Sakinah [Sudah Diterbitkan]

TrisnaFebriyanti7 tarafından

253K 13.6K 1.8K

[Spin off Sebening Cinta Zeina. Ridwan's Story] Belum di revisi. Revisi hanya ada di versi cetak! Jadi, mohon... Daha Fazla

BLURB
1. Kepenggak Hitungan Jawa
2. Guru Pengganti
3. Selebgram
4. Backstreet
5. Laki-Laki Aneh
6. Gengsi
7. Jilbab dan Akhlak
8. Putus?
9. Bertemu Salsa
10. Perasaan Ridwan
11. Awas Jatuh Cinta
12. Beneran Putus? (1)
13. Beneran Putus? (2)
14. Mulutmu Harimaumu
15. Kenyataan Yang Menyakitkan
16. Kehilangan
17. Terkuak Sudah!
18. Ijazah, atau Ijabsah?
19. Usaha Berhijrah
20. Dijodohkan?
21. Pembatalan Perjodohan
22. Ternyata Cocok
23. Waktu Semakin Berlalu
25. Akad
26. Istri Galak!
27. Bukan Siapa-Siapa
28. Mari Berteman
29. Bahagia
30. Kabar Bahagia
31. Teman Masa Kecil
32. Teman Kecil (2)
33. Kalau Rindu Bilang!
34. K & T Wedding
35. Di SuKur-in Aja
36. Double Date
37. Jatuh Cinta
38. Bermunajat Berdua
39. Stay With Me
40. Rommantic Momment
41. Are You Jealous?
42. Dia Lagi!
43. Ujian
Zafran's Story
Happy Eid Mubarak and Filza's Story
Filza Meluncurrrrrr
Wajib Dibaca!
Segera Terbit & Kenapa Harus Sakinah?
Open PO!

24. Menjelang Akad

3.7K 288 62
TrisnaFebriyanti7 tarafından

Berbaktilah pada kedua orang tua selagi mereka masih ada. Jangan pernah menyakiti jika tak ingin menyesal saat mereka sudah tiada. Selalu ingat, Surgamu ada pada mereka.

~Sakinah
.

.

Happy Reading💕

Tasya hanya bisa menatap heran dua calon pengantin dihadapannya. Katanya ingin memesan undangan, tapi kok mereka hanya diam saja? Bagaimana memilih tipe undangannya kalo semua hanya berdiam diri.

"Ini katanya mau memilih undangan? Kok malah diem-dieman gini?" tanya Tasya pada Kanaya dan Ridwan.

"Pak Ridwan aja tuh suruh milih, gue mah ogah. Gue tuh maunya cuma undangan tahlil," ketus Kanaya.

Dahi Ridwan mengernyit. "Undangan tahlil? Buat apa?

"Buat ngeruqyah Pak Ridwan lah, supaya nggak jadi nikahin saya!"

Tasya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kedua orang yang selalu bertengkar ketika dipertemukan. Kapan akurnya sih?

"Heran deh sama kalian berdua. Tiap ketemu kerjaannya berantem mulu, nggak akur-akur. Tapi biasanya kalo sebelum menikah suka berantem modelan kek kalian nih, nanti pernikahannya bakalan langgeng." ujar Tasya.

"Aamiin."

"Amit-amit."

Kanaya dan Ridwan saling menatap tajam. Keduanya sama-sama tak terima dengan ucapan lawan bicaranya. Kanaya langsung memalingkan wajah sedangkan Ridwan hanya mengalihkan pandangan.

Tasya hanya bisa menonton mereka. Kalau kerjaannya hanya begini terus kapan sampainya?

"Udah deh, jangan berantem. Mendingan kalian berdua diskusi trus ambil undangan yang kalian sepakati. Nih contohnya banyak, bagus-bagus." ujar Tasya sembari mendekatkan beberapa contoh undangan pernikahan.

Tanpa berdiskusi, keduanya langsung mengambil undangan yang berbeda. Kanaya mengambil undangan berwarna coklat sedangkan Ridwan mengambil undangan berwarna silver. Keduanya mengulurkannya pada Tasya.

