Rengkuh Sang Biru

Door Lalanaraya

81.5K 9.6K 3.6K

Renjana Sabiru harus menerima fakta tentang kepergian kedua orangtuanya yang membuatnya menjadi yatim piatu... Meer

Awal || intro
Karakter tokoh
Bab.2 || Kembali Pulang, Bersama Segenggam Hangat
Bab.3 || Pengakuan Dan Harapan
Bab.4 || Harap Yang Patah
Bab.5 || Porak-Poranda Dalam Diam
Bab.6 || Dingin Yang Tidak Terbaca
Bab.7 || Setumpuk Amarah Dan Seberkas Iri.
Bab.8 || Langkah Pertama Menuju Petaka
Bab.9 || Perisai Dingin Yang Membentang
Bab.10 || Ketika kecewa dan patah mulai melebur
Bab.11 || Perihal Kecewa Dan Amarah
Bab.12 || Patah, Hancur Lebur, Tercerai Berai.
Bab.13 || Ketika Asa Tidak Lagi Tersisa.
Bab.14 || Bagaimana Pahit Terasa Manis.
Bab.15 ||Sederhana Yang Patut Disyukuri
Bab.16 ||Sudut-Sudut Ruang Hampa
Bab.17 || Dua Sisi Koin Yang Berbeda
Bab.18 || Tawa Yang Kembali Terenggut
Bab.19 || Yang Telah Putus Tidak Bisa Dibenahi.
Bab.20 || Ketika Hujan Kembali Menyamarkan Tangis.
Bab.21 || Jutaan Rasa Sakit Absolute.
Bab.22 || Sunyi Di Antara Riuh Semesta.
Bab.23 ||Secercah Harap Berselimut Fana
Bab.24 || Sepasang Binar yang Kembali Berpendar.
Bab.25 || Badai yang Belum sepenuhnya Usai
Bab.26 || Rengkuh Hangat Untuk Sang Biru
Cerita baru

Bab.1 || Awal kisah, Di Balik Sebuah Janji

4.2K 396 31
Door Lalanaraya


Laksana Galaksi bukan sosok yang penuh akan kasih sayang atau binar cerah yang gemar menebar tawa jenaka. Bukan pula sosok hangat yang dapat merangkul dan mengayomi dengan nasehat bijaknya. Sosoknya di kenal dingin nan tegas dengan perawakan gagah serta wajah yang selalu terlihat datar tanpa ekspresi.

Pembawaannya begitu kaku hingga orang lain sungkan berbasa-basi dengannya. Pun dengan hati dingin tak tersentuh serta watak tegas yang menurun dari sang ayah.

Terbiasa hidup sendiri tanpa sosok orangtuanya sejak usia belia membuatnya menjadi pribadi yang cukup sulit untuk di dekati. Masa lalu keluarganya juga turut andil dalam membentuk karakter Galaksi sedemikian sulit untuk di dekati.

Sejujurnya, Galaksi enggan mengulik kembali masalalu keluarganya yang telah lama ingin ia buang dari ingatannya. Tentang penghianatan sang ibu yang kala itu tengah mengandung anak dari lelaki lain. Hingga perpisahan ayah dan ibunya di usianya yang saat itu baru menginjak sepuluh tahun.

Galaksi mengingat betul bagaimana ibunya dengan lantang memilih meninggalkannya yang saat itu masih terlampau belia untuk kehilangan sosok ibu, hingga ia tumbuh tanpa sosok seorang ibu. Bersama sang ayah yang tengah terpuruk akan penghianatan sang isteri.

Pun setelahnya, belum genap satu tahun kepergian sang Ibu bersama penghianatan yang dilakukannya, sang ayah ikut pergi untuk selama-lamanya setelah menyerah akan rasa sakit yang di deritanya.

Namun, setelah mendengar berita kematian ibu serta suaminya, Galaksi harus mengambil tanggung jawab atas sosok yang bahkan belum pernah ia temui selama lima belas tahun ia hidup.

Sosok yang membuatnya kehilangan sang ibu.

"Kak Gala baru pulang?"

