The Shades Of Gray [ Peraya ]

Galing kay CattleyaLian

94K 9.1K 1.6K

[ Completed ] Percayakah kau pada takdir? Percayakah pada sebuah janji dan keajaiban? Bagi Singto kepergian... Higit pa

Intro
[ 1 ]: Memories
[ 2 ]: Indecision
[ 3 ]: Forget You
[ 4 ]: Because It's You
[ 5 ]: Someone I Once Loved
[ 6 ]: Desire
[ 7 ]: Passed
[ 8 ]: I Listen To What You Have To Say
[ 9 ]: Elaborate
[ 10 ]: What Is The Reason?
[ 11 ]: Blooming Day
[ 12 ]: Hope
[ 13 ]: Love Is..,
[ 14 ]: Let Me Hear You Say
[ 15 ]: White Lie
[ 16 ]: Bad Liar
[ 17 ]: Best Thing I Never Had
[ 18 ]: Who Is You?
[ 19 ]: Without Words
[ 20 ]: Rectitude
Ending
Epilog

[ 21 ]: Remember - Towards The End

3.5K 308 131
Galing kay CattleyaLian

Deringan ponsel menginterupsi seseorang yang tengah berbaring di atas tempat tidurnya, sosok itu membuka matanya perlahan sembari merabakan tangannya pada nakas mencoba untuk mengambil benda persegi yang tergeletak di atas sana. Kit memosisikan dirinya sendiri untuk duduk, seraya menatap layar ponselnya, tercetak nama seseorang di sana. Kedua sudut bibirnya terangkat ke atas membentuk sebuah senyuman, sebelum menjawab panggilan telepon yang tertuju padanya.

"Ya. Ini aku. Heumm, aku akan ke sana nanti."

Hanya itu yang Kit katakan, sebelum menutup panggilan telepon miliknya, ia mengusap surainya yang berantakan kebelakang, lalu menundukkan kepalanya, embusan napas berat keluar dari kedua sudut bibirnya kini, sosok itu bangkit dan melangkahkan kakinya dengan perlahan ke arah kamar mandi. Mungkin ia bisa berendam air hangat untuk menghilangkan penat tubuhnya.

Ia menatap ke arah cermin dan mendapati sosok pria yang terlihat menyedihkan untuk dirinya lihat. Kenapa ia merasa terpuruk hanya karena seorang pria yang jelas-jelas bukan miliknya?

Meskipun beberapa kali ia mencoba untuk mengatakan pada dirinya sendiri, ia tak apa-apa dengan keadaan ini, tetapi ternyata ucapan saja tak bisa membuat keadaan lebih baik, jika tidak ada tindakan. Ia hanya ingin bangkit dari situasi tidak masuk akal yang menimpanya. Kit benci ketika dirinya harus menangis dan tidak bisa mengubah segalanya, seperti yang dirinya inginkan.

Jemarinya membuka keran air, menadahi cairan bening yang mengalir dari sana untuk membasuh wajahnya. Percuma ia hanya bersikap seperti ini. Toh, tidak ada yang mengerti perasaannya sama sekali.

Kedua kakinya melangkah gontai keluar dari ambang pintu kamarnya, ia menjadi takut pada keadaan beberapa hari ini, terlalu takut untuk melangkah keluar dan mendapati hal yang mungkin akan mengusik pikirannya lagi. Hanya kata belum siap yang terlintas pada pikirannya, tidak ada hal lain lagi. Bagaimana jika dirinya melihat sesuatu yang Kit tak ingin ketahui?

Ia belum siap pada perubahan, sedikit hal saja membuat hatinya merasa sakit. Apa yang dirinya banggakan ternyata bukan miliknya, ia merasa seperti seorang pria bodoh, ia merasa seperti pria jahat ketika menginginkan sesuatu yang sebenarnya milik orang lain. Hanya saja dirinya sudah terlanjur menyayangi.

