The Shades Of Gray [ Peraya ]

By CattleyaLian

94K 9.1K 1.6K

[ Completed ] Percayakah kau pada takdir? Percayakah pada sebuah janji dan keajaiban? Bagi Singto kepergian... More

Intro
[ 1 ]: Memories
[ 2 ]: Indecision
[ 3 ]: Forget You
[ 4 ]: Because It's You
[ 5 ]: Someone I Once Loved
[ 6 ]: Desire
[ 7 ]: Passed
[ 8 ]: I Listen To What You Have To Say
[ 9 ]: Elaborate
[ 11 ]: Blooming Day
[ 12 ]: Hope
[ 13 ]: Love Is..,
[ 14 ]: Let Me Hear You Say
[ 15 ]: White Lie
[ 16 ]: Bad Liar
[ 17 ]: Best Thing I Never Had
[ 18 ]: Who Is You?
[ 19 ]: Without Words
[ 20 ]: Rectitude
[ 21 ]: Remember - Towards The End
Ending
Epilog

[ 10 ]: What Is The Reason?

3.4K 394 45
By CattleyaLian

Dari kejauhan Krist menatap sosok Kei yang tengah bermain dengan Rieyu. Anak itu merangkak pergi ketika sang Kakak tak melihatnya, akan tetapi Rieyu yang sadar langsung menahannya, menggoyangkan ujung jemarinya pada adiknya, mengisyaratkan agar ia tak boleh beranjak pergi.

"Jangan keluar. Papa bilang kita hanya boleh bermain di sini."

Bibir Kei mengerucut, melihat hal itu Rieyu hanya mengecup pipi adiknya, ia merentangkan tangannya pada Kei hingga adik kecilnya itu merangkak ke arahnya, Rieyu sedikit mengangkatnya dan mendudukkan sang Adik di atas pangkuannya. Ia tak bisa menggendong Kei kemana-mana, jadi mereka hanya bisa bermain seperti ini.

Ia membongkar puzzle dan menyuruh Adiknya untuk mengambilnya, ketika Kei akan mengigit pecahan puzzle Rieyu langsung mengambilnya.

"Ini kotor, tidak boleh di gigit kata Daddy nanti Kei sakit. Nanti Daddy marah." Rieyu mengambil biskuit yang ada di atas meja dan memberikan itu pada adiknya, "ini baru boleh Kei makan."

"Tidak. Kakak tidak suka biskuit itu. Rasanya seperti susu bayi."

Rieyu menggelengkan kepalanya, ketika adiknya menyodorkan biskuit ke mulutnya agar anak itu memakannya juga. Ia menutup mulutnya mengunakan telapak tangan dan baru menyadari ada sosok Krist yang mengamati keduanya.

"Papa...."

"Sudah larut kenapa belum tidur?"

"Masih mau bermain."

"Ayo, tidur. Papa akan membacakan cerita."

"Daddy kemana?"

Anak itu menengokkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, sedari tadi tidak melihat Singto, padahal biasanya Ayahnya selalu menghampiri mereka.

"Papa lupa memberitahu jika Daddy sakit."

"Sakit?"

"Tapi sudah tidak apa-apa. Jadi jangan khawatir."

Krist meraih Kei dan menggendongnya, lalu meraih tangan Rieyu, menggandengnya untuk ikut bersamanya. Krist bahkan lupa jika hari sudah larut dan waktunya kedua anaknya untuk tidur. Ia terlalu fokus pada sesuatu hal yang tak pasti kebenarannya. Lagipula ia tidak tahu pasti apa yang terjadi. Ia menatap sosok Kei dengan tatapan penuh arti, apalagi ketika anak itu menyandarkan kepalanya pada bahu Krist, seolah merasa lelah.

Ditepuknya punggung ringkih itu, sembari mengusap surai anaknya. Ia membawanya ke kamar Rieyu. Mereka sudah terbiasa tidur bersama selama beberapa waktu.

Jadi yang Krist lakukan adalah duduk sembari menggendong Kei dan membacakan cerita kesukaan Rieyu, sementara anak sulungnya lebih memilih untuk memeluk kedua kaki Krist dari pada boneka atau guling miliknya.

Tangan Krist mendekap sosok mungil itu cukup erat, ia memandang wajah anak itu dengan seksama. Tidak mungkin apa yang dirinya pikirkan itu nyata. Krist rasa Kei benar-benar hampir mirip dengan Singto. Bukan pria tempo hari.

