Our Love (END)

Door Li_LianChris

6.2K 693 351

Apa yang akan kamu pilih, harta atau cinta? Pilihan sulit kala jodohmu terhalang karena perbedaan kasta dan r... Meer

MAIN CAST
1. BERTEMU
2. SELALU SEPERTI INI
3. FABIAN
4. KEMARAHAN FABIAN
5. YANG TIDAK DIDUGA
6. PEMBERIAN MEAN
7. PLAN SAKIT?
8. DEMAM
9. MENGEJAR APRIL
10. SAKIT HATI
11. BIRU LANGIT
12. BAHAGIAMU DERITAKU
13. KACAU
14. GARA-GARA NATASYA
16. JIKA HARUS MEMILIH
17. APAKAH HARUS BERAKHIR
18. SI BODOH
19. TERUNGKAPNYA KEBOHONGAN
20. APA SALAHKU?
21. RESTU VS CURIGA
22. BAWA AKU PERGI
23. BENING - END

15. MENCARI FABIAN

170 21 17
Door Li_LianChris

"Tapi aku juga tak ingin melihatmu menderita seperti itu, Plan. Kamu tak harus berkorban untukku. Aku ingin kamu hidup bahagia selamanya, Plan."

Siapa yang tak akan terbawa perasaan kalau ada yang bilang seperti itu padamu? Hati Plan berbunga-bunga, rona merah menghiasi pipi gembulnya. Memiliki orang yang menerima dia apa adanya. Menyayanginya tanpa mempermasalahkan siapa dirinya.

Plan merasa lengkap bila saja saat ini tak ada orang yang mengekori ke mana-mana hanya untuk mengganggu hubungannya dengan Mean. Ya, saat ini Mean dan Plan sedang berkeliling mencari Fabian seperti rencana mereka tadi pagi. Siapa sangka kalau Natasya keukeuh ingin ikut dengan mereka. Dia mengganggu saja.

"Ck, kenapa juga kamu mengikuti kami?" Plan mulai kesal karena keberadaan Natasya. Plan masih kesal karena gara-gara gadis itu, Mean hampir saja memutuskannya. Dia masih saja suka mengganggu orang lain seperti saat mereka masih kecil dulu.

"Loh, memangnya kenapa? Aku 'kan mengikuti calon suamiku," ucap Natasya yang menggulirkan matanya pada Mean yang terlihat ingin membunuh seseorang.

"Sudahlah, hentikan sandiwaramu itu, Nata! Membuatku muak saja." Tentu saja Plan tahu kalau Natasya tak sungguh-sungguh ingin dijodohkan dengannya. Plan cukup mengenal sifat gadis itu.

"Loh, aku nggak bersandiwara Plan." Natasya masih setenang air dalam wadah. Gadis itu memang tak bohong mengenai mengikuti calon suaminya. "Tapi calon suamiku bukan kamu." Kalimat ambigu Natasya membuat Plan mengernyitkan dahinya. Sedangkan Mean masih mengawasi percakapan mereka yang berjalan di depannya. Ia melihat Natasya menoleh padanya dengan pandangan penuh arti. Tentu saja Mean tak peduli.

"Hah, siapa maksudmu? Kamu dijodohkan denganku." Plan bukannya marah atau tak suka Natasya yang tak menganggapnya calon suami, tapi Plan tak ingin gadis itu mempermainkannya lagi.

"Aw, jangan terlihat kecewa seperti itu Plan. Lagi pula aku tak ingin menjadi istrimu, aku muak dengan wajahmu itu asal kau tahu." Natasya menatap jijik pada Plan. Ada apa sebenarnya dengan gadis ini?

"Apa-apaan kau berkata seperti itu pada kekasihku?!" Mean yang sejak tadi hanya mengamati kini ia tersulut dan menarik bahu Natasya dengan kasar, membuat gadis itu langsung berbalik ke belakang menghadap pada Mean.

"Memangnya kenapa? Aku benci padanya." Natasya menepis tangan Mean yang berada di pundaknya lalu menunjuk pada Plan, menatap tajam pada pemuda itu. "Wajahnya lebih cantik dariku! Itu membuatku muak!"

"Aw, alasan macam apa itu?" Plan semakin mengerutkan alisnya, tak bisa mencerna kalimat Natasya.

"Ya, sejak dulu aku membencimu, Plan! Karena wajahmu lebih cantik dariku!" geraman Natasya membuat Mean dan Plan memusatkan perhatian pada wajah marah gadis itu.

"Aku tak cantik! Asal kamu tahu, aku itu tampan!" Tanduk imajiner muncul di kedua sisi kepala Plan. Tampak sekali dia tak suka gadis itu menyebutnya cantik.

