More Than Frenemy

By pinkishdelight

1.6M 290K 146K

[Frenemy vol. 2] "I still hate you. But I like you. I just do." More

read me please!
intro and chapter 1: cheaters [2021]
chapter 2: peachdelight [2021]
chapter 3: lovebirds [2021]
chapter 4: siblings [2021]
chapter 5: anniversary [2021]
chapter 6: officially missing you [2022]
chapter 7: lights out
chapter 8: priority [2022]
chapter 9: valentine [2022]
chapter 10: support system [2022]
chapter 11: appaling [2022]
12. boyfriend material
chapter 13: parasite
chapter 14: trust issue [2022]
chapter 15: torn [2022]
chapter 16: love language [2022]
chapter 17: tense [2022]
chapter 18: birthday gift [2022]
chapter 19: fever
chapter 20: complicated [2022]
chapter 21: dead end [2022]
chapter 22: fireworks [2022]
chapter 23: let go [2022]
chapter 24: lee [2022]
chapter 26: clingy [2022]
chapter 27: honeymoon suite [2022]
chapter 28: night guest [2023]
Q n A
Mark and Liv answer your questions
chapter 29: baby peach [2023]
chapter 30: public enemy [2023]
31. pattaya
chapter 32: family [2023]
chapter 33: blank future [2023]
chapter 34: rooftop surprise [2023]
chapter 35: bruises [2023]
chapter 36: decision [2023]
chapter 37: another decision [2023]
chapter 38: sniper [2023]
chapter 39: bulletproof [2023]
chapter 40: fate
chapter 41: santorini [2023]
season 2 [mark lee pov], chapter 1: plot twist [2024]
chapter 2: reality [2024]
chapter 3: spy [2024]
chapter 4: rooftop prince [2024]
chapter 5: sleepyhead
chapter 6: villa [2024]
chapter 7: overdose [2024]
chapter 8: our home
chapter 9: dark shadow [2024]
chapter 10: her secret [2024]
chapter 11: fugitive [2024]
chapter 12: i miss you being mine
chapter 13: gone [2024]
chapter 14: brainy kim
chapter 15: bipolar [2024]
chapter 16: london sweetheart [2024]
chapter 17: the princess [2024]
chapter 18: mafia game [2024]
chapter 19: red hawk [2024]
chapter 20: the vow [2024]
chapter 21: camping ground
chapter 22: recovery [2024]
chapter 23: opera house [2023]
chapter 24: symptoms [2024]
chapter 25: backstage [2024]
chapter 26: Don
chapter 27: the devil's call
chapter 28: flu [2024]
chapter 29: unexpected [2024]
30: the wedding day [2024]
31: won byun [2024]
32. first marriage day
chapter 33: wrong energy
chapter 34: house arrest plan
chapter 35: positive
chapter 36: blessing and curse
chapter 37: without her
chapter 38: run, baby, run
chapter 39: getting close

chapter 25: graduation [2022]

25.2K 5.1K 1.9K
By pinkishdelight

Na Jaemin memang pantas dimusuhi. Gara-gara dia, aku sudah tidak punya harga diri di depan keluarga Lee. Well, bukan sepenuhnya salah Jaemin sih, Mark juga bodoh. Asal kalian tahu saja, dia waktu itu muntah darah karena keracunan setelah minum obat kuat dan tidak lama kemudian entah lupa atau bodoh, dia minum alkohol walaupun sedikit.

Mark langsung sehat lagi setelah muntah darah, cuma sedikit lemas ㅡdan malu. Bayangkan, dini hari di rumah sakit aku dan Mark diceramahi gara-gara obat kuat. Semua orang tentu saja mengira Mark minum obat sialan itu karena mau melakukan sesuatu denganku. Bahkan Papa Lee hampir membawa anaknya ke spesialis kelamin karena mengira organ reproduksi Mark bermasalah sungguhan sampai harus minum obat seperti itu.

Untung tidak lama kemudian Jaemin datang. Dia menjelaskan semua kebodohan ini, jadi aku dan Mark selamat ㅡbatal dibawa ke gereja untuk dinikahkan paksa hari itu juga. Tapi setelah itu kami bertiga dimarahi panjang lebar. Memang salahku juga sih, ditambah kebodohan duo alay Na Jaemin dan Mark Lee. Kami janji tidak akan main-main lagi dengan obat sialan itu.

