Mafia Is My TARGET

By wwallens

6.7K 100 5

HIATUS. #1 Alesso Story. Don't copy my story! Terlahir dengan darah Alesso dan Mogilevich di dalam t... More

Mafia Is My TARGET
Synopsis
C A U T I O N
B L U R B
Mafia Is My TARGET | Prolog

Mafia Is My TARGET | Part 1 : Sankt Petersburg

353 16 3
By wwallens

Enjoy the story :)
Jangan lupa vote sebelum baca.
Don't copy my story!
——————————

'FINAL REVISI'

location : Mogilevich's Palacio, Krestovsky Island. St. Petersburg-Rusia | 5.15 AM.

Sebuah mobil Rolls Royce hitam tampak melaju membelah jalanan private yang menghubungkan antara gerbang utama dengan palacio megah dan kokoh di tengah sana, membutuhkan waktu sekitar 10 menit menuju palacio utama sebelum akhirnya mobil hitam itu berhenti tepat di depan pintu utama.

Seorang penjaga yang sedang bertugas segera bersiap begitu mengetahui mobil tuan nya telah tiba, penjaga tersebut bergegas membukakan pintu mobil sebelum akhirnya seorang pria menampakkan dirinya.

Tubuhnya menjulang tinggi begitu proposional namun dengan keadaan yang cukup berantakan— leather jacket yang terakhir malam dipakainya sudah terlepas entah kemana, menyisakan kaos hitam polos yang memperlihatkan otot tubuhnya dengan segulung perban yang melingkari lengan atas kanan nya.

Pria itu— Axel melangkah lebar dengan kaki jenjangnya masuk ke dalam palacio. Raut wajahnya terlihat tajam dengan rahangnya yang mengeras menahan amarah seakan siapapun yang melihatnya tidak akan berani mengganggu sosoknya saat ini.

Mengetahui sang tuan rumah sudah kembali, para pelayan langsung bergegas menghampiri, menundukkan kepalanya hormat. "Добро пожаловать, сэр." sapa mereka kompak.

Axel melengos mengabaikannya, mungkin jika dalam keadaan baik dia akan menganggukan kepala singkat untuk menerima sapaan dari para pelayan itu. Namun kini keadaan nya sedang tidak baik dan para pelayan itu lebih memilih mengikuti tuannya dalam diam, sebisa mungkin tidak membuat kesalahan yang akan berujung fatal bagi mereka.

"Saya sudah menghubungi Dokter Petra. Beliau sedang dalam perjalanan, bos."

Axel hanya berdeham singkat menyahuti sebelum berbelok ke arah kiri menuju ruang tengah palacio lalu merebahkan tubuhnya di sofa kulit burgundy coklat gelap yang ada di sana. Tubuhnya terasa remuk dan lemas, sungguh.. Axel sangat membenci kondisinya saat ini dan mengingat apa yang menimpa dirinya hanya karena satu orang bodoh membuat Axel benar-benar marah.

"Dimana bajingan Ackerman itu?" geram Axel- menggertakkan rahang menatap Sean yang tak bersalah dengan tajam.

"Jarvis sedang berada di New Holland, bos." Sean menyahut cepat.

Axel mengalihkan pandangannya sambil menggeram rendah. Jarvis sialan! batinnya kesal. Setelah melaksanakan tugas dengan tidak becus, pria berdarah Spanyol-German itu malah bersenang-senang di tempat lain dengan Axel yang menanggung semua akibat dari kesalahan pria itu, benar-benar memuakkan. Jika saja bukan karena hubungan di masa lalu, Axel bersumpah sudah melemparnya ke kandang singa sejak pertama kali pria itu membuat kesalahan.

"Perintahkan dia untuk menemuiku sekarang juga, dan aku tidak menerima alasan apapun." Suaranya terdengar rendah penuh ancam yang tidak main-main.

Sean mengangguk tegas. "Baik, bos." Segera pamit undur diri lalu mengeluarkan ponselnya dan langsung menghubungi orang yang bersangkutan— Jarvis Ackerman, the Caporegime.

"So.. bagaimana bisa seorang Don Semion terluka?"