"Pfftt." Itu bukan Natasya. Mean menahan tawanya saat melihat kekasihnya murka karena tak suka disebut cantik. "Akui saja kalau kamu itu memang cantik, Sayang," kata Mean pada akhirnya. Ia tak bohong, di matanya Plan itu yang paling cantik.

"Mean!" pekik Plan pada kekasihnya. Ia mengejar Mean yang sudah lari terbirit-birit setelah menggoda Plan. Bukankah mereka melupakan sesuatu?

"Aw, aw, ampun Plan. Tolong lepasin ...!" ringis Mean yang kesakitan karena telinganya ditarik oleh Plan.

"Nggak ... nggak ada ampun!" Plan masih saja tak mau melepaskan Mean. Tidak semudah itu setelah Mean menyentil harga dirinya sebagai lelaki.

"Aw, bukankah kamu lupa sesuatu?" Plan tampak berpikir atas pertanyaan Mean yang meringis kesakitan. Plan hanya menggelengkan kepalanya tak tahu. "Kita harus mencari Fabian, kamu ingat?" Kalimat itu membuat Plan melepaskan tangannya dari Mean.

"Ah, benar, kita harus segera menemukan bocah nakal itu sebelum dia membuat masalah!" Plan tiba-tiba diam. Mereka tak punya petunjuk apapun mengenai keberadaan Fabian. "Tapi kita tak memiliki petunjuk lagi. Seharian kita sudah keliling menanyakan keberadaan bocah itu pada teman-temannya ... tapi tak satupun dari mereka yang tahu."

Plan frustasi dengan kelakuan adiknya. Jangan lagi, jangan sampai Fabian membuat ulah seperti beberapa bulan yang lalu saat ia mempermalukan ayah mereka di depan umum dengan mengumbar semua tindakan Joe pada anak-anaknya. Tepat di hadapan ayah mereka dan mengakibatkan pemuda itu diusir dari rumah.

"Petunjuk kita tinggal satu, Plan ... April!" Mean mengeluarkan Android dari saku celana lalu mendial nomor editornya yang beberapa bulan terakhir begitu kacau.

Di tempat April, beberapa jam sebelum panggilan masuk dari Mean. April disibukkan dengan semua urusan pekerjaannya. Wanita 32 tahun itu sama sekali tak memperhatikan penampilannya, ia kacau.

Ia tak menampik perasaannya pada Fabian yang mulai tumbuh subur. Tapi ia terjepit di antara dua pilihan, Fabian atau adik-adiknya di panti. Lima puluh delapan adiknya akan terlantar bila ia tak melepaskan Fabian dan memilih egonya. Ironis kala ia harus galau di umurnya yang sekarang. Kenapa ia masih bimbang hanya karena seorang remaja?

Di tengah kesibukannya, April sempat terkejut saat HP-nya berdering. Ia melihat nama yang tertera di layar benda pipih itu lalu mengernyitkan alisnya. Tak biasanya orang itu menghubunginya. Ada apa?

"Halo, Bu? Ada apa kok tumben menelpon di jam seperti ini?" Ya, bu panti yang menghubungi April saat ini.

"Pril ... Nak, datanglah ke panti!" Suara Narti—ibu panti—bergetar. "Kita dalam masalah, Nak!" Apalagi sekarang?

April memunguti tas dan jaketnya, bergegas menuju panti. "April segera ke sana, Bu!" Wanita itu berlari, menghiraukan atasan maupun rekan kerjanya yang bertanya-tanya pada wanita itu kenapa begitu panik.

Di dalam taksi, April tak henti-hentinya gelisah. Apa yang sebenarnya terjadi di panti sehingga ibu panti bergetar seperti akan menangis?

Tak berapa lama taksi yang ditumpangi April sampai di depan panti. Tapi kenapa ramai sekali di sana?

Terlihat ekskavator terparkir di pekarangan panti dan alat berat lain siap untuk merobohkan suatu bangunan. April berlari dengan panik melewati beberapa pekerja konstruksi yang siap melakukan tugas mereka. April mencari-cari keberadaan ibu panti.

Di sana ibu panti bersimpuh memeluk anak-anak panti yang menangis. Wajah wanita paruh baya itu telah basah oleh air mata, menangis tak berdaya di bawah tatapan lelaki dengan setelan jas marun, tampak sombong dengan mengangkat dagu berusaha menunjukkan kuasanya.

"Ibu, apa yang terjadi?" April berhambur memeluk wanita yang telah membesarkannya. Mengelus kepala adik-adiknya yang sudah berurai air mata.