Malam itu, saat gerimis pelan-pelan turun setelah Galaksi sampai di rumahnya pukul delapan malam, sosok remaja mungil yang sudah dua minggu tinggal bersamanya itu yang menyambut kepulangannya dengan senyum merekah.

Saat sebelum-sebelumnya, hanya ada sepi yang menyapa kepulangan Galaksi di rumah itu.

"Kakak pasti capek, ya. Mau aku buatin teh atau kopi? Atau mau aku siapin air hangat buat mandi? Oh, iya kalo Kak Gala belum makan aku udah siap-"

"Biru."

Panjang baris kalimat yang Biru suarakan dengan semangat seketika terhenti saat panggilan terlampau dingin Galaksi perdengarkan dengan wajah datar tanpa ekspresi.

Biru segera mengatupkan bibirnya saat tajam tatap Galaksi bersinggungan dengan manik cokelatnya yang perlahan tak lagi berbinar-binar seperti sebelumnya. Biru menunduk menyembunyikan binarnya yang meredup, serta memilin ujung pakaian yang ia kenakan.

"Maaf, kak ..." lirih si mungil mengiba.

Jeda panjang mengisi seiring tarikan napas berat Galaksi yang bersahutan dengan denting jarum jam yang memecah sunyi.

Pemuda duapuluh lima tahun itu lantas membawa jelaga hitamnya menatap sosok remaja yang ia bawa dua minggu lalu.

"Biru, saya memang membawa kamu untuk tinggal bersama saya. Tapi kamu harus tahu batasan kamu. Saya membawa kamu karena kamu juga anak dari Mama kandung saya. Dan saya harus menepati janji yang saya buat dengan mendiang Papa saya dulu. Jika bukan karena tanggungjawab itu, saya tidak mungkin menampung kamu."

"Dan tolong jangan berharap kita menjadi saudara atau keluarga. Saya sudah terbiasa hidup sendiri setelah Mama memilih pergi bersama ayah kamu."

Dingin kalimat yang Galaksi perdengarkan mampu menampar Biru dengan telak hingga ia tidak mampu merangkai sebuah kalimat sanggahan setelahnya.

Ya, Galaksi benar. Seharusnya Biru sadar akan posisinya bagi Galaksi. Seharusnya Biru bersyukur masih ada sosok yang sudi menampungnya hingga ia memiliki tempat untuk berteduh dan melanjutkan sekolah.

Terdengar sangat egois jika Biru masih menginginkan atensi Galaksi untuknya. Meski ia sangat menginginkan hubungannya dengan Galaksi layaknya adik dan kakak pada umumnya, seharusnya Biru sadar akan posisi nya.

Tertunduk dalam, Biru kembali bawa jemari mungilnya untuk genggam ujung-ujung pakaiannya hingga kusut, "Maafin Biru kalau udah bikin Kakak nggak nyaman. Kakak bener, harusnya Biru sadar posisi Biru di rumah ini. Maaf karena udah bikin kakak nggak nyaman sama sikap Biru."

Sepasang kelereng cokelat madu Biru terlihat sayu saat ia mendongkak menatap Galaksi yang jauh lebih tinggi darinya.

"Biru pamit ke kamar, Kak. Maaf kalau Biru udah buang waktu berharga Kakak cuman buat omong kosong Biru."

Setelahnya, punggung mungil remaja limabelas tahun itu berbalik hingga kian menjauh dari pandangan netra tajam Galaksi. Pemuda itu hanya diam tanpa merubah raut wajahnya saat jelaga hitamnya terpaku pada punggung mungil bocah itu.

Tepat setelah sosok Biru tenggelam di balik daun pintu kamar yang tertutup, Galaksi buang napas sejenak sebelum merajut langkahnya menuju kamar. Namun, saat dirinya melewati ruang makan yang selalu sunyi, netra tajam Galaksi menangkap dua porsi nasi goreng yang masih mengepulkan asap-asap tipis yang menandakan makanan tersebut belum lama di buat, serta segelas kopi dan susu di masing-masing sisi piring.

Kembali, desah napas panjang Galaksi perdengarkan seiring jemari kekarnya yang mengusak kasar surai kelamnya hingga berantakan.

Persis seperti suasana hatinya yang berantakan.