Beberapa minggu berlalu, aku sudah mulai berani kuliah biasa ke kampus. Untung teman-temanku pengertian jadi tidak ada yang mengungkit kalau aku sakit mental. Mereka cuma bergurau kalau tanpa aku tingkat kejahatan di sekitar kampus jadi meningkat. Memangnya aku Spiderman?

Dan hari ini, akhirnya Alice Kim wisuda. Semua orang sepertinya setuju kalau raut wajahnya tidak tampak bahagia. Muka cemberut Alice tidak cocok dengan baju wisuda yang keren dan dua gelar sarjana sekaligus yang dia dapatkan hari ini. Aku dan Mark jadi ikut bingung. Harusnya ini kan hari bahagia untuknya, tapi sepertinya tidak.

"Gimana dong?" aku menyikut Mark.

Hening. Dia tidak merespon. Saat aku menoleh, ternyata sedang sibuk dengan ponselnya. Lagi.

"Ishㅡ Mark! Kamu denger nggak sih?" tukasku.

"Hah? Denger kok," Mark mengangkat wajah. "Apa?"

"Tuh kan!" desisku, kesal. "Tadi aku tanya, gimana nih Alice murung terus?"

"Nggak tahu. Dia kenapa sih? Menstruasi?" bisik Mark.

"Kayaknya nggak deh. Apa karena nilainya jelek? Nggak mungkin sih, pasti perfect."

"Hm... sebagai sesama cewek, coba deh kamu tebak. Apa yang bikin Alice murung?"

Sambil meneliti Alice yang masih berfoto dengan sepupu dan teman-teman kuliahnya, aku berpikir. Menurutku selama ini Alice itu sederhana, Mark versi cewek. Dia jarang marah, tidak ambil pusing pada hal-hal tidak penting, tidak suka cari masalah. Mungkin Alice tidak enak badan atau kelelahan.

"Hey," kudekati Alice saat dia akhirnya menepi dari keramaian.

"Liv," Alice tersenyum tipis. "Kenapa? Kamu mau pulang duluan?"

"Are you okay?" tanyaku.

"Of course I am. Emang kenapa?"

"Um... nggak apa-apa sih," aku bingung bagaimana bilangnya.

Mark menghampiri kami, membawa sebotol air mineral. Ia mengambil alih tumpukan buket bunga di pelukan Alice lalu memberikan botol minum.

"Minum dulu, biar nggak lemes," kata Mark.

Alice tertawa kecil. "Guys, aku nggak apa-apa."

"Yakin?" selidikku.

"Iya. Cuma kurang tidur aja jadi agak ngantuk," sahut Alice.

Aku bertukar pandang dengan Mark yang hanya mengangkat bahu. Alice kembali ke kerumunan, pada orang tuanya yang lebih sibuk berinteraksi dengan orang-orang karena anaknya murung terus. Kulihat setelah itu mereka sepertinya berdebat kecil, lalu tidak lama kemudian Alice menyeret langkah menghampiri kami. Aku makin yakin ada yang tidak beres.

"Sini, bungaku," Alice meminta buket-buketnya dari Mark.

"Habis ini mau kumpul keluarga ya kayaknya?" tanya Mark.

"Iya, tapi aku nggak ikut," kata Alice. "Aku mau pulang sendiri, mereka mau ke restoran dulu katanya."

"Loh? Aneh, kan kamu yang wisuda," ujarku. "Cheer up, Alice! What's wrong with you?"

Alice malah menghela napas. "Udah bilang kan tadi, aku ngantuk. Udah ya, aku pulang dulu, udah pesen taksi."

"Anak ini bercanda ya, ngapain naik taksi segala," kata Mark. "Nih, Liv, bawa bunga-bunganya. Biar aku yang bawa kado wisuda."

"Hey, nggak usah, aku bisa pulang sendiri," larang Alice.

Aku dan Mark tidak menggubris. Kami bawakan barang-barang Alice menuju mobil Mark di parkiran lalu langsung mengantarnya pulang. Bukannya membaik, suasana sepanjang perjalanan malah makin awkward. Alice diam dan murung terus, menatap kosong ke luar jendela.

