BUMI JOGJA (√)

By blackmaples

387K 53.6K 22.9K

SUDAH TERBIT! "Jogja penuh cerita. Kuharap kau janganlah menyebabkan luka." Start: 01/08/2019 End: 31/12/2020... More

00 | PENOKOHAN
00 | FOREWORD
01 | PROLOG : JOGJA DAN CERITA
02 | SENJA TAK MERONA
03 | NAMANYA AYUDISA
04 | ORANG YANG SAMA
05 | SUARA MAHASISWA
06 | MERDU RINDU
07 | SEBUAH PENAWARAN
08 | 263 JOGJA ISTIMEWA
09 | MENATA RASA
10 | RADIO SEMESTA
00 | FAKTA BUMI JOGJA
11 | LALU LINTAS RASA
12 | SETELAH DUA BELAS BULAN
00 | KALENDER UPDATE AKHIR TAHUN
13 | DIAM - DIAM FANBOY
00 | BUMI JOGJA OFFICIAL TRAILER
14 | FEBRUARI , TOLONG JAGA DIA
15 | YANG KATA ORANG HARI KASIH SAYANG
16 | JOGJA TERBUAT DARI RINDU , PULANG , DAN ANGKRINGAN
17 | PAGI DI BULAN MARET
00 | ARKA DAN RARA PUNYA CERITA
18 | KITA TAK SAMA
19 | MENABUR LUKA , MELUKIS LARA
20 | SAPA PERTAMA
21 | SEBUAH CERITA DARI RAHASIA
00 | SURVEY : LEVEL PEMBACA SEPERTI APAKAH KALIAN ?
22 | SENJAKALA DI JOGJA
00 | OFFICIAL POSTER BUMI JOGJA THE SERIES
00 | LUHUNG LOKAL
23 | GEMA TAKBIR
24 | PETUNJUK TAKDIR
25 | AKHIR DARI KITA
00 | URGENT ! TOLONG DIBACA !
27 | SELAMAT ULANG TAHUN , LUKA
28 | PERMINTAAN MAAF
29 | JANGAN TERLAMBAT BILANG
30 | SATU KEBAHAGIAAN SEDERHANA
31 | RENCANA BRILIAN BANYU
32 | SENIN , SIANG , DAN UPACARA MEMBUAT KENANGAN
33 | BULAN BAHASA
00 | BUMI JOGJA 1ST ANNIVERSARY
34 | DUA RIBU DUA SATU
35 | KKN GUNUNG KIDUL
36 | YASINAN RT LIMA
00 | NAMA SIAPA YANG PALING BAGUS ?
37 | KEJADIAN MISTIS
00 | KABAR BURUK + KABAR BAIK
38 | CINTA LAMA BELUM USAI
39 | KEMBALI KE JOGJA
40 | MENGUNGKAPKAN PERASAAN
00 | BOCORAN BAB 41 - 45
00 | BOCORAN BAB 46 - 50 (TAMAT)
00 | BUMI JOGJA OPEN PRE - ORDER !
00 | BUMI JOGJA COMMENT CHALLENGE
00 | PENGUMUMAN PEMENANG BUMI JOGJA COMMENT CHALLENGE
00 | OPEN ! PRE - ORDER BATCH 2 NOVEL BUMI JOGJA !
00 | BUMI JOGJA 2ND ANNIVERSARY !
00 | OPEN PO BATCH 4 NOVEL BUMI JOGJA !

26 | SORE DAN ' SEDIKIT ' SENJANYA

4.9K 917 1.1K
By blackmaples

Jogja, 23 Juni 2020

Ayudisa dan teman-teman telah selesai mengikuti pembekalan pra-magang yang diselenggarakan pihak kampus, sekalian diumumkannya kelompok magang untuk jurusan mereka. Sayang, apa yang menjadi harapan tak sama dengan kenyataan, Ayudisa gagal sekelompok dengan Luka, dirinya akan ditempatkan pada sebuah perusahaan yang masih berlokasi di pusat Kota Yogyakarta, sementara Luka akan dihempas jauh ke Bantul.