•••••


Waktu sudah menujukan pukul sebelas malam saat gerimis yang tadinya singgah kian berganti hujan di sertai petir dan angin kencang. Seharusnya, waktu tersebut sudah cukup membuat orang lain terlelap di temani suara hujan dan membungkus tubuhnya dengan selimut hangat.

Namun di sudut jendela kamar yang tertutup sana, Biru yang baru menempati kamar tersebut selama dua minggu itu terduduk sembari menyingkap gorden yang menutup kaca jendelanya. Tidak ada yang bocah itu lakukan selain mengamati tetes-tetes hujan dari balik kaca jendelanya.

"Biru kangen Ibu sama Bapak," ucap lirih Biru dengan sendu tatapannya yang tertuju pada potret beku keluarga kecilnya dulu.

Biru arahkan manik cokelat madunya pada pigura yang membingkai potret dirinya bersama Ibu dan Bapak yang tengah tersenyum begitu cerah.

"Bapak sama Ibu gak usah khawatirin Biru disini. Walaupun bude sama tante Mayang gak mau ngurus Biru, tapi sekarang Biru udah punya kakak yang mau merawat Biru. Namanya Galaksi, meskipun dia belum bisa nerima Biru sepenuhnya, seenggaknya dia masih mau bawa Biru buat tinggal di rumahnya."

Biru tatap bagaimana wajah sang Ibu yang tersenyum cerah sembari memeluknya dari belakang. Meski bocah itu tidak menangis ataupun mengadu, tetapi retakan panjang di balik tatapan sayunya sudah cukup menggambarkan bagaimana patah yang anak itu rasakan.

"Kenapa Ibu nggak pernah cerita sama Biru."

"Kenapa Ibu gak bilang yang sebenarnya. Kalau Biru masih punya saudara padahal Ibu tahu Biru pengen banget punya kakak. Tapi kenapa Biru harus jadi alasan rusaknya keluarga Kak Gala. Kenapa Ibu lebih milih ninggalin kak Gala. Kita hidup jadi keluarga bahagia meskipun dengan ekonomi pas-pasan. Tapi kak Gala harus hidup sendirian tanpa keluarga."

Bocah itu membiarkan hening mengambil jeda saat dirinya berusaha mengurai sesak di dadanya. Biru kembali mengingat alasan Galaksi membawanya serta apa yang Galaksi alami atas penghianatan Ibu mereka.

"Maaf, tapi Biru sedikit kecewa sama Ibu dan Bapak," ucapnya dengan sendu yang masih bertahan di matanya.

Yang Biru tahu, Ibu dan Bapak sudah bersama sejak Biru bahkan belum lahir dari banyaknya kenangan usang yang sering Ibu pamerkan pada Biru.

Bagi Biru, Bapak adalah sosok pahlawan paling berjasa dalam hidup Biru. Sosok lelaki tangguh yang mengusahakan apa saja untuk keluarga kecilnya. Yang tidak malu berhutang pada tetangga ataupun saudaranya saat Biru sakit dan membutuhkan uang lebih. Sosok superhero Biru yang selalu menyisihkan jatah lauknya untuk Biru dan membiarkan dirinya hanya memakan nasi dan sayuran sisa dari Ibu dan Biru.

Bapak yang sering memberi Biru nasehat untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan pantang menyerah saat semesta membawa badai di hidup mereka.

Tetapi, saat dirinya tahu jika Bapak menjalin hubungan dengan Ibu atas penghianatan. Pun juga sang Ibu yang memilih mendua dan meninggalkan suami dan anaknya untuk hidup bersama Bapak, Biru tidak tahu apakah kepercayaannya pada Ibu dan Bapak masih sebanyak dulu saat ia belum tahu kebenarannya.

•••••••

Berbeda dengan kamar Biru yang masih di sinari cahaya lampu belajar. Di kamar Galaksi yang di dominasi warna monokrom itu semakin terlihat kelam tanpa pencahayaan. Hanya ada cahaya kilat yang membawa terang juga gelegar petir yang menyahut setelahnya.