Mark lagi-lagi sibuk dengan ponsel. Padahal tadi dia sudah main ponsel terus saat kami berangkat ke wisuda. Sampai aku kesal dan harus mengambil ponselnya yang ditaruh di selangkangan saat menyetir, lalu membuang benda itu ke jok belakang. Masa bodoh dia marah, menyetir sambil main ponsel kan bahaya.

"Karena sekarang di jok belakang ada Alice, gimana kalo handphone-nya aku buang ke luar jendela," sindirku.

Mark terkesiap. "Iya deh, galak banget. Porongjelly?"

"Bukan Porongjelly, tapi Porongdie kalo kamu nyetir sambil main handphone terus," aku rolling eyes.

"Jangan dong, nanti nggak ada yang aku gangguin. Iya kan Alice?" kata Mark, berbasa-basi.

"Eh? Oh, iya. Jangan nyetir sambil main handphone," Alice menyahut sekenanya.

"Kamu kenapa sih? Apa yang salah? Apa gara-gara Na Jaemin lagi?" tanyaku akhirnya.

Alice terkesiap. "Nggak kok. Jangan sebut nama itu lagi."

"Kamu sedih karena dia nggak datang ke wisuda ya?" aku bertanya lagi, nekat.

"Kenapa aku harus sedih? Gara-gara dia kan aku hampir gagal wisuda," tukas Alice. "Udah sampai. Kalian langsung pulang aja, aku mau sendirian."

"Ehㅡ Alice! Yaaah ngambek," keluhku, tapi Alice sudah keluar dari mobil duluan.

"Ngambek banget kayaknya, itu bunga sama kado wisuda ditinggal semua," kata Mark.

"Ayo kejar, bawain barang-barangnya!" ujarku, melepas seatbelt kemudian memanggil Alice yang baru mau membuka pintu pagar.

Untung dia masih mau menoleh. Kubantu Mark membawa barang-barang dari mobil sebelum kami menyusul ke Alice ke rumah. Aku membawa buket bunga dan dia menenteng dua tas karton berisi kado wisuda.

"Susah nih kalo udah ngambek, nggak kayak kamu tiap ngambek tinggal dipeluk hehehehe," celetuk Mark.

Aku memelototinya. "Sempet-sempetnya!"

"Ya kan bener~"

"Dih? Sejak kapan??"

"Udah diem ah, bukain dulu pintunya yang lebar."

BRUAKK

"M-Mark..."

Mark mematung di depanku. Dan di depan pintu yang hampir lepas dari engselnya. Aku berniat membuka pintu lebih lebar dengan pundak, tapi mungkin terlalu bertenaga sampai pintunya rusak seperti habis dijebol maling.

"Ada apa sih? Kok suㅡ ya ampun! Pintunya kenapa? Liv, kamu nggak apa-apa??" Alice menghampiri kami dari dalam rumah.

Aku gelagapan di sebelah Mark. "Anuㅡ Alice, sumpah, aku nggak sengaja! Cuma mau buka pintu, tapi malahㅡ"

Alice geleng-geleng kemudian menghela napas. "Ya udah. Biar aku telepon Mama dulu, yang penting kamu nggak apa-apa."

"Nggak mungkin kenapa-kenapa lah, dia kan Byunzilla," Mark tertawa. "Malah kasian pintunya tuh, diterjang monster."

"Mark!" sungutku.

"Ini mau ditaruh di mana? Kamar?" mengabaikanku, Mark menanyai Alice.

"Ah- boleh. Bawa aja," kata Alice, siap menelpon Mama.

Sambil menggerutu, aku mengikuti Mark menaiki tangga menuju kamar Alice. Bisa kulihat Alice sebenarnya makin gusar gara-gara aku, tapi dia berusaha bersikap seperti biasa. Bodoh, aku memang ceroboh. Di saat-saat seperti ini malah membuat masalah.

"Bunganya bisa rusak kalau ditaruh sembarangan. Ada vas atau tempat lain nggak ya?"

Percuma, aku bicara sendiri. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya Mark sibuk dengan ponsel setelah menaruh barang-barang Alice di dekat kasur. Terserah lah. Karena diabaikan, aku mencari sendiri apa pun yang bisa untuk menaruh bunga. Ahㅡ ada, semacam guci di atas lemari.

"Pororong, honey, di mana sih?"