Krist masih tidak percaya jika apa yang pria asing waktu itu katakan adalah kebenaran. Tidak. Ini seperti mimpi buruk yang sampai kapanpun ia tak bisa menerimanya. Ketika dirinya menyakinkan diri kalau ia masih bagian dari keluarga ini, akan tetapi kenyataan jahat itu ingin merenggut kebahagiaannya. Tangan Krist mengusap wajah Kei dengan perlahan. Saat kedua kelopak mata mungil itu terpejam.

Dengan perlahan Krist memasuki kamar Singto, ia melihat pria itu belum tidur padahal waktu sudah menunju pukul 11 malam. Singto hanya terdiam menatap langit-langit kamarnya, seolah ia adalah seseorang yang tak punya semangat hidup.

"Kenapa kau ke sini lagi?"

Ada nada tak suka yang Singto ucapkan pada Krist, akan tetapi pria tadi tetap masuk ke dalam dan mendudukkan dirinya di samping tempat tidur milik pria itu.

"Aku hanya ingin menemanimu."

"Tidak perlu. Pergilah."

"Berhenti mengusirku lalu memintaku untuk diam di sisimu. Kau itu aneh."

Krist merangkak naik untuk mendekati Singto akan tetapi pria itu langsung memosisikan dirinya untuk duduk dan menggeserkan tubuhnya menjauhi Krist. Melihat hal tadi Krist terheran, akhirnya mencoba untuk mendekati Singto lagi. Namun, Singto justru menghindar lagi.

"Kau kenapa?"

"Kau yang kenapa? Untuk apa kau mendekatiku."

"Apa aku tidak boleh mendekatimu?"

Pria itu tidak mau mendengarkan dan mencoba untuk kesekian kalinya mendekati Singto. Hanya saja belum sempat Singto menghindar Krist langsung memeluknya, membuat tubuh itu membeku.

"Phi Sing, jangan menghindari aku seperti itu terus."

"Aku tidak melakukan apapun."

Tangan Krist merabah dahi Singto, "Apa masih sakit? Tubuhmu tidak sehangat sebelumnya. Sepertinya kau sudah lebih baik dari tadi pagi."

"Sedikit."

"Lihatkan, aku benar jika kau menurutiku, kau akan cepat sembuh."

"Kapan kau mengatakan hal itu?"

Kedua sudut bibir Krist tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman, "Tidak pernah, aku hanya menyuarakannya dalam hati."

"Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku."

"Apa hanya mengkhawatirkan itu salah?"

"Tidak juga, hanya saja tidak perlu bersikap berlebihan."

Krist terdiam, ia menempelkan kepalanya pada bahu pria itu, sebenarnya ia kesini bukan untuk mengecek keadaan Singto, akan tetapi Krist ingin menanyakan sesuatu.

"Phi Sing, apa aku memang Istrimu?"

"Menurutmu?"

"Aku tahu ini pertanyaan yang konyol," Krist mendongakkan kepalanya ke arah Singto, "apa kau mengenal pria kemarin?"

"Tidak."

"Apa aku mengenalnya?"

"Aku tidak tahu."

Pria itu meraih tangan Singto dan menggenggamnya, "Apa aku pernah berselingkuh darimu?"

"Jika kau hanya ingin menanyakan hal tidak penting, lebih baik pergi saja."

"Tidak penting? Menurutku ini sangat penting. Phi Sing, apa yang di katakan pria itu benar?"

"Aku tidak tahu."

"Tidak mungkin kau tidak tahu." Krist mengeluarkan sesuatu dari sakunya, "ini apa? Bisa kau jelaskan ini?"

"Kau dapat darimana itu?"

"Kau tahu pasti aku mendapatkannya darimana."

"Lebih baik kau kembali ke kamarmu Krist. Aku ingin beristirahat."

Namun, Krist tak ingin menyingkir dari hadapan Singto. Pria itu tetap duduk menggenggam foto tadi, "Apa aku menelantarkan kalian? Apa yang pria itu ucapkan benar? Aku pergi dengannya dan meninggalkanmu? Phi Sing, jawab aku."

"Tidak ada yang harus aku jelaskan."

"Apa Kei ... Alasan kau membenci Kei karena dia bukan anak kandungmu?"

Singto yang baru membaringkan tubuhnya langsung bangkit dan menunjuk salah satu jemarinya pada Krist, "Jika kau tidak tahu apapun. Lebih baik kau diam!"

"Kalau kau ingin aku diam. Harusnya kau katakan padaku, sebenarnya ada apa?"

Tetapi Singto hanya diam layaknya batu. Krist kesal melihatnya ia benci seperti ini. Ia benci ketika Singto tak mau menjawab apapun dan menutupi semuanya dari Krist.