Sampai kapanpun Galaksi tidak akan terbiasa akan sosok asing yang sekarang hidup satu atap dengannya. Pemuda dingin itu sudah terbiasa hidup sendiri tanpa ada yang berani mengusik.

Tentunya, kehadiran Biru yang mau tidak mau harus Galaksi terima membuat Galaksi merasakan perasaan asing yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

"Aku udah bawa dia pulang sesuai janji aku. Papa udah puas?"

Pemuda duapuluh lima tahun itu menatap potret beku sang Papa yang terkena cahaya kilat dan keremangan. Senyum teduh Papa dalam pigura itu membuat Galaksi justru merasa tersiksa.

"Tolong bantu aku, Pa. Bantu aku buat nerima dia di rumah ini. Karena setiap lihat matanya, aku selalu inget gimana Mama milih buat ninggalin kita."

Galaksi masih tujukan arah tatapnya pada sosok yang tersenyum hangat dalam pigura itu. Sosok yang Galaksi kagumi sedari kecil itu banyak mengajarkan hal-hal positif saat Galaksi masih sangat belia. Tidak ada setitik kebencian yang Papa tunjukkan bahkan setelah penghianatan Mama yang membuat keluarga mereka berantakan.

Papa justru memberi Galaksi pengertian agar tidak membenci Mama yang meninggalkan mereka dan memilih hidup bersama lelaki pilihannya.

Kendati demikian, semakin matang usia Galaksi membuat pemuda itu semakin paham apa yang terjadi pada keluarganya dan apa yang Papa alami serta apa yang Mama lakukan pada mereka.

Galaksi memang tidak sepenuhnya membenci sosok Biru yang hadir dalam hidupnya, tetapi tidak pula menerima bocah itu menjadi bagian dari keluarga, adiknya.

Karena Galaksi sudah lama mati rasa sejak Mama memilih pergi bersama janin yang di kandungnya dan meninggalkan Galaksi bersama Papa, hingga Papa jatuh sakit sebelum akhirnya berpulang untuk selamanya.

•••••

Limabelas tahun lalu.

Galaksi kecil saat itu baru pulang dari sekolahnya saat Papa menyuruh Galaksi untuk menemaninya di kamar.

Galaksi tidak tahu apa yang terjadi pada Papa, tetapi sejak Mama tidak pernah pulang kerumah mereka dan rumah mereka menjadi dingin dan sunyi, Papa jadi sering jatuh sakit setelah memforsir dirinya dalam bekerja sebagai pelarian untuk melupakan Mama.

Siang itu Galaksi kembali menemani Papa dan berbaring satu ranjang bersama Papa seperti hari-hari sebelumnya setelah Mama memilih pergi.

Jemari besar Papa yang tidak lagi sekuat dulu perlahan menyisir surai kecokelatan milik Galaksi. Menikmati rinai hujan di luar saja yang kerap menjadi melodi pengantar tidur menggantikan dongeng yang sering Mama bacakan untuk Galaksi.

"Galaksi, jagoannya Papa. Kalau sudah besar nanti, tolong jangan jadi kayak Papa, ya. Papa sudah gagal menjaga keluarga kita untuk tetap utuh. Papa gagal meyakinkan Mama kamu untuk tetap tinggal. Papa bikin Gala kehilangan keluarga cemara yang Gala mau."

Galaksi kecil mendongak dengan kernyitan di dahinya yang menandakan kebingungan bocah itu.

"Gala gak ngerti Papa ngomong apa. Mama 'kan cuma pergi sebentar. Nanti juga pulang. Lagian Papa bilang Mama bawa adik bayi di perut Mama. Gala harus jagain adik bayi kalau Mama pulang nanti."

"Gala jadi pengen cepet gede. Gala pengen cepet dewasa buat jagain adek bayi nanti."

Papa tersenyum sendu menanggapi ucapan Galaksi. Binar lelah di mata sang Papa bersinggungan dengan manik polos Galaksi yang semakin membuat Papa merasa bersalah pada putranya tersebut.

"Dewasa itu nggak seenak yang Gala pikirin tahu."

Papa bawa jemari besarnya untuk kembali menyisir helaian surai kecoklatan Galaksi. Mengabaikan kerutan bingung di wajah sang putra yang kentara tak terima atas ucapan Papa.

