I Give You My Destiny

By mtheresiadwi

144K 5K 37

More

Part 1
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23 (Epilog)

Part 2

9.8K 341 1
By mtheresiadwi

Kiera keluar dari kereta setengah berlari untuk menuju pintu gerbang stasiun dengan cepat sebelum hari semakin gelap. Pikirannya bercampur aduk antara senang naskahnya diterima dan cemas karena kemungkinan dia akan pulang malam lagi. Untung saja waktu itu toko orang tuanya sedang ramai dengan pengunjung karena menjelang hari raya, jadi hanya mamanya yang ada di rumah. Namun hari ini, sudah lewat dari hari besar, pasti orang tuanya akan stand by di depan pintu dengan wajah yang mengerikan, terutama papanya.

Karena banyak hal yang berkecamuk di dalam benaknya, ia tidak memfokuskan pikirannya pada jalan yang ada di depannya. Ia menabrak seorang gadis bertubuh jangkung dan hampir jatuh terkulai ke tanah. Seorang pria dengan sigap menopang tubuh gadis itu sebelum sempat menyentuh tanah.

“Apa kamu tidak bisa hati-hati? Gunakan matamu untuk memperhatikan jalan!” bentak gadis berparas manis itu setelah merapikan pakaiannya dan cara berdirinya.

“Ma... Maaf, saya sedang terburu-buru, jadi saya tidak memperhatikan anda yang ada di depan saya,” Kiera memberanikan diri untuk menatap gadis yang tadi ia tabrak.

“Kiera?”

Mata Kiera langsung bergerak ke arah laki-laki yang ada di sisi gadis itu, ia yang menyerukan namanya. Ia tidak bisa mempercayai matanya sendiri setelah apa yang ia lihat beberapa detik yang lalu. Seketika kakinya terasa tak bertulang. Setelah sekian lama laki-laki ini menghilang tanpa kabar, sekarang ia muncul bersama seorang gadis.

“Kamu bisu atau apa? Kenapa hanya bisa diam saja? Kamu sudah menabrakku hingga aku hampir terjatuh dan kamu hanya bilang maaf? Kamu pikir itu cukup? Bagaimana kalau tadi aku sampai jatuh?” oceh gadis bermata coklat pucat itu.

“Kiera sudah bilang maaf, dan saya rasa itu lebih dari cukup, tidak ada sedikitpun dari tubuhmu yang luka, jadi apa lagi yang perlu kau ributkan?” sahut Theodore datar yang sedang berdiri dengan bersandarkan dinding.

“Sejak kapan kamu ada di situ?” Kiera menoleh ke arah Theodore.

Theodore tidak mempedulikan pertanyaan Kiera dan langsung menarik tangannya untuk menjauh dari hadapan kedua orang yang hampir menghakimi Kiera. Sikapnya yang tenang, membuat Kiera mengikuti langkahnya tanpa satu katapun keluar dari mulutnya.

“Honey, dia menabrakku, kenapa kamu tidak membelaku?” ujar gadis itu dengan nada manja ke pria yang tadi menopang tubuhnya.

Kiera masih bisa mendengar ucapan manja gadis itu. Ia merasa hatinya seperti dibekukan dalam freezer dan dibanting ke lantai saat sudah membeku hingga pecah berkeping-keping. Kiera yakin bahwa selama ini ia sudah melupakan pria itu, tapi kenapa seperti ada mengganjal dalam hatinya ketika mendengar ucapan gadis itu. Bahkan selama ini Kiera sudah tidak pernah memikirkan pria itu.

“Kenapa kamu hanya diam saja?” tanya Theodore yang masih memandangi Kiera dari balik kemudinya. Masih tak ada reaksi dari Kiera. “Apa kamu mengenal laki-laki yang bersama dengan gadis galak tadi?” Theodore menepuk bahu Kiera hingga ia terlonjak kaget seperti baru tersadar dari hipnotis.

“Apa? Tadi kamu bicara apa?”

“Apa kamu mengenal laki-laki yang tadi berdiri di samping gadis yang memarahimu?” Theodore mengulangi pertanyaannya.

