Teddy di samping kolam. Ada menu baru buat promo bulan depan."

"Ooo..."

“Pokoknya lo tenang aja. Rahasia ini cuma punya kita."

"Janji?"

"Janji."

“Benar lo nggak akan cerita ke siapa-siapa? Dea mencoba mencari kesungguhan di mata Zoya.

“Lo nggak percaya sama gue?

"Bukan gitu." Dea mengempaskan diri di kursi di depan meja Zoya.
"Selain sama lo, gue dekat sama siapa lagi sih di sini? Yang senior di departemen ini selain bu Hana, ya cuma kita berdua. Gue mana dekat sama anak-anak fresh graduate yang alay bin lebay itu.

"Biya?"

"Oh iya, sama Biya juga. Intinya, lo jangan cerita sama siapa-siapa tentang kejadian hari ini."

"Kalau sama Biya?"

"Boleh kalau sama dia."

Zoya tertawa ceria.

"Lo tenang aja, De. Gue nggak mungkin bocorin ke orang lain kalau lo suka sama Dean. Gue yakin, Biya juga jaga rahasia. Pokoknya ini hanya rahasia kita bertiga."

Dalam hati, Dea membenarkan kata-kata Zoya. Di departemen mereka, hanya Zoya, Biya, dan dirinya yang senior dan dewasa. Sisanya adalah para junior yang baru lulus kuliah atau baru setahun bekerja.

Selain secara usia yang jauh berbeda, tingkah pola mereka juga tidak sealiran dengan Zoya, Biya, dan dirinya. Mereka bertiga sudah dewasa dalam bersikap, sedangkan para junior itu masih suka alay, berisik, suka membahas hal-hal remeh, dan kadang mengutamakan emosi. Otomatis, mereka tidak sevibrasi dan tidak berinteraksi di luar urusan pekerjaan.

Intinya, generasi muda dan generasi setengah tua tak bisa membaur bersama. Departemen mereka seolah dibelah menjadi dua, senior yang lebih sering anteng bekerja di kantor dan para junior yang setiap hari makan siang bersama dilanjutkan ngopi dan merokok bersama di pujasera belakang kantor.

"Masalahnya kalau ada yang tahu selain kalian berdua, gue nggak bisa bayangin akan jadi gosip segede apa di hotel ini. Lo ‘kan juga tahu, Dean itu banyak yang suka."

"Boleh gue ralat omongan lo? Dean bukan banyak yang suka. Dean itu banyak banget yang suka!"

Dea menekuk wajah mendengar ucapan Zoya.

"Iya, Zo. Dean itu banyak banget yang suka, Dea berucap perlahan. Gue juga tahu. Nggak usah lo kasih penegasan gitu."

"Tapi itu ‘kan nggak jadi masalah, ujar Zoya dengan nada ceria seolah ingin menghibur Dea."

"Masalah, Zo."

"Masalahnya apa?"

'Masalahnya gue tahu cewek tipenya Dean bukan cewek kayak gue."

Zoya terdiam.

"Tapi ‘kan..."

"Cewek tipenya Dean itu yang cantik, putih, tinggi, keren, sexy, dan glamor. Gue sama sekali nggak ada di tipe cewek yang Dean suka."

"Lo tahu dari mana? Asal nebak?"

'Kata Deddy."

Zoya terbahak.

"Ya elah, omongan Deddy lo percaya. Lo ‘kan tahu juga Deddy itu sok tahu."

"Tapi dia emang tahu," Dea membantah.

'Tahu dari mana? Dari penerawangan ala dia yang kadang sok nebak kayak mbah dukun?"

'Deddy ‘kan lumayan dekat sama Dean."

Deddy adalah staf akunting di hotel tempat Dea bekerja. Ruangan akunting bersebelahan dengan ruangan departemen F&B. Karena itulah Deddy dan Dean sering bertemu dan bicara. Selain itu, Deddy dan Dean juga sama-sama rutin mengikuti kegiatan bulutangkis yang diadakan oleh hotel setiap Rabu malam.

Deddy bilang, Dean memang belum punya pacar, tapi Dean punya gebetan. Menurut Deddy, gebetan Dean ini pernah diajak ke lapangan bulutangkis. Memang cuma diajak sekali, tapi itu sudah cukup bagi Deddy untuk menyimpulkan seperti apa tipe perempuan ideal versi Dean.

