Politikus Kakus

By MardianaKappara

27.4K 2.6K 444

[Pemenang Wattys 2018 kategori The Change Makers] ๐Ÿ’› Antologi Cerpen Cover by @Delulu98 Gambar diambil dari... More

Berhala
Apakah Namamu Ibrahim?
Tidak
Mulut
Sarjana Pulang Kampung
Coblos
Operasi Plastik
Curhatan ODGJ
Halo Bapak Bupati, Kiamat Sudah Dekat!
Aku Telah Mengkloning Wakil Rakyat
PHK
Pengakuan

Marbot Uighur

494 79 19
By MardianaKappara

Di kampung kami, semua orang mengenal baik sosok Uighur, pemuda tampan bisu yang cerdas dan ringan tangan. Dia tidak selesai mengecap bangku SLB namun bisa baca tulis dan berhitung dengan baik. Dia tidak pernah masuk pesantren atau madrasah tetapi paham dengan tepat anjuran dan larangan agamanya. Anaknya sangat kreatif dan berinisatif tinggi. Dialah orang pertama yang peduli dengan kondisi mesjid kampung kami yang selalu sepi jemaah. Bila sholat Shubuh dan Magrib tiba pasti tidak lebih dari tiga orang yang berjamaah dengan imam di mesjid tersebut. Anak-anak tidak terbiasa bermain atau belajar bersama di mesjid. Mesjid seolah-olah menjadi tempat yang asing untuk dikunjungi sesuka hati.

Uighur kemudian mengutarakan niatnya padaku. Sebagai mantan guru SLB di kota aku memahami komunikasi dengan bahasa isyarat. Dia membrondongku dengan ide-idenya dan memintaku ambil bagian dari rencana baiknya tersebut. Dia ingin membuka taman bermain di halaman mesjid. Sebagai anak yang multi talenta hal tersebut tentu tidak sulit, Uighur cuma butuh sumbangan bahan dari warga dan dia bisa mengerjakan semua itu dengan naluri dan logikanya yang di atas rata-rata. Uighur memintaku menjadi pengajar sukarela. Mengajarkan apa saja, tidak harus mengaji, mungkin mengajarkan melukis, teater atau rebana. Uighur berkata, dia akan mencari guru silat biar pemuda-pemuda kampung mereka tidak perlu jauh-jauh belajar silat di kampung tetangga. Dia juga akan mengajak Aisyah, kembang desa, untuk ambil bagian dalam rencana itu. Aku jadi terbatuk ketika mendengar nama Aisyah disebut dan hal itu membuat Uighur otomatis tertawa dengan penuh keyakinan akan rencana hebatnya.

Benar saja, Uighur cuma butuh waktu beberapa bulan untuk mengubah wajah mesjid kampung kami yang suram menjadi penuh keceriaan, pelan-pelan namun pasti, satu persatu rencana Uighur berhasil diwujudkan. Aisyah menjadi magnet yang luar biasa, gadis berjilbab yang berparas macan alias manis cantik itu tidak saja menyedot langkahku ke mesjid tapi juga hampir rata-rata pemuda di kampung. Komunitas pencak silat dan pengajian di mesjid kami berkembang dengan pesat. Selain menyedot perhatian para pemuda kampung, kemampuan Aisyah mendongeng untuk anak-anak menjadi magnet tersendiri. Anak-anak pun sehabis pulang sekolah akan berbondong-bondong ke mesjid untuk mendengar dongeng, membaca buku di perpustakaan sudut mesjid, bermain ayunan, mencoba jungkat jungkit, perosotan, panjat ban, atau sekedar bercengkrama dengan anak lain di pekarangan mesjid yang asri. Mesjid yang beberapa waktu lalu sunyi senyap, kini hingar bingar bak pasar menjelang waktu sholat maupun waktu-waktu tertentu. Berbagai aktivitas warga kini difokuskan di Mesjid.

Aku sungguh mengagumi Uighur, pemuda yatim piatu yang sudah genap berusia 17 tahun itu memang karunia Allah buat kampung kami. Semenjak kedatangannya dari Aceh beberapa tahun lalu untuk tinggal dengan kakek neneknya di kampung kami, membuatku memutuskan untuk bertahan di kampung dan tidak lagi kembali ke kota. Aku mengukuhkan niat untuk mengabdikan hidup dan ilmuku di kampung dengan belajar mencintai apapun yang kumiliki. Uighur sebelum baliq menetap di kediaman kakek neneknya, kemudian setelah baliq memutuskan menjadi marbot dan tinggal di mesjid. Dia tidak banyak menuntut atau meminta, dia hanya bekerja dengan ikhlas dan penuh rasa cinta akan pekerjaannya sebagai marbot, hal itulah yang membuatnya tampak selalu bahagia dan berkecukupan. Dan hal tersebut, seringkali membuatku iri.