“Eh, tidak, aku tidak mengenalnya, aku hanya terpaku dengan ocehan gadis itu, kata-katanya begitu tajam, makanya aku tidak bisa berkutik ketika dia memarahiku,”

Gadis ini tidak pandai berbohong. Pikir Theodore. “Tapi, tadi dia memanggil namamu,”

Kiera memutar bola matanya seperti sedang berpikir. “Apa iya? Aku tidak menyadarinya, ah, mungkin kamu salah dengar atau dia memanggil Kiera yang lain, yang memiliki nama Kiera kan bukan hanya aku di dunia ini,” sangkal Kiera lagi.

Theodore hanya tersenyum menanggapi kebohongan-kebohongan Kiera, walaupun ia tidak tahu apa yang ditutupi oleh Kiera, tapi yang jelas ia tahu bahwa Kiera berbohong. Orang yang jarang berbohong, akan terlihat pada sikapnya yang gugup ketika berbohong. Bisa dilihat dari manik matanya.

Seperti sebelumnya, Theodore membukakan pintu untuk Kiera. Suatu perilaku kecil, tapi memiliki arti mendalam yang menunjukkan sifat pria sejati. Kiera membalas senyuman Theodore dengan enggan. Pikirannya masih terpaku pada kejadian di stasiun tadi.

“Kau mau kopi atau teh?” tanya Theodore setelah lama memandangi Kiera yang masih asyik dengan pikirannya sendiri bahkan setelah ia duduk di sofa yang ada di ruangan Theodore. “Kiera? Apa kamu baik-baik saja? Setelah kejadian tadi, kamu lebih banyak diam dan melamun, apa ada yang mengganggu pikiranmu?”

“Ah, tidak... tidak ada,” Kiera gelagapan setelah mendapati kesadarannya kembali.

“Kau mau kopi? Atau teh?” Theodore mengulangi pertanyaannya lagi.

“Teh saja, terima kasih,”

Kiera kembali pada lamunannya setelah Theodore keluar dari ruangannya. Apa mungkin ia masih memiliki perasaan yang sama seperti tiga tahun yang lalu? Bahkan setelah ia dicampakkan begitu saja? Tidak. Tidak mungkin. Ini pasti hanya karena ia sudah lama tidak bertemu dengannya. Batin Kiera.

“Apa kau melamun lagi?” suara lembut itu menyadarkannya dari lamunannya. Kiera hanya menggeleng kecil. “Kalau pikiranmu sedang tidak fokus, apa kita bisa memulai pembicaraan kita tentang pencetakkan dan penerbitan naskah ceritamu? Serta royalti yang akan kau terima?”

“Maaf kalau aku dari tadi hanya melamun, maafkan aku,” Kiera seakan kembali pada dunia nyata yang ia hadapi saat ini.

“Baik, aku sudah membaca dan merefisi sedikit tulisanmu, ceritanya sungguh menarik dan menyentuh, tapi cara penyampaianmu agak sedikit kurang jelas, tapi sudah kuberikan refisinya, kamu bisa lihat dulu,” Theodore mengambil jilidan naskah cerita milik Kiera dan sedikit membalik-balikkan lembaran-lembarannya, lalu menyerahkannya lagi kepada pemiliknya.

Kiera mengamati refisi dari Theodore yang sama sekali tidak mengubah cerita, bahkan membantu tulisannya untuk memperjelas maksud penulisnya. Kiera tersenyum mendapati pesan singkat pada halaman terakhir naskah ceritanya yang membuat wajahnya memerah karena tersipu malu.

“Aku tidak menanggapinya pada saat itu, bukan berarti aku tidak mendengarnya, aku mendengarnya dengan jelas dan aku menyukai keramahanmu, walau mungkin setelah itu kau memaki dirimu sendiri dalam hati,” ujar Theodore.

‘Salam kenal! =)’

Hanya pesan singkat biasa dan mungkin tidak berarti bagi kebanyakan orang, tapi hanya dua kata saja, bisa mengembalikan senyum lebar ke wajah Kiera yang sempat sirna entah kemana beberapa saat lalu.

