The Shades Of Gray [ Peraya ]

By CattleyaLian

93.1K 9.1K 1.6K

[ Completed ] Percayakah kau pada takdir? Percayakah pada sebuah janji dan keajaiban? Bagi Singto kepergian... More

Intro
[ 1 ]: Memories
[ 2 ]: Indecision
[ 3 ]: Forget You
[ 4 ]: Because It's You
[ 5 ]: Someone I Once Loved
[ 6 ]: Desire
[ 7 ]: Passed
[ 9 ]: Elaborate
[ 10 ]: What Is The Reason?
[ 11 ]: Blooming Day
[ 12 ]: Hope
[ 13 ]: Love Is..,
[ 14 ]: Let Me Hear You Say
[ 15 ]: White Lie
[ 16 ]: Bad Liar
[ 17 ]: Best Thing I Never Had
[ 18 ]: Who Is You?
[ 19 ]: Without Words
[ 20 ]: Rectitude
[ 21 ]: Remember - Towards The End
Ending
Epilog

[ 8 ]: I Listen To What You Have To Say

3.2K 390 25
By CattleyaLian

Dari kejauhan Singto melihat ada sesosok pria yang tengah berlari ke arahnya, lebih tepatnya menghampiri Krist, ketika mereka melangkahkan kakinya menuju area parkiran, tempat mobilnya terparkir. Awalnya Singto tak menghiraukan kehadiran sosok asing tersebut, akan tetapi saat pria itu meraih lengan Krist dan mencekalnya, kedua kaki Singto berhenti melangkah.

"Kita belum selesai bicara, kenapa kau meninggalkanku."

Raut wajah Singto langsung meredup begitu melihat pria itu mendekat, ia melihat Krist menyentak lengannya dengan kasar, melepaskan diri dari pria aneh tadi.

"Aku tidak mengenalmu! Aku sudah berkeluarga."

"Stop dengan omong kosong itu! Berkeluarga apa? Kau pikir bisa membohongiku? Kau pikir ini lucu, kau sangat membuatku khawatir dan sekarang kau mengeluarkan lelucon tidak penting ini!"

Krist menatapnya dengan tak percaya, karena lagi-lagi pria itu bersikukuh pada pendiriannya dan Krist juga tak mau kalah dengan kenyataan yang ia yakini.

"Aku memang sudah berkeluarga!"

Kini giliran pria tadi tak habis pikir dengan ucapan sosok yang sudah coba ia hampiri dan paksa ikut dengannya.

"Kau itu tunanganku! Jangan berbicara yang tidak-tidak. Ini sangat tidak lucu. Ayo, kita pulang."

Singto menepis tangan pria tadi, saat ia ingin menyeret Krist, akan tetapi pria tersebut justru menatapnya tajam dan menunjuk Singto, seolah tak punya rasa takut, "Tolong jangan ikut campur! Ini urusanku dengan tunanganku, tidak ada hubungannya dengan orang asing sepertimu, lebih baik kau menyingkir."

"Maaf tapi sepertinya kau salah orang."

Pria itu tak memperdulikan ucapan Singto dan berusaha untuk menarik Krist yang masih benar-benar bingung dengan keadaan ini, "Sudah aku bilang jangan ikut campur. Memang kau siapa? Kau tahu apa tentang urusan kami?"

Singto mengembuskan napas beratnya, tangannya memegangi Rieyu yang menatap kejadian ini dengan sedikit takut. Anak itu bersembunyi di balik punggung Singto dan menatap apa yang kedua pria itu katakan, akhirnya Singto menghempaskan tangan Krist yang menggenggam tangan Rieyu, lebih memilih untuk membawa anaknya masuk ke dalam mobil daripada harus menonton drama ini.

"Daddy, tapi Papa...." Rieyu menunjuk Krist tak di hiraukan oleh Singto.

"Masuk. Ayo, kita pulang. Bisa Rieyu menjaga Adik di belakang."

Rieyu menganggukkan kepalanya dan mengikuti apa yang Ayahnya katakan.