Dari kejauhan ia menatap Krist yang tengah berbincang dengan Singto, bahkan untuk menampakkan diri di antara mereka saja ia tak punya keberanian, seolah merasa bersalah pada sesuatu yang bukan kesalahannya. Sudah lama ia berharap lebih tetapi nyatanya semua harapan itu seperti cangkang kosong yang tak bernyawa, akhirnya ia memutuskan untuk melangkahkan kakinya ke arah lain, berjalan memutar agar tak bertemu dua pria tadi, sampai akhirnya langkah kakinya membawanya ke tempat Rieyu dan Kei tengah bermain bersama. Namun, sama seperti tadi ia masih tak punya keberanian untuk menyapa mereka.

Harus apa ia di depan kedua anak itu?

Kit bahkan tak tahu harus mengucapkan apa. Ia ingin memeluk Kei dan Rieyu seperti biasanya, tetapi keadaan mereka sudah tidak seperti dulu. Jika ia tahu akan seperti ini, maka setiap hari Kit akan memeluk kedua anak itu tanpa mau melepaskannya sama sekali. Walaupun ia tahu waktu tidak akan pernah di putar kembali, saat ini ia hanya bisa memandang kedua anak itu dari kejauhan, meskipun ia merindukan pelukan mereka. Ia memejamkan matanya, seraya mengembuskan napas beratnya sebelum melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana, sewaktu Kit kembali ke tempat tadi Krist dan Singto sudah tidak ada, entah kemana kedua pria itu, hingga ia memutuskan untuk melangkahkan kakinya keluar rumah.

Udara sejuk di bawah terik matahari itu menerpa wajahnya perlahan, ia melangkahkan kakinya untuk keluar rumah, memilih untuk menyingkirkan pemikiran berat ini dalam hidupnya, mungkin ia akan baik-baik saja setelah kembali nantinya. Semoga saja.

Derap langkah seseorang bergema pada sebuah lorong panjang, tangan itu membuka kenop pintu dan berjalan memasuki ruangan akan tetapi tempat tadi kosong, tak ada seorang pun di sana, ia mencoba untuk berpikir positif dan mencari sosok yang harusnya ada di dalam ruangan pada kamar mandi, tetapi hasilnya nihil. Tempat itu kosong, tak ada apapun di dalam sana. Singto tentu saja kaget, ia langsung mencari Kit di sekitar rumahnya, hanya saja tidak menemukannya.

"Krist! Krist! Krist!"

Sesosok pria berlari ke arahnya, "Ada apa?"

"Adikmu tidak ada di kamarnya."

"Hah? Tadi tadi ada, sebelum aku keluar berbicara denganmu tadi dia masih tidur. Mungkin dia ada di sekeliling rumah."

Singto menggelengkan kepalanya, "Tidak ada."

"Baiklah, kita akan mencarinya."

"Aku kan menyuruhmu untuk menjaganya."

"Lalu jika Kit menghilang apa itu salahku? Aku tidak tahu bahkan dia akan keluar."

"Tidak bukan seperti itu..." Singto memijit pelipisnya, ia merasa pusing dengan keadaan ini.

"Ada apa dengan kalian berdua? Katakan padaku? Apa yang terjadi, kalian terlihat aneh."

"Aneh? Aneh apa?"

"Kau menghindari Kit dan Kit pun sama. Tidak. Dia menatapmu dengan pandangan lain."

"Pandangan lain apa? Bukankah kau tahu jika semua ini berawal darimu?"

"Lagipula kenapa kau tidak bisa mengenaliku. Kita sudah mengenal sangat lama dan kau kau tidak mengenaliku."

"Aku sudah lama tidak melihatmu, jika kau ada di posisiku apa kau bisa mengenali salah satu dari kalian? Aku awalnya mengira karena terlalu lama tidak melihatmu, kau banyak berubah. Apalagi kau tidak mengenalku. Aku tidak pernah tahu kau punya saudara, jadi bagaimana bisa aku tahu itu bukan kau kalau kalian sangat mirip."

