Travel To You

By rida_tiani

5.1K 498 32

Raya tak mengira sama sekali kalau dirinya akan mengikuti jejak seperti Ibunya dulu. Menjadi tameng perusahaa... More

Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10

Bagian 1

1K 92 14
By rida_tiani

RAYA

Bangun kesiangan di awal semester tiga itu sungguh bencana. Kelas pertama hari ini dimulai jam sembilan pagi, dan aku masih bergulat di bawah selimut ketika jam sudah menunjukkan pukul delapan.

Dengan mata yang masih setengah berat, dan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya, aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Ketika tengah menyikat gigi dan menghadap cermin di wastafel, otakku tiba-tiba memutar pada bayangan mimpi tadi malam.

Handphone itu ku lempar ke bawah. Mungkin sudah hancur sekarang, mengingat gedung pencakar langit ini punya tiga puluh lantai.

Diiringi semilir angin yang menerpa rambut, aku perlahan naik ke pagar pembatas di sisi gedung. Aku menangis begitu mengingat semua pertengkaran mama dan papa, cek-cok yang nggak ada habisnya, dari hal yang sepele sampai hal besar.

Rasanya tiada hari tanpa adu mulut bagi mereka berdua.

Hari ini, ketika aku baru pulang sekolah, pertengkaran hebat terjadi lagi. Aku nggak tau kenapa Mama sampai mengeluarkan ultimatum ingin berpisah sama Papa. Yang jelas, Papa yang sama tersulut emosi pun menimpali omongan Mama tanpa pikir panjang.

Aku kecewa. Dan langsung keluar dari rumah.

Dengan masih mengenakan seragam putih biru, langkah kakiku langsung menuntunku ke rooftop perusahaan Kakek. Tempat ternyaman yang sering kukunjungi akhir-akhir ini.

Entah ada dorongan makhluk halus atau apa, perlahan aku berjalan ke tepi gedung. Dengan rok sekolah yang sudah kusut dan sepatu yang sudah tinggal sebelah, aku perlahan naik ke pagar pembatas dengan kaki gemetar. Merasakan semilir angin yang menerbangkan rambut lalu merentangkan kedua tangan.

Rasanya sedikit menenangkan.

Apa dengan lompat ke bawah akan membuat lebih tenang lagi?

Aku memejamkan mata lalu menarik napas dalam, sampai akhirnya ....

Tiba-tiba ada sebuah tangan yang menarikku ke belakang sedetik sebelum aku menghempaskan badanku ke bawah.

Aku jelas sadar kalau terjatuh menimpa seseorang.

Sikuku ngilu, tapi berhasil kutahan rasa sakitnya dan berusaha bangun lalu menatap sinis pada laki-laki yang masih tergeletak di teras rooftop yang berdebu ini.

"Kenapa sih lo ikut campur sama urusan gue?!" Teriakku pada laki-laki itu.

Dengan tenang, laki-laki itu menjawab "Kalo mau bunuh diri, jangan di depan mata gue. Ribet kalo nanti gue jadi saksi di kantor polisi."

Laki-laki itu lalu bangkit berdiri, "Sekarang gue mau pulang, tunggu sampe gue turun baru lo lompat deh sana." Sambil menepuk-nepuk bajunya yang sedikit kotor, laki-laki itu berjalan menuju pintu keluar dari rooftop.

Aku pun langsung mengambil langkah lebar dan mendahului laki-laki itu, "Minggir!" Sengaja ku senggol bahu kirinya.

"Lah? Nggak jadi?"

Aku tersadar kembali, "Padahal udah lima tahun, masih aja gue inget gimana tengilnya muka cowok itu."

*****

Terima kasih pada Dewi Fortuna yang masih berpihak padaku. Aku sampai di kampus lima menit sebelum kelas dimulai.

Aku langsung mengambil tempat duduk di barisan paling belakang. Sengaja, supaya kehadiranku nggak begitu mencolok dimata para Dosen.