"Phi Sing, katakan tolong padanya kalau dia salah orang."

Krist ingin menghampiri Singto yang akan pergi, mencoba mencari perlindungan, karena pria asing itu terus mengikutinya dan tak mau mendengarkan ucapan Krist padanya, tetapi Singto hanya diam layaknya batu. Tak memperdulikannya sama sekali.

"Sini biar aku bantu."

Saat Krist mengulurkan tangannya untuk membantu Singto membawa Kei ke dalam mobil, Singto lagi-lagi menampik tangan Krist dengan kasar, seolah pria itu tak boleh menyentuh Kei ataupun Rieyu sekalipun.

"Tidak perlu. Jangan pedulikan anakku. Lebih baik kau pergi saja."

Mendengar hal itu Krist terdiam, ia heran karena nada bicara Singto kembali dingin padanya. Pria itu menitipkan Kei yang baru terbangun pada Rieyu, kedua anak itu duduk di kursi belakang, sebelum Singto memasuki mobil dan melajukannya begitu saja. Tak membiarkan Krist masuk dan mengikuti mereka, Singto meninggalkan Krist di sana. Hingga Krist menatapnya tak percaya.

"Phi Sing! Phi Sing! Phi Sing!"

Krist mencoba untuk menggedor-gedor kaca akan tetapi tidak ada sahutan dari Singto, mobil itu sudah pergi meninggalkan tempat, meninggalkan Krist berdua dengan sosok asing yang tak ia kenal.

"Baby, biarkan saja mereka pergi. Kau kenapa sebenarnya?"

Kesal. Krist memukul pria itu, hingga ia jatuh terhuyung ke belakang, sebelum menunjukkan jemarinya pada sosok asing tadi, tak lupa lengkap dengan tatapan tajamnya, "Jangan pernah muncul di hadapanku lagi! Aku tidak mengenalmu! Aku sudah berkeluarga! Apa kau tuli, hah! Sekali lagi kau mengikutiku, aku akan membunuhmu!"

Setelah mengatakan hal tadi Krist langsung berlari mengejar Singto, sungguh ia tak tahu tempat tinggal mereka di mana, akhirnya Krist menaiki satu taksi yang tak sengaja lewat sebelum mengikuti mobil Singto yang lebih dulu sudah melaju pergi, meninggalkan sosok asing tadi dengan tatapan tak percaya.

Tangisan seorang bayi terdengar sangat kencang di dalam mobil, Kei yang tadi baru membuka matanya menatap sekelilingnya dengan air mata yang tak kunjung berhenti. Hingga Rieyu mendekap sosok mungil di sampingnya dalam diam, tak tahu harus apa. Ia sudah mencoba mengajak Kei bermain akan tetapi adiknya justru menangis semakin kencang, melihat adiknya seperti itu membuatnya ikut menangis juga. Apalagi saat mengingat Krist masih tertinggal di tempat tadi.

"Daddy, Papa masih ada di sana."

"Biarkan saja."

"Daddy, Papa tidak tahu jalan pulang. Bagaimana jika Papa tidak bisa pulang."

"Biarkan. Lebih baik Rieyu menenangkan adik saja."

"Tapi baby Kei tidak mau berhenti menangis. Daddy, Rieyu tidak tahu harus apa."

Singto hanya mengusak surainya dengan kasar, "Sabar ya sayang, sebentar lagi kita akan sampai rumah."

"Daddy, Paman tadi siapa? Kenapa menarik Papa?"

"Tidak tahu. Daddy tidak tahu. Mungkin teman Papa."

"Sungguh?"

"Iya. Rieyu jangan menangis."

Anak itu mengangguk pelan, sembari mengusap-usap punggung sang Adik yang terus menangis dengan histeris. Singto menatap kedua sosok di belakangnya hanya dengan menghela napasnya, berusaha untuk sampai secepat mungkin.