"Lalu kenapa kau bisa mengenaliku sekarang? Kau tidak bingung membedakan aku dan dia."

"Kalian berbeda, aku bisa merasakannya."

"Apa yang membedakan kami?"

Singto terdiam, sebelum menjawab, "Entalah, cari dia. Aku khawatir padanya, dia tidak tahu jalan pulang. Bagaimana jika dia tersesat?"

"Kit tidak sebodoh dan selemah itu. Dia sangat pintar, bahkan orang lain saja harus berpikir berulang kali jika mau mendekatinya."

"Sungguh?"

Anggukan dikeluarkan oleh Krist, sebelum pria itu mengikuti Singto yang sudah meraih tangannya terlebih dulu, mengajaknya untuk mencari Kit yang menghilang entah kemana, harusnya Adiknya ada di sekitar sini, tak mungkin ia pergi jauh, tetapi Krist tak tahu karena banyak kemungkinan di sini.

Sedangkan seseorang yang mereka cari tengah duduk manis pada salah satu meja pada sudut sebuah kafe, ia menyesap caramel macchiato yang beberapa saat lalu ia pesan. Kit menopang wajahnya menggunakan dagu, sembari menanti kedatangan seseorang yang dirinya tunggu sejak tadi. Ia menatap pantulan samar wajah pucatnya pada kaca transparan itu dalam diam.

Harusnya ia senang pikiran buruk yang selama ini ia jatuhkan pada dirinya sendiri itu tidak benar adanya, ia bukan pria seperti itu yang selama ini dirinya bayangkan, ia bukan Krist. Harusnya Kit senang mengetahui fakta itu, jika ia tak menelantarkan Singto, Rieyu dan juga Kei. Ia tak sejahat itu, hanya saja ia justru ingin kalau hal buruk tersebut terjadi. Tak apa-apa Kit menjadi pria jahat itu asalkan mereka tetap bersamanya.

Tak lama kemudian, pintu kafe itu terbuka Kit mendongakkan kepalanya ke arah seseorang yang perlahan menghampirinya, ia mendudukkan dirinya di depan Kit sembari mengulum senyumnya.

"Bagaimana kabarmu? Beberapa hari ini kau menghilang jadi aku menelepon untuk menanyakan kabar."

"Baik, aku sedikit sakit tapi sekarang sudah baik-baik saja."

"Tapi sekarang kau sudah baik-baik saja kan Krist?"

Kit hanya mengulum senyumnya, "Aku baik-baik saja Leta. Maaf belakangan ini aku sudah merepotkanmu."

"Tidak apa-apa, aku senang bisa membantumu."

"Aku tidak akan mencari tahu tentang masa laluku."

"Kenapa? Kau sudah ingat?"

Pria itu hanya menggelengkan kepalanya, "Tidak. Hanya saja aku tidak ingin mencari tahu lagi, saat aku mendapatkan nomormu dari buku diaryku aku pikir, aku bisa mulai mencari tahu, tidak peduli seperti apa masa laluku, saat ini aku ingin berubah, hanya saja aku tidak perlu lagi melakukannya."

"Baiklah jika seperti itu, aku hanya yang terbaik untukmu."

Ia terdiam, tak mungkin mengatakan kebenarannya di sini jika dirinya bukan Krist. Apa kata orang lain nanti, kalau hal tidak masuk akal ini terkuak pada permukaan? Ia hanya menatap jalanan di hadapannya dengan pandangan meredup, tak tahu harus melakukan apa dalam situasi yang cukup rumit ini.

Beberapa waktu kemudian, ia berpamitan untuk pergi dan berjalan seorang diri pada trotoar yang menghiasi sepanjang jalan, ia menatap daun-daun kering berguguran jatuh menyentuh aspal dan terbakar sinar matahari setelahnya tak hanya itu banyak alas kaki yang menginjaknya tanpa belas kasihan. Ia mengembuskan napas beratnya, sembari terus mengitari jalanan, jemarinya memegangi kepalanya yang terasa pusing, beberapa kali bahkan pandangannya sempat mengabur.