“Kuharap kamu tidak murung lagi seperti tadi, aku belum pernah menghadapi gadis cantik yang murung begitu lama seperti kau, jadi aku tidak bisa berbuat banyak untuk mengembalikan senyummu,” Theodore membungkukkan tubuhnya sehingga wajahnya dengan wajah Kiera berada pada jarak yang terbilang dekat dan membuat Kiera menarik kepalanya kebelakang agar bisa menghindari tatapan Theodore yang tidak terbaca.

Theodore kembali duduk di sofa berhadapan dengan Kiera. “Oh ya, sekarang kita bicarakan tentang royaltinya, singkat saja, kamu akan mendapatkan lima belas persen tiap buku yang terjual,”

“Ya! Aku menyetujuinya,” ucap Kiera bersemangat. “Ngomong-ngomong, kenapa kamu tadi bisa ada di stasiun?”

“Aku tadi memang rencananya mau menjemputmu di stasiun, karena menurutku, tidak baik bagi seorang gadis jalan sendiri dari stasiun di jalan yang cukup sepi pada hari yang sudah gelap,”

“Astaga! Aku lupa!” Kiera langsung melirik jam tangannya.

“Apa?”

“Sudah hampir jam delapan dan aku masih bersantai-santai di sini, aku harus cepat pulang, sebentar lagi jadwal kereta terakhir,”

Theodore terkekeh melihat kepanikan Kiera, “Sudahlah, ayo kuantar kau pulang,”

Sekali lagi ia berhasil membuat keadaan hatiku membaik. Batin Kiera yang memperhatikan Theodore dari sudut matanya. Kali ini jalanan sedang bersahabat dengan Kiera, tidak ada macet sama sekali, bahkan ia tidak terhalang oleh lampu merah. Ia sampai di rumahnya tepat jam sembilan kurang lima menit.

Kiera menghela napas setelah memastikan jam. Theodore memang agak ngebut, apalagi ketika jalanan kosong sedikit saja, ia langsung mengambil kesempatan itu untuk mempercepat laju mobilnya walau hanya sesaat. Ia sempat tidak menghiraukan umpatan Kiera ketika ia menyalip mobil truk yang membawa peti kemas dari arah kiri.

***

Dengan malas Kiera meraih ponselnya yang terus berbunyi memenuhi ruang kamarnya. Enggan menekan tombol hijau yang ada di ponselnya dengan mata masih setengah tertutup. “Theodore?” sahutnya yang langsung terduduk begitu mengenali suara dari sebrang teleponnya.

“Maaf aku menghubungimu malam-malam begini, tapi aku sedang butuh teman untuk mengobrol, kau mau menjadi temanku?”

“Iya, aku mau, tapi kenapa malam-malam begini kamu menghubungiku?”

“Aku masih di kantor, aku sedang lembur dan aku bosan, jadi aku langsung menghubungimu, apa aku mengganggu tidurmu? Sepertinya tadi kamu sedang tidur, karena aku harus menunggu beberapa lama sampai kamu mengangkat teleponku,”

“Eh, iya, tadi aku sedang tidur, tapi sekarang aku sudah bangun, jadi aku bisa menjadi temanmu untuk mengobrol, kenapa kamu sampai lembur? Bukankah bisa kau tinggalkan?” Kiera bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu.

Theodore menguap tanpa menjauhkan ponselnya dari mulutnya. Kiera terkekeh mendengar suaranya menguap. “Aku memang bisa menundanya dan melanjutkannya besok, tapi ketua redaksiku memintaku untuk cepat menyelesaikan penyuntingan naskah cerita yang masih menumpuk ini,”

“Kalau tumpukan naskah ceritanya masih banyak, kenapa punyaku bisa begitu cepat kau baca?” tanya Kiera setelah menyeruput es jeruk yang baru ia tuang ke dalam gelasnya

“Karena aku ingin segera membaca cerita buatanmu... Eits, jangan berpikir yang macam-macam, aku tidak berbuat curang, pimpinan redaksi kami juga menyetujuinya. Hanya... Aku sedikit berbohong kepadanya, kalau kamu menyerahkan naskahmu sudah tiga bulan yang lalu,”

Kiera tidak bisa menahan tawanya setelah mendengar pengakuan dari Theodore. Ia beranjak membawa gelasnya yang masih berisi es jeruk ke ruang tamu dan meletakkannya di meja, ia pun duduk di sofa ruang tamu. “Harusnya kau mengikuti aturan, aku juga mengerti kalau aku harus menunggu giliran,”

“Kau malah menyalahkanku sekarang. Oh ya! Naskahmu sudah selesai aku edit, mungkin minggu depan atau dua minggu lagi akan terbit, aku doakan semoga novelmu laris di pasaran, dan banyak yang menyukai ceritamu,” sahut Theodore bersemangat.