"Apa hubunganku dengan pria itu? Apa ini ada hubungannya dengan Kei juga?"

"Diam! Sudah aku bilang diam!"

"Kenapa aku harus diam? Sikapmu menunjukkan hal seperti itu! Kau membenci Kei tetapi sangat menyayangi Rieyu seolah mereka berdua itu berbeda. Apa kesimpulan yang tepat dari semua sikapmu selama ini? Jika kau tak mau aku berpikir seperti tadi, beritahu aku satu alasan kenapa kau membenci Kei dan kenapa aku meninggalkan kalian," tetapi Singto hanya terdiam, seolah tak bisa menjawabnya, "Kau tidak bisa menjawabnyakan? Jadi bukan salahku jika berpikiran seperti ini."

"Salah! Semua yang kau pikirkan itu salah!"

"Lalu kenapa kau membencinya? Kenapa kau memperlakukannya seperti itu? Kenapa aku merasa segala hal ini berhubungan. Dari aku yang tiba-tiba pergi ke luar negeri sampai meninggalkan kedua anakku, lalu tiba-tiba ada seorang pria yang mengaku tunanganku dan kau yang membenci Kei. Jika bukan itu lalu apa? Ini sangat membuatku frustasi."

"Jangan mencari tahu sesuatu yang harusnya tidak kau ketahui."

"Kenapa? Setidaknya aku ingin kejelasan. Phi Sing, pria seperti apa aku sebelum ini? Hal buruk apa yang sudah aku lakukan? Kau tidak tahu setiap hari aku selalu menebak-nebak apa yang terjadi di masa lalu. Kenapa kau sedingin ini padaku?"

"Kau tidak salah. Kau tidak pernah salah. Aku yang bersalah disini."

"Apa salahmu?"

Saat hanya kebungkaman yang Singto berikan sebagai jawaban Krist tersenyum pahit, ia rasa sampai kapanpun dirinya tak bisa keluar dari masalah ini. Krist merasa bukannya Singto tak mau berbicara akan tetapi lebih tepatnya pria itu tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak tahu caranya mengurai segalanya dari awal.

"Bisakah kau berjanji jika kau sudah siap, tolong jelaskan padaku tentang segalanya? Seburuk apapun aku akan menerimanya. Siapapun yang salah, aku akan mencoba untuk berpikir dewasa untuk menyelesaikannya. Aku menunggumu. Kau satu-satunya orang yang aku percayai. Kau mengerti, 'kan?"

Raut wajah Singto sedikit meredup mendengarnya, "Jangan mempercayai aku."

"Kenapa? Aku lebih mempercayaimu daripada siapapun."

"Krist...." Suara itu terasa sedikit parau. Ia tersenyum samar pada Krist.

"Heumm."

"Terimakasih, sudah menemaniku hari ini."

Anggukan pelan meluncur dari Krist, ia menangkap kedua pipi Singto mengunakan telapak tangannya, mengarahkan pria itu untuk menatapnya. Hingga ia menyelami kedua manik oniks pria pada hadapannya.

Meskipun sikap Singto buruk, sekalipun pria itu selalu dingin padanya, bahkan pilih kasih pada kedua anak mereka. Adakalanya Singto selalu membuat Krist frustasi, marah dan ingin menangis, tetapi rasanya ia tak bisa berjauhan dari pria ini. Seolah ada yang mengunci dirinya untuk tetap di samping Singto. Tidak ingin membiarkannya sendirian.

K

rist mendekatkan wajah dan mengecup pipi Singto pelan, hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Bisa Krist lihat Singto sepertinya sangat terkejut, ia hanya menatapnya dalam diam, saat Krist bergerak mundur, tangan pria tadi menahan pinggangnya dan menarik Krist untuk tetap pada posisi awalnya.

Terpaan napas hangat seseorang itu menyentuh permukaan wajahnya, hingga ia memejamkan mata tanpa sengaja, segalanya terjadi sangat cepat ketika bibir seseorang itu menempel pada tepian bibirnya sendiri. Kini giliran Krist yang tak bisa mengatakan dan melakukan apapun.

Degup jantungnya beritme tak tenang, mendebarkan. Namun, Krist menyukainya. Ia suka ketika Singto menciumnya, ketika pria itu tak hanya diam dan selalu mengusir Krist. Ia suka Singto yang seperti ini.