***

Datuk Brahim meninggal.

Untuk pertama kali, aku melihat Uighur berduka. Datuk Brahim adalah kakeknya sekaligus muadzin mesjid kampung kami. Datuk Brahim memang sudah tua, umurnya sudah lebih 75 tahun, tetapi fisiknya tampak berusia 65 tahunan. Dia tampak selalu berdiri tegak dan nyaris tidak mengenakan tongkat kalau berjalan ke mesjid. Setiap waktu sholat menjelang, beliau akan selalu menjadi orang paling pertama yang datang ke mesjid selain Uighur, beliau akan siap-siap mengumandangkan azan. Aku tidak pernah mendengar Datuk Brahim sakit. Jangankan sakit keras, mendengarnya batuk atau pilek saja mungkin bisa dihitung jari. Hal yang sangat mengejutkan ketika mendengar beritanya meninggal di TOA mesjid menjelang azan Shubuh berkumandang.

Semenjak itu, selalu tampak mendung di wajah Uighur, dia tidak lagi menjadi sosok ceria saat kutemui di mesjid. Dia hanya menyapaku sebentar lalu sibuk dengan pekerjaannya membersihkan mesjid. Dia juga tidak sesibuk biasanya menemani anak-anak kampung bermain. Apabila pekerjaannya selesai, dia akan segera bersila di mesjid untuk mengaji. Karena tidak terbiasa dengan perubahan sikap Uighur akupun mendatanginya. Aku duduk di sampingnya yang khusyuk menatap mushaf Qur'an. Kutepuk pelan bahunya. Dia pun menoleh dengan tatapan yang datar.

"Aku turut berduka atas meninggalnya Datuk Brahim,"

Dia tidak menjawab. Dia kembali menekuri mushaf. Kupegang pipinya menyuruhnya untuk menoleh ke arahku.

"Mesjid ini akan kembali menjadi suram apabila kau terlalu bersedih, Uighur. Kau tahu, kau itu cahaya mesjid ini. Kalau kau tampak redup, maka mesjid ini kekurangan cahaya. Apabila cahaya itu raib maka laron-laron tidak akan mendatangi lagi mesjid kita ini." sahutku dengan gerakan tangan.

Dia tercenung.

"Aku tahu kau paham artinya ikhlas lebih dari yang aku pahami, Uighur,"

Dia langsung memelukku dan menangis keras di luar sangkaanku. Dia menumpahkan seluruh emosinya dan aku mengelus punggungnya dengan sabar.

Dia lalu melepaskan tubuhnya dari rangkulan kami. Dia menatapku. Tangannya memberikan isyarat yang jelas kupahami.

"Aku bisa melakukan apapun sebagai marbot mesjid. Hanya satu yang tidak bisa kulakukan, Mengumandangkan azan." katanya dengan tatapan nanar.

Aku terpaku.

"Aku selalu ingin mengumandangkan azan seperti Datuk. Aku selalu bermimpi menjadi pengganti Datuk." tambah Uighur.

Aku kehabisan kata-kata untuk menjawab dan hanya bisa menepuk-nepuk bahunya dengan kata-kata yang sekedar menghibur, "inshaallah, inshaallah, Uighur. Kalau Allah berkehendak, tidak ada yang tidak mungkin."

Tampak secercah harapan berbinar di bola mata Uighur. Dia kembali memelukku. Aku merasakan keyakinan yang besar dari Uighur atas kata-kataku. Hal itu malah membuatku merasa menjadi sangat bersalah.

***

Menjelang Shubuh, bergegas aku menuju mesjid. Semenjak pertemuan dengan Uighur aku berniat dalam hati untuk menggantikan posisi Datuk Brahim sebagai muadzin kampung yang paling aktif. Tekad Uighur telah membuatku menjadi sangat malu dan tertampar.

Setibanya di teras mesjid, aku mendapati Uighur sedang berdiri di depan mimbar tepat di muka mikrofon mesjid. Aku memperhatikan gelagatnya yang terus memegang mikrofon dan matanya sekali-kali melirik jam dinding. Aku hendak membiarkannya kalau tidak mendengar suara batuk Pak Hanif di belakangku. Bergegas aku menghampiri Uighur dan menepuk bahunya untuk memberi isyarat. Dia segera menyingkir sambil tersenyum simpul.

Aku pun mulai mengumandangkan azan Shubuh.

***

Kejadian yang sama terus terulang. Uighur selalu mencoba untuk mengumandangkan azan. Dan pernah satu kali aku memergokinya sedang latihan dengan mikropon yang mati. Dan dia langsung tertunduk lesu ketika menyadari tidak ada suara indah apapun yang keluar dari mulutnya kecuali kata a-a-u-u yang parau dan tidak dipahami siapapun.