"Nih yang bener yang mana?" tanya Tasya bingung harus mengambil yang mana.

"Punya gue."

"Punya saya."

Tasya menepuk dahinya. Kalau seperti ini terus kapan selesainya sih? Ia menjadi serba salah sekarang.

"Biar saya aja yang pilihin kalo gitu."

Kanaya dan Ridwan hanya diam dan melihat Tasya yang kini sedang membanding-bandingkan undangan yang menurutnya bagus.

"Ini gimana?" Tasya menunjukkan sebuah undangan yang berwarna biru tua pada Kanaya dan Ridwan.

"GAK." Keduanya membalas kompak.

"Kalo kek gini aja kompak banget." gerutu Tasya.

"Itu undangannya warnanya jelek, modelnya udah kuno." komentar Kanaya.

"Kualitas kertasnya sedikit jelek." ganti Ridwan berkomentar.

"Lama-lama gue bikinan undangan tahlil beneran nih!" geram Tasya dalam hati.

"Trus kalian pilih undangan yang mana?" Tasya terus menghadapi kedua calon pengantin itu dengan sabar. Padahal kegeramanya meronta-ronta ingin keluar.

"Terserah." Kanaya dan Ridwan berucap bersamaan.

"Allahuakbar!! Gue ruqyah beneran nih mereka berdua." batin Tasya geram.

***

Hari yang ditunggu-tunggu para Siswa di SMAN Cendekia sudah tiba. Tepat pada hari ini sekolah mereka mengadakan acara Purnawiyata bagi seluruh kelas duabelas.

Baju kebaya bagi wanita, dan tuxedo bagi laki-laki adalah kostum yang mereka sepakati. Kini hampir seluruh penjuru ruangan di padati orang banyak orang.

"Nggak kerasa udah mau lulus aja." Tasya memandang Kanaya sembari tertawa kecil.

"Iya, sekolah ini banyak banget kenangannya. Saksi bisu kenakalan gue, juga tentang Raka.." Nada bicara Kanaya memelan. Tasya paham sekali perasaan sahabatnya. Bagaimanapun juga Raka adalah cinta pertama Kanaya dan pastinya sulit dilupakan. Apalagi selama ini hubungan mereka baik-baik saja, hanya saja takdir berkata lain.

"Jangan bahas Raka.. Okay? Raka udah bahagia disana, dia udah tenang disisi Allah."

Kanaya mengangguk.

"Yaudah, yuk, cari tempat duduk." ajak Tasya.

Mereka berdua pun mencari kursi di barisan tengah. Mereka tak ingin duduk di depan karena tak mau lebih banyak tersorot kamera.

Tasya celingak-celinguk mencari seseorang. Tapi sampai saat ini ia juga belum menemuinya. Sedangkan Kanaya yang mengerti langsung mengusap bahu Tasya menenangkan.

"Lo pasti cari Mama sama Papa lo, kan?"

Tasya hanya bergeming, lalu menatap Kanaya dengan tatapan nanar. "Papa sama Mama gak mungkin dateng deh, Nay. Mustahil. Buktinya pas gue di rumah lo, Mama sama Papa nggak nyariin gue, kan? Mereka udah nggak peduli, Nay. Gue ngerasa nggak punya orang tua."

"Hushh, jangan ngomong kaya gitu, gak baik. Mama sama Papa lo pasti dateng kok. Tunggu aja."

"Tapi sampai sekarang mereka juga nggak ada! Lihat deh anak-anak yang lain, orang tuanya pada dateng tepat waktu. Sedangkan Mama sama Papa gue? Belum tentu dateng, Nay!" Air mata Tasya menetes. "Kadang gue ngerasa iri. Gue pengen kaya anak-anak lain, gue pengen kaya lo. Punya keluarga yang sayang banget sama anaknya. Yang merhatiin perkembangan anaknya. Bukan malah nggak dipeduliin kek gue."