“AAA!!!”

“Ada apa Kiera?!” suara Theodore terdengar panik ketika mendengar teriakan Kiera yang agak histeris.

Suara Kierapun masih bergetar, “Listrik di rumahku mati,”

“Kau takut gelap? Mau kutemani untuk tetap mengobrol agar kau tidak merasa sendirian?” tanya Theodore penuh kelembutan.

“Iya,”

“Kau mau mendengar suaraku bernyanyi tidak? Aku juga bisa bermain gitar,” tanpa mendengar jawaban dari Kiera, Theodore langsung meletakkan ponselnya di atas meja dan mengambil gitar, lalu langsung memainkannya.

Kiera merasa tenang mendengar lagu yang dimainkan dan dinyanyikan oleh Theodore walaupun hanya melalui telepon. Theodore mendapati Kiera tidak menanggapi permainan musik dan suaranya, ia berpikir mungkin Kiera sudah tidur. Bahkan ia tidak merasa ingin marah, melainkan ia senang bisa membuat Kiera merasa lebih baik.

***

“Kiera, bangun sayang,” mamanya mendapati putri tunggalnya tidur di sofa ruang tamu dan langsung membangunkannya. “Kenapa kamu tidur di ruamh tamu? Bukankah semalam kamu sudah tidur di kamarmu? Apa kamu berjalan sambil tidur, sayang?”

Kiera mengerjap-ngerjapkan matanya dan bangun untuk duduk, ia menyilangkan kedua kakinya di atas sofa. “Semalam temanku menelpon, jadi aku ke ruang tamu, tapi karena lampunya mati, aku tertidur di sini,” Kiera menyadari bahwa ia tertidur ketika Theodore masih menelponnya. Ia langsung mencari-cari ponselnya yang sudah berada di lantai.

Ia menghela napas panjang ketika melihat ponselnya dalam keadaan mati. Apa kemarin Theodore yang mematikan teleponnya atau karena ponselku lowbat? Tanyanya dalam hati. Ia beranjak ke kamarnya untuk mengisi baterai ponselnya dan mandi untuk bersiap-siap ke kampus.

Kiera menatap bayangan dirinya di cermin di dalam kamar mandi, bayangan dirinya di cermin tersenyum seperti apa yang ia lakukan. Mengingat alunan permainan gitar dan suara Theodore, membuatnya merasa tenang dan melupakan sejenak ketakutan akan gelap, bahkan membuatnya merasa nyaman seakan ia sedang mendengar suaranya secara langsung. Menyadari lamunannya, Kiera langsung menggelengkan kepalanya dan menepuk-nepuk pipinya.

Setelah menyegarkan dirinya dan berpakaian rapi, Kiera langsung merapikan bukunya yang masih berserakkan di atas meja belajarnya dan memasukkanya ke dalam tas selempang yang masih setia menemaninya kemana-mana sejak ia masuk perguruan tinggi. Baginya, penampilan adalah nomor kesekian, asalkan masih bisa ia gunakan, akan terus ia gunakan.

“Kenapa lama sekali kau keluar?” wajah mamanya terlihat cemas ketika Kiera baru keluar dari kamarnya dan menuju dapur untuk mencari sarapan.

“Ada apa, Ma? Aku kuliah masih jam sembilan nanti, kenapa mama begitu panik?” ucap Kiera sambil mencomot kue bolu buatan mamanya yang masih hangat.