Singto melepaskan tautan keduanya, menatap Krist dalam diam, ia tersenyum samar sebelum mencium lagi bibir Krist, sebelum merengkuhnya dalam sebuah pelukan, bukan Krist yang merengkuhnya kali ini, tetapi Singto.

"Bisakah kita memulainya dari awal lagi?"

Kata-kata itu membuat Krist merasa jika dirinya tengah bermimpi, ini pasti bukan kenyataan. Apa ia mulai berkhayal karena terlalu menginginkan keluarganya?

"Bisakah kau memperlakukan Kei dengan baik?"

"Kau tidak akan pernah tahu bagaimana aku sangat ingin melakukannya tapi aku tidak pernah bisa. Sekeras apapun aku berusaha, itu hanya menambah rasa sakit."

"Bukankah sekarang ada aku? Kau bisa membagi semua rasa sakit yang kau miliki padaku. Aku tahu kau belum percaya padaku, itu alasan kenapa kau selalu diam.  Aku ini bagaikan orang asing untukmu, tapi aku ingin kau tahu, setidaknya aku selalu ada di sisimu."

Ia mencoba mengerti cara pandang dan berpikir Singto yang menurutnya rumit. Krist tahu ia juga punya malaikat kecil yang harus dia jaga hatinya. Krist paham itu.

Cahaya temaram tanpa cahaya itu yang menghiasi pagi Krist, ia menatap sosok pria yang masih tengah memejamkan matanya. Tangan Krist terarah pada pipi Singto lalu mengusapnya perlahan, sembari mengamati ciptaan Tuhan yang mendekati kata sempurna itu.

Bagi Krist yang selama ini berdekatan dengan sosok Singto, tidak ada hal aneh dari pria itu. Ia terlihat seperti pria dewasa dan penyayang pada umumnya. Singto terlihat seperti seorang Ayah yang bisa di andalkan, hanya terlalu susah untuk membuka diri.

Kira-kira apa kurangnya pria itu sampai Krist berpaling pada pria lain? Jika disampingnya ada sosok seperti Singto, untuk apa ia pergi dengan seseorang yang belum tentu lebih baik?

Jika ia bertanya-tanya itu tak akan pernah ada habisnya, lagipula harusnya ia tak menanyakan hal bodoh itu pada Singto, karena nyatanya yang tahu hanyalah dirinya sendiri. Bukan Singto.

Ia memosisikan dirinya sendiri untuk duduk sebelum bangkit dan bersiap untuk melangkah pergi, ia harus membuat sarapan dan menyiapkan keperluan Rieyu dengan perlahan Krist membenarkan letak selimut Singto yang agak berantakan, sembari mengusap surai suaminya itu dengan lembut, kemudian benar-benar pergi dari kamar Singto. Pria itu masih butuh waktu untuk beristirahat.

Hal pertama yang Krist lakukan adalah menyiapkan peralatan Rieyu, sebelum membangunkan putra sulungnya dan kemudian baru menyiapkan sarapan.

"Papa...."

Rieyu melangkahkan kakinya mendekati Krist dengan wajah cemberutnya, hingga Krist yang tengah memasak sarapan pun meninggalkan apa yang dirinya kerjakan.

"Ada apa?"

"Dasi birunya tidak ada."

Anak itu menunjuk ke arah seragam yang ia kenakan, Krist menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, biasanya Singto yang menyiapkannya jadi Krist tidak tahu.

"Ah, biasanya di mana Daddy menyimpannya?"

"Tidak tahu."

"Bagaimana bisa tidak tahu? Bukankah itu milik Rieyu sendiri? Mulai sekarang jangan terlalu mengandalkan Daddy, kau harus belajar menyimpan segalanya sendiri."

"Tapi-tapi...."

"Tidak ada tapi-tapian."

"Kenapa kalian ribut?"

Reiyu menatap Ayahnya yang tengah berjalan ke arah keduanya, hingga anak itu langsung menghampiri Singto dan tak lupa memeluk kaki sang Ayah.

"Daddy...."

"Kenapa kau ada di sini? Kau masih sakit."

"Aku tidak sekarat! Aku hanya demam dan kau memperlakukan aku seperti aku tengah sekarat."

"Bukankah itu sama saja?"

Singto tak memperdulikan ucapan Krist dan berjongkok ke arah Rieyu, ia melihat sang Anak tengah menunjuk-nunjuk seragamnya.

"Daddy, dasinya tidak ada."

"Oh, tunggu di sini."

Rieyu menggelengkan kepalanya, mengarahkan tangannya pada Singto ingin pria itu gendong, akhirnya Singto menggendongnya dan mengajak anaknya untuk bersiap-siap.