Di sampingku ada Lala, sahabat karib satu-satunya di kampus ini.

"Ray, hari ini kan kita cuma ada satu kelas, gimana kalo abis ini kita nonton?" Lala memberi jeda, "Nanti gue ajak Arya juga." Arya itu pacarnya Lala sejak masuk kuliah di sini.

"Jadi obat nyamuk dong gue? Ogah ah." tolakku langsung.

"Enggak dong, Ray, gue nggak akan ngacangin lo kok. Please, mau ya?" Mana bisa aku percaya pada spesies bucin tingkat akut ini.

"Hari ini gue ada jadwal latihan tennis, La, nggak bisa." tolak gue lagi.

"Yah, yaudah deh kalo gitu." Meskipun kecewa, tapi Lala mengerti sama hobiku yang satu itu.

Obrolan kita terhenti ketika dosen yang terkenal killer masuk kelas. Tatapan matanya begitu tajam seolah mengintai seluruh kelas.

"Kalian pasti sudah tau nama saya, 'kan?" katanya dengan tegas, lalu berjalan ke tengah kelas.

"SUDAH PAK!" jawab semua serempak.

Jelas semuanya sudah tau dosen killer ini. Namanya Pak Tatang, kepalanya plontos, kumisnya yang tebal dan badannya yang sedikit berisi itu sudah dikenal seantero kampus ini.

"Bagus, kalau begitu kita mulai kelasnya sekarang."

Aku bernapas lega tak ada sesi perkenalan lagi yang membosankan. Akhirnya Pak Tatang mulai menjelaskan materi. Jujur aja, cara mengajarnya bikin sedikit mengantuk. Sampai sudah dua kali Lala menyenggol tangan supaya aku nggak tertidur.

"Angkat tangan yang tau apa itu public speaking for public relations?"

Rules nomor satu, jangan berkontak mata dengan sang pembicara kalau tidak mau ditunjuk. Rules nomor dua, pura-pura sibuk.

Keadaan kelas langsung hening. Menandakan tidak ada yang tau atau malas menjawab pertanyaan itu.

Sampai akhirnya Pak Tatang buka suara, "Kalo begitu bapak jelaskan. Setelah itu, bapak akan tunjuk satu orang untuk menjelaskan ulang. Siap?"

Semuanya mendesah mendengar itu. Tapi kemudian memasang kedua telinga lebar-lebar mendengar Pak Tatang menjelaskan materinya.

Jujur saja, aku masuk jurusan Ilmu Komunikasi ini karena suruhan dari Kakek yang sangat ingin aku bekerja di bidang jurnalis nantinya seperti paman. Dan aku menurut saja dan berusaha menjalaninya dengan serius. Karena sekarang cuma kakek yang kupunya, dan aku nggak mau dia sampai kecewa.

"Untuk kelas berikutnya, bapak berhalangan hadir. Jadi kalian akan diberi tugas."

Semuanya mendengarkan dengan seksama, tentu kentara sekali dalam hati merasa berbunga. Termasuk aku.

"Buat kelompok yang terdiri dari empat orang dan buat makalah tentang public speaking for public relations. Tugas dikumpulkan dua minggu lagi." Pak Tatang memberi jeda, "Kalian bebas pilih teman kelompoknya." lanjut pak Tatang.

"IYA PAK."

Aku bernapas lega, seenggaknya aku bisa tenang kalau satu kelompok bareng Lala.

Sesuai intruksi, semua orang mulai ribut mencari anggota kelompok masing-masing.

"Ajak siapa nih, La?" tanyaku.

Lala mengedarkan pandangannya untuk mencari anak yang cocok untuk diajak bergabung dengan kelompok kami.

"Bentar."