Kit bersandar pada sebuah pohon, agar membantunya untuk menopang berat tubuhnya, kedua kakinya melemas tak tahu mengapa. Harusnya ia tak pergi, bisa saja dirinya tetap di sana berdiam diri tetapi ia tak mampu. Kit tidak munafik jika ia merasa sedih, ia kesal dan cemburu. Namun, kenyataannya ia bukan siapa-siapa pria itu. Ia hanya pria yang kebetulan mirip dengan seseorang dalam hidup pria itu. Tidak lebih.

Ia menatap dua anak kecil yang tengah berjalan sembari berebut mainan, salah satu anak itu terjatuh pada permukaan aspal yang keras, melihat hal itu Kit ingin membantu hanya saja tiba-tiba rasa sakit itu semakin menderanya, ia memegangi kepalanya yang terasa hampir seperti ingin pecah, beberapa kelebat gambaran samar perlahan masuk ke dalam ingatannya, berputar-putar seperti sebuah roll film yang tak mau berhenti.

Seorang pria tengah mengulum senyumnya, saat melihat beberapa foto pada layar laptopnya, ia lantas membaca email yang juga ditujukan padanya. Kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman, sebelum mengirimkan balasan kepada Kakaknya, lalu menyimpan foto tadi pada folder khusus. Ia menatap beberapa folder lain ketika sedang menyimpan, pria itu mendapatkan sebuah ide, lalu mencoba menelepon kakaknya, ia tak tahu pria itu sibuk atau tidak, bahkan nomor ponselnya masih aktif atau tidak saja ia tak tahu. Biasanya Krist selalu berganti-ganti nomor selama beberapa waktu sekali, hingga ia susah untuk menghubungi pria tersebut, mereka hanya bisa bertukar kabar lewat email dan yang lainnya dan setelah mencoba hasilnya sama seperti minggu lalu nomor ponsel sang Kakak tidak aktif, membuat ia mengurungkan niatnya untuk melakukan sesuatu.

_______

Deringan ponsel menginterupsi apa yang sedang sosok itu kerjakan, ia menatap layar benda persegi yang sedari tadi terus bergetar itu dengan dahi berkerut, ia meninggalkan pekerjaannya dan fokus pada panggilan telepon itu, ia melonggarkan sedikit dasi yang sedikit menjerat lehernya, sembari memutar kursi kerjanya.

"Aku menunggumu hampir 6bulan dan kau tidak menghubungiku sama sekali?"

"Aku sibuk, kau tahu itu, 'kan?"

"Lalu kenapa kau menelponku lagi? Kau butuh sesuatu? Jika iya bilang padaku. Pergilah ke sini, aku khawatir padamu, aku tidak akan membiarkan orang lain menyakitimu kalau kau ada di dekatku."

"Terlalu jauh Kit, lagipula aku tidak bisa keluar dari Thailand. Bukankah kau tahu apa yang terjadi padaku?"

"Lagipula kenapa kau sampai terjebak dengan pria brengsek seperti itu? Jika aku bertemu dengannya aku akan membunuhnya lihat saja nanti."

"Berhenti bicarakan dia, aku meneleponmu karena aku dengar dari Phi Sing, ada yang mengirimkan foto pada Rieyu setiap bulannya dan juga hadiah. Aku yakin itu kau, karena terakhir kali kau meminta alamat mereka."

Kedua sudut pria itu membentuk huruf o kini, "Ya, itu aku. Hanya memberikan hadiah. Apa tidak boleh? Setidaknya buatlah alasan supaya mereka tidak mencarimu."

"Aku tidak masalah soal itu, hanya saja bulan besok aku berjanji pada Rieyu untuk bertemu dengannya."

