[KS #3] The Untold Stories of...

By Fionna_yona

77.4K 5.3K 569

Hanya one shoot story dari beberapa tokoh dalam Kanzpia Series yang belum pernah di ceritakan di lapak-lapak... More

Wajib Baca!
1. Belongs To You (JeaLe-JeannaLean)
2. Mon Chéri part 1/2 (NaThea-NathanElethea)
3. Mon Chéri part 2/2 (NaThea-Nathan Elethea)
4. Happier (1/2) (GaRon-Gabriella Aaron)
5. Happier (2/2) (GaRon-Gabriella-Aaron)
6. Stuck In The Moment With You(GaRon)
7. Don't You Ever Leave(GaRon)
8. Hallucinations (ReLlyn - Ren Kellyn)
9. Punishment For Ren (ReLlyn)
10. The Hidden Truth(ReLlyn)
11. The Fallen Angel (ReLlyn)
12. Apologize and Forgiveness (ReLlyn)
13. Christopher Leonel Aragon Victor (ReLlyn)
14. Pretend To Forget #1 (ArAna - AresAna)
15. You're The Reason
16. Story About Koflain Family #1
17. Story About Koflain Family #2
18. Story About Koflain Family #3
20. The Maxime's Stories #1
21. The Maxime's Stories #2
22. The Maxime's Stories #3
23. The Maxime's Stories #4
24. The Maxime's Stories #5
25. The Maxime's Stories #6 (End)
26. The Weak Side Of Ares (ArAna - Ares Kanaya)
27. Samuel & Ares (Samuel's Regrets)
28. Can't Go (ArAna)
29. The Prince Of Dimitry
30. ArAna's Story
31. The Trophy Wife
32. Ardlan Family's Story #1
33. Ardlan Family's Stories #2
34. Ardlan Family's Story #3
35. Ardlan's Family Story #4
36. Ardlan Family's Story #5
37. Ardlan Family's Stories #6 (End)
38. Xander's Lil' Princess
39. Gave Up
40. RexIen
41. Truth
42. ReTrice
43. Baby Boy - Part 1
44. Baby Boy - Part 2
45. Baby Boy - Part 3 (End)

19. Story About Koflain Family #4 (End)

1.9K 135 24
By Fionna_yona

"Ava!"

Panggilan itu menghentikan kaki Lean yang sedang berlari. Sejak demamnya turun seminggu lalu, Lean sering melarikan diri dari ayahnya. Dia tidak mau mengganti perban di badannya. Rasanya masih menyakitkan bagi Lean.

"Sini, jagoan..."

"No!" Lean berlari dan begitu melihat badan ibunya, Lean langsung menubruk badan ibunya dan bersembunyi di balik badan ibunya.

"Kenapa?"

"Daddy tuh mom..."

"Kenapa daddy?"

Lean diam saja. Dia sengaja memeluk erat pinggang ibunya yang sedang menata bunga di vas yang ada di ruang makan.

"Ava..." panggilan itu membuat Lean semakin mengeratkan pelukannya.

Alisa terkekeh saat melihat suaminya membawa perban dan juga kapas. Dia tahu putranya melarikan diri dari sesi ganti perban.

"Ava... kalau tidak diganti nanti lukanya tidak sembuh-sembuh," ujar Alisa.

Lean tetap memeluk pinggang ibunya.

"Mommy..." rengeknya.

"Katanya mau ikut tanding basket. Kalau begini mana bisa ikut," ujar Alisa.

Theodore seperti mendapat ide.

"Ava tidak mau ganti perbannya?"

Lean mengintip dari balik bahu ibunya. Tinggi Lean memang sudah mencapai 160 cm walau dia masih kelas 4 sekolah dasar.

"Ya sudah. Daddy telepon teman-temanmu saja. Daddy bilang kamu tidak ikut tanding basketnya,"

Saat Theodore berbalik, gantian kini Lean yang panik. Dia langsung berlari ke arah ayahnya. Menggelayuti lengan ayahnya agar sang ayah tidak menelepon temannya. Peduli setan dengan dia seperti anak manja. Masa depan pertandingan basketnya sedang dipertaruhkan disini.

"Jangan daddy!" Rengek Lean.

"Habis, lukamu itu belum sembuh. Lebih baik kamu absen saja di pertandingan kali ini,"

"No! Daddy... Ava mau ikut tanding.."

