The Shades Of Gray [ Peraya ]

By CattleyaLian

93.1K 9.1K 1.6K

[ Completed ] Percayakah kau pada takdir? Percayakah pada sebuah janji dan keajaiban? Bagi Singto kepergian... More

Intro
[ 1 ]: Memories
[ 2 ]: Indecision
[ 3 ]: Forget You
[ 4 ]: Because It's You
[ 5 ]: Someone I Once Loved
[ 6 ]: Desire
[ 7 ]: Passed
[ 8 ]: I Listen To What You Have To Say
[ 9 ]: Elaborate
[ 10 ]: What Is The Reason?
[ 11 ]: Blooming Day
[ 12 ]: Hope
[ 13 ]: Love Is..,
[ 14 ]: Let Me Hear You Say
[ 15 ]: White Lie
[ 16 ]: Bad Liar
[ 17 ]: Best Thing I Never Had
[ 19 ]: Without Words
[ 20 ]: Rectitude
[ 21 ]: Remember - Towards The End
Ending
Epilog

[ 18 ]: Who Is You?

2.6K 294 94
By CattleyaLian

Bunyi samar-samar sesuatu yang mengganggu itu terdengar dari dalam satu ruangan, Krist tengah berada di kamar Rieyu dan kini tengah mencari sesuatu yang entah apa, tetapi ia membongkar semua isi laci di dalam kamar sang Anak. Krist mendegus kesal, karena tidak menemukan apapun. Sosok itu menyandarkan punggungnya pada dinding sembari memejamkan matanya, merasa lelah. Jemari Krist menyentuh permukaan dinding, mengamati lukisan wajahnya, ia tersenyum ketika melihatnya. Ini indah dan Singto yang membuatnya. Begitu menyebutkan nama Singto barulah ia sadar jika Krist belum melihat Singto sejak tadi. Ia terlalu sibuk dengan Rieyu serta Kei, hingga ia melupakan Singto, bahkan Krist sempat tertidur beberapa waktu di sini.

Krist bangkit dan ingin melihat keadaan Singto, ia rasa pria itu sudah berada di kamar mereka, meskipun ternyata Krist salah, sewaktu ia sampai di sana, kamar mereka kosong. Bahkan letak selimut dan yang lainnya masih tertata dengan rapi seolah tak ada orang lain yang menyentuhnya. Krist menebak Singto masih bekerja sampai larut malam seperti ini, waktu sudah menunjukkan pukul 12 dan ia pasti masih berkutat dengan pekerjaannya.

Lebih baik ia membuatkan Singto kopi sekaligus ingin menemaninya, lagipula jika ia tidak muncul Krist jamin Singto tidak akan kunjung kembali dalam waktu 1 jam kedepan. Ia dan pekerjaannya itu dua hal yang tidak bisa di pisahkan sama sekali.

Ketukan pintu itu menginterupsi apa yang tengah Singto lakukan, ia menutup map yang hampir ingin di bacanya, pandangannya tertuju pada pintu ruangannya yang perlahan di buka dari luar, ia memandang sosok Krist yang melangkahkan kakinya mendekat ke arahnya, sembari membawa satu nampan berisi kopi, Krist mengeluarkan senyuman manisnya, lalu meletakkan apa yang ia bawa dengan hati-hati pada ujung meja kerja Singto.

Krist berjalan memutar, hingga posisi pria itu ada di belakang Singto kini, ia memijat pelan bahu pasangannya dengan pelan, sembari mencondongkan tubuhnya ke depan melihat apa yang tengah Singto lakukan.

"Sudah lewat tengah malam, kenapa kau masih di sini? Aku tertidur di kamar Rieyu, ketika aku ke kamar kau tidak ada, jadi aku tahu kau di sini."

"Masih ada yang harus aku kerjakan, tidurlah lebih dulu. Jangan menunggu aku."

Pria itu menggelengkan kepalanya, ia melingkarkan tangannya pada dada Singto, sembari menempelkan dagunya pada bahu sosok itu, seolah mengisyaratkan ingin menemaninya saja.