"Ibu ... ibu juga tak tahu, Nak. Tiba-tiba mereka datang dan ... dan mengusir kita." Narti sesenggukan di sela kalimatnya. April mendongakkan wajahnya, wanita itu memejamkan matanya erat mencoba menahan air mata yang mendesak keluar. Kepalanya berdenyut, sakit.

"Saya sudah peringatkan kamu untuk menjauhi Fabian!" Kalimat itu membuat April menoleh pada pria berjas marun penuh tanya, ia tak mengerti maksud dari kalimat itu. Sudah 2 bulan wanita itu tak melihat batang hidung Fabian, lalu kenapa Joe menuduhnya?

"Tapi ... tapi saya tidak pernah menemui Fabian lagi, Tuan ..." ucap wanita itu sedikit ragu.

"Apanya yang tidak menemui?! Setiap hari Fabian datang ke panti ini dan dia kerap sekali terlihat di mana pun kamu berada!" Joe tampak murka dengan kenyataan itu. Ia seperti ditipu sekarang.

"Tapi ... tapi saya tidak ...." April merangkak berusaha memohon di kaki Joe. Dia tak menemui pemuda itu, benar-benar tak pernah bertemu lagi.

"Menyingkir kamu! Berhenti beralasan ... sepertinya peringatan dari saya tak mempan sama kamu." Joe menendang April hingga wanita itu tersungkur ke lantai. Menciptakan pekikan dari wanita itu.

Jantung Narti seakan meloncat dari tempatnya saat melihat hal itu. Wanita paruh baya itu merangkak menghampiri putrinya, ia memeluk April. Mereka menangis saling berpelukan sampai keributan lain terdengar oleh mereka.

"Apa yang Papa lakukan?!" Fabian datang dan langsung mendorong ayahnya menjauh.

"Inilah akibatnya jika menentang Papa! Kamu pikir Papa tidak tahu apa yang kamu lakukan di luar sana?!" Joe menatap anaknya garang. "Minum, tawuran, balapan, bahkan kamu tak pernah masuk kelas hanya untuk mengikuti wanita itu!" geram Joe menunjuk pada April yang menangis di dalam pelukan Narti.

"Apa peduli Papa?! Bian sudah bukan bagian dari keluarga kalian. Tak usah mencampuri urusan Bian!" Fabian mendorong mundur Joe. Mata merah pemuda itu memancarkan kemarahan. Walau tubuhnya sempoyongan namun tenaganya masih kuat kalau hanya berhadapan dengan ayahnya.

"Lihat dirimu sekarang, kamu sudah rusak Fabian! Wanita yang kamu kejar mengabaikanmu dan kerjaanmu hanya mabuk-mabukan." Joe melihat Fabian dari atas sampai ke bawah, melihat penampilan anaknya yang luar biasa tak terurus. Jangan lupakan bau menyengat di tubuhnya, alkohol.

"Itu bukan urusan, Papa! Menyingkir sekarang juga! Tak ada yang mengharapkan kehadiran Papa di sini!" Fabian semakin keras mendorong Joe hingga mundur. Fabian bersiap melayangkan tinjunya namun tertahan.

"Cukup! Cukup, Bian!" April menahan lengan Fabian yang sudah siap melayangkan tinjunya. Wanita itu memeluk lengan si pemuda, air mata yang berderai semakin deras. "Cukup, jangan buat masalah ini semakin rumit. Aku mohon padamu." Wajah memelas April menghentikan tindakan Fabian. Pemuda itu amat jinak dengan April seperti kehilangan taringnya. Bian yang tadi kalap sekarang tak terlihat lagi membuat Joe menatap sinis.

"Kalian punya waktu satu hari untuk berkemas dan silakan angkat kaki dari tempat ini!" ucap Joe sambil merapikan jasnya lalu berlalu dari tempat itu. Dia sudah tak tahan berada di sana.

"Tunggu ... tunggu, Tuan. Tolong beri saya satu kesempatan lagi." April mengejar pria paruh baya itu. April langsung bersujud di kaki Joe, memohon belas kasih.

"Menyingkir dari saya!" Joe menghindar saat April ingin menyentuh kakinya.

"Saya mohon, Tuan ... beri kami kesempatan. Tolong pikirkan nasib anak-anak panti. Di mana mereka akan tinggal bila tempat ini digusur, Tuan?" April menunduk dalam, berharap hati lelaki paruh baya itu terketuk.

"Itu bukan urusan saya! Saya sudah memberikan kesempatan, tapi kamu tidak mengindahkannya!" kata Joe penuh penekanan membuat April semakin terisak.

"Saya mohon, Tuan. Saya mohon ... saya akan melakukan apa pun asal adik-adik saya aman. Saya akan melakukan apa pun." April telah putus asa. Wanita itu tak tahu harus berusaha seperti apalagi.