Terdengar suara Mark mendekat dari belakangku. Aku tidak menjawab karena masih sibuk berjinjit, berusaha menggapai guci di atas lemari.

"Bilang dong kalo nggak sampe," decak Mark, dengan mudah mengambil guci yang ingin kuambil. "Nih."

Aku berbalik menghadapnya, memasang tampang kesal. "Ngapain bilang? Percuma. Kamu kan sibuk sendiri dari tadi."

"Loh, kok jadi ikut ngambek, hm?" Mark mencubit pipiku.

"Minggir ah, main handphone lagi sana, lanjutin," aku menepisnya.

Kubawa guci tadi ke dekat jendela, langsung menata bunga dari buket ke dalamnya. Langkah kaki Mark mendekat lagi dari belakangku. Dia membantu memisahkan bunga-bunga dari buketnya.

"Kamu nggak tanya aku chat sama siapa?" tanya Mark.

"Ngapain? Nggak minat," aku sok tidak peduli.

"Beneran? Nggak takut aku punya selingkuhan?" dia tersenyum tengil.

Aku balas tersenyum menatapnya. "Kalau aku ngambek gara-gara nuduh kamu selingkuh padahal nggak, yang nangis siapa?"

"Aku," jawab Mark.

"Ya udah."

"Ah, nggak seru!" cibir Mark. "Marah dong, tanya dong chat sama siapa."

"Ck- kamu haus perhatian banget ya?" decakku.

Mark menatapku tak percaya. "Liv, serius kamu nggak mau tau aku chat siapa??"

"Bukan urusanku," aku mengangkat bahu.

"Ah, nggak seru," gerutu Mark lagi.

"Dasar aneh," tukasku. "Udah ah, aku mau ke bawah lagi. Kasian Alice."

"Eh, jangan!" Mark mencengkeram tanganku.

"Kenapa?" tanyaku kebingungan.

Alih-alih langsung menjawab, Mark seperti bingung. Dia kenapa sih? Jangan-jangan mau berbuat yang tidak-tidak di rumah orang.

"Kenapa?" ulangku. "Hehㅡ mau apa? Inget ini rumah Aliceㅡ"

"Diem dulu."

"Markㅡ"

"Ssst."

Mark menghimpitku ke jendela kamar Alice, memaksa supaya aku melihat ke halaman rumah di bawah sana. Baru saja mau protes, kulihat sesuatu yang familiar meluncur dari kejauhan dan berhenti di depan rumah Alice. Whitney, motornya Jaemin.

"Nah, akhirnya datang juga," ujar Mark dengat tawa kecil.

"Mulut petasan?" gumamku, melihat Jaemin turun dari motor dan membuka helm.

"Iya, dari tadi dia yang chat aku. Tanya Alice ada di mana, kan nggak mungkin kita nggak datang ke wisudanya," sahut Mark.

"Mau apa sih dia? Bawa-bawa cd player lagi, kayak pengamen," aku masih mengawasi Jaemin dari atas sini.

"Aku juga nggak tau, soalnya dia nggak bilang. Nah dia masuk ㅡwah, seru nih," Mark terkekeh antusias.

Aku jadi ikut berdebar mengantisipasi. "Bawa buku gambar, CD player... kayak deja vu..."

"Ayo ke bawah, nontonnya dari jendela depan!" seru Mark sambil menarik lenganku.

Kami menuruni tangga dengan rusuh, menuju jendela yang menghadap langsung ke pintu depan. Selanjutnya hening karena aku dan Mark asyik menonton. Jaemin sudah sampai di hadapan Alice yang baru selesai menelepon. Tidak jelas mereka bicara apa, tapi kudengar suara meninggi. Mereka bertengkar, lalu Alice masuk rumah.

GUBRAKKKK

Suara gaduh terdengar karena pintu roboh saat Alice bermaksud menbantingnya sampai tertutup. Aku dan Mark memekik tertahan, menatap Alice yang tampak sesenggukan. Sumpah, rasanya seperti menonton drama. Na Jaemin menyalakan cd playernya, kemudian tanpa bilang apa-apa membuka lembar demi lembar buku gambarnya. Dia menulis permintaan maaf di situ.

"Ah, cara lama ternyata. Dulu kan udah pernah kayak gini," celetuk Mark.

"Justru malah kayaknya dia sengaja, biar Alice inget masa-masa dulu. Jadi dimaafin deh," ujarku.

