SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

By SophieAntoni

169K 16.3K 709

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta More

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
39
40
41 (EPILOG)

38

1.6K 194 26
By SophieAntoni

38

Ava Argani

Menurut Wikipedia, Magderburg adalah sebuah kota otonom di Jerman. Kota ini juga merupakan ibu kota negara bagian atau Bundesland Sachsen-Anhalt. Aku akhirnya berada di kota ini. Selama tiga bulan sebelum menuju ke sini, aku aktif bekerja sebagai dokter di klinik tante Erna, teman Mama. Dulu awal-awal aku selesai magang di Ende, Mama memang pernah menawarkan aku untuk bekerja bersama tante Erna. Dan hal ini cukup membantuku untuk melajutkan PPDS di Negara maju ini karena di sini PPDS artinya kamu bekerja dan di gaji. Dokter PPDS disini dikenal dengan istilah Assistenzarzt atau disingkat AA.

Dengan bantuan tante Lisa, lewat kenalannya yang seorang direktur unit kardiologie di sebuah Rumah Sakit di Magderburg, aku berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai AA. Aku perlu banyak bersyukur untuk hal ini karena tidak mudah untuk mendapatkan kesempatan seperti ini dalam waktu singkat.

Karena banyak hal yang perlu dilakukan dalam waktu yang sangat sedikit, maka rencana aku dan Erick untuk menikahpun tertunda. Tidak mungkin kami menikah dengan situasi ribetnya urusanku dalam mempersiapkan diri ke Jerman ditambah pekerjaanku di klinik yang harus kulakukan sebagail bekal untuk resumeku. Belum lagi menyiapkan dokumen, harus mengontak berbagai badan pemerintahan di Jerman berkaitan dengan kelengkapan dokumen-dokumen tersebut, dn pengajuan Visa yang mewajibkan aku harus sudah punya tempat tinggal di Jerman, tentu saja membuat aku cukup stres.

Okay aku memang sudah bisa sedikit-sedikit berbicara bahasa Jerman namun tidak semudah itu saat kamu mempraktikannya dalam suasana yang lebih formal. Karena sejak tiba di Magderburg aku mengambil kelas bicara bahasa Jerman untuk lebih memantapkan komunikasiku nantinya, karena tidak lucu kan aku sebagai dokter di Jerman namun tidak bisa berkomunikasi dengan pasien nantinya.

Aku harus juga mengurus semacam Surat Ijin Praktek sementara yang menuntut aku untuk untuk menyerahkan berbagai dokumen seperti ijazah, akte lahir, dan lain-lainnya yang harus diterjemahkan dalam bahasa Jerman oleh penerjemah tersumpah dan bukti bahwa aku sudah mendapatkan lowongan pekerjaan di Jerman. Hal-hal seperti inilah yang membuatku harus tinggal di Jerman sebelum memulai program PPDS.

Dan aku tentu saja sangat merindukan keluargaku. Merindukan Erick. Terakhir aku bertemu Erick saat dia mengantarku ke sini hampir sebulan lalu. Meski hampir setiap malam kami berbicara lewat sambungan telepon tetap tidak bisa menggantikan kehadiran laki-laki yang kucintai itu. Dan aku harus lebih bersabar karena baru seminggu lagi Erick bisa mengunjungiku.

Aku merapatkan jaketku berusaha melindungi diri dari suhu udara 13 derajat celcius yang tentu masih tergolong hangat bagi warga di sini namun tidak denganku. Aku berjalan tergesa sambil membawa belanjaan yang cukup berat di tanganku. Aku memang sempat singgah di swalayan di seberang jalan setelah kembali dari kursus bahasaku. Saat tiba di depan pintu apartemen aku merasa ada yang tidak biasa. Ada bau masakan yang sangat familiar halus berhembus dari dalam. Jantungku berdegup senang. Aku mendorong pintu apartemen dengan kekuatan penuh dan benar saja aku bisa melihat laki-laki yang sedang sangat kurindukan itu tersenyum ke arahku. Aku melepaskan begitu saja belanjaanku ke lantai dan berlari memeluknya.

