Dreamer

By jennyaqilaaa

2.2K 153 20

Sebenarnya dia hanya punya satu mimpi, yaitu sebuah keluarga. Keluarga yang hangat. Jenny Evelyn April 2020 More

Prolog

Chapter 1

1K 80 9
By jennyaqilaaa

"Ayah, sepak bola itu keren. Tapi kenapa aku enggak bisa sejago Ayah? Aku ingin seperti Ayah."

Saat itu Ayahnya hanya tersenyum, "kamu enggak harus kayak Ayah. Lakukanlah apa saja yang kamu suka. Yang penting bagi Ayah, adalah senyum dan tawa kalian, anak-anak Ayah."

***

Pagi itu datang begitu cepat. Rasanya baru tadi dia bisa lelap dalam mimpi, tapi sinar matahari yang menyeruak melalui jendela kamarnya, mau tak mau menarik kembali kesadarannya.

Sedikit menguap, Ryo menuruni tangga dengan hati-hati. Tak mau ambil resiko jatuh lalu berguling ke bawah. Remaja enam belas tahun itu sudah rapi dengan setelan kemeja putih dan celana sekaligus almamater berwarna abu-abu khas sekolahnya.

Di bahu kirinya tersampir tas ransel hitam yang selalu dia pakai, sementara tangan kirinya sibuk mengutak-atik ponsel. Melihat siapa tahu ada chat dari grub kelas atau teman-temannya.

Suara gedebuk lantai yang keras dan cepat menyentuh pendengaran Ryo. Membuat dia berhenti di dua anak tangga terakhir lantas menoleh ke atas. Ryo tersenyum melihat kakaknya terburu-buru menuruni anak tangga sambil menyimpul dasinya.

"Kak Iv-"

Ucapan itu terhenti, saat hanya angin yang terasa melewati tubuhnya. Dingin, tanpa sepatah katapun, bahkan dia tak sudi sedikit meliriknya.

Senyum Ryo mengendur. Menatap punggung kakak termudanya yang mulai mengecil. Ryo sedikit tersentak saat merasakan getaran dari ponsel yang digenggamnya. Melirik siapa pemanggil, dia Yori, sahabatnya yang entah kebetulan atau bagaimana rumah mereka ternyata satu kompleks.

"Ya?"

"Lo udah berangkat? Gue depan rumah lo nih. Berangkat bareng yuk."

"Belum."

"Yaudah buru keluar, gue tunggu."

Yori sudah memutus teleponnya, sebelum Ryo sempat membalas lagi. Remaja itu menghela napas pelan. Menyemangati dirinya sendiri.

Hari baru mulai, dia tidak mungkin seharian jadi galau karena perihal kakaknya itu.

Saat tiba di depan, Ryo melihat Yori sedang menunggunya. Remaja laki-laki yang lebih pendek darinya itu dengan santai bersandar di gerbang rumahnya. Sebuah earphone melekat di telinganya, meski Ryo yakin tidak ada lagu yang terputar.

Yori selalu melakukan itu, katanya sudah menjadi kebiasan sejak dulu. Alasan sebenarnya sih, untuk menghindari orang-orang yang mau mengajaknya bicara, tapi Yori tidak mau.

"Lo gak papa?" Yori berkata, saat Ryo mendekat. Ryo diam, hingga Yori melanjutkan lagi kalimatnya. "Gue tadi papasan sama kakak lo."

"Ryo-"

Ryo menoleh. Tersenyum saat melihat Yori jadi tak dapat meneruskan ucapannya. Dia mengusak rambut Yori pelan.

Bagi Ryo, meski mereka seumuran, Yori sudah seperti adik untuknya. Di antara tiga bersaudara, Ryo lah yang termuda. Dia senang bisa menemukan sosok adik dalam diri Yori.

"Gue gak suka lihat lo kayak gini." Yori membuang mukanya ke arah lain. Tak ingin Ryo menyadari kalau dia khawatir, meski sebenarnya Ryo sangat tahu itu.

"Gue gak papa, dan akan selalu, gue gak akan pernah nyerah."

"Dasar Ryo bego!"

Ryo tak menanggapi, dia hanya mengangkat bahu dan melanjutkan langkahnya.

***

Air mukanya sama sekali tak berubah sejak tadi. Pandangan lekat yang terkesan tajam itu mengarah pada remaja laki-laki yang sedang menggiring bola kakinya ke gawang.

"Lo lagi lihatin apaan, Van? Anak-anak ekskul bola?"

Dia, pemuda bernama Reivan Dimas Erdiansyah itu sedikit menolehkan kepalanya, meski sama sekali tak melunakkan ekspresinya. Menghela napas pelan, Ivan sekali lagi melihat ke arah lapangan.

Tanpa di duganya, seseorang yang sejak tadi diperhatikannya, sekarang balas menatapnya. Sembari memberikan senyumnya. Ivan berdecak, malas, jengah dan agaknya benci.

Pemuda itu membuang muka, lantas melanjutkan langkahnya, "ayo balik ke ruang Osis," katanya final. Tak ingin ada bantahan dari wakilnya itu.