"Hush, gak boleh bilang gitu. Semua udah diatur sama Allah, lo jangan khawatir. Hapus rasa iri lo itu, lo iri karena lo kurang bersyukur. Jangan nyalahin hidup. Justru hidup yang nggak lo sukain ini bisa jadi menjadi impian orang lain. Bisa hidup enak, apa-apa keturutan. Lo nggak tau kan? Diluaran sana orang-orang harus jualan koran, ngamen, cuma buat makan."

"Tapi apa gunanya uang kalo gak dapet perhatian dari orang tua?"

"Gue tau, semua anak pasti ingin diperhatikan orang tua. Gue juga tau sebenarnya orang tua lo itu juga sayang sama lo, cuma mereka salah. Mungkin mereka pikir lo bisa bahagia dengan uang karena lo bisa beli apa aja yang lo mau. Kalo mereka salah beri mereka pengertian yang baik jangan malah dijauhin. Ada loh Sya, orang tua yang ngasih perhatian ke anaknya tapi anaknya gak peduli karena yang ada dipikirannya itu cuma ingin hidup enak. Keadaan setiap orang itu beda-beda, dan Allah akan memberikan jalan keluar yang berbeda-beda pula."

Tasya masih diam, menyimak.

"Setiap doa pasti dikabulkan. Bukan di waktu yang cepat tapi di waktu yang tepat. Kalo memang ini waktunya Allah mempermudah semuanya."

Tasya menghela napas berat. Tak menyadari bahwa sedari tadi air matanya terus mengalir. Tasya menyekanya.

"Udah, sekarang kita liat acaranya. Udah mau mulai tuh."

Satu persatu acara sudah selesai, prosesi wisuda pun telah usai dilaksanakan. Kini tinggal pengumuman siswa dengan nilai terbaik. Pengumuman yang ditunggu semua orang sampai-sampai membuat jantung berdegup sangat kencang.

Kanaya dan Tasya saling melirik. Jika yang lain berdegup kencang, keduanya malah bersikap biasa saja. Mereka tau bahwa keduanya tak mungkin menyandang predikat Siswa dengan Nilai Terbaik.

"PENGUMUMAN SISWA DENGAN NILAI UJIAN TERBAIK TAHUN INI DIRAIH OLEH DUA ORANG SISWI YANG MEMPEROLEH NILAI SEMPURNA." pembawa acara mulai mengumumkan.

Semua orang berdecak kagum, padahal tahun-tahun sebelumnya hanya ada satu siswa itupun nilainya tak sempurna. Dan sekarang? Ada dua orang, dan mendapatkan nilai yang sempurna. Hebat sekali!

"Mustahil deh kalo itu kita." Kanaya terkekeh pelan. Gadis itu mengambil air mineral dan meneguknya.

"Iya, gak mungkin. Gue mah gak berharap." balas Tasya sembari tersenyum kecil.

"KEPADA ANANDA KANAYA DIANDRA DAN NATASYA HILMA DIMOHON MAJU KEDEPAN SEBAGAI PENYANDANG GELAR SISWI TERBAIK TAHUN INI."

"Uhukk.. Uhukk..."

"Gue salah denger nggak sih? Yakali tuh MC panggil nama gue." ucap Kanaya tak percaya.

Tasya mengangguk membenarkan. "Gue juga ngerasa dipanggil tau nggak. Kita halu deh kayanya."

Kanaya dan Tasya tetap santai di tempat duduknya. Mereka berdua masih belum sadar jika pembawa acara menyebutkan nama mereka.

"SAYA ULANGI SEKALI LAGI, DIMOHON ANANDA KANAYA DIANDRA DAN NATASYA HILMA UNTUK MAJU KE DEPAN."

"Tuh MC beneran manggil kita?" Kanaya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Gue juga ngerasa gitu."

Salah satu siswi yang duduk didepan Kanaya dan Tasya menoleh ke belakang. "Kalian berdua disuruh maju ke depan tuh, nilai kalian terbaik tahun ini."

Kanaya dan Tasya saling melirik lalu menunjuk dirinya masing-masing. "Kita?"