Keduanya berjalan beriringan menuju pintu keluar gedung fakultas. "Luka, ternyata kita nggak sekelompok." Ujar Ayudisa, lesu.

"Baguslah." Selalu balasan seperti itu yang didapatnya dari seorang Luka. Padahal mereka sudah kenal cukup lama, tetapi Luka seakan membedakannya. Ayudisa pikir Luka sudah bisa menunjukkan sikap yang cukup bersahabat kepada teman-teman lain, dan bisa dibilang sangat baik dalam memperlakukan Wilujeng serta Rakya. Kenapa kepada dirinya tidak bisa demikian?

"Kenapa kamu diam?" Di luar dugaan, Luka mempertanyakan sikap Ayudisa, dan itu merupakan hal yang sangat jarang dilakukan si pemuda. Sangat jarang bukan berarti tidak pernah, tetapi Ayudisa masih cukup terkejut karenanya.

"Kenapa? Aneh ya kalau aku diam?" Ayudisa malah balik bertanya.

"Nggak juga, tapi kan biasanya banyak bicara."

Ayudisa tersenyum getir, lucu juga ketika mendengar Luka berkata demikian. Bukannya senang, ia justru merasa sedih. "Lalu sikap seperti apa yang kamu harapkan dariku, Luka?"

"Biasanya kamu nggak gampang menyerah."

"Terus?"

"Memangnya kamu nggak punya rencana, ya? Biasanya kamu suka melakukan hal-hal nggak terduga."

"Misalnya?"

Luka mendadak bingung, perempuan itu seolah ingin mencari jawaban darinya. "Kita nggak sekelompok magang, kan? Apa kamu nggak punya rencana untuk mengikuti saya ke tempat magang yang sama?" Sekarang justru Luka yang seolah menginginkan hal itu terjadi.

"Nggak semuanya bisa kulakukan, Luka. Jika ditanya apakah aku ingin mengubah kelompok magang, tentu saja jawabannya adalah iya. Tapi untuk sekarang, aku benar-benar nggak punya cara."

"Ya sudah, terima saja. Lagipula magang cuma sebentar." Pemuda itu seolah sedang berusaha menenangkan Ayudisa supaya tidak terlalu khawatir perihal perbedaan kelompok magang mereka.

"Iya."

Keduanya sudah berada di luar gedung fakultas, Ayudisa segera mengenali mobil Asmara yang parkir di halaman. Si saudara memang sudah berencana menjemputnya untuk diajak pulang sama-sama.

"Aku duluan, Luka. Mara sudah tiba." Luka hanya membalas dengan anggukan kepala dan membiarkan Ayudisa berlalu begitu saja. Dari kejauhan ia masih memperhatikan perempuan itu, menunggunya benar-benar masuk ke dalam mobil, hingga dibawa pergi oleh Asmara.

Luka pun melanjutkan langkahnya menuju parkiran. Di sepanjang jalan, hatinya terus bertanya-tanya, "Ada apa dengan Aruna?" Ia rasa Ayudisa menjadi sedikit berbeda dari biasanya, perempuan itu tidak banyak bicara, bahkan tidak banyak berekspresi. Selain itu Luka juga merasa heran pada diri sendiri, yang bisa-bisanya berbicara cukup banyak hari ini. Membuatnya bingung, sebenarnya yang 'sedikit' berbeda Ayudisa atau justru dirinya?

***

Sepulang dari kampus, pasca pembekalan pra-magang, Shanin menyempatkan diri untuk datang ke perpustakaan kota. Si jelita Jakarta penyuka sastra sudah membuat janji dengan seorang pemuda Solo Raya. Mau membaca bersama, katanya.

"Luhung!" sapa Shanin, kemudian duduk di kursi seberang meja si pemuda. Luhung refleks meletakkan telunjuknya di bibir, memberi isyarat si jelita di depannya supaya tidak menimbulkan banyak suara.