Seorang pria tinggi berwajah latin dan berparas tampan dengan surai platina blonde yang kontras dengan kulitnya, baru saja menampakkan batang hidungnya, dibelakangnya terdapat dua orang pria berpakaian hitam— anak buah Axel yang ditugaskan untuk mengantar sosoknya.

"Selamat datang, Dokter Petra." Sean kembali bergabung setelah melaksanan perintah Axel. Dia memberi kode lewat anggukkan kepada dua orang bawahannya dan kedua orang itu langsung pamit undur diri.

"Oh, Hai Sean." balasnya begitu tatapan mereka bertemu, Sean sedikit menundukkan kepalanya hormat.

Axel mengadahkan kepalanya untuk melihat seseorang yang baru tiba, seseorang yang dia tunggu lebih tepatnya. Tatapanya langsung bertubrukan dengan pemilik iris biru itu— Tayler Petra, pria berdarah Itali yang di pungut oleh kakek nya. Axel cukup dekat dengannya karena mereka pernah berlatih bersama sewaktu dulu.

"Kau membuatku menunggu."

Tayler menatap Axel sambil tersenyum miring. "Aku sempat tidak percaya begitu mendengar kabar kau terluka, kukira kau ini anti peluru."

Axel menegakkan tubuhnya menatap sinis Tayler. "Ck, mana ada seorang dokter yang datang tidak tepat waktu."

"Tiba-tiba menghubungiku di pagi hari? Hidup normalku sekarang lebih sibuk dari pada hidupmu, Alesso." dengus Tayler sambil berjalan mendekat sebelum mendudukkan dirinya di samping Axel.

"Hidup normal, heh?" Axel tersenyum miring— mengejek. "Menyesal dengan pilihanmu?"

Tayler hanya tertawa mendengarnya. "Tidak ada kata menyesal dalam kamusku, Don Semion." Menatap Axel santai. "Aku hanya tidak ingin mengulang tragedi."

Perkataanya membuat Axel terdiam beberapa saat, hanya memandang pria itu dengan datar. "Tragedi tidak akan terjadi jika kau belajar dari kesalahan-"

"Sepertimu?" Tayler menyela sinis, mengalihkan pandanganya dengan mengeluarkan peralatan medis miliknya. "Pada kenyataanya kau pun tidak bisa berbuat apapun."

Dan lagi, Axel dibuat diam kembali dengan perkataan Tayler yang memang benar adanya. "Itu adalah resiko yang sudah kau terima begitupun denganku." katanya.

"Jika aku menjadi mu, tanpa berpikir dua kali pun aku akan lebih memilih mengurus Alesso dari pada kelompok ini."

Perkataan Tayler membuat Axel menoleh cepat dengan tatapan tidak sukanya, dia menatap tajam ke arah pria yang bahkan kini tidak peduli dengan tatapannya itu. "Kau bukan aku, maka berhentilah berpikir seperti itu."

Tayler tertawa santai menanggapi perkataan Axel yang terdengar dingin, dia tau bahwa pria itu sedang kesal tapi Tayler tidak takut padanya walaupun pria itu dalam keadaan tak bisa tersentuh sekalipun.

"Aku memang bukan kau yang terlahir dalam kehidupan normal." Suara Tayler terdengar merendah. "Maka dari itu aku tidak membutuhkan waktu lama untuk menerima kehidupan normal yang dia berikan."

"Anjing yang patuh, heh?" Axel mencibir, mengalihkan pandanganya ke depan.

"Aku hanya menuruti permintaan terakhirnya." Tayler segera mengalihkan pembicaraan. "Aku tidak mempunyai banyak waktu, kau tau sendiri kalau aku ini seorang dokter ternama di Sankt Petersburg."

Axel mendengus keras mendengarnya. "Berharaplah aku tidak mencabut gelar doktermu itu— ck, sudahlah cepat kau ambil peluru ini."

Tayler tersenyum mengejek melihat Axel yang seperti sedang merengek di matanya. "Pada kenyataanya kau tidak bisa berbuat apapun pada seorang dokter, Don Semion."

Axel menatapnya tajam. "Kau terlalu banyak bicara, Petra." Jika seorang Axelandre Alesso sudah memanggil nama belakangnya dengan nada seperti itu, itu artinya Tayler harus cepat menuruti perintah pria itu.