Aku ikut mengedarkan pandangan, mengamati semua siswa yang semuanya baru kutemui hari ini dan belum akrab satu sama lain. Sampai ketika ada satu suara yang menginterupsi dan membuatku menoleh untuk mendapati seorang laki-laki yang kini sudah berdiri di samping meja kami.

"Hai." sapanya.

"Oh, hai." timpal Lala. "Kenapa Bara?"

Wow. Ternyata Lala kenal sama laki-laki ini?

"Gue boleh gabung sama kelompok kalian? Yang lain udah penuh soalnya." katanya. Aku diam saja. Karena baru kenal juga sama laki-laki ini.

"Boleh banget dong! Kita juga masih kekurangan anggota." Lala menyambut ramah, membuatku ikut tersenyum pada Bara.

"Thanks, ya. Kalau gitu, gue boleh minta kontak kalian? Buat kabar-kabar mau kerja kelompok kapan."

"Boleh." timpal Lala, lalu menerima ponsel milik Bara dan mengetikkan nomornya di sana. Setelah itu memberikannya padaku dan melakukkan hal yang sama. Menuliskan nomorku di ponsel Bara.

"Nih," Aku mengembalikkan ponsel itu pada Bara.

"Ini pertama kalinya gue ngobrol sama lo, Raya." Bara terkekeh pelan.

"Iya maklum aja Bar, kurang sosialisasi nih anak." kata Lala.

Aku menyenggol lengan Lala, "Apaan sih, La."

Setelah berbincang sedikit, Bara kembali ke kursinya. Dan acara pembuatan kelompok ini selesai, bersamaan dengan kelas Pak Tatang yang selesai. Pak Tatang membereskan buku-bukunya ketika pintu kelas tiba-tiba diketuk dari luar. Membuat atensi semua orang tertuju pada kedatangan seorang mahasiswa yang mengenakkan hoodie hitam itu tengah berjalan masuk ke dalam kelas.

"Maaf pak, saya telat." kata laki-laki itu ketika sampai di hadapan Pak Tatang.

Semua orang berbisik membicarakan bagaimana ada orang yang setenang itu ketika baru datang di penghujung kelas.

"Gila, jam segini baru dateng tuh anak." kata Lala.

"Siapa sih?" tanya gue.

"Temen sekelas sendiri masa lo nggak kenal sih?"

Ya emang harus kenal semua? Rutukku dalam hati.

"Itu Jevan." jawab Lala yang membuat mulut gue membentuk o kecil tanpa suara.

"Karena kamu nggak masuk kelas saya hari ini, jadi tugas makalah yang harusnya dikerjakan berkelompok, kamu harus kerjakan sendiri, ya." kata Pak Tatang yang masih bermurah hati.

"Baik, Pak."

"Tanya ke teman yang lain tugasnya seperti apa." Setelah mengatakan itu, Pak Tatang berjalan keluar kelas.

Laki-laki itupun tak lama kemudian keluar kelas.

Lala mendekat, lalu berbisik di telingaku, "Mirip 'lah dia sama lo Ray, ansos gitu."

Aku memukul lengannya pelan, "Jangan disamain! Gue nggak separah itu ya."

Lala ketawa kecil, "Iya-iya becanda kali, Ray."

****


"Gue jalan dulu ya. Daaahh ...."

"Bye."

Aku berpisah dengan Lala di depan koridor begitu dia pamit pulang duluan bersama kak Arya. Mau kencan mereka.

Akupun berjalan ke lapangan indoor dengan semangat untuk latihan tennis di awal semester tiga ini.

Fyi, sejak duduk di sekolah dasar, aku sudah menyukai tennis. Dulu, lawan mainku itu mama. Dan kita sering main di teras belakang rumah. Makanya, sebagai hiburan sampingan ditengah kerumitan jurusan Ilmu Komunikasi ini, aku memilih mengambil tennis sebagai kegiatan setelah kuliah.

Ketika sampai di depan pintu lapangan indoor, aku merasa aneh. Kenapa ada banyak orang di dalam? Ada banyak tandu pula.