Shanin mengerti maksud Luhung, pada akhirnya ia memutuskan untuk tersenyum saja sebagai tanggapan. Tiba-tiba sebuah buku di atas meja menarik perhatiannya, salah satu buku karangan Sutan Takdir Alisjahbana. "Kamu yang mengambil buku ini?" tanyanya kepada Luhung dengan suara sepelan mungkin.

"Iya." Luhung menjawab dengan suara yang sama pelannya seperti Shanin. "Aku tahu kamu suka sastra. Aku juga tahu kalau Sutan Takdir Alisjahbana adalah salah satu sastrawan kebanggaanmu."

"Memangnya tahu dari mana kalau aku suka karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana?"

Luhung tersenyum, "Apa yang ndak kutahu tentang kamu, Shanin? Tentu saja aku tahu semuanya, bahkan aku juga tahu hari ulang tahunmu."

Shanin pasti sudah tertawa keras kalau mereka berada di luar perpustakaan. "Jangan bilang kamu juga tahu siapa Tuhanku?"

Luhung tersenyum tipis, "Syukurnya itu adalah hal pertama yang kutahu tentangmu."

"Kamu bukan Dilan, kan?"

"Aku Luhung." Bagus, pemuda itu benar-benar berhasil membuat Shanin tetap mempertahankan senyumnya hingga sekarang. "Katanya jurusanmu mau magang, ya?" Luhung mengubah topik pembicaraan.

Shanin mengangguk dan mengikutinya dengan berkata, "Iya."

"Kamu kebagian di mana?"

"Syukurnya masih di pusat Kota Yogyakarta."

"Bagus, jangan sampai jauh-jauh."

"Memang kenapa kalau jauh?" tanya Shanin, penasaran.

"Nanti aku rindu." Luhung telah berhasil membuat si perempuan Jakarta tersipu malu. "Hehe... sudah dulu ngobrolnya, mari kita fokus membaca." Shanin mengangguk setuju, dan segera mengambil buku di atas meja, yang memang sudah dipersiapkan Luhung untuknya. Buku terbitan tahun 1937, karangan Sutan Takdir Alisjahbana, yang berjudul Layar Terkembang.

Shanin pikir, ia memang harus mengisi hari-hari pra-magang dengan kegiatan membaca buku. Karena ketika sudah magang nanti, ia yakin tak akan sempat berkunjung ke perpustakaan kota untuk sekedar membaca satu judul buku saja. Waktunya pasti akan tersita penuh untuk kegiatan di lapangan serta penyusunan laporan.

Dan hari ini cukup menyenangkan, seolah lelah pasca UAS luntur begitu saja, tergantikan oleh semangat baru yang menggebu untuk menyambut tugas selanjutnya. Shanin tak menyangka, ternyata hanya dengan bertemu Luhung di perpustakaan kota bisa membuatnya bahagia. Benar kata orang-orang, bahagia memang sederhana. Mudah, tetapi indah.

***

Luka baru terjaga dari tidurnya kala sore menyapa dengan sedikit 'senja', yang mulai menyorotkan cahaya dari balik jendela. Ia melirik jam yang tergantung di dinding kamar, pukul lima kurang lima menit. Sebenarnya Luka ingin segera mandi, tetapi rasanya masih malas sekali. Sehingga ia memutuskan untuk bergabung saja dengan Kak Dimas Dipa Indrayana di siaran Radio Semesta yang sebentar lagi mengudara.

Sembari menunggu waktu bergulir hingga tepat pukul lima, Luka menggunakannya untuk menyalakan radio dan mencari gelombang Radio Semesta yang terletak pada frekuensi 97,4 MHz.

Tepat sekali, setelah Luka menemukan gelombangnya, Kak Dimas Dipa Indrayana sedang melakukan intro seperti biasa.

DJ Dimas: 97,4 FM~ Jumpa lagi dengan saya, Dimas Dipa Indrayana, di siaran Radio Semesta, yang selama satu jam ke depan mengudara.