"Temui saja, jangan membuatnya merasa kecewa."

"Aku takut, kau tahu sendiri bagaimana posisiku."

Pria itu mencoba berpikir sejenak, "Aku akan pulang ke Thailand, aku akan menemanimu sekaligus berlibur."

"Lalu bagaimana dengan Pho?"

"Aku yang akan bicara nanti, jangan terlalu di pikirkan. Hanya perlu berikan alamatmu saja."

"Aku akan menjemputmu di bandara nanti."

"Baiklah, aku akan mengingatkanmu setiap Minggu supaya tidak lupa."

"Kit...."

Ia hanya terkikik, sebelum tak lama kemudian panggilan telepon itu di matikan dari seberang, ia hanya menatap ponselnya dengan dahi berkerut, meskipun sudah biasa Krist mematikan sambungan telepon mereka secara mendadak. Entah di mana pria itu berada, ia tahu kakaknya bersembunyi di tempat yang sangat jauh, hanya untuk menghindari seseorang, ia memutar-mutar ponselnya di atas meja kerjanya, sembari mengulum senyumnya.

_______

Suasana pada bandar udara Suvarnabhumi kala itu tampak ramai, hilir mudik banyaknya orang yang berlalu lalang menjadi fokus pria yang entah sudah berapa lama tak menginjakkan kakinya di tempat ini, mungkin sekitar 15tahun lalu, sebelum Ayahnya mengajaknya untuk pindah ke tempatnya bisa mengatur bisnisnya dengan mudah. Dari kejauhan ia melihat sesosok pria menggunakan pakaian hitam tertutup serta masker yang menutupi setengah wajahnya, ia hanya menghampiri sosok itu lalu merentangkan kedua tangannya, meminta sebuah pelukan, tetapi yang di dapatkannya hanya pukulan ringan.

"Kau mengenaliku anak nakal?"

"Ya, aku mengenalimu. Aku mengingat semua tentangmu saat pertama kali kau menemuiku 2tahun lalu. Aku sangat hebatkan?"

"Tidak sama sekali."

Krist merangkul bahunya dan membawa pria itu untuk ikut bersama dengannya, sementara Kit hanya mengikuti kemana langkah Krist membawanya.

_______

Cahaya matahari cukup terik menerpa kedua sosok pria yang tengah mengamati sosok anak kecil dengan jaket merah dari kejauhan. Kit mengulum senyumnya, ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok si mungil itu.

"Dia lebih manis daripada yang di foto."

"Heumm, Rieyu memang manis."

"Mana anakmu yang satu lagi? Si kecil itu."

"Kei?"

Kit mengangguk, sembari mencari sosok yang ia ingin lihat tetapi tak menemukannya, hanya ada seorang pria yang tengah duduk termenung sembari menatap Rieyu, raut wajahnya tampak cemas, ia merasa kasihan pada pria itu.

"Tidak bisakah kau kembali pada pria itu?"

"Kami sudah tidak sejalan, bagaimana aku bisa bersama dengannya?"

"Aku merasa kasian dia harus mengurus dua anak sekaligus."

Raut wajah Krist menjadi sedikit muram, "Ketika Mae meminta salah satu dari mereka, Phi Singto menolak. Dia bisa mengurus mereka. Itu yang Mae katakan padaku."

"Dia hebat," Kit menyenggol lengan Krist dengan pelan, "aku lebih suka dia daripada priamu yang sekarang."

Krist tak menghiraukannya, ia menatap Rieyu dari kejauhan dengan tatapan sendu ingin menghampiri, akan tetapi tak bisa hingga ia mencoba untuk melangkahkan kakinya mundur, pergi dari tempat itu, Kit yang heran dengan kelakuan kakaknya pun mengikuti Krist dan menahan lengan pria itu agar berhenti melangkah.

"Tunggu phi, kau mau ke mana?"

"Aku tidak bisa."