"Surprise." Dia berbisik di telingaku. Aku mengeratkan pelukanku sekadar ingin meyakinkan bahwa kehadirannya sangat nyata.

"Miss you so much. I could die." Aku terisak pelan di pelukannya. Rasa sepi dan tertekanku sebulan terakhir ini seketika larut dalam tangisku.

"Please don't die." Jawabnya sambil tersenyum dan memegang kedua belah wajahku yang lembab. Ia mengecup bibirku sekali. Tangannya kemudian bergerak mematikan kompor. Aku melepaskan pelukannya. Dan dia kemudian menuangkan isi dalam panci kecil ke mangkuk bersih.

"Indomie ayam bawang pake sawi dan telur kesukaan Nona Ava." Ia menarik tanganku ke arah meja makan kecil di dekat dapur.

"Makan malam istimewa. " kataku sambil meneguk ludah dan mengambil tempat duduk.

"Tenang aku bawa persediaan Indomie yang cukup." Katanya.

"Kamu nggak makan?" tanyaku.

Dia menggeleng.

Aku makan dengan lahap dan menandaskan semangkuk mie itu dalam waktu sekejap. Dia hanya memandangku dengan senyum dan sesekali mengecek ponselnya. Sedikit heran saja karena dia belum banyak bicara sejak tadi.

"Va." Panggilnya saat aku baru kembali meletakkan mangkuk kosong di dapur.

"Ya." Ia hendak bicara namun entah kenapa ia kembali mengurungkannya. "Kamu mandi dulu gih."

Aku menyipitkan pandanganku ke arahnya seperti sedang menyelidiki ada apa dengan laki-laki ini.

"Kamu kenapa? Ada sesuatu yang terjadi?"

Dia tidak menjawab hanya menggeleng. Aku kemudian berjalan meinggalkannya bersiap ke kamar mandi sekaligus memberinya waktu untuk mempersiapkan diri dengan apa yang ia akan katakan padaku karena aku yakin dia sedang berusaha mengatakan sesuatu padaku. Aku berharap bukan hal yang buruk karena sampai semalam obrolan kami di telepon hanya berisi kata cinta dan rindu.

Aku keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan jubah mandi dan rambut yang terbungkus handuk. Aku melihat Erick sedang membongkar isi kopernya. Aku tersenyum lega melihat itu. Koper besar artinya tinggal lebih lama. Dia pasti mengajukan cuti yang cukup lama pikirku.

***

Erick Leitner

Harusnya masih seminggu lagi aku ke Magderburg. Namun semua berubah di minggu terakhir kemarin. Aku membuat keputusan cukup besar. Berhenti dari maskapai. Aku rasa aku yang perlu mengalah dalam hal ini. Aku tidak bisa meminta hal yang sama pada Ava. Kemungkinan Ava akan menghabiskan waktu enam tahun di Magderburg dan dengan situasi kami yang seperti ini jalan satu-satunya adalah aku akan memilih tinggal bersama Ava di kota itu.

Papa sama sekali tidak keberatan dengan keputusanku, ia bahkan lebih khawatir dengan perasaanku mengingat pilot adalah impianku sejak dulu dan aku bahkan pernah bertengkar hebat dengannya karena masalah ini.

"Aku tentu saja nggak apa-apa, Pa. Aku lebih mencintai Ava. Aku lebih ingin hidup bersamanya melihatnya setiap hari. Sekarang itu yang jadi impianku." Ucapku kala itu pada Papa. Bagiku menjadi pilot bisa di mana saja. Aku bisa bekerja di Jerman entah sebagai pilot, entah sebagai apapun, aku bisa lakukan itu yang penting aku bersama Ava.

Kejutanku berhasil, gadisku itu sampai menangis saat melihat kehadiranku. Aku benar-benar tidak ingin melepaskan pelukanku. Aku sangat merindukannya. Dan aku tidak sabar untuk menyampaikan keputusanku.

Ava berjongkok di sebelahku saat aku mengeluarkan semua pakaianku dari koper yang cukup besar yang kubawa dari Jakarta.