Pokoknya cewek gebetan Dean itu cantik, tinggi, putih, sexy, terus kelihatan gaya. Dandannya menor, bajunya bagus. Benghar jigana mah - sepertinya orang kaya, begitu Deddy berkata.

"Deddy bilang gitu?"

Dea mengangguk.

"Ngapain tiba-tiba dia bilang gitu sama lo?"

"Waktu itu gue makan sama Deddy di EDR. Kami satu bangku. Terus dia ngajak gue ikutan gabung badminton. Gue tanya siapa aja yang suka ikutan. Terus dia cerita. Dia cerita juga kalau waktu itu Dean ajak gebetannya ke lapangan. Gitu."

EDR atau employee dining room adalah kantin untuk seluruh pegawai hotel. EDR menyediakan makan siang dan makan malam secara gratis bagi seluruh pegawai, tanpa kecuali. Hal ini dikarenakan bekerja di hotel tidak sama seperti bekerja di perkantoran lain yang bisa tutup selama jam makan siang.

Pegawai di hotel harus menghabiskan waktu istirahat mereka tepat waktu. Terutama bagi pekerja di bagian operasional seperti front office atau restoran. Bisa dibayangkan jika pegawai hotel harus membeli makan siang di luar. Akan banyak waktu yang terbuang untuk pergi ke tempat makan, menunggu pesanan, lalu kembali ke hotel. Adanya EDR sangat membantu mengefisienkan waktu istirahat para pekerja. Di beberapa hotel, makanan bahkan tersedia sejak sarapan, makan siang, makan malam, dan supper.

Berbeda dengan para staf junior di departemen Sales & Marketing yang kadang suka cerewet tentang menu yang disediakan EDR dan memilih untuk membeli makanan di pujasera belakang hotel, Dea, Zoya, Biya, Teddy, dan bu Hana setiap hari makan siang di EDR. Bagi mereka berlima, EDR membantu menyelamatkan hidup mereka dari kepanasan, kehujanan, kelaparan, waktu yang terbuang, yang uang yang harus dikeluarkan.

Apalagi bekerja di hotel  terutama di bagian Sales & Marketing - bisa diibaratkan tentara atau polisi yang harus siap sedia kapan saja. Saat sedang makan pun, Dea bisa tiba-tiba menghentikan makan karena ada tamu yang sudah menunggu di lobby.
Padahal menu EDR di hotel tempat mereka bekerja dapat dikatakan sangat lumayan dibandingkan dengan EDR hotel lain.

Misalnya saja menu siang ini adalah nasi putih, ikan sambal dabu-dabu, fuyunghai, ayam rendang, sup sawi putih, tumis buncis wortel, dan kolak pisang sebagai penutup. Menu itu sudah tertulis dengan manis di papan tulis kecil yang terletak di depan EDR. Cukup lumayan bukan?

Tapi memang kadang, masalahnya bukanlah apa makanan yang terhidang, namun bagaimana kita mensyukuri rejeki dari Tuhan. Meskipun misalnya yang terhidang di EDR hanya nasi putih, sayur asam, tempe goreng, dan ikan asin, tapi jika kita mensyukurinya, niscaya nikmat rasanya.

Oh ya, Bu Hana adalah orang nomor satu di departemen Sales & Marketing. Posisinya adalah Director of Sales & Marketing. Dea dan Zoya adalah Senior Sales Manager. Biya  yang merupakan tangan kanan bu Hana  adalah Public Relations Manager. Selebihnya ada Teddy sebagai Graphic Designer, Caca dan Dita sebagai Sales Executive, Lala sebagai Sales Admin, dan Adit sebagai Sales Coordinator.

Empat nama yang disebut terakhir adalah para junior yang suka berisik sambil bekerja, terutama Adit - si lelaki tulang lunak - yang suka heboh dengan guyonan garing tapi membuat suasana menjadi lebih ceria. Mereka berempat juga sering terbawa emosi jika ada masalah dalam pekerjaan. Jauh berbeda dengan bu Hana, Dea, Zoya, Biya, dan Teddy yang cenderung kalem dan anteng.