DJ Dimas: Kawula, bagaimana kabarnya? Saya harap baik-baik saja.
Ndak terasa kita hampir melewati satu per dua tahun ini. Semoga selama enam bulan terakhir, kalian sudah berhasil meraih cita-cita. Dan jika pun belum, janganlah kalian berkecil hati, karena masih ada satu per dua sisanya untuk berjuang sekali lagi.

DJ Dimas: Khusus teman-teman calon mahasiswa yang gagal SNMPTN maupun SBMPTN, janganlah bersedih. Kalian masih bisa mencoba jalur mandiri, sekali lagi. Jadi, harus tetap semangat!

DJ Dimas: Dalam rangka mengawali perjumpaan kita sore ini, Dimas Dipa Indrayana akan mempersembahkan penampilan spesial untuk Sahabat Semesta. Sebuah lagu dari Kahitna yang berjudul, Rahasia Cintaku.

Setiap di dekatmu
Hatiku meresah
Sesaat di sampingmu
Seakan kau milikku
Ku sadari aku tak seharusnya
Terbawa perasaan
Dan aku mencintaimu
Sungguh-sungguh tanpa kau tahu
Tersimpan di dalam hatiku
Selamanya ini jadi rahasia cintaku

Luka begitu menghayati setiap lirik lagu yang dinyanyikan Kak Dimas. Disaat seperti ini, biasanya ia akan dengan mudah membayangkan senyum Naisha, juga akan terlintas beberapa pertanyaan di kepala, seperti...

Kira-kira Naisha sedang apa?

Mungkinkah Naisha masih suka merindukannya?

Mungkinkah Naisha masih suka datang ke tempat-tempat favorit mereka?

Mungkinkah Naisha masih tetap sama, ataukah justru sudah berubah rasa dengan begitu mudahnya?

Ya, memang itulah yang biasa terlintas di kepala, dulunya. Tetapi sekarang semua sudah berbeda, bayangan seorang Naisha tiba-tiba tergantikan begitu saja. Si perempuan Bandung Raya, yang biasa datang mengganggunya. Iya semesta, Ayudisa namanya. Ayudisa yang lebih suka disebutnya Aruna. Luka sendiri tak menyangka sebuah fakta, bahwa ternyata ia memang diam-diam suka memikirkan si pencuri hatinya.

Sering aku meragu
Harus ku melangkah
Terkadang kau beri harapan
Kadang terasa jauh
Pedihnya hati bila ini
Hanya terbawa perasaan
Dan aku mencintaimu
Sungguh-sungguh tanpa kau tahu
Tersimpan di dalam hatiku
Selamanya ini jadi rahasia
Cintaku hanyalah untukmu
Andai engkau sadari itu
Bila cintamu bukan aku
Biar cinta ini jadi rahasia hatiku

Luka mulai senyum-senyum sendiri ketika baru menyadari, bahwasa-nya lagu ini memang cocok untuk menggambarkan isi hati.

Saat lagu yang dinyanyikan Kak Dimas hampir mencapai killing part, Luka malah dikejutkan dengan kemunculan seseorang secara tiba-tiba di tengah pintu kamar yang terbuka. Tanpa mengucapkan salam atau apa, orang itu justru ikut-ikutan bernyanyi dengan begitu dramatisnya.

"O o o ooo... Dan aku mencintaimu. Sungguh-sungguh tanpa kau tahu. Tersimpan di dalam hatiku. Selamanya ini jadi rahasia cintaku hanyalah untukmu. Andai engkau sadari itu. Bila cintamu bukan aku. Biar cinta ini jadi rahasia hatiku. Selamanya ini jadi rahasia... cintaku..." Janar-lah orangnya, yang telah berhasil menutup lagu dengan suara merdu.

Luka merasa kegiatan berkhayalnya menjadi kacau-balau gara-gara kedatangan si adik sepupu. Langsung saja ia lemparkan bantal tidurnya ke wajah sok ganteng di sana.