"Kau yang terlalu banyak bicara." Tayler segera menyiapkan alat-alatnya di bantu dua orang maid yang ada di sana. "Dan aku akan membuatmu diam."

"Jika kau berani menyuntikannya padaku, kau tidak akan selamat keluar dari tempat ini." Axel melirik sinis, mengancam Tayler yang kini menyeringai menatapnya.

"Tenanglah, aku masih ingin memberikan kesempatan hidup kepada para anak buahmu." Pria itu tersenyum sombong membuat Axel berdecak keras sambil melirik Tayler malas.

Tayler tersenyum miring sebelum dia bergegas mengobati luka pria ini dan sedikit mengernyitkan dahi heran ketika melihat lengan kanan atas Axel yang terluka sudah terlilit perban— tidak terlalu rapi tapi mampu menahan pendarahan untuk di situasi darurat.

"Siapa yang sudah melilitkan perban ini?" tanya Tayler sambil bergerak membuka ikatan perban tersebut.

Axel yang baru saja hendak menutup matanya kembali terjaga, melirik ke arah lengan kanan atas nya dimana Tayler sedang melepaskan perban tersebut. Pikirannya langsung tertuju hanya pada satu orang— Ah, wanita itu..

"Kau yang melakukannya?" Tayler memberikan perban nya kepada seorang pelayan, menyuruhnya untuk membuangnya.

"Kau pikir aku mau melakukan hal merepotkan seperti itu?" Axel balik bertanya dengan nada yang terdengar menyebalkan di telinga Tayler.

Tayler menatap datar pria itu sebelum membersihkan lukanya lalu mengambil salah satu alat medis miliknya. "Aku bisa menahannya." Axel memiringkan kepala nya ke arah kiri.

"Gigitlah sesuatu untuk menahannya."

"Tidak perlu."

"Ck, kau ini." geram Tayler. "Sepertinya kau benar-benar menginginkan jarum suntik."

"Berhenti berbicara." ketus Axel membuat Tayler menggerang rendah. Mewajari sikap Axel yang tidak stabil akibat luka tembak yang di dapatkannya, hal itu memang mempengaruhi psikis seseorang seperti Axel yang menjadi sensitif untuk saat ini.

"Untunglah pelurunya tidak terlalu dalam dan kau sudah mengatasi pendarahannya." Tayler membersihkan luka tersebut dengan alkohol membuat Axel terkesiap menahan rasa sakit.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" Tayler mencoba mengalihkan perhatian agar Axel tidak begitu merasakan sakit.

"Mengalihkan perhatian, heh?" Axel melirik tajam, begitu peka membuat Tayler tertawa.

"Apakah itu sebuah jawaban?"

"Hanya kejadian kecil." Axel mencoba menahan nafasnya, menahan rasa ngilu yang mulai menjalar di lengannya. Mungkin Axel terlalu marah sehingga saat perjalanan pulang dia tidak begitu merasakan rasa sakitnya, tapi sekarang dia baru bisa merasakannya— begitu ngilu.

"Luka seperti ini pasti tidak berarti untukmu- oh, atau ini sangat berarti? Bukankah jarang kau mendapatkan luka?" Tayler sedikit menekan luka nya membuat Axel mengerang.

Axel memang jarang mendapatkan luka seperti ini, selain karena dia adalah bos dan tidak pernah langsung turun mengatasi hal-hal yang berurusan dengan penyegapan, pembantaian dan lainnya. Semua tugas tersebut sudah ada yang melakukannya, Axel hanya bertugas dengan tangan bersih— memerintah dan melakukan pertemuan penting.

"Sialan." Axel menggeram tertahan mengingat bahwa hal ini tidak akan terjadi jika saja Jarvis melakukan tugasnya dengan benar. "Cepat selesaikan saja."

Tayler hanya mendengus samar mendengar gerutuan pria itu, ini adalah salah satu Tayler menyuruhnya untuk mengigit bantal agar pria itu tidak berisik.

—•••—

Ini sudah dua jam terakhir sejak Tayler mengobati lukanya, Axel dibuat menunggu oleh si bajingan Jarvis dan itu membuat Axel muak. Bisa-bisanya pria itu membuat seorang Axelandre Vosne Semion Alesso menunggu seperti ini.