"Kok lo bisa makan sama Deddy? Gue sama Biya di mana waktu itu?"tanya Zoya.
“Waktu itu hari Senin. Lo lagi sales call. Biya lagi puasa."

“Ooo Terus apa lagi kata Deddy?"

Dea meraih sebuah risoles dari kantong kertas di hadapan Zoya dan mulai mengunyah.

"Gue minta, ya. Lapar. Tadi nggak sempat sarapan. Padahal gue udah sejak semalam ngebayangin soto ayam panas terus pakai tambahan ati ampela sama ceker." Mata Dea menerawang membayangkan seporsi soto ayam yang ia santap setiap pagi.

Warung soto ayam itu dekat dengan rumah Dea. Hanya lima menit berjalan kaki, Dea sudah bisa menikmati semangkuk soto ayam yang biasa ia santap tanpa nasi. Selain karena jika soto ayam itu dimakan dengan nasi maka Dea akan kekenyangan, Dea juga takut terlambat berangkat bekerja. Maklum, ia sering bangun kesiangan. Ia lebih suka meminta menu tambahan ati ampela dan ceker dibandingkan menyantap sepiring nasi yang bagi Dea terlalu berat jika dimakan untuk sarapan.

"Lo sih bangun kesiangan."

'Iya nih. Udah kesiangan, eh harus morning briefing. Diomelin si AT pula. Perut gue yang udah kelaparan jadi makin keroncongan. Mana masih satu setengah jam lagi jam makan siang. Untung lo punya gorengan."

“Hihihi Ironis, ya. Katanya kita kerja buat cari makan tapi malah sering nggak sempat makan. Habisin aja. Sisa dua lagi kok. Terus apa lagi kata Deddy?"

"Cuma itu sih. Gue nggak enak mau nanya-nanya. Ntar dia curiga pula. Deddy ‘kan ember. Bahaya kalau sampai dia tahu gue suka sama Dean."

Zoya tertawa.

"Lo tuh, selalu khawatir kalau orang-orang sampai tahu lo suka sama Dean. Padahal ‘kan justru bagus kalau dia tahu."

'Bagus apanya?"

"Bagus dong. Justru dia harus tahu supaya kalian bisa cepat jadian."

"Jadian nenek moyang lo? Gampang banget lo ngomong. Lo mah enak nggak ada rasa sama dia. Nah, gue apa kabar?"

'Kalau Dean nggak tahu, kapan kalian mau jadian? Mau terus jadi pengagum rahasianya Dean sampai dia nyebarin undangan?"

Dea berhenti mengunyah. Sorot matanya meredup.

"Zo, jangan bilang gitu. Nggak lucu."

'Benar 'kan apa yang gue bilang?"

'Tapi itu sama sekali nggak lucu." Dea meletakkan risoles yang tinggal sepotong di atas meja. "Gue nggak sanggup ngebayangin Dean nyebarin undangan. Gue nggak akan tahu gimana jadinya." Dea berhenti berkata. Matanya mulai berkaca-kaca.

"De." Zoya kaget melihat reaksi Dea. 'Lo kenapa?"

"Dean itu cinta dalam hidup gue, Zo. Gue nggak bisa..."

'Dea!" Panggil sebuah suara. "Baca WhatsApp gue napa."

Dea mengusap air mata dan menoleh ke arah pintu. Seketika jantungnya seolah berhenti memompa darah tatkala melihat Dean Andrestha - pujaan hatinya - berdiri di sana.

*****

Mulmed: papan menu di depan EDR

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 40.4K 9
Semua terlihat sempurna di kehidupan Maudy, seorang aktris papan atas yang juga dikenal sebagai kekasih Ragil, aktor tampan yang namanya melejit berk...
681K 69K 33
Pernikahan Rhea dan Starky hanya berlangsung selama tiga tahun. Meskipun mereka telah dikaruniai seorang putra, ternyata Starky belum juga bisa usai...
429K 25.1K 74
Ternyata memang benar, garis antara cinta dan benci itu nyaris tak ada. Dari yang bukan siapa-siapa bisa menjadi teman hidup.
211K 33.4K 47
[BACA SAAT ON GOING. INTERMEZZO PART DIHAPUS 1X24 JAM PUBLISHED] May contain some mature convos and scenes Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh be...