"Eits..." Sayang sekali, rencana jahat Luka harus tergagalkan, karena Janar langsung menangkap dengan sigap bantal tersebut sebelum benar-benar berhasil menyentuh wajahnya.

"Kenapa muncul tiba-tiba, sih? Kaget tahu!"

Janar tak peduli dengan caci dan maki yang dilontarkan Luka. Langsung saja dirinya ikut bergabung di kasur empuk sang kakak, untuk sekedar mengistirahatkan punggung letihnya.

"Mas Luka belum mandi, ya? Baumu kayak rafflesia."

Mendengar ucapan Janar yang tidak sepenuhnya salah namun cukup ngawur, Luka langsung emosi dan kembali mengangkat salah satu guling untuk kemudian digunakan sebagai senjata penggebuk manusia di sampingnya.

"Lambemu, lambemu, lambemu." (Mulutmu, mulutmu, mulutmu.) Luka melakukan satu gebukan di setiap kata yang dilontarkan. Bukannya berteriak kesakitan, Janar justru tertawa. Pada akhirnya Luka berhenti dengan sendirinya setelah merasakan lelah. "Kenapa tiba-tiba datang? Kok nggak bilang-bilang?"

Ditanyai seperti itu, Janar yang semula tertawa, kini langsung memasang mimik kesal di wajahnya. "Aku lagi marahan sama ibuk."

"Kok bisa?" tanya Luka, penasaran.

"Masa mas, aku mau dijadikan pagar bagus di acara pernikahan tetanggaku besok. Ya ndak maulah, aku!"

Luka tertawa terpingkal-pingkal gara-gara penjelasan Janar. Pantas saja adiknya kesal dan sampai memilih kabur ke sini. Memangnya pemuda mana yang mau dijadikan pagar bagus jika fisiknya saja sudah sebesar kingkong begitu? Tentu saja Janar merasa malu.

"Ora usah ngguyu nemen-nemen." (Ndak usah tertawa berlebihan.)
Janar langsung memasang mimik kesalnya, apalagi respon Luka sebegitu menyebalkan.

"Ya sudah, kamu menginap di sini saja." Akhirnya Janar bisa bernapas lega. Untung saja Luka tidak mengusirnya dan menyuruhnya pulang sekarang juga. Jika itu terjadi, sudah pasti dirinya tidak akan bisa mengelak untuk tak menghadiri acara besok pagi.

"Btw, hari ini Mas Banyu live music, kan?" tanya Janar, yang hanya dibalas anggukan saja oleh Luka. "Mas Luka pasti datang, kan?"

"Iya kayaknya."

Mata Janar berbinar sembari menatap Luka penuh harap. "Kalau begitu aku ikut!"

"Iya-iya."

"Yes! Akhirnya bisa bertemu lagi dengan kakak-kakak cantik!" Mendengar itu Luka hanya menatap malas si pemuda di sampingnya, kemudian ia segera beranjak dari tempat tidur, dan menuju kamar mandi. "Mandinya yang lama, masku. Kalau perlu sabunan diulang tujuh kali. Masa mau bertemu perempuan-perempuan bidadari, ndak wangi?"

"Kakean omong!" (Banyak omong!)

"Lho? Aku benar, kan? Mbak Disa cantik sekali, apalagi Mbak Wilujeng. Masyaallah... bidadari!"

Luka hanya memutar bola matanya, kemudian segera masuk ke kamar mandi. Berlama-lama mengobrol dengan Janar bisa membuat kadar kewarasannya menurun, bahkan hingga minus beberapa persen.

***

"Bocah-bocah pada di mana ini? Padahal sudah tak kasih tahu lho, jam tujuh kumpul!" Rakya meneliti sekeliling, barangkali Luka dan Ayudisa akan segera muncul.

"Tunggu saja, Rak. Mungkin masih otw." Kata Wilujeng.