“Bukan itu yang membuat mama cemas, tapi… coba kamu lihat saja siapa yang menunggumu di depan,” mamanya menunjuk ke arah pintu utama rumahnya dengan dagu. Kiera mengikuti kata-kata mamanya untuk melihat ke depan. Matanya membelalak ketika melihat siapa yang ada di depan pintu pagar rumahnya.

“Ma, bagaimana dia bisa ada di sini?” Kiera mengernyitkan alisnya.

“Mama tidak tahu, begitu mama ingin keluar, mama melihatnya ada di depan pagar rumah kita, dan mama belum menemuinya, sebaiknya kamu saja yang menemuinya dan bertanya apa maksud kedatangannya ke sini,”

Kiera melihat sekali lagi ke arah luar melalui jendela. “Huft… untuk apa lagi dia datang ke sini?” gerutu Kiera yang memberanikan diri untuk membuka pintu rumahnya. Ia kumpulkan seluruh keberaniannya untuk menghadapi apa yang ada di depannya saat ini.

Pria yang mengenakan kemeja berwarna dark blue dan celana bahan berwarna hitam itu tersenyum ketika mendapati Kiera keluar dari rumahnya. “Aku tahu kamu pasti akan menemuiku, Kiera,” sahutnya dengan nada optimis, atau lebih tepatnya terlalu percaya diri. Kiera hanya mengernyitkan alisnya dan menatap pria itu dengan sinis. “Apa aku tidak diperbolehkan untuk masuk dan berbicara denganmu?”

“Kalau hanya ingin bicara, di sini saja bisa,” sahut Kiera datar.

“Kau ini tidak punya sopan santun terhadap tamu, ya?” tiba-tiba seorang wanita bertubuh ramping bak seorang model yang mengenakan kacamata hitam keluar dari pintu penumpang di sebelan kursi pengemudi. Ia membuka kacamata hitamnya dengan gaya yang sangat elegan dan berjalan mendekati pria yang berdiri di depan pagar rumah Kiera.

“Jeanette! Ini adalah rumahnya, dan dia sebagai tuan rumah berhak memperlakukan tamunya seperti apa,”

Kiera memicingkan matanya menatap gadis yang dipanggil Jeanette. Dia gadis yang memarahiku di stasiun kemarin. Pikir Kiera. “Kalau kalian datang ke rumahku hanya untuk menghinaku, lebih baik sekarang kalian berdua angkat kaki dari hadapanku sebelum kesabaranku habis,” sahut Kiera yang tak kalah ketus dengan ucapan Jeanette.

“Kita sudah menunggu di depan rumahmu hampir satu jam, dan kau memperlakukan tamumu dengan cara yang sangat tidak terhormat? Oh, sangat tercermin dari kehidupannya, jauh di bawah standar, makanya dia tidak memiliki atitude yang baik,”

“Jeanette! Sudah cukup, di sini aku yang memiliki urusan, bukan kau, jadi seharusnya kamu tidak mengeluarkan suara sedikitpun,” sahut pria yang mulai tak sabar dengan kelakuan gadis di sebelahnya yang sudah keterlaluan.

Kiera menyilangkan tangannya di depan dadanya. “Sudah selesai bertengkarnya? Kalau sudah kalian bisa pergi,” matanya menyiratkan kebencian yang mendalam ketika menatap pria yang masih tanpa gerak berdiri di hadapannya.

“Apa dia gadis yang kau putuskan tiga tahun lalu demi aku, honey?” ucap gadis campuran Austria-Indonesia dengan manjanya sambil menggelendot di lengan pria di sampingnya.

Jantung Kiera seakan ditonjok-tonjok dan diremukan dengan mudah. Jadi dia gadis yang bertunangan dengan Simon tiga tahun lalu? Tanya Kiera dalam hati dan masih sibuk mengatur pikirannya agar bisa lebih tenang.

“Apa kalian tidak mendengar yang dikatakan oleh Kiera? Kenapa kalian masih belum pergi juga dari sini? Sayang, apa mama ada di dalam?” entah dari kapan Theodore ada dan menyaksikan semuanya. Ia langsung melingkarkan lengannya ke pinggang Kiera dan merengkuhnya dalam pelukannya yang terlihat mesra di hadapan kedua orang yang termangu melihatnya.