"Kau di sini dan siapkan sarapan saja."

Krist mengangguk, lagipula ia tak terlalu paham tentang hal itu. Krist melanjutkan acara memasaknya setelah itu meletakkannya di meja makan, menunggu kedua anggota keluarganya.

Tak lama kemudian mereka datang, Rieyu ada dibelakang punggung Singto, sembari menepuk-nepuk bahu Ayahnya dan Singto menurunkannya di atas kursi tempat biasanya Rieyu duduk.

"Phi Sing, siapa yang akan mengantar Rieyu hari ini?"

"Mike."

"Sekertarismu itu?"

"Iya," tangan Singto merapikan pakaian Rieyu yang terlihat berantakan, "memangnya kenapa?"

"Tidak. Rieyu bilang aku mengenalnya, tapi dia bersikap tidak mengenalku."

"Oh, dia tahu kau tidak ingat siapa-siapa. Jadi tidak perlu di pikirkan."

Krist menganggukkan kepalanya, lalu menepuk pahanya menyuruh Rieyu untuk duduk di sana, agar ia bisa lebih mudah menyuapinya.

"Setelah makan kembalilah ke kamar, jangan memikirkan pekerjaan terus. Apa kau mengerti?"

"Tidak bisakah kau tidak mengekang ku ini dan itu?"

"Tidak bisa. Selama ada aku, tidak akan aku biarkan kau mengabaikan kesehatanmu sendiri."

"Baiklah."

Singto malas berdebat di pagi hari, pria itu menyantap sarapannya dalam diam. Menghadapi omelan Krist di pagi hari itu membuat suasana hatinya tidak baik.

Tak lama kemudian suara bel tertangkap oleh pendengaran keduanya, Krist menahan Singto yang ingin bangkit, "Habiskan makananmu, biar aku yang mengantarkan Rieyu ke depan."

"Terserah lakukan apa maumu."

Reiyu melangkahkan kakinya ke arah Singto dan menarik piyama Ayahnya agar pria itu menunduk, lalu mengecup pipi Singto dengan menggemaskan.

"See you, Daddy."

Tangan anak itu melambai pada Singto dan mengandeng tangan Krist yang menuntunnya untuk keluar. Di luar sana ada Mike yang menunggu, ia langsung membuka pintu untuk Rieyu masuk ke dalam mobil, sembari tersenyum canggung pada Krist.

Ketika pria itu ingin melangkahkan kakinya untuk pergi, Krist menahannya, tak membiarkan pria itu menjauh, "Apa kau mengenalku?"

"Ya. Itu benar."

"Bisa kita bicara berdua nanti jika kau ada waktu."

"Maaf, tapi sepertinya tidak bisa."

"Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi hanya itu, jika kau tahu sesuatu tolong beritahu aku."

Mike hanya tersenyum simpul, ia menepuk pundak Krist, sebelum mengatakan sesuatu, "Percayailah apa yang ingin kau percayai, jika kau ragu maka... Tidak perlu mempercayainya, cepat atau lambat segalanya akan kau ketahui."

Hanya itu yang Mike katakan. Hal ini membuat Krist merasa jika pria itu tahu lebih banyak apa yang terjadi di sekitarnya, tetapi tidak ingin memberitahu Krist. Ia mengerti hal itu, tetapi siapa lagi yang bisa ia tanyai mengenai hal ini jika bukan orang yang terdekat dengannya? Sedangkan Krist tak mengingatkan siapapun orang yang sekiranya cukup berarti baginya.

Apakah ini saat yang tepat untuk ia mulai mencari tahu lebih lanjut tentang segalanya?




Continue Reading

You'll Also Like

28.5K 1.8K 12
" seorang tutor koraphat yang terkenal playboy mencoba mendapatkan hati seorang yim yang pemalu dan pendiam, sedangkan yim menyukai kekasih sahabat n...
10.9K 1K 15
"jatuh cinta itu wajar,hanya saja mengapa aku harus jatuh cinta pada hantu sepertimu?"_net "ayo kembali bertemu sebagai 2 manusia dan kisah yang lebi...
315K 34.4K 71
⚠️BXB, MISGENDERING, MPREG⚠️ Kisah tentang Jungkook yang berteleportasi ke zaman Dinasti Versailles. Bagaimana kisahnya? Baca saja. Taekook : Top Tae...
70K 10.1K 36
Jake, dia adalah seorang profesional player mendadak melemah ketika mengetahui jika dirinya adalah seorang omega. Demi membuatnya bangkit, Jake harus...