Cindy & Claudya (Republish)

By zerofourbee

19K 2.4K 658

Cindy, seorang dokter di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta. Bersama adik kembarnya-Claudya-sejak kec... More

Prolog
1. Kenapa?
2. Tentang Mereka.
3. Second Meet With dr. B
4. Doctor B, Makes Chan jealous.
5. Chan's Feeling
6. Pengakuan dan Rahasia
7. Claudya
8. Kabar Bahagia
9. Pelajaran hidup
10. Keluarga
11. Persaingan
12. Kisah Mariposa
13. Like (Not) Mariposa
14. Pasta and Strawberry Drink
15. I am not fine
16. Bali
17. She
18. Kalandra Hospital
19. Coming Home
21. Jangan Takut, Ada Aku.
22. Diagnosa
23. You Are a Butterfly
24. kejutan
25. Liburan. Aku dan kamu.
26. Last Holiday
27. I Want You To Be My Lady
28. Love Song
29. Pulang
30. something Bad
31. Aa' Bisma
32. Kiss
33. Singapore
34. Terungkap
35. Pengakuan Dokter Bisma.
36. Pencarian
37. New face
5 Bab Akhir

20. Perjanjian

288 44 6
By zerofourbee

"Dokter Cindy ...," teriaknya antusias, bisa Cindy terka siapa pemiliknya.

Dia berlari kecil menghampiri Cindy yang sudah berada di depan ruang praktiknya.

"Selamat pagi, Suster Erika," sapa Cindy sembari melemparkan senyuman.

Sapaannya dibalas dengan sesuatu hal yang lebih mengejutkan, suster Erika berhamburan memeluk Cindy.

"Aah ... aku kangen, Dok" ujarnya.

"Kangen siapa? Pacar?" goda Cindy.

Dia melepaskan pelukannya, memicingkan sebelah matanya menatap Cindy. "Kok pacar, sih. Aku, 'kan nggak punya pacar, Dok."

"Ya, siapa yang tahu, dua hari aku tinggal ke Bali, kamu dapet pacar gitu."

"Ih, Dokter mah, apaan, sih." Dia meraih handle pintu, membuka ruang praktik yang Cindy tinggalkan beberapa hari kemarin.

Cindy mengangsurkan paper bag kecil ke suster Erika. "Ini, oleh-oleh buat kamu." Sesaat suster Erika berseru dengan semangat menyambut paper bag, yang sejak tadi Cindy jinjing.

"Aaah ... Dokter Cindy, terima kasih."

Cindy menarik garis melengkung ke atas membentuk senyuman. "Suka?"

"Suka banget," ujarnya, dengan mata berbinar seolah sedang menatap tas branded limited edition, yang sudah lama dia idamkan.

Cindy hanya terkekeh pelan memperhatikan tingkahnya yang terkadang cukup menggemaskan.

Cindy menyimpan tasnya ke dalam loker yang terletak di sudut ruangan, meraih snelli, dan duduk di kursi kebanggaannya.

"Dok," panggil suster Erika.

"Ya?"

"Bali ... pasti menyenangkan, ya?" Suster Erika sudah duduk di kursi di hadapan Cindy, memangku dagu menghadapnya.

"Hum, sangat menyenangkan. Kerja nggak terasa karena bisa sekalian refreshing."

"Kuring oge hoyong ka Bali, Dok," ujar suster Erika sambil mencebikkan bibirnya.

Aku hanya tersenyum. Suster Erika, gadis yang manis dengan logat Sunda-nya yang kental. "Nanti, ada waktunya," balas Cindy, menghiburnya.

Cindy membolak-balik lembaran berkas di dalam map biru, yang sudah bertumpuk di meja kerja, karena sudah dua hari ditinggalkan.

"Erika," panggil Cindy.

"Ya, dok. Kenapa?"

Cindy dan suster Erika memang bisa dikatakan cukup dekat, jika hanya berdua Cindy biasa memanggilnya tanpa embel-embel profesi. Cindy pernah meminta agar ia melakukan hal yang sama. Namun, ia enggan melakukannya, ia tetap memanggil Cindy dengan panggilan— dokter Cindy.

"Kamu ... pernah makan siang bareng dokter Bisma, nggak?" tanya Cindy, meski agak sedikit ragu.

"Hmm." Suster Erika bergumam seperti mengingat kejadian yang mungkin terlewatkan, "belum, Dok," jawabnya mantap.

"Kamu, pernah melihat dokter Bisma makan siang sama rekan yang lain?"

"Pernah ...." Suster Erika memutar bola mata ke atas, meletakkan jari telunjuknya di dagunya, sebelum kembali berkata, "Aku pernah lihat dokter Bisma sama dokter Jian, sama dokter Hendra juga pernah. Hmm ... siapa lagi ya."