"Lukamu itu belum sembuh Ava,"

"Pokoknya Ava mau ikut tanding..."

"Ya sudah, ganti perbannya dulu..."

Terpaksa, Lean mengikuti ayahnya. Dia duduk di atas ranjang besarnya dan mencengkran bantal besar miliknya kuat-kuat. Lukanya memang masih menyakitkan. Terlebih dengan segala alkohol untuk mensterilkan lukanya. Semakin sakit saja luka-lukanya itu.

"Ava..."

"Hmm?"

"Daddy minta maaf,"

"Bukan daddy yang bikin Ava seperti ini," ujar Lean.

Theodore semakin bersalah saja pada putranya. Putranya sangat baik. Theodore membalut luka itu dengan perban baru dan dia membantu Lean memakai pakaiannya.

"Daddy,"

"Hm?"

"Kenapa daddy dan mommy dulu suka bertengkar?"

"Itu... daddy..."

Lean menatap ayahnya dan akhirnya diam saja. Dia memilih menyalakan televisi di kamarnya dan menyalakan mesin game miliknya. Dia mengambil alat console dan memberikan satu pada sang ayah.

"Temani Ava main, dad. Ava bosan main sendirian,"

"Tugas rumahmu?"

"Sudah selesai. Bahkan sudah Ava kirim ke gurunya,"

Theodore mengangguk. Dia menemani Lean bermain sampai lupa kalau waktu makan malam sudah lewat. Alisa berdiri di pintu kamar putranya dan melihat ayah dan anak itu sedang bermain bersama.

"Kalian tidak mau makan?"

Mendengar nada suara Alisa, Lean dan Theodore terkejut. Mereka langsung meletakan remote console di tangan mereka dan lari ke arah Alisa.

"Ini Ava dan daddy mau turun, mom. Mommy sudah makan?"

"Menurut kalian?"

Lean hanya tersenyum. Dia langsung menggandeng tangan ibunya untuk berjalan turun bersamanya. Tak lama, tangan ayahnya bertengger manis di bahunya. Mereka bertiga turun ke ruang makan. Bahkan saat makan, mereka sesekali terkekeh dan berbincang kecil. Lean melihat ayahnya beberapa kali melirik arlojinya. Lean bukannya tidak tahu kalau ayahnya ada janji dengan Rayzen.

"Daddy,"

"Hm?"

"Kalau daddy ada janji sebaiknya daddy segera berangkat,"

Alisa menoleh menatap ke arah Theodore. Theodore sendiri hanya tertegun mendengar ucapan putranya.

"Ava dan mommy bisa menghabiskan waktu bersama," ujar Lean.

"Menghabiskan waktu bersama?"

Lean mengangguk.

"Kita nonton film yang kemarin itu yuk mom..." ajak Lean.

Seketika mata Alisa berbinar.

"Ayo! Mommy sudah penasaran,"

Theodore melihat Alisa segera menghampiri Lean dan mengajak Lean beranjak dari ruang makan. Theodore jadi merasa seperti ditinggal. Akhirnya dia pamit pada istri dan anaknya lalu, dia berangkat ke salah satu club hiburan. Sedang Ava kini sibuk bermanja pada sang ibu.

"Mom,"

"Ya, sayang?"

"Kenapa mom mudah sekali memaafkan daddy?"

"Daddy menjelaskan semuanya saat mommy dirawat,"

"Mommy percaya?"

"Awalnya tidak. Tapi, esoknya, saat ayahmu mencarimu. Ada seorang perempuan datang ke rumah,"

"Siapa?"

"Teman ayahmu,"

Alisa mengingat kembali perempuan yang kira-kira baru berusia dua puluh lima tahunan itu. Saat perempuan itu datang, Alisa baru saja kembali ke rumah dan sedang berada di kamar Lean.

"Nyonya,"

"Ya, ada apa?"

"Ada yang mencari anda,"

Alisa turun. Dia segera menuju ruang tamu mansionnya. Disana seorang perempuan yang lumayan modis tengah duduk bersama anak perempuannya.

'Jangan bilang, ini salah satu selingkuhan Theo dan itu anak mereka!?' Batin Alisa.

"Nyonya?" Panggil perempuan itu membuyarkan pemikiran Alisa tentang pisah dari Theodore jika anak perempuan di depannya memang anak dia dengan selingkuhannya.

"Ada apa kesini?"

"Saya mencari anda nyonya,"

"Untuk?"

