UNDERSTANDING OF LOVE

By Machildaptr

5.5K 808 164

Takdir itu terkadang terasa menyakitkan, seperti sebilah pisau yang menyayat tubuh. Namun, takdir juga membah... More

PROLOG
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
EPILOG

PART 5

282 48 0
By Machildaptr

"Menjadi egois itu cukup menyenangkan. Tanpa memikirkan perasaanya yang mungkin tertekan dan terganggu. Tidak ingin melakukan. Namun, hati berkata lain. Jahat memang. Tapi, aku harus melakukan itu, demi jawaban yang aku inginkan."

-Lee Jungkook-

🍁🍁🍁

Sebuah cermin besar menjadi saksi bisu mengalirnya air mata Jieun. Wanita 23 tahun itu menangis. Tubuhnya sedikit gemetar. Netra cantik itu menatap lekat pada pantulan diri di dalam cermin. Jieun terisak. Dadanya terasa sesak.

Perasaan apa ini? Jieun membatin.

Wanita muda itu membasuh wajahnya. Berusaha meyakinkan diri, bahwa semua akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Setidaknya, Jieun bisa berpikir seperti itu untuk menenangkan dirinya.

Tungkai kaki Jieun berjalan gontai menuju ruang kerjanya. Sesampainya di depan pintu, dia langsung menekan knop pintu dan betapa terkejutnya Jieun saat mendapati semua mata melemparkan pertanyaan yang benar-benar membuatnya muak. Tanpa memperdulikan semua itu, Jieun langsung melenggang dan duduk di kursi kerjanya.

Ren, Karen, Jessie, dan dua orang lainya langsung menghampiri Jieun.

"Jung Jieun! Kau tidak mau mengatakan sesuatu?" tanya Karen.

Jieun menyambar berkas di atas mejanya. "Tidak." Singkat sekali Jieun menjawab. Bahkan, atensinya tidak teralihkan sedikit pun.

"Kau pasti mengobrol, bukan?" tanya Karen lagi.

"Tidak."

"Dia memberikan sesuatu?"

"Tidak."

"Ayolah, Ji. Sedari tadi kau hanya menjawab, 'tidak, tidak, dan tidak.' Yang benar saja, Ji? Pasti ada yang tuan Lee sampaikan," celoteh Karen panjang lebar.

Ren memicingkan matanya, seraya berkata, "oh, lihatlah! Matamu sembab, Ji. Apa tuan Lee memarahimu?" tanyanya histeris.

Jieun menatap Ren. "Tidak."

"Lalu kenapa kau menangis?" kali ini Jessie yang bersuara.

"Ibuku menelepon," bohong Jieun.

"Eoh?" Jessie menyesali pertanyaannya, "maaf, Ji," ucapnya kemudian.

"Sudahlah, kembali bekerja saja. Nanti tuan Park bisa marah-marah," titah Karen.

Jieun menghela napasnya pelan. Benar-benar lelah, pikirnya.

"Minumlah."

Jeiun menoleh dan mendapati Kyungsoo dengan sebuah cup minuman di tangannya.

"Coklat panas," ungkap Kyungsoo.

Kyungsoo menghela napas saat mendapatkan tatapan mata menyebalkan Jieun, lalu berkata, "tanpa racun, Ji."

Jieun terkekeh pelan mendengar kata-kata sahabatnya itu. "Terima kasih," ucapnya.

"Tenanglah, Ji. Ada Tuhan." Kyungsoo mengingatkan.

Pria bernama lengkap Bae Kyungsoo itu memang cukup dekat dengan Jieun. Umur mereka berbeda 2 tahun. Banyak yang menganggap ke-2 manusia itu adalah sepasang kekasih. Tapi, yang bersangkutan hanya mengakui bahwa, persahabatan lebih cocok untuk mereka. Tidak lebih. Ya, hanya itu—sahabat.

Jieun melirik sekilas pada layar ponselnya. Sebuah pesan singkat dari ibunya tertera di sana.

Ada yang ingin ibu bicarakan. Mari bertemu.

Seperti itulah sekiranya isi pesan singkat itu.