"Duduk di sana, jangan berdiri seperti itu, kau akan lelah nanti."

"Aku ingin di sini saja."

Singto meraih pinggang Krist, menuntun pria tadi untuk duduk di atas pangkuannya dengan posisi menyamping, ia melingkarkan tangannya pada pinggang Krist, sembari membaca laporan yang harus dirinya periksa.

"Apa kau bisa fokus dengan seperti ini?"

Anggukan dikeluarkan oleh Singto, ia mengusap surai Krist menyandarkan sosok itu pada bahunya seraya terus membaca dan tak tergganggu meskipun beberapa kali Krist bergerak dengan tidak tenang. Ia hanya tersenyum ketika sesekali Krist mencuri ciuman darinya, sebelum menyembunyikan wajah pada ceruk lehernya.

"Phi Sing...."

"Heummm."

"Tadi pagi aku pergi ke pusat perbelanjaan."

"Apa yang kau inginkan?"

"Aku melihat ada seseorang anak perempuan yang lucu."

Singto menghentikan apa yang dirinya lakukan sebelum menunduk ke bawah, "Lalu?"

"Bisakah kita miliki anak perempuan?"

"Kau menginginkannya?"

Tak ada jawaban yang keluar, akan tetapi Krist mengangguk pelan, arti dari ia mengiyakan pertanyaan Singto barusan, hingga pria berkulit tan tersebut hanya mengulum senyumnya.

"Memang kau bisa mengurus 3 anak sekaligus?"

"Entah, aku tidak tahu. Seharusnya aku bisa."

Singto menarik pipi Krist dengan gemas, ia menautkan jemari mereka agar bisa saling menggenggam dengan mudah, sebelum menundukkan diri untuk memberikan kecupan pada tepi bibir Krist. Ia menurunkan tubuh Krist, kemudian bangkit dan membopong sosok itu ke dalam dekapannya, membawa Krist pergi dari sana.

Tangan Krist memainkan kancing piama yang Singto kenakan, membiarkan pria itu membawa tubuhnya pergi, tetapi beberapa detik kemudian Krist langsung menginterupsi apa yang tengah Singto lakukan.

"Tunggu Phi Sing...."

"Ada apa? Sudah malam kau harus tidur, lain kali tidak perlu menghampiriku, akhir-akhir ini aku melihat kesehatanmu menurun."

"Heumm baiklah, tapi aku merasa lapar."

Alis Singto bertautan ia melihat wajah Krist yang sedikit meredup, ia tetap berjalan dan menurunkan Krist tepat di dalam kamar mereka, ia menangkap pipi Krist, mengarahkannya untuk menatapnya.

"Kau lapar?"

"Heumm, tiba-tiba aku menjadi lapar."

"Apa yang ingin kau makan? Aku akan membelikannya untukmu."

"Di persimpangan jalan ada restoran baru, aku ingin mencobanya, tadinya aku ingin mengajakmu pergi ke sana, tapi kau terlihat sibuk jadi aku tidak mau mengganggu."

Mendengar hal itu Singto langsung mengambil mantelnya, ia meraih kunci mobil serta dompetnya, lalu kembali lagi menghampiri Krist yang masih setia berdiri di tempatnya tadi.

"Tunggu di sini, aku tidak akan lama."

Krist menggelengkan kepalanya, "Aku ingin ikut."

"Tidak. Kau di rumah saja."

"Tapi ini sudah malam, aku tidak yakin restoran itu masih buka."

Singto hanya mengulum senyumnya, "Tunggu di sini. Aku pasti akan membawakannya untukmu."

Diusapnya surai Krist dan mengecup kening pria itu dengan lembut, sebelum melangkahkan kakinya pergi dari sana begitu saja, meninggalkan sosok itu yang perlahan menjauhinya.

Krist hanya menatap kepergian Singto dari balkon kamarnya, sembari melambaikan tangannya. Entah mengapa hatinya tak tenang, seperti tak rela untuk melepaskan Singto, padahal ia yang meminta Singto untuk membelikannya makanan, hanya saja ada yang aneh dari dirinya, tetapi Krist tak tahu itu apa.