Axel mengambil sebotol Macallan 1926 dari lemari kaca diruang kerjanya- salah satu koleksi whiskey miliknya. Wiskey tertua milik Macallan dari koleksi Fine and Rare yang disuling pada tahun 1926 lalu dimasukan kedalam 40 botol pada tahun 1986. Axel mendapatkannya dipelelangan saat acara pertemuan Solntsevskaya Bratva.

Pria itu langsung meneguk cairan tersebut lewat botol, menggunakan tangan kirinya. Dia tidak memerlukan gelas yang menurutnya merepotkan disaat luka pada lengannya masih basah, Axel tidak mau mendengar Tayler mengomel karena hal itu.

"Media baru menyoroti kediaman Henry pagi ini." suara disebrang line mengalihkan perhatian Axel.

Axel mendengus keras. "Jarvis sialan." umpatnya. "Apa yang mereka bicarakan?"

"Mereka masih mencari pelakunya, tetapi tidak ada saksi mata disana membuat mereka cukup sulit untuk mencari bukti."

Axel menaikan sebelah alisnya, meneguk minumnya sejenak. "Jadi mereka masih menutup mulut?"

"Para sisa anak buahnya masih menghilang, para polisi kesulitan dan mencoba mencari bukti lain. Kita harus segera menemukan para anak buahnya sebelum mereka membuka-"

"Tidak ada kata kita untuk masalah ini." tukas Axel tidak suka. "Jarvis itu yang akan menyelesaikannya."

"Ya, tapi dia harus berada dibawah pengawasan Sean. Suruh Altemose mengawasinya agar dia tidak melakukan hal ceroboh."

Axel baru saja akan menimpali perkataan orang itu ketika suara ketukan di pintu terdengar lebih awal. Axel menyuruhnya masuk, lalu Sean menunjukan batang hidungnya dari balik pintu.

"Jarvis sudah datang, bos. Saat ini dia berada di ruang tengah." ujar Sean memberitahu.

Axel menurunkan botol whiskeynya diatas meja, menatap Sean sambil mengernyit tidak suka. "Aku menyuruhnya menghampiriku."

"Bocah itu memang hobi sekali membuatmu marah, heh?"

Axel mendengus keras begitu mendengar seseorang disebrang telfon tengah tertawa mengejeknya. "Aku akan menghampirinya. Kau awasi terus media, jangan sampai mereka menyeret kita dalam masalah ini."

"Kau bilang bukan kita yang akan melakukannya! Aku sudah menyuruhmu untuk memberi tugas ini kepada Sean!"

"Leone bodoh." Axel berdecak kesal. "Kau hanya perlu mengawasi media selagi Jarvis membereskan sisanya."

"Ya.. ya.. ya, aku mengerti." Leone mendengus malas. "Kau urus bocah itu dan jangan beri aku tugas yang lain."

"Ck, berani sekali pria ini." Axel mendesis, mengakhiri panggilannya ketika Leone tertawa menyebalkan.

"Saya sudah menyuruh Jarvis untuk menemuimu diruangannya tetapi-"

"Biarkan, aku akan memalukannya di depan anak buahku."

Axel berdecih pelan, menegak whiskeynya terkahir kali sebelum melangkah keluar ruang kerjanya diikuti Sean dibelakangnya. Sesampainya dibawah, dia bisa lihat sosok pria dengan rambut coklat gelap tengah berbincang-bincang bersama salah satu anak buahnya, begitu asik sampai akhirnya Jarvis menyadari keberadaan Axel.

"Ah, my brother.. apa yang membuatmu memintaku kesini?" katanya. "Aku baru saja selesai berpesta."

        Jarvis menyambut Axel dengan senyuman khas nya— memperlihatkan deretan giginya yang rapi sambil berdiri menghampiri Axel.

Tetapi nyatanya Axel menyambutnya berbanding terbalik dengan pria itu. Axel langsung mendaratkan pukulannya telak sampai Jarvis tersungkur ke lantai. Sebagian anak buahnya yang menyaksikan hal itu langsung diam tidak berkutik, tidak berani memasang ekspresi apapun.

"Bajingan!" geram Axel marah.