"Oke, saya beri kamu satu kesempatan lagi. Apa pun yang terjadi, tinggalkan Fabian dalam waktu satu minggu! Ini kesempatan terakhir kamu, jangan kecewakan saya." Joe meninggalkan April yang masih menangis, bersimpuh di tanah.

April harus apa? Ia mengusap kasar air matanya. Memilih menghampiri keluarganya yang sedang ketakutan, terancam kehilangan tempat tinggal.

Fabian menyongsong April yang mendekat, memeluk wanita itu erat. Ia merindukannya, selama dua bulan hanya bisa mengamati April dari kejauhan.

April tak bergerak, wanita itu tak merespon Fabian. "Puas kamu sekarang?" kata April lirih, menitikkan air mata dalam diam.

"Maaf ... maaf ... maaf ...." Berulang kali Fabian mengucapkan maaf. Pemuda itu semakin erat memeluk April, menempelkan pipinya di kepala wanita itu membelai rambut panjangnya, berusaha menenangkannya.

"Kamu pikir semua ini akan selesai dengan kata maaf?" Air matanya terjatuh tanpa henti. "Egomu membuat mereka terlantar!" April mendorong tubuh Fabian dengan keras, membuat pemuda itu mundur hingga beberapa langkah. April menggebu, menunjuk pada adik-adiknya yang masih tergugu berlinang air mata.

"Gua hanya ingin mendapatkan apa yang gua inginkan! Wanita yang gua cintai!" Fabian yang dikuasai alkohol tak dapat mengontrol emosinya, membuat April sakit kepala. Wanita itu menjambak rambutnya dengan kasar, berusaha mengurangi denyutan rasa sakit itu.

"Oke, kamu dapatkan apa yang kamu inginkan! Kita pacaran! Puas kamu sekarang?!" geram April putus asa. Tak ada cara lain, pikirnya. Dia tak bisa terus-terusan lari.

"Benar ... benarkah? Serius 'kan?" April hanya mengangguk menanggapi pemuda yang mengguncang bahunya. Fabian tersenyum lebar, melupakan kekesalannya yang tadi menggebu. Ia memeluk wanitanya. "Jangan tarik ucapanmu!" ancam Fabian, tak ingin ini semua hanya mimpi sesaat.

Fabian memeluk April, ia bahagia akhirnya bisa mendapatkan wanita itu. Hatinya terasa lega, bebannya terangkat hingga tenaga seperti lolos dari tubuhnya. Fabian merosot terjatuh ke tanah tak sadarkan diri dengan wajah tersenyum. Dia tertidur setelah semua ini?

"Sialan," gerutu April setelah memeriksa kondisi Fabian yang terkapar di lantai. Ia ingin menggerutu tapi terhalang karena dering teleponnya berbunyi.

MEAN. Nama yang tertera di layar benda pipih di tangannya.

Wanita itu menekan ikon hijau untuk menerima panggilan dari Mean. "Halo Mean?"

"Apa kamu tahu di mana Fabian? Sudah dua bulan dia tak ada kabar," ucap Mean di seberang sana.

"Ya, dia ada bersamaku," jawab singkat dari April. Wanita itu mengusap air matanya, memindahkan kepala Fabian ke pangkuannya.

"Kalian di mana? Kami akan segera ke sana!" ucap Mean tergesa-gesa, ia mendesak April.

"Kami di panti, cepatlah ke sini. Dia sedang tak sadarkan diri!" ucap April sebelum mengakhiri panggilan itu.

April bertekad akan melakukan apa pun agar ia tak menyesal. Dia tak mau memikirkan resiko pilihan yang dia ambil. Dia bisa memikirkan-nya belakangan yang penting ia menikmati masa-masa saat ini bersama pemuda yang tidur di pangkuannya ini. Membelai pipi pemuda yang terlelap itu dengan lembut, membuatnya mengulas sebuah senyum.

tbc

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

7K 485 14
Menceritakan kehidupan sehari-hari seorang pelayan laki laki serta tuannya dengan keegoisan nya.
238K 16.9K 31
(Completed) "We loved each other, just never at the same time." Jevin adalah seorang remaja gay yang sedang jatuh cinta kepada Rei. Menurut Jevin, R...
183K 11.9K 39
"Cukup inget, gue cinta sama lo, dan itu berlaku selamanya." Kata-kata yang hanya bisa membuat Rafa dan Juan merasakan sakit jika mengingatnya. Kata...
7K 836 10
[Tamat] Setelah kisah cintanya yang berakhir dengan tragis tepat di hari ulang tahunnya Baron mulai membenci hari kelahirannya itu. Setelah dua tahun...