Pernah pula aku melihatnya terguguh menangis di sudut masjid di atas mushaf Qur'an. Aku menjadi merasa iba dengan tekadnya yang luar biasa kuat dan sungguh-sungguh.

***

Syukurlah, ada seseorang yang mau membeli sepeda motor bututku dengan harga yang cukup tinggi. Aku berangkat ke kota untuk membeli sebuah notebook baru. Rencananya, menjelang subuh nanti akan kubawa ke mesjid.

Aku tersenyum sendiri membayangkan kebahagiaan Uighur akan hadiah yang akan kubelikan tersebut.

***

Setelah usai sholat Shubuh, aku menemui Uighur dan menyuguhkan hadiahku. Dia menerima pemberian tersebut dengan sedikit bingung.

"Ini untukmu. Kamu bisa mengumandangkan azan di sini."

Dia menatapku bingung.

"Tidak banyak muadzin yang mengumandangkan azan melalui ini,"

Uighur tetap tampak tidak mengerti.

"Kau kan bisa menulis. Kau kan suka membaca, Uighur. Beritahulah pada dunia atau siapapun kemampuanmu mengumandangkan azan. Beritahulah semua orang terutama anak-anak muda, ingatkan mereka, seperti muadzin di depan mikropon mesjid. Kau juga bisa mengingatkan kawan-kawanmu untuk sholat melalui benda ini. Kau bisa menjadi muadzin tanpa mikropon di mesjid, Uighur. Cobalah, aku tahu kau paham maksudku."

Bibir Uighur bergetar memahami penjelasanku.

"Buatlah. Aku pasti membantumu. Aku akan mengajarkanmu menggunakan benda ini."

Keceriaan langsung tersirat di kedua bola mata Uighur. Dia mengangguk-angguk dengan senyum yang sangat lebar.

***

Sudah kukatakan sebelumnya bukan bahwa Uighur adalah anak yang cerdas?

Aku tidak butuh waktu yang lama untuk mengajarinya mengetik di atas notebook. Dia langsung mempraktikkan dengan menyalin tulisan di catatan hariannya yang selalu rapih dia simpan. Kebanyakan sastra, semacam cerpen dan puisi. Setiap ada tulisan yang sudah selesai dibuatnya. Dia akan menunjukkannya padaku. Aku akan memberinya saran dan diapun akan segera merevisinya. Sementara tulisan yang kami sepakati telah melalui tahap editing akan kubawa ke kantor pos yang berada di ibukota kecamatan.

Tidak pernah Uighur dan aku menyerah. Selain mengirim tulisan ke media cetak, Uighur juga kuajarkan menulis di website penulis sambil memanfaatkan kuota internet dari smartphone. Walaupun sinyal yang kadang tidak terlalu bersahabat. Uighur aktif memposting tulisan-tulisannya.

Hingga suatu kali aku membawakan sebuah media cetak yang memuat tulisan cerpen Uighur untuk pertama kali. Kuberikan padanya dengan rasa bangga.

"Lihatlah," tunjukku menyodorkan koran.

Dia segera meraih koran itu dan menemukan cerpen berjudul "Cita-Cita Seorang Marbot" oleh Uighur.

"Selamat, kau telah berhasil mengumandangkan azan pertamamu dengan sangat baik," tepukku pada bahunya. Uighur langsung bersujud syukur lalu tidak lupa memelukku.

(Selesai)

#SaveUighur

Jambi, 20 Desember 2019

Tidak ada yang mampu kubuat untukmu Saudara-Saudaraku Seiman.

Hanya doa yang mampu kupanjatkan, semoga pertolongan Allah segera hadir di tengah-tengah kita. Aamiin....

Continue Reading

You'll Also Like

165K 2.1K 13
Oneeshoot Jeno, lelaki istimewa yg memiliki memek Boypussie=cowo ber meki Cerita ini imajinasi author sendiri yaa, jdi klo ada yg alurnya sama maaf b...
274K 15.2K 18
[VOTE AND COMMENT] [Jangan salah lapakโ€ผ๏ธ] "Novel sampah,gua gak respect bakal sesampah itu ni novel." "Kalau gua jadi si antagonis udah gua tinggalin...
240K 11.8K 29
[MINIMAL FOLLOW LAH YA BIKIN CERITA SUSAH โ€ผ๏ธ] [Ganti Cover๐Ÿ’ž] [BANTU PROMOSI CERITA INI. TERIMA KASIH ๐Ÿ’ž๐Ÿ’] "Kalo mau cipokan itu tau tempat." "Makan...
83.4K 621 12
one-shot gay โš ๏ธโš ๏ธโš ๏ธ peringatan mungkin ada banyak adegan ๐Ÿ”ž anak anak d bawah umur harap jangan lihat penasaran sama cerita nya langsung saja d baca