Decakan kesal keluar dari bibir Mike, ia melirik sosok yang tengah bersandar pada kap mobil itu dengan sedikit rasa kesal, jika orang yang meminta tolong padanya bukan Singto maka ia tidak akan mau seperti orang gila memesan makanan pada restoran yang sudah di tutup. Ia menyerahkan beberapa kantung makanan itu pada Singto sembari menampilkan memutar bola matanya malas.

"Lagi-lagi kau terlalu memanjakannya."

"Dia hanya lapar, jadi aku membelikannya makanan, bukankah itu wajar?"

"Wajar itu jika restorannya masih buka Sing, kau lihat saja ini sudah tutup dari dua jam yang lalu. Kau kan bisa membelikan di tempat lain, bukan berarti kalau Krist meminta di sini meskipun tidak bisa kau akan tetap mengusahakannya, restoran di Bangkok ada banyak. Tinggal bilang padanya tidak bisa, apa susahnya."

"Aku tidak mau mengatakan kata tidak padanya."

"Kenapa?"

Singto tak menjawabnya, hingga Mike sedikit menautkan dahinya dengan ekspresi kesal, Singto akan tetap menjadi seorang Singto meskipun apapun yang terjadi. Sudah sejak la drama ini berulang dan menurutnya tak akan pernah ada habisnya.

"Aku jarang punya waktu untuknya, jadi selama aku bisa memberikan apa yang dia inginkan, kenapa tidak?" Akhirnya Singto membuka suara, meskipun ada sedikit ketidakpuasan dalam ucapannya.

"Kau tahu alasan kenapa dia bisa berbuat semena-mena padamu? Karena kau seperti ini. Terlalu menurutinya, semua yang dia inginkan selalu kau turuti, meskipun kadang itu mustahil."

"Aku sangat mencintainya. Kau tahu itu, 'kan?"

Mike hanya mengembuskan napas beratnya, "Semua orang juga tidak buta, mereka bisa melihat hal itu dengan jelas."

"Lalu apa masalahnya?"

"Kapan kau akan mengatakan padanya, tentang apa yang terjadi? Aku ingin dia sadar, jika apa yang dia lakukan itu salah. Kalau dia melakukan kesalahan, jangan lindungi dia. Biarkan Krist menghadapinya sendiri."

"Lalu membiarkan dia pergi?"

"Jadi kau pikir lebih baik seperti ini? Aku ingin mengatakan padanya, apa yang sudah dia lakukan, apa yang terjadi, tetapi aku hanya bisa diam, tidak bisa melakukan apapun."

"Ini salahku, bukan Krist."

"Ambil. Terus ambil kesalahannya, jika itu bisa membuatmu lebih baik, setidaknya buka matamu, orang yang kau cintai tidak sebaik itu."

Singto hanya terdiam, sebelum mengatakan sesuatu, "Aku pergi dulu."

Daripada harus mengorek luka lama, lebih baik Singto mengakhiri pembicaraan ini, yang tahu tentang segalanya hanya dirinya, Singto yang merasakan semuanya, bukan orang lain. Singto hanya ingin menjaga sosok itu di sampingnya, ia ingin Krist selalu bersamanya, meskipun dirinya tahu itu tak mungkin, cepat atau lambat suatu saat nanti. Krist akan bosan dan meninggalkannya lagi.

Singto melangkahkan kakinya ke seberang jalan, karena mobilnya terparkir di sana, sedari tadi Singto bersandar pada mobil Mike. Tidak ada orang lain yang bisa ia mintai tolong kecuali Mike di tengah malam seperti ini, mau tak mau Singto mengganggu tidurnya, tetapi demi Krist ia rela melakukan apapun. Sementara Mike yang di tinggalkan itu memejamkan matanya tak tahu harus apa menghadapi kekeraskepalaan Singto yang sedari dulu tak pernah berubah. Jika sikapnya terus seperti ini maka sampai akhir ia akan terus menjadi seseorang yang tersakiti.