Beruntung pusat perbelanjaan memang tak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka, jadi Singto bisa dengan cepat membawa keduanya pulang. Ia membuka pintu belakang seusai memarkirkan mobilnya pada halaman rumahnya. Ia meraih Kei dan menggendongnya, lalu meraih Rieyu dalam gendongan lainnya, membawa mereka memasuki rumah. Namun, suara seseorang membubarkan pikiran Singto.

Ia bisa melihat Krist yang berlari menghampiri mereka, Singto hanya menatapnya dengan sangat dingin.

"Phi Sing, kenapa kau meninggalkanku?"

Singto tak menanggapinya, ia melangkahkan kakinya untuk menghindari Krist. Bahkan lebih memilih untuk masuk ke dalam daripada menjawab apa yang pria itu tanyakan.

"Phi Sing...."

Pria itu tak menanggapinya, ia bisa melihatnya menyerahkan Kei pada pengasuhnya dan menggendong Rieyu ikut bersamanya. Krist mengikuti Singto yang melangkah ke kamar Rieyu akan tetapi Singto justru menutup pintunya sebelum Krist berhasil masuk. Menguncinya dari dalam.

Krist hanya diam, menatap pintu kayu yang tertutup itu dalam kebingungan. Apa ia melakukan kesalahan lagi? Apa Singto marah padanya? Apa yang sudah Krist lakukan? Bukan maunya pria itu mengejarnya, ia bahkan tak tahu pria itu siapa. Hingga akhirnya Krist hanya bisa menunggu Singto untuk keluar.

Di dalam sana, Singto tengah mendudukkan dirinya di samping Rieyu, merengkuh sosok kecil itu ke dalam pelukannya. Jemarinya mengusap perlahan surai sang Anak.

"Daddy, kenapa pintunya di tutup bagaimana jika Papa tidak bisa masuk."

"Tidak bisakah jangan terus memikirkan Papa? Tidak bisakah kita seperti dulu? Hanya Rieyu dan Daddy?"

"Apa Papa mau pergi lagi? Berkeliling dunia?"

Singto hanya terdiam, lalu mengangguk, "Tidak apa-apakan jika Papa pergi lagi?"

Rieyu menggelengkan kepalanya, "Nanti siapa yang akan membacakan Rieyu cerita?"

"Daddy yang akan membacakannya."

Rieyu menggelengkan kepalanya, "Nanti siapa yang akan menyuapi Rieyu dan mengajak Rieyu bermain?"

"Daddy yang akan melakukan semuanya untukmu."

Rieyu lagi-lagi menggelengkan kepalanya, "Baby Kei bagaimana jika Papa tidak ada?"

Singto terdiam, lalu mengarahkan jemarinya pada dagu anaknya menyuruh sang Anak untuk menatapnya, ia melihat ada sesuatu yang mengalir dari sudut mata Rieyu, "Masih ada Daddy. Jadi jangan menangis seperti ini. Daddy memang tidak seperti Papa tapi setidaknya Daddy bisa menjaga kalian dengan baik."

Rieyu menganggukkan kepalanya dan memeluk Singto dengan erat. Seolah tidak mau Ayahnya bersedih.

Saat malam hari tiba Krist seperti biasanya ingin menghampiri Singto, akan tetapi pria itu tak ada di ruangan kerjanya. Tempat itu kosong, membuat Krist bingung kemana pria itu? Ia tidak tahu apapun tentang kebiasaan Singto, yang Krist tahu biasanya Singto ada di tempat ini, jika tidak ada maka Krist tak tahu mencari Singto kemana, akhirnya ia memutuskan untuk turun dan meletakkan kopi yang dirinya bawa menuju dapur.

Namun, sewaktu Krist memijaki anak tangga terakhir menunju lantai dasar rumahnya, ia melihat sosok itu yang berjalan berlawanan arah dengannya. Singto hanya menatapnya dengan sinis.

"Phi Sing kau darimana?"

"Bukan urusanmu."

Tangan Krist meraih lengan Singto akan tetapi pria itu justru menampiknya hingga tak sengaja menjatuhkan apa yang Krist bawa. Cangkir itu pecah dan berantakan pada lantai.