"Untuk berterima kasih,"

"Maksudmu?"

"Kejadiannya enam tahun lalu. Saya saat itu hampir dijadikan alat pembayar hutang boleh keluarga saya. Kebetulan saat keluarga saya membawa saya ke klub, tuan Ben ada disana. Dia membayar saya lebih besar dari hutang keluarga saya pada pria hidung belang,"

"Kau menjadi teman bermalamnya?"

Perempuan itu mengangguk. Mata Alisa menatap anak perempuan yang cantik itu. Tidak mirip dengan Theodore tapi, tidak menutup kemungkinan kalau itu bukan anak Theodore.

"Anak ini anak saya dengan suami saya, nyonya," ujar perempuan itu saat dia mengetahui Alisa menatap ke arah putrinya terus.

"Oh,"

"Lagi pula, bermalam yang saya dan tuan Ben maksud pasti berbeda dengan yang anda maksud dan orang awam maksud,"

Mata Alisa menatap heran. Perempuan itu terkekeh.

"Malam itu setelah tuan Ben membantu saya. Beliau membawa saya pergi dari klub. Beliau membawa saya ke hotel memang dan bermalam di satu kamar yang sama. Tapi, kamar itu kamar Family Presidential. Jelas ada dua kamar di dalam kamar itu dan saya hanya disuruh menemani dia minum minuman beralkohol sampai dia bosan. Atau terkadang sampai pekerjaannya selesai,"

"Atau?"

Perempuan itu mengangguk.

"Tuan Ben hanya bersama sedikit perempuan. Paling banyam 7 orang. Salah satunya saya. Tuan Ben sering menghubungi saya, meminta saya menemaninya untuk bergadang dan tugas saya hanya menuangkan beliau minuman dan memesankan yang baru jika minumannya habis. Saya yakin enam orang perempuan yang lainnya juga akan diperlakukan sama. Tapi, beda ceritanya dengan perempuan yang bernama Natania. Saya tidak tahu apa tuan sudah cerita tentang ini pada anda atau belum,"

"Apa?"

"Nona Natania menjebak tuan Ben hingga beliau terpaksa ummm..." perempuan itu nampak berpikir lama untuk menghaluskan kata-kata yang Alisa tahu apa.

"Umm... berbagi ranjang satu kali dan benar-benar hanya satu kali. Setelah itu tuan Ben murka dan tidak pernah datang ke tempat nona Natania lagi,"

"Dijebak? Bukankah kalau seorang pria dan wanita berada di satu ruang yang sama tidak menutup kemungkinan hal itu akan terjadi? Tanpa dijebak sekali pun,"

Perempuan itu tertawa.

"Nyonya, suami anda orang yang digilai banyak wanita. Termasuk saya yang dulu masih gadis dan kalau beliau mau, beliau bisa saja berbagi ranjang dengan siapa pun. Alih-alih demikian dia malah hanya menghabiskan malam bersama. Tuan Ben seperti hanya butuh pelayan untuk menuangkannya minuman saja. Dia kalau sudah mabuk akan langsung tidur dan dia selalu memanggil nama anda. Mungkin selain nona Natania, sisanya keburu patah hati karena setiap mabuk beliau selalu memanggil nama anda dan Ava,"

"Ava?"

"Anak anda bukan? Karena dia terkadang melindur memeluk bantal dan mengusapnya sayang sambil memanggil nama Ava atau my little Ava,"

"Ah. Anak kami,"

"Kami tidak pernah tahu Ava itu laki-laki atau perempuan. Tuan Ben tidak pernah bilang. Jika di cari di internet pun, belum ada pemberitaan pasti. Sejak anak kalian selalu ada di dalam rumah ini. Intinya, nyonya, saya berani menjamin, tuan Ben tidak akan berbagi ranjang dengan orang lain kecuali anda dan ya.... nona Natania,"

"Apa suamiku mengatakannya padamu?"

Perempuan itu mengangguk.

"Kata beliau nona Natania memasukkan sesuatu ke red wine-nya. Tuan jadi tidak sadarkan diri dan saat bangun sudah totaly naked dengan nona Natania di sebelahnya. Tuan melihat cctv dan dia tahu nona Natania melakukan semuanya sendiri saat beliau tidak sadarkan diri,"

"Oh, nyonya bisa melihat cctv hotel jika nyonya tidak percaya,"

"Hah? Berapa banyak hotel yang haru aku lihat cctv-nya kalau begitu?"