"Kenapa? Aku sudah jauh-jauh ke sini dan kau bilang tidak bisa. Aku ingin bertemu keponakanku."

"Aku rasa mungkin lain waktu."

"Phi Krist...."

Tangan pria itu memegangi lengan kakaknya, akan tetapi Krist justru menampiknya, hanya saja Kit terus menerus mencari cela untuk menariknya ke tempat tadi. Kesal Krist mendorong sang Adik dengan cukup kencang hingga tubuh pria itu oleng dan jatuh berguling ke belakang, pada jurang dibelakang mereka.

Rasanya menyakitkan, Kit merasa beberapa bagian tubuhnya terbentur sesuatu, ia melihat Krist ingin mengulurkan tangan padanya, ingin meraih tubuhnya, hanya saja sebelum pria itu bisa meraihnya, dengan cepat sesuatu yang dingin itu melahap tubuhnya tanpa permisi hingga segalanya menjadi gelap.

Tubuh pria itu sedikit gemetar, sebelum tak lama kemudian terjatuh begitu pada permukaan jalanan yang keras, ketika kedua kakinya tak mampu menjadi tempatnya bertumpu lagi dan segala hal yang berada di sekitarnya mengaur begitu saja.


Suara ketukan pintu membuat kedua sosok yang tengah tertidur didalam sebuah ruangan menggeliat pelan, Rieyu membuka sedikit matanya lalu merangkak mendekati tubuh Ayahnya, kedua tangan mungilnya memeluk tubuh Singto, sembari mengguncangkan lengan sang Ayah pelan.

"Daddy, ada yang mengetuk pintu."

"Heumm, biarkan saja."

Singto merengkuh tubuh Rieyu semakin erat, masih memejamkan matanya, seolah enggan terbangun, meskipun akhirnya ia membuka matanya juga ketika Rieyu merengek padanya. Ia menatap ke arah jam, waktu menunjukkan pukul 5 pagi sekarang.

Siapa yang mengganggunya sepagi ini?

Mau tak mau ia bangkit dan membuka pintu kamarnya, hal pertama yang dirinya lihat itu Krist, pria tersebut tengah berdiri di depan pintu sembari tengah mengobrol dengan seseorang, lalu ia langsung mematikan sambungan teleponnya ketika melihat Singto keluar.

"Ada apa? Ini masih terlalu pagi."

"Aku mendapatkan kabar dari Kit."

"Sungguh?"

Krist mengganggukkan kepalanya, mereka mencari adiknya hingga dini hari hanya saja tak menemukannya, tetapi beberapa saat yang lalu pria itu meneleponnya dan mengatakan jika dirinya baik-baik saja.

"Iya, bisa tolong jemput dia?"

Singto mengiyakan pertanyaan Krist, membuat pria itu lega, ia menatap sosok mungil yang bersembunyi di balik punggung Singto, ia menundukkan kepalanya menyapa Rieyu dan menggendong Anaknya.

"Anak Papa sudah bangun, heumm?" Rieyu mengangguk sembari melingkarkan tangannya pada leher Krist dan menyembunyikan wajahnya di bahu Ayahnya, "ayo, kita lihat Adik."

Rieyu melambaikan tangannya pada Singto, membuat tangan pria berkulit tan tersebut melambai pada anaknya, ia masuk ke dalam kamarnya sendiri sebelum bersiap-siap untuk pergi.

Cahaya matahari baru saja menampakkan dirinya dengan malu-malu, akan tetapi sesosok pria yang tengah duduk sendirian pada pinggiran jalan itu entah sudah berapa lama menunggu pada tempatnya berpijak, ia menatap lalu lintas jalanan yang masih cukup lenggang kini, membiarkan dinginnya embusan angin itu menerpanya tanpa permisi sama sekali.

Lama ia menunggu ada mobil yang menepi pada hadapannya, Kit melihat seorang pria turun dari sana, sosok itu menatapnya dengan pandangan khawatir, sembari melepaskan mantel yang dirinya pakai, lalu menyampirkan pakaian tersebut pada bahunya.