"Luka masih nunggu Janar yang sibuk dandan demi mempertahankan kadar ketampanan." Jelas Banyu, selaku tetangga Luka.

"Adubiyung! Bangkrut aku! Bocah kingkong mesthi mangane akeh!" (Alamak! Bangkrut aku! Bocah kingkong pasti makannya banyak!) Ucapan Rakya sontak membuat kedua temannya tertawa. Wajar jika dirinya merasa khawatir, karena hari ini ia memang berniat mentraktir teman-teman dalam rangka merayakan hari ulang tahunnya, yang sebenarnya sudah terlewat cukup lama.

"Sugeng dalu, mas-masku lan mbakku sing ayu dewe koyo bidadari! Iki adhimu sing bagus wes teko!" (Selamat malam, mas-masku dan mbakku yang paling cantik seperti bidadari! Ini adikmu yang ganteng sudah tiba!) Baru saja dibicarakan, Janar sudah datang bersama Luka. Jangan lupakan, ia juga mengucap kalimat sapaan yang terdengar menyebalkan sekaligus menggemaskan. Janar yang berteriak berhasil mengundang perhatian para pengunjung Malioboro di sekitarnya. Luka merasa sangat malu, sampai harus menunduk sembari menutupi wajah dengan telapak tangan. Mengajak Janar ke tempat umum memang bukan ide yang bagus.

Wilujeng tak bisa berhenti tertawa karena Janar yang terlampau jenaka. Banyu juga sama, pemuda itu menoleh ke sumber suara seraya menyumbangkan tawanya. Sementara Rakya langsung berkomentar,

"Pancen njaluk dicemplungke kali, ben digondol wewe." (Memang minta diceburkan ke kali, biar digondol wewe.)

Janar segera menghampiri Rakya, lalu merangkulnya sok akrab. "Aku juga ditraktir kan, mas?"

"Ora iso! Ora iso!" (Ndak bisa! Ndak bisa!)

"Duh, gawat! Padahal mentraktir orang ganteng bisa mendapat pahala lho, mas! Langsung dicatat malaikat!" Janar mulai mendrama. Rakya hanya bisa mengelus dada, mencoba bersabar menghadapinya.

"Untungnya kamu beneran ganteng, dek. Jadi dimaafkan." Respon Wilujeng yang terdengar positif, membuat Janar langsung ikut duduk di sebelah si kakak cantik.

"Sempit, woy!" Rakya yang merasa kesempitan langsung berpindah ke tempat duduk di depannya, bersama Banyu dan juga Luka.

Janar tidak peduli pada Rakya, karena yang terpenting dirinya bisa modus ke Wilujeng. "Mbak Wilujeng sudah punya pacar atau belum?"

Banyu langsung bereaksi, bahkan sampai berdiri dari tempat duduk. "Wah! Parah kamu, Nar!" serunya seraya menunjuk-nunjuk Janar.

Janar menjulurkan lidahnya ke arah Banyu. "Bukan pacarnya Mas Banyu, kan? Jadi ndak perlu emosi."

Wilujeng malah tertawa, berbeda dengan Banyu yang seperti ingin menelan Janar hidup-hidup. "Nggak ada pacar, Janar. Nggak ada yang mau sama aku." Kata Wilujeng.

"Kok bisa? Perempuan bidadari seperti Mbak Wilujeng mana mungkin nggak ada yang mau?" Lagi-lagi ucapan Janar mendapatkan balasan tawa dari si jelita. "Kurcaci tiga di sana juga ndak ada yang berniat menjadikan Mbak Wilujeng pacar, gitu? Atau mereka memang ndak berani mengungkapkan isi hati karena Mbak Wilujeng terlalu cantik?" Janar menunjuk satu per satu dari tiga pemuda yang duduk di depannya.

"Kurang ajar!" Rakya kesal karena disebut kurcaci oleh Janar, sementara Banyu dan Luka hanya menghela napas dan mengelus dada.