Perempuan itu tertawa lagi.

"Tuan hanya pergi ke hotel yang sama. Sebab, resepsionis dan pemilik hotel mengatakan "pelayan baru lagi, tuan?" saat pertama tuan datang dengan saya,"

Perempuan itu kemudian berdiri.

"Saya yakin, anak anda akan ditemukan. Saya permisi, nyonya,"

"Eh... tunggu,"

Perempuan itu berbalik.

"Darimana kamu tahu?"

"Tuan Ben baru saja mengunjungi saya dan suami saya. Beliau memeriksa semua rumah saya. Saya pikir dia pasti mencari seseorang. Berhubung nyonya ada disini dan baik-baik saja, maka tuan pasti mencari Ava,"

"Siapa namamu?"

"Elia,"

"Datang dan berkunjunglah lain kali, Elia,"

"Baik nyonya, saya permisi,"

.....

"Mom... mommy..."

"Hah?"

"Filmnya sudah selesai. Ayo tidur!" Ajak Lean.

Alisa mengangguk. Dia membawa Lean ke kamar anak itu dan menepuk punggung tangannya dengan perlahan, menyenandungkan lullaby agar putranya terlelap. Walau putranya protes karena disamakan dengan balita tapi, putranya terlelap lebih cepat.

"Natania, dia yang menculik dan menyiksa putraku. Entah apa yang Theo lakukan padanya," gumam Alisa.

.............

Sky School, Vicel City, Central Kanzpia, Kanzpia. A month later,

"Siapa yang datang?" Tanya Daverick.

"Hanya mommy dan adikku," ujar Rio.

"Aku yang datang uncle dan aunty," ujar Nathan.

"Hanya mommy... itu pun mommy tidak janji karena mau menemani daddy," ujar Ren.

"Le, siapa yang datang?" Tanya Daverick.

Lean menggindikkan bahunya. Seingatnya ibu dan ayahnya sedang keluar kota.

"Ah, sudahlah! Lebih baik kita fokus ke pertandingan saja!"

Daverick mengangguk. Toh dia juga tidak yakin orangtua-nya akan datang. Pertandingan dimulai. Kelima anak itu turun dan tidak satu pun dari mereka duduk di bangku cadangan.

"Le, lukamu itu," tanya Nathan.

"Aman, sudah tiga per empat kering," ujar Lean.

Lean dan teman-temannya memainkan bola basket itu dengan apik. Hanya butuh waktu setengah pertandingan dan skor mereka sudah meninggalkan lawan. Masing-masing dari mereka memang bisa dan ahli dalam melempar bola dari kotak three point. Jadi, jika ada kesempatan mereka akan melakukan lemparan dari kotak three point.

Lean sedikit mengernyit saat punggungnya terasa sedikit sakit. Namun, semangat memenangkan pertandingan membuat dia lupa dengan sakit di punggungnya dan terus berlari. Keringat sudah membasahi badan mereka. Lemparan terakhir diberikan Daverick padanya. Lean terpaksa harus memasukkannya ke ring, dia yang paling dekat. Alhasil dia pun berusaha menghindari lawannya dan memasukkan bola dari sisi sebelah kanan ring. Tidak besar sih pointnya, tapi lumayan lah, untuk menggenapi point mereka yang memang sudah menang.

"Yes!" Ren bersorak saat melihat papan skor.

Para pelatih dan pemain cadangan semuanya nampak bahagia. Memang team basket di Sky Elementary School seperti tidak butuh pemain cadangan. Keberadaan mereka berlima saja sudah cukup untuk membuat nama Sky semakin terkenal.

"Tuan muda," Lean menoleh saat dia sedang mengganti pakaiannya.

Dia mengangguk dan membiarkan pengawalnya membantunya menukar perban dengan yang baru seusai Lean mandi di ruang ganti. Rasa perih masih dia rasakan.

"Tuan besar, berpesan pada saya agar Tuan muda langsung pulang,"

"Kenapa?"

"Tuan mau membuat acara,"

"Oh... okey,"

Lean menenteng ranselnya di sisi sebelah kiri dan saat itu Daverick juga teman-temannya yang lain berlari mendahuluinya.