"Kau ke mana saja?"

Tidak ada jawaban dari sosok itu, hingga Singto menuntunnya untuk masuk ke dalam mobilnya, suasana di sana tampak hening, setelah mereka ada dalam kendaraan yang sama.

"Phi Sing...."

"Heummm."

"Aku ingin mengatakan sesuatu."

"Katakan, aku juga ingin mengatakan sesuatu padamu."

Kit memberanikan diri menatap sosok pria di sampingnya, ia terdiam sejenak, "Kau duluan saja, ini tidak terlalu penting sebenarnya."

Jemarinya ingin meraih kertas putih yang ada dalam sakunya, hanya saja ucapan Singto menghentikan apa yang tengah ingin Kit lakukan, "Bisakah kau tidak mengatakan apapun pada Krist tentang kita?"

"Memang ada apa di antara kita?"

"Maaf, aku tidak tahu kau bukan Krist sampai akhirnya kita berbuat kesalahan."

"Apa maksudmu?"

"Bisakah kita lupakan semuanya? Aku rasa buruk dengan semua yang sudah terjadi di antara kita jadi...." Belum sempat Singto melanjutkan ucapannya, sebuah tamparan tertuju padanya, membuat pria langsung mendadak bungkam.

"Tidak bisakah kau menjaga ucapanmu padaku? Jika aku ingin mengatakannya, maka aku sudah mengatakannya pada Phi Krist, tetapi aku hanya memilih untuk diam, karena aku tahu batasan," Kit memejamkan matanya, ia memasukan kembali apa yang ingin di berikannya pada Singto, "kesalahan? Aku mau melakukannya karena aku menyukaimu. Aku membiarkanmu melakukan apapun yang kau mau, karena aku percaya padamu. Baiklah. Lupakan. Tidak ada untungnya untukmu dan aku mengingat hal ini. Anggap kita tidak pernah mengenal. Itu lebih baik."

Kit berniat untuk keluar, akan tetapi Singto menahan pergelangan tangan pria itu, ia menepisnya, hanya saja Singto tak mau melepaskan sosok itu, hingga satu pukulan dilayangkan Kit padanya, ia menunjuk ke arah Singto dengan tajam.

"Aku tidak butuh pria yang tidak mencintaiku. Kau hanya mencintai kakakku, bukan aku. Cukup dengan kau mengabaikan aku, bersikap aku tidak ada. bahkan sekarang kau tidak memberikan aku kesempatan untuk ada di sisimu. Aku rasa ini sudah cukup."

"Kit...."

Tangan Kit terarah pada Singto, seolah mengisyaratkan ia tak mau mendengarkan apapun lagi dari sosok itu.

"Aku pergi."

Hanya itu yang pria itu katakan, sebelum benar-benar melangkahkan kakinya untuk pergi, meninggalkan sosok Singto yang hanya bisa diam, menatap kepergian pria itu dalam kediamannya.


Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

36K 2.1K 28
Mengisahkan tentang perjuangan New setelah mengetahui perselingkuhan antara anaknya, Joss dan suaminya, Tay. Kalok penasaran kuy lah pantengin
63.6K 4.7K 23
Book [2] [on going] Side of The Neighbor - GMM Menceritakan kehidupan keluarga kecil dari pasangan- sultan - yakni Ohm dan Nanon. Memiliki hubungan...
314K 34.3K 71
āš ļøBXB, MISGENDERING, MPREGāš ļø Kisah tentang Jungkook yang berteleportasi ke zaman Dinasti Versailles. Bagaimana kisahnya? Baca saja. Taekook : Top Tae...
10.9K 1K 15
"jatuh cinta itu wajar,hanya saja mengapa aku harus jatuh cinta pada hantu sepertimu?"_net "ayo kembali bertemu sebagai 2 manusia dan kisah yang lebi...