"Kalau begitu Mbak Wilujeng jadi pacarnya Janar saja. Sudah ganteng, imut pula. Kurang apa coba?" Manusia yang satu ini memang terlampau percaya diri.

"Kurang waras!" sahut Rakya, keras.

"Jangan mau, Wilu. Dia sudah punya pacar." Luka memberitahu.

"Oh... mau latihan jadi playboy cap kucing?" tebak Banyu.

"Orang ganteng plus tinggi gini jadi playboy cap kucing? Ndak level!"

"Terus?"

"Cap macan tutul!" seru Janar, bangga. Ketiga senyawa lainnya langsung menyambut dengan gelengan kepala.

Tin tinnn...

Bunyi klakson motor langsung mengalihkan pandangan muda-mudi di sana ke sumber suara. Ternyata si perempuan berambut sebahu sudah tiba, yang diantarkan oleh seorang saudara.

"Langsung pergi, nih?" tanya Rakya kepada si pemuda pengantar.

"Iya Rak, mau kumpul sama teman-temanku di Nol KM."

"Oke!"

"Duluan, lur!"

"Oyi lur!" balas Rakya. Kemudian si pemuda pengantar segera berlalu pergi bersama motornya.

Sementara itu, si perempuan berambut sebahu, yang tak lain adalah Ayudisa, langsung saja bergabung dengan teman-temannya.

"Mbak Disa cantik, yang tadi pacarnya, ya?" tanya Janar.

"Iya." Ayudisa mencoba iseng.

Janar pun terkejut. "Kok mirip sama Mbak Disa?"

"Mirip gimana?"

"Wajahnya itu lho, mirip Mbak Disa. Kayak aku sama Mas Luka."

"Masa mirip, sih?"

"Iya, serius! Dan katanya nih... kalau ada cowok sama cewek yang wajahnya mirip, tetapi bukan saudara, mereka akan berjodoh!"

"Mungkin kita memang jodoh kalau nggak jadi saudara." Kata Ayudisa dengan begitu entengnya.

"Hah? Maksudnya gimana? Tolong siapa saja jelaskan, dedek ganteng ndak paham."

Banyu memutar bola matanya. Meski begitu ia tetap membantu menjawab pertanyaan Janar. "Yang tadi itu Asmara, saudaranya Disa."

"Oh..."

"Saudara tiri." Tambah Luka.

Mata Janar langsung melotot, "Kalau saudara tiri berarti bukan saudara kandung, kan?"

Wilujeng berusaha keras menahan tawanya, sementara Rakya sudah peregangan tangan, seolah bersiap melakukan sesuatu kepada Janar. "Sejongkok-jongkoknya IQ anda, ya janganlah sampai tiarap! Semua orang juga tahu, kalau yang namanya saudara tiri, berarti bukan saudara kandung!"

Bukannya merasa bersalah, Janar malah kembali dengan dagelan. Sembari menyisir rambut dengan jemari, ia berkata lagi. "Tahu saja kalau aku memang mirip Jungkook BTS."

"Jongkok woy, jongkok!"

Banyu berusaha menghentikan Rakya yang ingin maju menyerang, "Harap bersabar, ini ujian."

Janar tertawa terbahak-bahak karena berhasil membuat Rakya emosi. "Maksudku begini lho, Mas Rakya, karena Mbak Disa sama Mas Asmara bukan saudara kandung, mereka masih memiliki kemungkinan untuk berjodoh." Ucapan Janar langsung berhasil mempengaruhi Luka, dan membuat si pemuda ikut memikirkan perihal wajah mirip Asmara dan Ayudisa, meskipun mereka bukan saudara kandung.

"Wis-wis, ayo nyang KFC saiki. Mumpung aku lagi berbaik hati." (Sudah-sudah, ayo ke KFC sekarang. Mumpung aku lagi berbaik hati.)

"Berarti dewe ora sido live music?" (Berarti kita ndak jadi live music?) tanya Janar.

"Ndak, karena kita mau pesta makan ayam." Kata Rakya.

"Siappp..."