"Saat dewasa nanti, Gala jadi sadar tentang hal-hal yang kurang menyenangkan yang Gala alami, seperti keluarga kita ini contohnya. Kalau sudah begitu percaya deh, Gala pasti nyesel karena pengen cepet dewasa. Gala jadi pengen balik ke masa di mana Gala nggak perlu tahu apa-apa kayak gini. Gala nggak perlu mikir macem-macem dan cuma musingin PR yang belum selesai."

"Kalo gitu Gala nggak pengen cepet dewasa deh."

Papa tertawa lepas mendengar ucapan polos Galaksi. Belum ada lima menit bocah itu mendeklarasikan diri ingin cepat dewasa, tetapi setelah mendengar petuahnya, bocah itu merubah pikirannya.

"Nggak gitu Gal. Setiap orang yang hidup pasti akan ada proses pendewasaan diri. Dan mau nggak mau harus di jalani. Namanya hidup, nggak akan selamanya berjalan mulus. Tinggal bagaimana kita menyikapi nantinya."

"Gala makin nggak ngerti, Pa." adunya sembari menggaruk pelipisnya dengan raut bingung yang masih bertahan di wajahnya.

Papa tersenyum teduh, memilih tetap melanjutkan ucapannya kendati sang putra bahkan belum mampu untuk memahaminya.

"Bukan sekarang, tapi nanti saat Gala sudah beranjak dewasa. Pelan-pelan Gala pasti tahu apa yang Papa sampaikan hari ini."

"Nah, nanti kalau Gala sudah dewasa. Tolong, jangan benci Mama, ya."

Papa bangkit dari tubuh yang semula berbaring kini menyandar pada kepala ranjang. Ia bawa tubuh kecil Galaksi agar sejajar dengannya.

"Ayo buat janji sama Papa."

Papa bawa jemari mungil Galaksi untuk ia kaitkan pada kelingkingnya. Teduh tatap dari Papa membuat Galaksi ikut tersenyum begitu cerah.

"Kalau sudah besar nanti, Gala harus jadi kakak yang baik buat adik. Nggak peduli seperti apa status adik Gala nanti, Gala harus jadi pelindung buat adik dan Mama terlepas dari apa yang Mama lakukan sama kita."

"Kalau nggak ada yang mau nerima Mama dan Adik nanti, Gala harus bawa mereka pulang ke rumah kita. Jaga mereka dan berusaha buat maafin mereka saat Gala sudah tahu yang sebenarnya nanti, ya."

Galaksi tatap bagaimana kelingking miliknya dan Papa saling terkait bersama janji yang Papa gaungkan dari sebalik nada lemah serta binar lelahnya.

Senyum merekah Galaksi perlihatkan pada sang Papa bersama birai bibirnya yang terbuka ikut mengikrarkan janji pada sosok panutannya.

"Eum! Gala janji akan bawa adek sama Mama pulang. Gala janji akan jagain adek kalau sudah besar nanti."


TBC.

Hay!
Maaf aku sedikit merevisi draft Sabiru. Karena pas aku baca ulang, ada banyak plot hole dan typo yang merusak mata.

Karena aku ingat banget cerita ini tuh dadakan dan update pun sistem kebut tanpa edit🤧

Aku jamin kalo kalian reread bakal dapet suasana baru kayak baca cerita baru deh pokoknya.

Semoga Galaksi dan Sabiru bisa mengobati rindu kalian sama si sulung dan si bungsu ❤


Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

453K 8.4K 13
Shut, diem-diem aja ya. Frontal & 18/21+ area. Homophobic, sensitif harshwords DNI.
16.3K 2.2K 32
* Jangan lupa vote dan follow aku ya! . . . Lavender punya arti kesetiaan. Ia menjujung tinggi rasa percaya tanpa sedikitpun ingin berkhianat. Ia suc...
966 251 18
[Naskah 2021] Mengenai seorang remaja SMA, yang tak sengaja menemukan sebuah kunci tua di gudang kakeknya. Membawa dirinya menemui sebuah portal aneh...
233K 34.9K 63
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...