Axel bahkan tidak memperdulikan rasa sakit pada lukanya akibat gerakan memukulnya, sehingga dia bisa merasakan lukanya yang sedikit terbuka— oh atau lebih tepatnya adalah jahitannya. Dia benar-benar mengeluarkan seluruh tenaganya untuk hal ini.

Persetanan! Pria ini harus diberi pelajaran!

Jarvis dibawah sana justru tertawa dengan hambar, menyeka darah yang keluar dari hidungnya menggunakan punggung tangan sebelum dia mendongkak, menatap Axel lurus.

"What's wrong? Gagal dalam petandingan judimu, heh?" Jarvis menyeringai, menatap geli.

Axel menarik kerah pria itu dan sekali lagi mendaratkan pukulannya membuat Jarvis kembali tersungkur, kali ini ke atas meja, menjatuhkan barang-barang yang ada diatasnya.

"Sebenarnya apa yang kau lakukan, heh?" sentak Axel— kehilangan kesabaran, menatap muak sosok pria didepannya. "Apakah kau mengerti tugasmu?"

Jarvis menyeka darah di hidung dan sudut bibirnya lalu menatap tanganya, terdapat noda darah yang cukup banyak. Pukulan Axel begitu kencang dan cepat, meninggalkan rasa sakit yang membekas.

"Aku sudah melakukan tugasku, Don Semion." Jarvis merendahkan suaranya, menaikan tatapannya ke arah Axel.

"Ackerman bodoh." Axel menatapnya tajam. "Aku menyuruhmu untuk menghabisi semuanya dan menyisakan pelayan wanita saja, tetapi kau dengan otak bodohmu ini-" menoyorkan kening Jarvis. "-malah menghabisi semua para pelayan dan membebaskan anak buahnya begitu saja. Apa otakmu benar-benar sudah tidak berfungsi?"

Suara Axel yang dingin membuat bulu kuduk semua orang yang ada disana meremang, termasuk Jarvis. Perlahan Jarvis bangkit. "Mereka bisa kita jadikan anggota Mogilevich, Axel. Aku sudah menyuruh anak buahnya untuk bergabung dan-"

"Dan kau pikir mereka akan mendengarmu, heh? Apakah kau terlalu bodoh sampai tidak bisa membaca situasi?!"

"Mereka sudah membuat kesepakatan denganku, Alesso! Dan mereka menerimanya!" Jarvis yang sudah terbawa emosi sedikit meninggikan suaranya tanpa sadar, dan itu adalah kesalahan.

Tatapan Axel langsung berubah, menggelap dan dingin. Axel menggeram rendah, menarik kerah Jarvis mendekat. "Jika mereka mendengarmu, mereka tidak mungkin mencariku, bodoh."

Jarvis sedikit melebarkan matanya sebelum tubuhnya di hempaskan oleh Axel dengan kasar lalu sebuah tangan mencengkram rahangnya dengan kuat, membuat Jarvis mendongak menatapnya.

"Tidakkah kau berpikir jika mereka tidak akan mungkin menerima tawaranmu begitu saja setelah kau membunuh tuannya?"

Axel menghentakkan cengkramannya membuat wajah Jarvis terhempas ke samping, Jarvis bergeming dalam waktu yang cukup lama. Axel menyusupkan kedua tanganya ke dalam saku celana, menatap lurus Jarvis yang ada dibawahnya.

"Kau harus menghabisi sisanya, mencari mereka sebelum mereka sempat membuka mulutnya, hari ini." perintah Axel mutlak, suaranya tidak terbantah.

        Jarvis sendiri hanya bisa terdiam begitu mendengar nada bicara Axel saat ini, begitu menakutkan dan membuat siapa saja yang mendengar nya merinding tak terkecuali dia sendiri dan juga para anak buahnya, ini seperti suara kematian.

"Belajarlah bertanggung jawab dan aku yakin ada sedikit kepintaran di otak kosongmu itu." Axel menatap Jarvis datar.

"Jangan sampai aku mendengar berita bahwa Red Mafiya dalang dibalik pembantaian palacio Henry Elcano." Tatapan nya lurus seakan menegaskan kalimat nya.

        Dan untuk terakhir kali nya— itu adalah perintah dan peringatan. Jika melanggar, itu sama saja dengan kau yang memanggil ajal kematianmu sendiri. Jarvis tidak bisa berbuat apa-apa, meskipun dia ingin mengeluarkan segala umpatan yang sudah tertahan di ujung lidahnya.