"Phi Sing, kau kenapa? Apa aku melakukan kesalahan?"

Bukannya menjawabnya Singto hanya melangkahkan kedua kakinya pergi, tak memperdulikan Krist yang menatapnya dengan tatapan tidak percaya, segalanya baik-baik saja sebelumnya, tidak ada hal aneh yang terjadi, tetapi ketika pria asing tadi datang, Singto menjadi seperti ini lagi padanya. Seolah Krist melakukan kesalahan, melukai Singto tanpa ia tahu penyebabnya.

Ia mengusap surainya dan mendudukkan dirinya pada anak tangga memandang pecahan cangkir yang berserakan pada lantai. Krist merasa jika hubungannya dan Singto mirip seperti itu, hancur tak bisa di perbaiki meskipun ia ingin.

"Sebenarnya apa salahku? Kenapa kau selalu memperlakukan aku seperti ini?"

Hanya itu yang Krist gumamkan dengan pelan, ia tak tahu mengapa Singto tak mau menjawab segala yang ia tanyakan, kenapa harus bungkam dan menyimpan segalanya sendiri, lalu melakukan hal seperti ini padanya. Memperlakukannya seolah Krist sudah melakukan dosa besar padanya. Krist benci keadaan ini, benci ia tak bisa tahu apapun, tak bisa mengerti keadaan yang sebenarnya.

Suara deruman mobil menginterupsi Krist yang tengah menyuapi Rieyu pada pagi hari itu. Tak lama kemudian ia mendengar seseorang memencet bel rumahnya. Krist langsung meletakkan peralatan makannya untuk mengecek siapa yang datang.

Begitu membukanya Krist melihat ada sesosok pria menggunakan pakaian kasual tengah berbicara dengan pria lain, Krist juga dapat melihat ada banyak bunga dan tanaman pada pick up yang terparkir di samping audi asing pada halaman rumahnya.

Begitu melihat ke arahnya pria tadi agak kaget, tetapi tak berani untuk menyuarakan keterkejutannya. Ia memberikan salam pada Krist.

"Maaf, khun Singto menyuruhku untuk mengantarkan ini."

"Ah, Phi Sing yang menyuruhnya?"

"Iya, Khun Singto memesan semuanya dan menyuruhku untuk meletakkannya di taman kalau aku sampai."

"Baiklah, tapi sepertinya dia masih belum bangun, akan aku membangunkannya dulu dan maaf aku tidak bisa mengijinkanmu untuk masuk karena aku tidak mengenalmu."

Pria itu mengganggukkan kepalanya. Ia tersenyum ramah pada Krist, sementara Rieyu yang menyembulkan diri dari punggung Krist langsung mengenali pria itu.

"Paman Mike, kenapa ke sini!"

"Heummm, kenapa berteriak anak nakal, apa kau tidak tahu jika Daddymu yang galak itu nanti akan marah karena mengira Paman menggodamu lagi."

Bibir Rieyu mencebik mendengar ucapan pria itu, ia menatap Krist seolah ingin mengadukan apa yang baru saja pria tadi katakan.

"Rieyu mengenal Paman itu?"

"Sekretaris Daddy. Teman Papa, apa Papa tidak ingat?"

Krist menggelengkan kepalanya, "Papa tidak ingat."

Rieyu menjulurkan lidahnya pada Mike, "Papa hanya ingat Rieyu dan baby Kei, 'kan?"

Mau tak mau Krist mengganggukkan kepalanya, membuat Rieyu tersenyum bangga pada teman Ayahnya. Krist menggelengkan kepalanya ternyata anaknya bisa menjaili orang lain juga.

"Tunggu di sini sebentar, aku akan menemui Phi Sing."

Krist menggandeng tangan sang Anak dan mengajak Rieyu untuk masuk menemaninya menemui Singto, karena jujur saja Krist tidak tahu di mana letak kamar Singto. Ia hanya tahu ruang kerja pria itu saja. Mereka tidur terpisah sejak Krist menginjakkan kakinya di tempat ini.