Jieun memijat pelipisnya pelan. Apa lagi? Pikirnya. Dia lelah. Terlampau lelah malah. Bukanya tak sayang. Hanya saja, pikiranya sedang kacau sekarang. Berkecamuk kemana-mana. Entahlah, Jieun hanya ingin bersembunyi sekarang. Tanpa ada seorang pun yang mengusik.

🍁🍁🍁

Dongwook tampak sedang meracik menu baru di pantry kedai makanannya. Pria bertubuh tegap itu terlihat sangat serius. Dia bahkan tak menyadari kehadiran Hangyul—putra keduanya.

"Ayah!" seru Hangyul agak memekik.

Dongwook terkesiap, lantas mengalihkan atensinya pada pria muda yang berdiri sekitar 2 meter dari tempatnya berdiri.

"Apa, Hangyul? Kau mengejutkan Ayah," sahut Dongwook.

Hangyul memutar kedua bola matanya. "Aku sudah memanggil Ayah sedari tadi. Lidah ku sampai kelu rasanya."

Dongwook menghela napasnya pelan. "Maaf, Sayang. Ayah terlalu fokus," ujarnya.

"Aku akan pulang larut. Sekolah mengadakan acara dan aku berpartisipasi dalam acara itu," jelas Hangyul sambil membenarkan posisi tasnya.

"Tunggulah sebentar, Ayah akan menyiapkan bekal untukmu," Dongwook mematikan kompor, lalu menata makanan ke atas piring, "makan dulu sebelum berangkat. Ada daging asap di dalam lemari makanan," lanjutnya.

Hangyul menurut, lantas segera pergi menuju lemari makanan.

TING!

Denting notifikasi menghentikan langkah kaki Hangyul. Lantas, pria muda itu meraih ponsel yang ada di saku kiri celana bahannya.

Tidak bisakah kita bertemu? Ibu rindu, Hangyul.

Hangyul hanya menatap datar pada ponselnya dan mengabaikan pesan tersebut.

"Ayah! Sepertinya aku harus berangkat sekarang!" seru Hangyul.

Selang beberapa detik, Dongwook muncul dari arah dapur. Di tangan kanannya terdapat dua kotak makanan dan dua kotak susu di tangan kiri.

"Tidak jadi makan?" tanya Dongwook.

Hangyul menggelengkan kepalanya. "Tidak. Nanti saja di sekolah."

Dongwook sedikit mengangguk. "Baiklah, berikan yang ini untuk adikmu," titahnya.

Lantas, Hangyul menerima kotak makan beserta susu dan dimasukkan ke dalam ranselnya. "Aku pergi. Dah, Ayah!"

"Hati-hati. Telepon Ayah jika sudah selesai. Ayah akan jemput," kata Dongwook.

"Nanti aku telepon. Aku pergi," pamit Hangyul sekali lagi.

🍁🍁🍁

Waktu menunjukkan pukul 4 lewat 15 sore. Kali ini langit terlihat sangat murung, gelap sekali. Seolah-olah ia sedang bersedih di atas sana. Perlahan butiran air mulai turun membasahi apapun yang dilewatinya. Hujan. Ya! Hujan baru saja turun. Langit menangis sore ini. Diikuti gemuruh petir, bak teriakan yang memekakkan telinga.

Jieun sudah duduk selama 2 menit. Gadis manis itu duduk berhadapan dengan sosok wanita yang biasa ia panggil 'ibu'. Jika diperhatikan, wajah mereka terlihat sangat mirip. Namun, Jieun tetap menyangkal, karena menurutnya, dia tidak mirip sama sekali dengan sang ibu. Keras kepala memang.

"Ibu akan menikah pekan depan, Ji," ungkap Ahn Mina—ibunda Jieun.

Jieun menahan keterkejutannya. Ia terkejut karena selama ini dia selalu memikirkan, bagaimana jika ayah dan ibu menikah lagi? Bagaimana jika diantara mereka ada yang memiliki pasangan lagi? Dan hari ini, tepat di saat langit menangis kencang, Jieun mendengar pernyataan itu. Jieun mendengar fakta bahwa ibunya akan menikah. Jieun ingin menangis saja rasanya. Sedih sekali. Jika bisa menghilang, Jieun tidak akan ragu untuk melakukannya.