Siswi tersebut mengangguk. Dengan ragu keduanya menuju keatas panggung. Sampai diatas panggung keduanya gugup larena tatapan semua orang kini tertuju kearah mereka.

"DIMOHON WALI MURID DARI KEDUA ANANDA INI UNTUK MAJU KE DEPAN."

Tak berselang lama, Arina maju ke depan untuk mendampingi putri tercintanya. Arina tak menyangka jika ternyata Kanaya berprestasi di sekolah. Pasalnya ia selalu mendengar bahwa putrinya itu selalu membuat onar.

Sedangkan Tasya hanya bisa menangis dalam hati. Percuma, percuma ia mendapat predikat siswi terbaik tapi orang tuanya tak bisa mendampinginya.

Kanaya hanya bisa menatap Tasya nanar. Tak dapat dipungkiri jika Kanaya juga menunggu kehadiran orang tua Tasya. Ia ingin sahabatnya merasa bahagia.

Tasya membalas tatapan Kanaya dengan air mata yang menetes. Boleh tidak jika ia turun saja?

"Sebentar lagi orang tua lo pasti naik." Kanaya berucap tanpa suara.

"SEKALI LAGI, DIMOHON WALI MURID DARI ANANDA NATASYA HILMA MAJU KE DEPAN."

Para tamu mulai berbisik-bisik. Pikiran Tasya kacau. Tanpa pikir panjang gadis itu langsung berlari turun dari panggung. Jika tetap disana ia hanya bisa menanggung malu.

"TASYAA." Kanaya ikut berlari mengejar Tasya. Kanaya sangat rahu pasti hati sahabatnya itu hancur.

Tasya terus berlari. Seketika ia menghentikan langkahnya saat mendapati dua orang yang ia nanti-nanti kini berdiri di hadapannya dengan tatapan sendu. Tasya beringsut mundur, hatinya terlanjur terluka.

"Tasya.." panggil Gilang, Papa Tasya.

"Tasya, sini sayang.." Kinan, Mama Tasya ikut memanggil Tasya. Sudah lama ia tak berjumpa dengan putrinya karena banyak masalah.

Tasya tak mempedulikan, tapi terus beringsut mundur. Kata-kata yang ia ucapkan tadi kini ingin ia tarik kembali. Ia ingin orang tuanya pergi saja. Bahkan Tasya tak peduli jika mereka menjadi sorotan semua orang.

"Sya.." Kanaya memegang bahu Tasya. "Mereka udah dateng, Sya, temuin mereka."

"Nggak. Gue nggak mau, gue mau mereka pergi, Nay." Tasya bersembunyi dibalik tubuh Kanaya. Gadis itu seperti ketakutan.

"Tasya.." Kinan memanggil Tasya lirih.

"Suruh mereka pergi, gue nggak mau ketemu mereka. Selama ini gue gak pernah diperduliin Nay, gue ngerasa kalau gue itu bukan anak mereka." Tasya terus menangis terisak. Hatinya sungguh sakit melihat kedua orang tuanya datang. Ia juga tak tau harus senang ataukah sedih.

"Maafin kami, Nak." Kinan melangkah mendekati Tasya dengan perlahan.

"Jangan mendekat!"

Kinan yang mendengar itu tak peduli, ia terus melangkah mendekat agar bisa memeluk Tasya. Ia merasa berdosa karena telah menyia-nyiakan putrinya. Tapi langkah Kinan harus berhenti karena tangannya dicekal sang suami.

"Aku mau meluk Tasya, Mas." pinta Kinan.

Gilang mengangguk. "Mas tau, tapi apakah Tasya masih menganggap kita orang tuanya?"

"Mama sama Papa, pergi! Tasya gak butuh kalian!" Tasya seperti orang kesetanan sekarang. Pikirannya sudah didominasi rasa benci, hingga tak bisa berpikir jernih.

"Tasya, Istighfar!" tegur Kanaya karena sikap Tasya yang terlalu berlebihan pada kedua orangtuanya. Jika ia tak menegur, bisa-bisa sahabatnya itu semakin menjadi.