"Tebak, dimaafin nggak?" kata Mark.

"Hm..." gumamku. "Kayaknya sih dimaafin. Tuh liatㅡ nah, kan, pelukan. Finally."

Bukan aku yang bertengkar berbulan-bulan, tapi aku ikut lega melihat Alice dan mulut petasannya sudah berbaikan. Hug him, Alice, hug him tightly. Aku tahu persis rasanya kesal sekaligus merindukan seseorang. Hembusan napas lega keluar dari mulutku. Akhirnya, civil war ini selesai juga.

"Good..." Mark masih jadi komentator. "Nice, now, kiss... Nah, Porongbyun, jangan liat!"

"Ishㅡ Mark, apa sih?!" protesku karena Mark tiba-tiba membalikkan tubuhku supaya memunggungi jendela dan menghadapnya.

"Nggak boleh liat, Pororong. Liat aku aja," dia cengengesan.

"Oh, come on, I'm 23 now," aku rolling eyes.

Mark menangkup wajahku. "Still a baby for me. Baby penguin."

"Um.. Mark."

"Hm?"

"Kalau aku ngambek kayak Alice, gimana? Ngambek beneran, nggak mau ketemu kamu lagi selamanya," tanyaku.

Sejenak Mark diam, lalu malah tertawa tengil. Kenapa sih? Padahal aku sudah menunggu jawabannya.

"Kayaknya kamu nggak bakal sanggup," ujar Mark. "Nanti mau minta beliin yang aneh-aneh ke siapa? Mau jajan di pinggir jalan sama siapa? Kalo lagi sedih, mau peluk siapa? Hayo?"

Benar juga. Ah, sialㅡ belum apa-apa aku sudah kalah. Mark menatapku sambil memencet-mencet pipiku seperti squishy.

"Kamu udah biasa diusilin sampe marah, jadi nggak akan meledak kayak Alice yang nggak pernah marah," tuturnya. "Kayaknya kita pulang aja yuk, mereka pasti butuh waktu buat ngobrol berdua."

"Tumben sok pengertian," cibirku.

"Hehehe iya dong, biar kita cepet berdua lagi juga. Kamu ikut pulang ke rumahku ya? Ditanyain mama tuh, Daniel juga."

"Nggak ah. Pasti diledekin lagi nanti gara-gara obat kuat," aku mengeluh.

"Ck- biarin aja sih, lemah banget cuma kayak gitu masa malu."

"Heh, aku bukan kamu ya, yang nggak punya rasa malu!"

"Of course I don't," Mark terkekeh. "Soalnya aku punya kamu."

"Markㅡ hehㅡ mau apaㅡ" aku gelagapan karena ditarik mendekat dan mukanya makin dekat juga.

"ASTAGA! ADA DUA ORANG INIㅡ PERGAULAN BEBAS TEROOOS! MENTANG-MENTANG UDAH PAKE CINCIN MAKIN PERGAULAN BEBAS!"

Demi kerang ajaib, aku kaget setengah mati. Kami menoleh ke sumber suara, si mulut rudal Na Jaemin yang usil setengah mati. Di sebelahnya Alice terkikik walaupun wajahnya masih sembap.

Biasanya aku akan terpancing emosi dan memiting Jaemin sampai dia berteriak kesakitan. Tapi kali ini tidak. Senyum lega muncul saat kulihat jemari kedua orang yang sangat kusayangi saling bertaut lagi seperti dulu.

Sama seperti aku dan Mark yang akhirnya bisa melalui semuanya, aku yakin, pada akhirnya hati selalu tahu arah tujuannya.

ㅡTbc

"Like my heart towards you, love will find a way."

Continue Reading

You'll Also Like

23.7K 2.6K 28
"Aku suka kamu." "Aku menyukai orang lain." "Tapi aku bukan orang lain." "Dan itu masalahnya." "Bukankah semua masalah pasti ada penyelesaian...
6K 573 19
Aku hanya bisa diam dan aku hanya bisa menahan, menahan rasa cintaku.
9.3K 1K 23
"Kak Jae, sebenernya kakak sayang sama aku atau sama kakak aku?"
2M 97.9K 56
[M] "Yea, he's so fuckin pervert but i love him, so much."
Wattpad App - Unlock exclusive features