"Ji? Kau baik-baik saja?" tanya Mina menyadarkan Jieun.

Jieun mengangguk pelan. "Ya, ku usahakan datang, Bu."

Mina tersenyum mendengarnya. "Ajak Hangyul. Ibu belum juga mendapat balasan darinya."

"Akan ku beritahu dia nanti," kata Jieun, lalu meraih tasnya, "aku harus pergi, Bu. Sampai nanti," lanjutnya berpamitan.

"Kenapa buru-buru sekali? Di luar hujannya sangat deras, Ji," tanya Mina.

Jieun tersenyum canggung. "Tugas kampusku belum selesai. Jadi, aku harus pergi sekarang, Bu."

"Baiklah, Ji. Hati-hati," ucap Mina.

Jieun hanya mengangguk mengiyakan.

🍁🍁🍁

Jieun berjalan di tengah derasnya hujan. Payung tak membuat pakaiannya tetap terlindungi. Buktinya, dia sudah basah kuyup sekarang. Kedua tungkai kakinya berjalan menuju sebuah taman bermain. Jieun terduduk di kursi panjang di taman itu. Payungnya dibiarkan tergeletak begitu saja di rerumputan.

"Kenapa sedih sekali, sih?" gumam Jieun. Seketika kepalanya tertunduk, lalu bibirnya menampakkan senyum kegetiran.

Jieun terlihat sangat rapuh. Rapuh sekali. Sampai-sampai rasanya tak punya tenaga lagi. Bahkan, untuk sekedar berdiri pun, rasanya sulit. Ingin marah. Tapi, tak tahu harus marah pada siapa.

"Ji," seseorang menyentuh bahu kanan Jieun.

Jieun menengadah. Dia mendapati Kyungsoo yang sedang memayunginya. Kemudian, pria itu duduk di samping Jieun. Tak peduli jika pakaiannya harus ikut terkena air hujan.

"Ada apa, Ji?" tanya Kyungsoo.

Jieun menggelengkan kepalanya pelan. "Pulanglah, kau bisa sakit."

Kyungsoo tersenyum. "Aku yang seharusnya berkata seperti itu."

Jieun kembali menundukkan kepalanya. Air mata yang sedari tadi ia tahan, kini telah mengalir membasahi pipinya. Kyungsoo menjatuhkan payungnya. Pria itu menarik Jieun ke dalam dekapannya.

"Kenapa harus serumit ini?" lirih Jieun.

"Skenario Tuhan sangat indah, Ji. Kau tidak akan tahu apa yang Tuhan berikan di akhir nanti." Kyungsoo menenangkan.

"Hatiku sakit sekali ...," Jieun kembali melirih. "Kenapa begini, Kyung? Aku harus apa?" tanya Jieun.

Kyungsoo menepuk-nepuk pelan bahu Jieun. "Kau gadis yang tegar, Ji. Aku yakin kau bisa melewati ini."

"Tapi, aku lelah. Tidak ada lagi yang bisa aku upayakan, Kyung. Aku gagal," kata Jieun.

Kyungsoo mengelus surai hitam Jieun. "Jangan bicara begitu, Ji."

"Apa salah jika aku meminta Tuhan untuk memperbaiki ini?" tanya Jieun.

"Tidak, Ji. Kau tidak salah. Tuhan menyayangi keduanya, Ji," kata Kyungsoo. "Mungkin ini yang terbaik untuk mereka."

"Tapi, setidaknya—"

"Ayo, kuantar kau pulang. Hujannya tidak akan berhenti dalam waktu dekat," sergah Kyungsoo memotong perkataan Jieun. "Kau bisa bercerita lagi setelah kau membersihkan diri."

"Tidak mau," tolak Jieun.

"Kau bisa sakit, Jung Jieun." Kyungsoo menekankan kata 'Jung Jieun' pada ucapannya.