"Kami disuruh pulang. Katanya ada acara,"

Lean mengangguk. Dia juga disuruh sih. Lean bergegas pulang. Butuh waktu setengah jam baginya untuk sampai di mansionnya. Lean yang pulang langsung disambut oleh pelayan di rumahnya. Dia juga langsung dibawa ke kamar dan menukar pakaiannya dengan pakaian yang sudah disediakan. Menyebalkan memang, mengingat dia harus memakai suit dan bross lambang keluarganya.

"Nanny,"

"Ya tuan muda,"

"Ini bukan acara kecil ya?"

"Bukan tuan muda. Anda diminta ke mansion utama di Etra,"

Lean menghela kecil. Dia tidak mau pergi. Jika pergi ke mansion utama itu artinya acaranya akan sangat besar dan dia pasti akan dipaksa bangun sampai acara selesai. Masalahnya Lean sedang lelah.

"Tuan muda?"

"Aku mandi saja lagi lah nanny, biar tidak mengantuk," ujar Lean.

Kepala pelayan itu mengangguk. Dia membiarkan Lean membersihkan diri lalu, setelahnya, dia membantu Lean berpakaian dan segera bersiap kembali. Lean memakai kemeja putihnya, celana bahan, lalu dasi, rompi, jas, dan atribut berupa bross lambang keluarganya yang disambungkan dengan rantai perak dari sisi kiri rompi keluar sebelah kanan jas milik Lean, sampai pantofel hitamnya yang mengkilap.

Rambut Lean juga dirapikan dengan sangat rapi. Lean memakai arlojinya dan segera berangkat. Dilihat dari bagaimana berkarismanya Lean saat ini, mungkin orang-orang akan lupa kalau dia hanya anak berusia sepuluh tahun. Lean berangkat ke Etra dengan helikopternya. Itu pun dia harus menunggu beberapa saat di udara akibat beberapa orang juga datang dengan Helikopter.

"Paman,"

"Ya, tuan muda,"

"Turunkan tangga talinya. Lalu, paman rendahkan sedikit saja helikopternya,"

"Tapi, tuan muda,"

"Daddy marah kalau aku terlambat,"

Pilot helikopter itu mengangguk kecil. Dia melaporkan dulu hal ini pada para penjaga di bawah. Setelah itu dia melakukan apa yang Lean minta. Lean turun dan menapakkan kaki di halaman rumah kakeknya. Beberapa pengawal langsung menyambutnya.

"Tuan muda,"

"Ssstt... berisik. Dimana ibu dan ayahku?"

"Ada di ruang pesta tuan muda,"

Lean mengangguk. Inilah yang dia kesalkan jika pulang ke Etra. Rumah di Etra tidak bisa dibilang rumah atau Mansion. Rumah itu adalah kastil. Walau tidak sebesar kastil utama di Vicel, tetap saja tempat kakeknya tinggal adalah kastil. Rumah bagi Duke of Etra adalah kastil.

Lean kesal. Sejak dia masuk, banyak mata menatap ke arahnya. Membuat dia malas untuk berada di sana. Namun, matanya melihat tangan dari orang yang dia kenal tengah melambai padanya. Teman-temannya.

"Kalian kesini juga toh..." ujar Lean.

"Kami juga baru tahu," ujar Daverick.

Sama seperti Lean, teman-temannya pun memakai lambang keluarga mereka di jas yang mereka pakai.

"Young master from Etra, eh?" Ejek Daverick.

"Diam kau! Kau pun sama, The Next Duke of Zetria," sindir Lean.

"Ish! Ren juga tuh!" Ujar Daverick lagi.

"Than, kamu mengganti lambang keluargamu?" Tanya Ren.

Nathan mengangguk.

"Aku sekarang, kan jadi anak uncle Jonathan,"

"Oh..."

"Uncle dan aunty orangtua-ku. Kalau mommy itu adalah orangtua angkatku,"

"Pantas mereka semena-mena memperlakukanmu," ujar Lean.

"Jadi, Grand duke of Marvinia?" Goda Ren.

"Itu pangkat kakekku tahu!" Ujar Nathan kesal.

"Eh, Rio mana?"

"Entah. Calon Grand Duke of Kanzpia malah tidak muncul,"

Tak lama kepala Nathan terketuk sesuatu membuat Nathan meringis.

"Grand Duke of Kanzpia itu gelar kakekku. Lagi pula itu akan jadi milik Aaron nanti," ujar Rio sambil merapikan jasnya yang sedikit kusut.

"Benar juga," ujar Daverick.