"Kamu pasti cuti panjang kan?" dia berbisik senang. Aku menghentikan kesibukanku karena aroma sehabis mandi yang berasal dari perempuan di sebelahku ini benar-benar membuat aku lemah. Aku menarik tubuhnya hingga ia jatuh ke dalam pelukanku. Ia menjerit kecil karena tidak siap dengan aksiku. Handuk yang menutupi kepalanya perlahan terlepas dan aku bisa mencium aroma wangi shampo yang sangat familiar dan sangat kurindukan.

Aku mengecup bibirnya cukup lama hingga membuat ia tersengal. Aku melepaskan ciumannya dan kembali menunduk untuk menciumnya lagi dan kali ini lebih dalam. Aku memainkan lidahku di dalam mulutnya yang terbuka pasrah. Sebelah tanganku menopang tengkuknya yang lembut. Ciumanku berpindah ke wajahnya dan turun ke lehernya. Ia hanya melenguh kecil merespons ciumanku yang bertubi-tubi. Tangannya mulai bergerak meremas kulit punggungku. Dengan jubah mandi yang ia kenakan saat ini, memudahkanku untuk melepaskannya dan menciumi seluruh kulit harumnya. Ia menjerit kecil saat lidahku bermain dengan lincahnya di bagian dadanya. Ia pasrah tanpa berusaha melepaskan dirinya seperti yang terakhir ia lakukan sebulan lalu.

Aku mengangkat tubuhnya dari lantai dan membawanya ke ranjang. Ia memandangku dengan pandangan sayu. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam pikirannya saat ini. Namun rasanya aku tidak bisa membendung hasrat dan kerinduanku.

"Va." Aku memanggilnya pelan sekaligus memberinya kesempatan untuk menolak melanjutkannya.

"Hmmm." Dia hanya bisa mengucap itu. Aku kembali menunduk dan bibirku kembali bermain di atas dada telanjangnya. Hanya terdengar lenguhan dan jeritan kecil keluar dari bibirnya. Kedua tangannya menjambak pelan rambutku. Ciumanku kemudian turun ke perutnya dan terus turun ke bawah.

"Rick." Ia memanggil namaku dengan tubuhnya melengkung menahan kenikmatannya. Aku masih terus melancarkan ciumanku ke bagian tubuhnya yang paling sensitif yang masih terlindungi dengan kain tipis lembut itu. Ia menjerit kecil dengan kedua tangannya berpindah meremas kuat punggungku.

"Rick." Panggilnya lagi dan membuatku menghentikan aksiku dan memandangnya.

"Oke, aku berhenti." Aku mengangkat tubuhku dan berbaring di sebelahnya. Ia mengambil bantal dan menutupi bagaian dadanya dengan ekspresi wajah malu.

"Kenapa ditutupin?" Aku berusaha menarik bantal itu namun Ava tetap mempertahankannya.

"Apaan sih." Ia memukul keras tangannku. Aku kemudian menangkap tangan itu dan mengecupnya pelan.

"Va."

"Hmmm."

"Aku berhenti dari maskapai." Ia memandangku tanpa ekspresi. "Aku berhenti jadi pilot." Kataku sekali lagi dan membuat mata Ava membulat kaget.

"Kenapa?"

"Kenapa?" aku balik bertanya. Ia sepertinya sadar dengan situasi ini. Ia menghembuskan napas kencang.

"Hei, jangan sampai ini membuat kamu terbebani." Aku mengelus pipinya. "Menurutku ini langkah yang terbaik. Kita harus menikah biar aku bisa menemani kamu di sini berapa tahunpun yang akan kamu habiskan." Dia memandangku dengan ekspresi sedih.

"Kamu yang harus berkorban." Ucapnya pelan.

"Nggak ada pengorbanan di sini Va. Ini hanya jalan untuk bisa bersama kamu. Aku bisa bekerja di mana saja Va. Tapi kalau aku bekerja di maskapai Indonesia aku tentu saja sulit bertemu denganmu. Tapi di sini aku..."

"Kamu mau jadi pilot di sini?"

"Aku nggak bilang aku akan jadi pilot lagi. Aku berpikir untuk bekerja di bidang lain. Aku..."