"Tidak mau," tolak Jieun lagi.

"Kalau ku traktir makan siang besok?" tawar Kyungsoo.

"Oke!"

"Harus saja seperti itu," kata Kyungsoo jengkel.

Jieun terkekeh pelan mendengar perkataan Kyungsoo. Kemudian, gadis itu beranjak dan meraih payungnya. "Nanti kursi mobilmu basah kuyup, Kyung."

"Bukan hal aneh lagi, Ji. Tidak terhitung, sudah berapa kali kau membasahi jok mobilku," canda Kyungsoo.

Jieun terkekeh pelan. "Jieun sayang Kyungsoo," ucapnya sedikit menggoda Kyungsoo.

"Jangan membuatku muntah, Ji." Kyungsoo menimpali.

"Kau tampan sekali, sih?" Jieun kembali menggoda.

"Cepatlah, Ji. Jangan menggodaku terus. Tadi saja, menangis," ejek Kyungsoo.

"Yak! Kau mengejekku, eoh?" tanya Jieun. "Menyebalkan!" teriaknya.

Mood Jieun mudah membaik jika ia di samping Kyungsoo dan Jimin. Kedua pria itu benar-benar moodbooster untuk seorang Jung Jieun. Entahlah, mungkin Tuhan menemukan Jieun dengan kedua pria itu, agar dia bisa mendapatkan sebuah rangkulan saat menangis seperti ini. Tuhan baik, bukan?

🍁🍁🍁

Jungkook tengah membaca buku bisnis di dalam kamar tidurnya. Suara gemuruh petir menjadi pengiring ketenangannya malam ini. Gorden yang menggantung di sudut atas kaca besar sengaja tak ia gerai. Ingin melihat pemandangan katanya.

Suara decitan pintu tak mengalihkan atensi Jungkook. Sampai satu suara memaksanya untuk menoleh.

"Daddy!"

Jungkook tersenyum melihat seorang anak laki-laki berumur 5 tahun yang tengah berlari kecil menghampirinya. Ia membenarkan posisi duduknya. Sedangkan anak laki-laki itu langsung naik ke atas tempat tidur dan duduk di pangkuan Jungkook.

"Hei, jagoan," sapa Jungkook sambil mencubit pipi chubby anak laki-laki di pangkuannya.

"Daddy lama sekali, sih?" rajuk anak laki-laki itu.

"Daddy sibuk, Sayang," sahut Jungkook.

"Mommy dan daddy sibuk. Daddy juga ikut sibuk. Semuanya sibuk, menyebalkan!" cebik bocah laki-laki itu.

"Hei-hei, kenapa jadi marah-marah begitu? Nanti Daddy belikan mainan, mau?" bujuk Jungkook.

"Sekarang?" tanya anak laki-laki itu.

"Dae Hee tidak lihat di luar hujan?" Jungkook balik bertanya.

"Baiklah. Besok, janji?" Anak laki-laki yang ternyata bernama Dae Hee itu mengacungkan jari kelingking kanannya.

"Janji," balas Jungkook menautkan kelingkingnya.

🍁🍁🍁

Vote and comment. Thanks.

Continue Reading

You'll Also Like

9.9K 768 15
SASUKE X SAKURA Ketika fakta-fakta yang menyebabkan luka dan darah itu terkumpul dan semakin meneguhkan kepercayaannya terhadap Sakura, Sasuke menda...
104K 6.4K 34
[S A S U S A K U O N T H E P A S S A D O ] Abad ke-12 kerajaan uchiha yang dipimpin oleh Uchiha Fugaku, memiliki satu orang anak bernama Sasuke Uc...
2.9K 180 19
Eight letter bukanlah kata yang sulit untuk di ucapkan. Big plans : "Aku harus bertemu my unbelievable Zach , bagaimanapun caranya!. " Gaje sumpah. N...
4.1K 373 13
Assalamualaikum. Di cerita kali ini ada pakai bahasa arab Ana= Saya Anta= Kamu (lk) Anti= Kamu (pr) Antum= Kalian Ya udah, selamat membaca Disclamer:...