"Kalian duluan saja ke KFC-nya, nanti aku nyusul. Btw, samakan saja pesanannya. Aku mau ke swalayan sebentar, mamaku titip belanjaan." Kata Wilujeng, yang hanya dibalas anggukan saja oleh teman-teman. Mereka pun berbondong-bodong ke KFC, sementara Wilujeng berjalan ke seberang menuju swalayan.

Tidak disangka, Wilujeng justru bertemu dengan dua orang yang tak asing di mata. Seorang perempuan paruh baya baru saja keluar dari swalayan, didampingi seorang pemuda yang membawakan beberapa kantong kresek berisi belanjaan.

"Wilujeng!" Perempuan paruh baya itu langsung menyapanya.

"Tante Risa!" Wilujeng langsung menyalami Bu Risa, istri Pak Krisna, juga ibundanya Arjuna. Ia melirik Arjuna sejenak, kemudian tersenyum. "Belanjaannya banyak sekali, tante. Mau ada acara apa di rumah?"

"Ndak ada acara apa-apa, cuma sekedar belanja bulanan."

"Oh."

"Kamu sedang apa di sini sendirian?" tanya Bu Risa.

"Itu tante, mau ada acara sama teman-teman."

"Acara apa? Di mana?"

"Acara ulang tahun teman, di KFC."

"Kalau acaranya di KFC, kenapa kamu malah ke sini?"

"Mau beli titipannya mama dulu."

"Oh..." Bu Risa mengangguk paham seraya tersenyum lembut.

"Teman-temanmu ndak live music, ya?" Kali ini bukan Bu Risa yang bertanya, melainkan Arjuna yang sedari tadi hanya diam saja.

Pandangan Wilujeng beralih kepadanya, "Untuk malam ini libur dulu, karena kita mau merayakan ulang tahun Rakya."

Arjuna hanya mengangguk paham. "Btw, aku duluan ya?" pamitnya kemudian.

"Iya, hati-hati di jalan."

"Tante pulang dulu ya, sayang. Kamu juga jangan malam-malam pulangnya." Ujar Bu Risa, perhatian.

Wilujeng tersenyum dan langsung menyalami beliau. "Iya tante."

Bu Risa mengelus rambut Wilujeng sebentar, seraya berkata. "Selain cantik, ternyata kamu juga sangat sopan. Tante pasti senang kalau suatu hari nanti punya menantu seperti kamu."

"Bunda... jangan gitu!" Arjuna langsung menyahut, sementara Wilujeng hanya memberikan senyum ramahnya sebagai tanggapan, tanpa merasa sedikit pun keberatan.

"Lho, kenapa? Bunda kan cuma berharap? Sah-sah saja, bukan? Benar ndak, Wilujeng?"

"Iya tante." Wilujeng tak tahu lagi harus menjawab apa, jadi ia hanya menjawab demikian saja.

"Sudah bunda, ayo pulang sekarang." Malah Arjuna yang menjadi malu kepada Wilujeng gara-gara ucapan ibundanya.

Sejenak, Wilujeng menatap kepergian ibu dan anak itu. Entah kenapa ia malah jadi tersenyum sendiri melihat tingkah-polah keduanya. Arjuna yang terus memaksa ibundanya untuk bersegera, dan sang ibunda yang tidak suka dipaksa-paksa oleh putranya. "Katanya setiap roh pasti membuat perjanjian dengan Tuhan ketika pertamakali ditiupkan ke dalam kandungan. Semua perjanjian, termasuk jodoh dan kematian."

***

Continue Reading

You'll Also Like

31.4K 2K 4
After BUMI JOGJA "Nanti Solo akan tahu, tentang kita yang tak mudah berlalu." Start: 13/08/2021 End: -
816K 58.3K 34
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.7M 274K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
13.1K 1.9K 5
Halano si anak polos dan hiperaktif harus di pertemukan dengan delapan Bodyguard yang mempunyai sifat bertolak belakang dengannya. Bukan bxb!!! Menga...