"Tapi itu cita-cita kamu Rick. Impian kamu."

"Iya tapi aku punya impian yang lebih besar. Kamu. Membangun keluarga bersama kamu."

Ia tersenyum memandangku.

"Menikahlah denganku." Bisa dibilang ini adalah lamaranku yang kesekian pada Ava. Penundaan yang kami lakukan beberapa bulan lalu memang membuat kami kecewa terlebih Ava karena dia merasa dia adalah alasan utama pernikahan kami tertunda.

"Menikahlah denganku di sini."

"Di kota ini?"

Aku menggeleng.

"Lalu? Pulang ke Indo?" kejarnya. Aku kembali menggeleng.

"Erick!" dia merengek dengan aksi misteriusku.

"Hohenwarthe." Dia mengerutkan kening tidak mengerti. "Kota kecil tidak jauh dari sini. Tempatnya indah, dekat sungai, ada perkebunan anggur dan sebuah gereja kecil. Tempat nenek buyutku menikah dan kemudian kakek nenekku dan..." dia menahan kata-katanya. "Kita."

Mulut Ava membuka sebagai ekspresi takjub dengan ceritaku.

"Bagaimana?" tanyaku namun Ava masih belum bisa berkata-kata. "Kita akan cari waktu yang pas buat kamu. Aku dan Papa sudah mendiskusikan semuanya. "

"Tapi..."

"Kakek nenekmu, tante Lisa, Tania, bang Alex semuanya sudah aku beritahu Va. Dan mereka sangat setuju. Mereka akan ke sini tentu saja."

"Tapi..."

"Kamu khawatir dengan kakek nenekmu?" Ia mengangguk. "Kalau menurut penglihatanku waktu aku memberitahu mereka saat itu, kakek dan nenek yang paling antusias. Dan mereka bilang sudah saatnya mereka piknik ke luar negeri." Ceritaku dan membuat Ava terkejut kemudian tertawa.

"Serius?"

"Ya." Aku mengangguk cepat. "Biar kamu lebih yakin nanti kita telepon mereka."

"Oke."

"Oke. Kalau gitu aku harus lanjut beresin baju dan kamu pakai baju." Kataku sambil mengulum senyum menggodanya. Aku hendak beranjak namun Ava dengan cepat menarik tanganku dan kembali membuat tubuhku berbalik menghadapnya.

"Makasih, Rick. Makasih untuk memikirkan semua ini di saat aku nggak bisa. Makasih untuk semua yang kamu lakukan. Untuk pengorbanan kamu..."

"Nggak Va." Aku menggeleng.

"Untuk cinta kamu sama aku. Untuk impian kamu tentang kita. Kamu adalah pemberian Tuhan yang jauh lebih besar dari yang aku harapkan." Dia tak putus memandangku. Aku tak bisa berkata lagi dengan semua pujian yang apakah pantas aku terima.

"Va..." aku benar-benar terpaku dan tidak tahu kata-kata apa yang harus kukeluarkan untuk merespons semua itu. Ava bergerak bangkit. Bantal yang menutup dadanya tersingkir dari sana. Ia mendekatiku dan menciumiku dengan hasratnya. Aku terkejut dengan aksi ini namun aku membiarkan Ava menguasaiku. Aku membiarkan dia melakukan petualangan pertamanya. Tubuhnya bergerak di atasku dengan gerakan awal yang ragu sampai ia mampu menemukan ritmenya. Kali ini aku yang menggeram menahan kenikmatan dari semua sentuhannya. 

Continue Reading

You'll Also Like

259K 759 15
cerita pendek dewasa seorang gadis yang punya father issues
3.5M 253K 30
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
654K 58.7K 54
⚠️ BL LOKAL Awalnya Doni cuma mau beli kulkas diskonan dari Bu Wati, tapi siapa sangka dia malah ketemu sama Arya, si Mas Ganteng yang kalau ngomong...
532K 41.9K 18
[SEBAGIAN DI PRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU BARU BACA] Dilarang ada hubungan antara senior dan peserta OSPEK, Galen, sebagai Ketua Komisi Disiplin terpa...