"Rieyu, kamar Daddy di mana?"

"Oh, kamar Daddy?"

Pria itu menganggukkan kepalanya dan menatap sang Anak penuh keinginantahuan akhirnya Rieyu membawa Krist ke suatu tempat, langkah keduanya terhenti pada pintu kaca yang tertutup.

"Ini kamar Daddy dan Papa."

"Di sini?"

"Iya. Di sini."

"Papa akan melihat Daddymu, apa Rieyu mau ikut?"

Rieyu menggelengkan kepalanya, "Tidak. Rieyu mau membuka mainan baru dengan Baby Kei."

"Oh, baiklah. Jangan nakal jaga adik dengan baik ya."

Bibir Rieyu mengerucut, "Rieyu tidak nakal Papa."

"Benarkah?"

"Memang Rieyu pernah nakal?"

"Tidak, anak Papa yang satu ini memang tidak pernah nakal."

Anak itu tersenyum senang lalu menarik lengan Krist, menyuruh Ayahnya untuk menunduk dan mengecup pipi Krist pelan sebelum berlari kabur meninggalkan pria itu yang menatap sang Anak sembari menggelengkan kepalanya.

Selepas kepergian Rieyu dengan ragu Krist mengetuk pintu kamar Singto, akan tetapi tak ada sahutan dari dalam. Beberapa kali Krist mencobanya hasilnya sama-sama nihil, hingga ia mencoba untuk mendorong pintu itu dan ternyata tidak di kunci. Ia memasuki ruangan yang terlihat gelap tetapi Krist masih bisa menangkap siluet pria yang tengah membaringkan diri di atas tempat tidur.

"Phi Sing...."

Tidak ada jawaban.

"Phi Sing...."

Lagi-lagi tidak ada respon.

"Phi Sing...."

Akhirnya Krist mendekati Singto, mencoba untuk membangunkan pria itu, akan tetapi begitu tangan Krist menempel pada pipi Singto, ia merasa tubuh seseorang yang berbaring itu sangat panas. Sontak saja Krist panik dan ingin pergi akan tetapi tangan ia meraih pergelangannya.

Krist membalikan badannya dan melihat Singto masih memejamkan mata, akan tetapi pria itu memegangi tangannya.

"Krist...."

Pria itu terdiam mendengar namanya di panggil, "Iya. Ini aku."

"Krist...."

"Aku di sini."

"Krist ... Jangan pergi, jangan tinggalkan aku."

Krist langsung mendudukkan dirinya ketika mendengarnya, ia menggenggam tangan Singto, Rasanya ada yang menggoreskan hatinya kini. Krist hanya bisa diam, semakin mengeratkan genggamannya pada Singto.

"Aku ada di sini dan tidak akan pernah meninggalkanmu," Krist menatap sosok itu dalam diam, "Phi Sing, maafkan aku."

Tidak tahu mengapa ia ingin mengatakan hal seperti itu, tak tahu alasannya apa Krist meminta maaf pada pria itu. Ia merasa terluka jika pria seperti ini. Krist tak pernah suka melihat Singto menghindari dan tak mau menatapnya. Apa dengan semua itu ia mulai menyimpan rasa lebih? Apakah Krist mulai menyukai pria itu di saat-saat rumit seperti ini? Tidak peduli apa yang terjadi sebelumnya, ia ingin bersama pria ini, seseorang yang tangannya ia genggam.






Continue Reading

You'll Also Like

300K 22.9K 104
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
24.8K 2.4K 37
WARNING!!!!! cerita ini mengandung dunia per BL alan Kalo gak suka tinggal skip aja HOMOPOBIC SKIP !!! Cerita ini merupakan original pemikiran dan im...
908K 43.7K 40
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
442K 8.3K 13
Shut, diem-diem aja ya. Frontal & 18/21+ area. Homophobic, sensitif harshwords DNI.