Sementara itu, Ryo mendesah kecil melihat kakaknya pergi. Senyumnya perlahan memudar.

"RYO! Bolanya!"

Ryo tersentak, menoleh untuk mendapati bola sudah berada di tim lawan. Ryo meringis karena Danang menatapnya sebal, "sorry."

Ryo sebisa mungkin berusaha kembali fokus pada latihannya.

Tanpa dia tahu, untuk sesaat, Ivan sempat menoleh kembali ke arahnya. Pandangan pemuda itu sedikit melunak. Melihat semangat Ryo, dia seakan ayahnya dalam diri adiknya.

Ivan ingat, saat itu dia baru berusia 13 tahun, setiap sore sepulangnya bekerja, ayah selalu mengajaknya bermain bola. Meski Ivan tak pernah menang karena memang dia tidak benar benar bisa menguasai tentang sepak bola. Tapi dia benar-benar merasa bahagia, karena ayahnya sangat menyukai olahraga itu.

"Kenapa harus lo yang sangat mirip sama Ayah? Kenapa bukan gue?"

***

"Ah, kita jadi kalah, selisih satu point doang lagi. Lo sih, pake acara ngelamun segala."

Danang masih misuh-misuh karena tim mereka kalah saat latih tanding, sebenarnya hanya latihan ekskul biasa yang rutin dilakukan setiap pulang sekolah. Tapi kalau saja tadi Ryo enggak secara tiba-tiba berhenti menggiring bola dan malah senyum-senyum enggak jelas, mereka kan bisa menang. Yang bikin nyesal tuh, ya cuma karena selisih satu point itu.

"Sorry deh."

Danang menghela napas. Ya sudahlah, mau bagaimana lagi, toh waktu kan tidak bisa diputar. "Lagian lo ngapain sih malah senyum-senyum sama kakak kelas tadi. Kenalan lo?"

"Bisa dibilang gitu."

"Tapi kok dia kayak cuek aja. Mukanya nyeremin. Gue lihat tadi dia melotot gitu sih."

Ryo tersenyum kecil. Sementara Yori yang sejak tadi hanya mendengar percakapan dua sahabatnya itu, menatap Ryo lirih. Dari cerita Danang, dia tahu dan yakin sekali siapa kakak kelas yang dimaksud.

Saat ini mereka bertiga sedang berjalan menuju halte dekat sekolah. Karena Ryo, Yori dan Danang yang baru kelas 1 SMA, mereka belum boleh membawa kendaraan sendiri. Lagipula umur mereka belum cukup untuk bikin Surat Ijin Mengemudi. Jadi setiap hari mereka selalu naik bus atau angkutan umum.

Berbeda dengan Ryo dan Danang yang nyaris setiap hari latihan sepak bola, Yori yang masuk ekstrakulikuler berbeda, dia hanya pertemuan setiap hari Rabu saja. Tetapi Yori tetap saja selalu pulang sore setiap harinya demi menunggu Ryo dan Danang, entah dia akan menunggu di kantin atau perpustakaan sekali-kali.

Baru saat sudah selesai latihan, Ryo dan Danang yang kelimpungan mencari Yori. Ya masalahnya, anak itu kalau menunggu mereka suka ganti-ganti tempat. Mana letak perpustakaan dan kantin itu berlawanan arah.

Selama beberapa saat hanya terdengar suara langkah kaki mereka. Ryo mendongak, melihat langit yang mulai berwarna jingga. Matahari sudah akan tenggelam sebentar lagi. Menghela sesaat, sampai sebuah senyum kecil mengembang di bibirnya.

Semua itu, masih tak luput dari penglihatan Yori. Remaja itu segera mengalihkan pandangannya ke bawah, ke arah sepatunya. Kedua tangannya tanpa sadar mengepal.

"Seberapa besar hati lo sebenarnya, Ryo? Kenapa lo enggak nangis kalau memang sesakit itu rasanya?"

"Gue enggak apa-apa." Yori mendongak, merasakan sentuhan di kepalanya. Ryo tersenyum lebar padanya. Setelah sadar ternyata mereka sudah sampai di halte.

Danang juga sudah menghilang, mungkin dia sudah mendapat pergi saat Yori melamun tadi. Rumah Danang memang berbeda jalur dengan mereka.

"Lihat, justru gue yang seharusnya bisa hibur lo, malah jauh lebih lemah. Gue enggak sekuat lo, Ryo."

Yori melihat Ryo melambaikan tangannya saat bus mereka datang.

"Maaf, Ryo," gumamnya lemah. Namun suaranya terlalu kecil atau ramainya suasana dalam bus sore itu, Ryo mungkin tak mendengarnya. "Maaf belum bisa jadi sahabat yang berguna buat lo."

To Be Continue

Moga kalian suka sama chapter 1 ini yaa 😄😄😄 Jangan lupa responnya, terutama saran dan komentar yang bisa membangun hehe

Bonus fotonya

(Danang, Ryo, Yori)

(Kak Ivan)

Sampai ketemu di next chapter 😊

Jenny Evelyn
11 April 2020

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 122K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.6M 309K 34
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
855K 64.6K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
2.6M 268K 63
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?