        Jarvis masih ingin hidup, walaupun Axel sangat menghormati permintaan kakek nya, Jarvis sadar suatu saat dia bisa kapan saja di tendang dari sini begitu Axel muak atau bahkan dia bisa menjadi abu, karena Axel pemimpin mereka dan hanya dia yang bisa membuat Jarvis hidup bergelimang harta seperti sekarang.

        Setelah itu, Axel langsung berbalik dan pergi meninggalkan ruang tengah palacio di ikuti Sean selaku tangan kanannya, setelah sosoknya hilang di balik koridor Jarvis langsung bergegas pergi untuk menjalankan tugas nya, dia tidak mau hidup miskin dan menjadi gelandangan, dia juga ingin bertahan hidup.

"Luka anda kembali mengeluarkan darah, bos. Dokter Petra akan mengomeli dirimu jika melihatnya."

        Axel mendengus keras dan tetap melangkah menaiki anak tangga, dia juga merasakan darah yang mengalir bersamaan rasa ngilu yang mulai menjalar pada sekitaran lengannya tapi Axel tidak merasa sakit sedikit pun.

"Dia harus melimpahkan kemarahannya pada Jarvis, karena dia yang membuatku seperti ini." Axel membuka pintu ruang kerjanya, kembali mengambil botol Macallan 1926 lalu meneguknya.

          Sebenarnya Jarvis tidak seburuk yang kalian kira, pria itu selalu mematuhi perintahnya dan melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh walaupun terkadang selalu mengambil tindakan tanpa memikirkan resiko yang akan dia dapat dan juga kecerobohannya yang terkadang membuat Axel muak.

        Tetapi Axel sangat menghormati kesetiaan Jarvis. Axel selalu bersikap keras padanya tetapi Jarvis tidak pernah menghianatinya walaupun Axel yakin bahwa pria itu pasti memiliki rasa kesal tersendiri padanya— Axel menganggap dia sama seperti Tayler, maka dari itu terkadang Axel selalu membebaskan Jarvis untuk melakukan apa saja yang dia inginkan jika dia telah menyelesaikan tugas dengan baik.

"Dokter Petra mengatakan bahwa anda tidak boleh banyak minum sampai luka anda mengering, bos." Sean kembali memperingati, Axel langsung melirik pria itu tajam.

"Berhenti mengoceh dan panggilkan pelayan untuk mengobati lukaku sekarang juga, lalu siapkan keberangkatan kita ke Moskow malam ini." perintahnya.

        Sean mengangguk. "Maaf, bos. Saya akan segera panggilkan pelayan dan menyiapkan semuanya." Pria yang lebih muda 2 tahun di bawahnya itu langsung pamit undur diri.

        Axel kembali meneguk minumannya lalu menyeka mulutnya menggunakan punggung tangannya sebelum pandangannya jatuh pada sebuah foto dengan ukuran besar di atas perapian.

        Marilou Vasco Mogilevich, bos mafia terkuat dan paling berpengaruh di Russia dengan berbagai kriminal kelas kakap yang sudah di kenal sejak era Uni Soviet, orang-orang menjulukinya;

"Don Carleone Russia." Axel membaca sebuah ukiran nama dengan tinta emas yang ada di bawah foto itu, foto kakek nya.

        Axel mengalihkan pandangannya dari foto itu lalu berjalan menuju kursi coklat tua yang terbuat dari kulit binatang berkualitas tinggi, kursi yang selalu Axel inginkan dan dia mendapatkanya..

        Pria itu memejamkan matanya sejenak, menikmati kehangatan dan ketenangan ketika dia memasuki ruangan ini. Axel tidak akan mengecewakannya..

—•••—

To Be Continue
Go vote, comment or share for the next chapter. Thank you!

_________________________

meet character :

Tayler Petra — 30 y.o

Jarvis Ackerman — 25 y.o

Sean Altemose — 25 y.o

All love, wwallens.

Continue Reading

You'll Also Like

933K 92.1K 26
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
2.3M 34.7K 48
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
602K 26.1K 41
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
3.1M 31.5K 29
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...