Daverick melihat bross milik teman-temannya. Masing-masing dari mereka memiliki lambang keluarga yang unik. Lambang keluarga Ardlan adalah kepala serigala dengan pedang yang menyilang di depannya. Sedangkan, keluarga Koflain memiliki lambang tiga buah pedang, dua saling menyilang dan satu berdiri di tengah-tengah.

Milik keluarga Maxime berupa sayap elang dan kepala Singa. Milik keluarga Victor adalah ular yang melilit sebuah pedang ditambah sepasang sayap di belakang ular dan pedang itu. Yang paling spesial adalah milik keluarga Dimitry. Warnanya hitam, ada sebelah sayap berwarna hitam di sisi kiri, sebuah pedang, perisai dan bulan sabit. Masing-masing dari lambang itu membawa arti tersendiri.

"Sudah ya, aku mau ke tempat mommy lagi. Kalian tahu, kan ayahku melarangku untuk tersorot kamera. Berada di dekat kalian bisa membuatku tersorot kamera," ujar Rio sambil berlalu tanpa mendengar jawaban teman-temannya.

"Keluarga Rio itu identik dengan hitam, ya?" Tanya Nathan.

Daverick mengangguk.

"Dia kebalikan dari keluarga Klienschmidt, keluarga kerajaan Kanzpia cenderung memakai warna terang, silver atau gold. Lambangnya saja matahari dengan sebuah buku ditengah matahari itu, lalu dua pedang yang ada di belakangnya, dan terakhir sayap di kanan yang berwarna putih," ujar Daverick.

"Kalau tidak salah, sayap itu adalah pasangan dari sayap di lambang keluarga Dimitry, kan? Itu menjadi seperti bukti kalau ikatan Klienschmidt dan Dimitry erat walau tanpa ikatan darah," ujar Lean menambahkan.

Lean dipanggil oleh pelayan dia kastil itu. Dia segera beranjak. Siapa sangka, pesta ini adalah pesta pengenalan dirinya sebagai generasi ke tujuh belas dari keluarga Koflain. Dia yang akan membawa tugas keluarga Koflain nanti. Lean berdiri di tengah-tengah ayah dan ibunya. Untuk sejenak, Lean diajak berbaur bersama para menteri. Saat ada yang mengusiknya, Theodore nomor satu melindunginya.

Seperti sekarang contohnya. Saat ada menteri yang berusaha mendekati Lean untuk menanyakan tentang seluk beluk keluarga Dimitry atau lebih tepatnya menanyakan tentang Rio dan Lean tidak mau menjawab, menteri itu terus mencecarnya. Lean sampai ingin pergi dari sana. Namun, tangan Lean dicekal oleh pria itu dan membuatnya meringis. Luka bekas ikatan tali di pergelangan tangannya belum sembuh sepenuhnya.

Plak!

"Atas perintah siapa kau menyentuh putraku?" Tanya Theodore dengan nada yang sangat menyeramkan. Lean langsung bersembunyi di balik badan tinggi ayahnya.

"Saya anggap apa yang anda lakukan hari ini sebagai kesalahpahaman. Jika anda melakukannya lagi lain kali, saya pastikan anda akan menanggung akibatnya berkali-kali lipat," ujar Theodore.

"My lord, saya hanya bertanya pada young master,"

"Atas perintah siapa?"

"Itu..."

"Varlean Rovert Koflain adalah putraku, cucu dari Duke Benedict Koflain, berani kau menyentuh dan mengusiknya, bukan hanya duke dome Etra tapi, aku sendiri yang akan mengirimmu ke neraka!" Ancam Theodore.

Theodore mengajak Lean menjauh. Lean langsung memeluk Alisa saat dia melihat ibunya. Alisa menatap suaminya dan Theodore hanya menggeleng kecil.

"Ava lelah?"

Anak itu mengangguk.

"Ava sudah minum obat tadi?"

"Sudah,"

"Ya sudah, Ava istirahat saja di kamar," ujar Alisa.

"Sama mommy," rengek anak itu.

"Ava..."

Lean mengeratkan pelukannya. Alisa akhirnya pamit bersama dengan Lean. Dia keluar dari ruang pesta. Theodore melihat itu dan menyusul anak serta istrinya.

"Ava kenapa sayang?" Tanya Alisa saat mereka sampai di lantai dua kastil. Tempat yang lebih khusus untuk penghuni kastil saja.