Getaran pada sakunya itu membuat Singto mengulum senyumnya, ia langsung mengangkat panggilan telepon yang Krist lakukan padanya, sembari meletakan kantung makanan dengan hati-hati pada kursi di samping kemudi, Singto ingin menyalahkan mobilnya akan tetapi ia mengingat jika Mike tadi menitipkan kunci mobil padanya, hingga akhirnya mau tak mau ia keluar lagi dari dalam mobilnya, ingin mengembalikannya pada Mike yang masih berada di ujung jalan, sembari bercengkrama ringan dengan Krist.

"Ada apa? Tidak biasanya kau menelponku?"

"Kau lama phi, jadi aku khawatir, cepat pulang. Aku sudah tidak lapar."

"Sebentar lagi, aku harus mengembalikan kunci Mike dulu. Kau yakin sudah tidak lapar lagi, heummm?"

"Memang kau mendapatkan makanannya?"

"Tentu saja, aku mendapatkannya, tapi karena aku tidak tahu apa yang kau suka, jadi aku membeli semuanya."

Ia bisa mendengar suara renyah Krist dari seberang telepon, Singto hanya terdiam ketika Krist justru menertawakannya, Singto lupa bertanya apa yang Krist inginkan, ia langsung pergi setelah mendengarkan permintaan Krist, mungkin lain kali Singto akan lebih berhati-hati lagi jika Krist menginginkan sesuatu.

Pandangan Singto terarah pada sisi kanan dan kirinya, setelah di rasakannya aman barulah ia menyeberang jalan, segalanya tampak baik-baik saja awalnya, tidak ada satupun kendaraan yang lewat, sampai beberapa waktu kemudian ia melihat sorot lampu yang sangat terang di arahkan padanya, itu sangat menyilaukan hingga Singto tak mampu melanjutkan langkahnya, meskipun Singto merasa jika sorot lampu itu berasal dari mobil yang melaju kencang tepat ke arahnya.

Pria itu ingin menghindar, tetapi sepertinya terlambat, meskipun belum sempat mobil itu mengenai tubuhnya, ada tangan seseorang yang mendorong Singto hingga ketepian, sampai akhirnya tubuh kedua orang itu bertabrakan dan membentur aspal yang keras.

Singto mengaduh kesakitan, tetapi pandangannya terarahkan pada sosok pria yang berada di sampingnya, topi yang pria itu kenakan terjatuh, Singto mengambilnya dan ingin menyerahkannya pada sosok tersebut, hanya saja sewaktu pria itu menengokkan kepalanya, wajah Singto berubah pucat pasih, apalagi sewaktu ia mendengar suara seseorang yang memanggilnya pada seberang sambungan telepon.

"Phi Sing? Phi Sing? Apa kau baik-baik saja? Phi Sing, jangan membuatku takut!"

"A-aku... Aku baik-baik saja."

Sosok tadi berniat kabur sewaktu Singto menjawab pertanyaan dari sambungan teleponnya, akan tetapi Singto bangkit dan berlari mengejar sosok itu, bahkan menahan lengannya agar tak bisa menghindar darinya, hingga sosok misterius tadi memejamkan matanya, karena tidak bisa melangkahkan kakinya untuk pergi, tetapi ia hanya membuang wajahnya ke arah lain, tak mau menatap Singto sama sekali.

"Krist...."






Continue Reading

You'll Also Like

8.4K 618 27
Sinopsis singkat : Barcode lelah, sangat lelah hingga ia sampai pada keputusan untuk membayar seorang pembunuh yang bisa membuatnya berada dalam keda...
126K 10K 87
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
446K 8.3K 13
Shut, diem-diem aja ya. Frontal & 18/21+ area. Homophobic, sensitif harshwords DNI.
23.7K 1.7K 20
Warning!! cerita hanya khusus penggemar BL bxb BL boyslove sebuah cerita yang bermula ketika seorang anak rentenir menagih hutang kepada keluarga s...