"PMI?" monologku.

Dari pada semakin bingung, aku menghampiri salah satu anggota tennis yang kukenal.

"Ada apaan nih?" tanyaku.

"Eh Ray? Ini ada acara donor darah. Latihan libur dulu katanya." kata Selly, salah satu mahasiswi manajemen yang satu angkatan denganku.

"Oh." timpalku singkat. Agak kecewa sih hari ini nggak ada latihan, tapi mau bagaimana lagi.

"Lo mau donor juga? Gue udah nih." Dia menunjukan lengan bagian atasnya yang sudah diperban.

"Sakit nggak?" tanyaku agak ngeri.

"Kayak digigit semut doang, Ray." Selly ketawa.

Aku berfikir sejenak, perlu nggak sih donor darah?

"Amal, Ray, ngebantu orang." Selly menepuk pundakku pelan lalu berjalan menjauh.

Awalnya sih ragu, tapi akhirnya aku memberanikan diri berjalan ke arah perawat dan memberitahu bersedia untuk donor darah juga. Setelah pengecekkan awal dan semuanya normal, aku disuruh berbaring di salah satu tandu.

"Tadi pagi sudah sarapan 'kan?" tanya seorang perawat yang kini tengah bersiap dengan jarum suntiknya.

"Sudah." Aku merem-melek sebentar ketika jarum suntik itu berhasil masuk pada lenganku yang membuat darah perlahan mengalir ke sebuah kantong darah.

Aku nggak tau pastinya berapa lama, tapi kayaknya nggak lebih dari sepuluh menit perawat langsung mencabut jarum itu dan menggiringku untuk duduk sebentar sambil menyuruhku minum susu.

"Minum dulu ya, biar nggak pusing." Perawat itu ramah sekali, tau aja kalau aku mulai pusing.

Ketika susu sudah habis diminum, ponselku pun tiba-tiba berdering dan membuat gue menaruh gelas tadi dan mengangkat panggilan dari kakek.

"Halo?"

"Bisa pulang sekarang?"

"Emang kenapa, Kek?"

"Ada yang mau kakek omongin sama kamu."

"Oke, Raya pulang sekarang."

Akupun bergegas mengemasi barangku dan berdiri.

"Kamu duduk dulu, nanti pusing di jalan." saran perawat itu.

"Gapapa kok, saya baik-baik aja." kataku lalu bergegas keluar.

Dari nada bicaranya, sepertinya Kakek mau membicarakan hal penting. Nggak biasanya juga dia telepon jam segini.

Ketika melewati koridor dekat toilet laki-laki, aku berhenti sebentar ketika kepalaku tiba-tiba pusing lagi.

Sekilas ku lihat anak-anak basket keluar dari toilet, dan ada beberapa yang tak sengaja bertabrakkan pandangan denganku.

Aku duduk sebentar, berharap pusingnya cepat hilang. Tapi malah rasa mual yang sekarang keluar.

Aku berdiri. Harus cepat ke toilet sekarang.

Nggak peduli ini toilet laki-laki, yang penting aku tidak muntah di sini sekarang.

"Lo mau ngapain?" Seorang laki-laki yang baru keluar dair toilet menghadangku supaya nggak masuk.

Aku udah nggak tahan, dan aku nggak bisa bicara sekarang. Dengan isyarat, aku menyuruhnya supaya minggir.

"Ini toilet cowok, lo nggak boleh masuk."

"Mingg-"

Sial, aku nggak bisa menahan diri. Akhirnya aku mengeluarkan semuanya di depan laki-laki itu dan terkena pada bajunya juga.

"Sorry ... "

Aku lemas. Dan tanpa melihat lagi bagaimana ekspresi laki-laki itu, pandanganku sudah menggelap.

*****

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

719K 34.8K 51
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
6M 256K 57
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
6.4M 190K 61
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...
678K 54K 30
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...