"Gue pengin mereka pergi, Nay." ucap Tasya lirih.

"Lo sadar nggak sama apa yang lo ucapin? Mereka orang tua lo, Sya! Orang tua yang udah berbaik hati ngerawat lo sampai sebesar ini. Lo sadar gak sih kalo sikap lo itu udah keterlaluan?" Kanaya menggoyang-goyangkan bahu Tasya yang bergetar. "Gue tau lo sakit hati. Gue tau selama ini lo ngerasa gak dipeduliin. Tapi bagaimanapun juga mereka itu orang tua lo. Percuma lo hijrah kalo lo masih durhaka sama orang tua. Hijrah lo sia-sia, Sya."

"Semua orang punya alasan dibalik apa yang mereka lakukan. Sama kek kedua orang tua lo. Hormati mereka, terutama Mama lo. Surga ada di telapak kakinya. Masa lo tega nyakitin hati Mama lo yang udah rela mengandung selama sembilan bulan, taruhin nyawa buat ngelahirin lo. Lo tega, Sya? Gue tau ini pasti berat buat lo, tapi sebagai sahabat gue cuma bisa ngingetin. Berbaktilah kepada orang tua selagi mereka masih ada kalau nggak ingin menyesal saat mereka susah tiada."

"Umur nggak ada yang tau, Sya. Lo nggak mau kan jika seandainya ini pertemuan terakhir lo sama mereka tapi lo malah bersikap durhaka?"

Tasya menangis sesenggukan. Kanaya benar, ucapannya benar. Umur tidak ada yang tahu, bagaimana jika seandainya ini adalah waktu terakhir berjumpa dengan kedua orang tuanya?

Tasya memberanikan diri melangkahkan kaki mendekati Kinan yang kini masih terisak di pelukan Gilang. Tasya menatap Kinan lama sebelum akhirnya bersujud sembari menciumi kaki sang Ibu.

"Maafin Tasya, Ma. Tasya udah ngelukain hati Mama." Tasya terus menangis dibawah sang Ibu. Gadis itu benar-benar merasa berdosa.

Kinan menangis, ia langsung membantu Tasya berdiri. Wanita paruh baya itu menatap putrinya dengan berkaca-kaca. "Mama maafin Tasya. Mama sama Papa minta maaf karena selama ini udah nggak peduliin Tasya."

"Nggak seharusnya Tasya bersikap kaya tadi. Maafin Tasya, Ma, Pa." Tasya menatap satu persatu orang tuanya.

Tangan Gilang terulur mengusap pucuk kepala Tasya yang tertutup khimar dengan penuh kasih sayang, ia menyesal telah membuat putrinya seperti tak mendapatkan kasih sayang. "Papa nggak jadi pisah sama Mama. Dan mulai saat ini, Mama akan di rumah jagain Tasya. Biar papa aja yang kerja. Mama sama Papa berjanji akan menjadi orang tua yang baik untuk kamu."

Tasya semakin menangis, ia memangis bahagia. Tasya menolehkan kepalanya kearah Kanaya. "Nay.."

Kanaya mengangguk terharu. "Iya, Sya, doamu terkabul. Allah udah membayar semua perjuanganmu selama ini." Kanaya ikut menangis.

"Allah, terima kasih telah mengabulkan doa hamba. Maaf telah meragukan-Mu, maaf telah berbuat dosa kepada-Mu. Terima kasih telah mengabulkan doa hamba, seakan tak peduli dengan dosa yang selama ini hamba perbuat." Tasya bergumam pelan.

"Mama senang kamu merubah penampilan menjadi lebih baik." ucap Kinan sembari melihat penampilan Tasya yang kini memakai baju kebaya namun berbahan longgar dengan jilbab yang juga modern namun syar'i.

"Tasya udah kebanyakan dosa, Ma. Gak mungkin Tasya gitu terus. Allah udah ngasih Tasya hidayah dengan perantara Naya. Dia yang ngajak Tasya hijrah." Tasya melemparkan senyumnya pada Kanaya.

"Naya, sini, Nak." Kinan memanggil Kanaya agar mendekat.