“Honey, ayo kita pulang, untuk apa kita ada di sini?” sahut Jeanette yang terlihat malu setelah melihat kelakuan Theodore terhadap Kiera.

Setelah kedua orang itu menghilang di balik gang perumahan, Theodore langsung melepaskan tangannya dari pinggang Kiera dengan canggung. “Apa kamu rela dihina seperti itu? Kenapa tidak bisa melawan? Bukankah mereka juga yang memarahimu di stasiun kemarin?”

Kiera mengangguk lesu. “Kau mau masuk?” tanya Kiera tanpa memandang Theodore yang berjalan mengikuti masuk ke rumahnya.

“Kenapa kamu bisa ada di sini? Ada perlu apa? Dan kenapa tadi kamu membantuku?” tanya Kiera sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa di sebelah Theodore setelah meletakkan minuman untuk Theodore.

“Dari pertama kali melihat mereka, aku sudah tidak suka dengan sikapnya, jadi begitu tadi melihat mereka menghinamu, aku langsung turun tangan untuk membantumu, maafkan aku atas kelancanganku,”

“Maaf? Untuk apa kamu meminta maaf, kamu kan sudah membantuku, terima kasih. Ah, kamu ada apa datang ke sini?”

Theodore tampat tersenyum salah tingkah, “Aku… hanya ingin mengantarmu ke kampus, boleh kan? Aku ingin tahu dimana kampusmu,” Kiera hanya mengangguk di sertai senyuman untuk menjawab pertanyaan Theodore. “Mereka itu sebenarnya siapa, sih? Kenapa mereka bisa ada di rumahmu?”

“Mereka?” eskpresi Kiera berubah menjadi datar dan senyumnya menghilang dari wajahnya. “Pria itu adalah mantan tunanganku, namanya Simon… dan wanita yang ada di sebelahnya adalah tunangannya sejak tiga tahun lalu, dan itu yang membuat Simon memutuskan pertunangan kita, aku tidak tahu pasti siapa nama wanita itu, tapi tadi Simon memanggilnya Jeanette,”

Theodore merapatkan posisinya kepada Kiera dan merangkul bahunya untuk membuat gadis di sebelahnya merasa lebih tenang. “Maaf aku menanyakan tentang masa lalumu, tapi seharusnya kamu bisa melawannya dan tidak membiarkan mereka menghina dirimu seperti tadi, terutama gadis galak itu,” Kiera menyunggingkan sedikit senyum ketika mendengar sebutan dari Theodore untuk Jeanette.

Sebenarnya, masalahku dengan Simon tidak sesingkat itu, ada hal yang benar-benar membuatku benci kepadanya. Karena apa yang ia lakukan bukan hanya kepadaku, tetapi juga kepada keluargaku hingga kami semua hidup seperti ini. Dan dia masih berani menampakkan dirinya di depanku? Tidak tahu malu. Batin Kiera.

Continue Reading

You'll Also Like

4.1M 170K 63
The story of Abeer Singh Rathore and Chandni Sharma continue.............. when Destiny bond two strangers in holy bond accidentally ❣️ Cover credit...
7.3M 303K 38
~ AVAILABLE ON AMAZON: https://www.amazon.com/dp/164434193X ~ She hated riding the subway. It was cramped, smelled, and the seats were extremely unc...
2.8M 163K 50
"You all must have heard that a ray of light is definitely visible in the darkness which takes us towards light. But what if instead of light the dev...
1.3M 70.1K 59
π’πœπžπ§π­ 𝐨𝐟 π‹π¨π―πžγ€’ππ² π₯𝐨𝐯𝐞 𝐭𝐑𝐞 𝐬𝐞𝐫𝐒𝐞𝐬 γ€ˆπ›π¨π¨π€ 1〉 π‘Άπ’‘π’‘π’π’”π’Šπ’•π’†π’” 𝒂𝒓𝒆 𝒇𝒂𝒕𝒆𝒅 𝒕𝒐 𝒂𝒕𝒕𝒓𝒂𝒄𝒕 ✰|| 𝑺𝒕𝒆𝒍𝒍𝒂 𝑴�...