Lean menggeleng.

"Ava," panggilan dari suara berat itu membuat Lean menoleh.

Ayahnya sudah ada disana dengan seragam khas keluarga bangsawan.

"Kenapa, nak?" Tanya Theodore.

Lean diam saja. Theodore baru ingat, menteri itu tadi mencengkram tangan Lean. Theodore langsung menggenggam tangan kiri Lean, dan mengangkatnya. Dia menarik naik lengan jas Lean dan melihat kemeja putih Lean sudah sedikit ternoda oleh darah.

"Sakit sekali?" Tanya Theodore.

Lean mengangguk. Theodore membawa Lean ke kamar anak itu. Dia dan Alisa menemani Lean dan mengobati pergelangan tangan Lean.

"Oh iya, daddy lupa," ujar Theodore membuat Lean menatap kedua orang tuanya dengan heran.

"Selamat atas kemenanganmu, jagoan," ujar Theodore sambil mengecup puncak kepala Lean.

Alisa memeluk Lean dengan lembut dan mencium kening juga pipi lean.

"Anak mommy hebat sekali tadi mainnya,"

Mendengar ucapan Alisa dan Theodore, Lean langsung saja bertanya.

"Daddy dan mommy tadi datang?"

Kedua orang tua itu mengangguk.

"Kenapa Ava tidak tahu?"

"Kami datang tepat saat pertandingan baru dimulai. Jelas kamu tidak memperhatikan kami,"

Lean langsung menarik kedua orang tuanya dan memeluk mereka erat.

"Terima kasih sudah datang, mom, dad..."

Theodore mengusap rambut Lean sementara Alisa mencium keningnya dengan lembut.

"Tentu saja kami akan datang. Pertandingan apapun yang kamu ikuti, juga pembagian rapormu nanti. Kami akan datang,"

"Sekarang ganti baju dan tidurlah, daddy dan mommy temani," ujar Theodore.

Lean dengan cepat menukar pakaiannya. Dia bergegas naik ke atas ranjang dan memejamkan matanya.

"Varlean Rovert Koflain, putra kebanggaan daddy. Ava kecil daddy," ujar Theodore sebelum mencium puncak kepala Lean.

"Mimpi indah, my little Ava," ujarnya.

"Mimpi indah, pangeran kecil mommy," ujar Alisa sambil mencium pipi Lean.

Lean perlahan menutup matanya dan terlelap. Theodore melihat itu dan bersyukur dia masih diberikan kesempatan menebus kesalahannya pada istri dan anaknya. Dia tidak bisa membayangkan jika apa yang terjadi pada Rio anak Ares terjadi pada Lean. Dapat dipastikan Theodore akan gila begitu pula Alisa. Bisa dibilang, alasan Alisa menerima Theodore tadi nya adalah karena Lean. Tapi, setelah tahu kebenarannya, Alisa menerima Theodore sepenuhnya. Mereka berusaha untuk membuat keluarga mereka kuat dan harmonis. Bukan untuk siapapun tapi, untuk mereka sendiri.

Fin

................

Note:

Jebol 3137 word guys...

Next mau siapa?

ArAna (Ares-Kanaya) cerita tentang pas Kanaya hamil Rio yang nanti bisa disambung ke Spin-off  We're Married Aren't  We

Atau

Langsung ke Nathanael Jordan Armand Maxime?

Silahkan dipilih,

Stay save and healthy, guys. Jangan berpergian klo nggak perlu!

See you soon guys,

Ttd.

Fionna_yona

Pinggiran Jakbar, March 29th 2020

Continue Reading

You'll Also Like

320K 9.5K 64
Cerita Pendek Tanggal update tidak menentu seperti cerita yang lainnya. Berbagai tema dan juga kategori cerita akan masuk menjadi satu di dalamnya.
808K 23.3K 63
WARNING⚠⚠ AREA FUTA DAN SHANI DOM YANG NGGAK SUKA SKIP 21+ HANYA FIKSI JANGAN DI BAWA KE REAL LIFE MOHON KERJASAMANYA. INI ONESHOOT ATAU TWOSHOOT YA...
28.9K 3.2K 18
DOSA TANGGUNG SENDIRI!!! CERITA INI HANYA FIKTIF TIDAK ADA SANGKUT PAUT NYA DENGAN CERITA ASLI. Area B×B & G×G & B×G!!! Berbijaklah dalam memilih bac...