Dengan ragu, Kanaya berjalan mendekati Tasya dan keluarganya.

"Terima kasih sudah ngajak Tasya ke jalan yang benar. Terima kasih sudah menasihati Tasya dan mengajarkan dia agar tidak membenci kami walaupun kami berbuat tidak baik pada Tasya. Semoga Allah membalas semua kebaikanmu, Nak." Kinan memegang kedua tangan Kanaya.

"Sama-sama tante, sebagai sahabat kami hanya saling mengingatkan. Tasya juga sering kok negur Naya kalo Naya berbuat kesalahan." Kanaya tersenyum tulus.

"Kamu memang anak yang baik. Terima kasih juga karena mau menerima Tasya di rumah. Kapan-kapan, kamu main ke rumah kami ya."

"Siap, Tante. Naya pasti sering dateng ke sana, kan itu rumah calon kakak ipar." Kanaya menggoda Tasya.

"Nay!"

"Ups, maaf, bercanda. Hehe."

Tanpa mereka sadari seorang laki-laki berdiri tak jauh dari posisi mereka. Dan ia mendengar semuanya. "Sebenarnya dia gadis yang baik, hanya saja sikapnya sering membuatku sedikit kesal. Sama persis seperti dulu."

***

"Satu minggu lagi kalian akad loh, Nay." Arina mengingatkan Kanaya tentang hari pernikahannya. Kalo tidak diingatkan pasti gadis itu sudah lupa.

Kanaya mengembuskan napas kasar. Dari tiga hari yang lalu Bundanya tak pernah absen mengatakan itu. Alasannya supaya ia tidak melupakannya. Tidak tanggung-tanggung, setiap harinya Arina pasti mengingatkannya sampai sepuluh kali dalam sehari.

"Mau mahar apa? Nanti Bunda sampaikan ke Santi."

Kanaya merenung sejenak. Walaupun ini. bukan pernikahan impiannya namun tidak salah kan kalo ia meminta mahar sesuai yang ia inginkan selama ini?

"Naya cuma mau seperangkat alat salat, Bun."

"Yakin? Nggak ada yang lain lagi?" tanya Arina. Siapa tahu putrinya itu akan meminta mahar aneh-aneh agar Ridwan tak bisa mengabulkannya.

Kanaya menggeleng pelan.

Arina tersenyum, dalam hati ia yakin bahwa putrinya itu pasti sudah menyerah dan pasrah terbukti dari sikap Kanaya yang lebih pendiam belakangan ini.

"Seperangkat alat salat dibayar tunai apa dibayar utang?"

"Dibayar tunai dong, Bunda," balas Kanaya.

"Berarti sah, dong?" goda Arina.

Kanaya mencebikkan bibir. "Ih, Bunda."
















Ini panjang loh ya,😂
Bentar lagi mereka nikah😆
Btw, saya nangis pas scene Tasya. Paling gabisa nahan tangis kalo udah bahas soal orang tua😥
Minta target ah, biar kalian ikutan semangat nunggu Sakinah😆
35 vote + 10 komen aku langsung up!

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

4.8K 423 19
Follow dan vote sebelum membaca!!✨ ... [ROMANCE] - [SPIRITUAL] - [PERJODOHAN] ... DISHABILA KANZA HUMAIRA Perempuan muda yang masih Sekolah Menengah...
31.4K 1.8K 48
Diharuskan untuk follow sebelum membaca! Pernikahan yang Hilsya impikan nyatanya tidak berjalan sesuai harapan. Aral melintang menghambat perjalanan...
28.5K 1.2K 25
#Project_Kolaborasi Genre : Spritual-Romance Penulis : Ferdi Andreas x Rianty Blurb Seakan menjadi dejavu. Kisah yang pernah dialami oleh Ummahnya, j...
2.2M 124K 55
[COMPLETED] Rank #1 in Doa - 10Mei2018 Rank #3 in spiritual - 03Juni2018 Memutuskan untuk pergi bukan berarti aku melepaskanmu. Dalam setiap langkahk...