"Rekan cewek?" tanya Cindy, kembali mencari informasi.

"Kenapa, Dok? mau ngajak dokter Bisma makan siang? Perlu aku sampaikan, nggak nih. Aku sampaikan sekarang lho."

Suster Erika berdiri dari tempat duduknya, seolah akan pergi melakukan apa yang diucapkannya.

"Husst, sembarang aja." Cindy tergelak sesaat. Suster Erika memang suka bertingkah selucu itu.

"Dok, anjeun ngagaduhan anu ngomong? Hayu, carita kadieu."

Cindy ragu, hendak cerita atau tidak perihal menyangkut dokter Bisma. Sampai akhirnya ia memberanikan membuka cerita, dari makan siang yang tidak di sengaja di sini, sampai kejadian di Bali. Meski kebetulan.

"Woaah ... ieu mangrupikeun nasib, Dok." Suster Erika heboh sendiri, saat Cindy menyelesaikan ceritanya.

"Dok ... dokter Bisma, ganteng udah, mapan nggak usah ditanya, gimana rasanya kencan kebetulan sama dokter Bisma? romantis nggak kira-kira?" tanya jahil suster Erika.

"Eh? Ngaco kamu, ya. Ngomong apa, sih. Udah sana, kita mulai kerja."

Suster Erika terkekeh, sembari berdiri dari tempat duduknya. "Nanti ... cerita ya, Dok. Gimana rasanya makan siang sama pewaris Kalandra Hospital."

Cindy hanya melotot, sementara suster Erika sudah berlalu di balik pintu.

Cindy meraih ponselnya pada saku snelli, mengetik pada room chat,

Cla, lo hari ini jadi ketemu dokter Bisma?

Pesan yang dikirimkan pada Claudya.

Belum mendapat balasan, mungkin Claudya sedang tidak memegang ponselnya. Cindy menunggu sampai mendapatkan balasan, sembari melayani pasien-pasien yang sudah mengantri di ruang tunggu.

Ponselnya, ia simpan di laci nakas, sebelum bergelut pada pekerjaan.

***

"Dok, ini pasien terakhir," jelas suster Erika.

Cindy mengangguk. "Baik," jawab Cindy.

Pasien terakhir pun sudah selesai. Cukup memakan waktu untuk pasien terakhir ini. Pasien ini, anak berusia lima tahun. Harus dibujuk terlebih dahulu agar mau diperiksa.

Cindy menyimpan stetoskop yang menggantung di lehernya pada laci meja kerja. Menggantung kembali snelli pada gantungan di tempat semula.

Cindy meraih ponselnya, ada satu notifikasi pesan dari Claudya.

Cla Ma Twin : Iya, ini udah di rumah sakit. Lagi nunggu antrian, gue sengaja ngambil antrian terakhir.

Balasan pesan yang didapatkan dari Claudya masuk setengah jam yang lalu.

Cindy membalas pesannya.

Masih di sana? Gue mau ngajak lo, makan siang bareng, yuk.

Belum ada balasan lagi, Cindy bergegas membereskan pekerjaannya, berharap Claudya masih ada di sana. Cindy meraih sling bag dari loker. Cindy berniat mengajak Claudya makan siang bersama. Mengingat ini sudah waktunya makan siang.

Garis senyum secara refleks tertarik ke atas, saat Cindy baru saja keluar dari ruangan. Di depan ruangan dokter Bisma, Cindy melihat pria perawakan tinggi yang sangat ia kenali. Sedang duduk menunggu, dengan posisi tangan dilipat di depan dada. Jangan lupakan arah pandangnya yang tak lepas dari pintu ruang praktik dokter Bisma.

Langkah Cindy semakin mendekat, Chan masih belum menyadari keberadaannya.

"Hei, ngapain lo. Kesurupan baru tahu rasa," goda Cindy pada Chan.

Chan mendongakkan kepala, mengarahkan pandangannya kearah Cindy.

"Eh, lo, Cin. Sudah selesai?"

"Hmm, sudah. Ini baru mau istirahat siang. Makan siang bareng, yuk," ajak Cindy, sembari mendudukkan tubuhnya pada bangku panjang yang sama dengan Chan.

"Iya, tunggu Claudya dulu," jawab Chan.

"Chan, lo, kenapa nggak masuk?" tanya Cindy.

"Cla, nggak nyuruh gue masuk. Mungkin ada yang perlu dibahas sama dokter itu, yang harus dirahasiakan," tandas Chan.

Tumben, ada rahasia-rahasian segala. Biasanya Claudya tidak pernah menyembunyikan apa pun dari Chan.

"Kalo gue yang masuk? Boleh, nggak kira-kira?" tanya Cindy ke Chan.

"Ya, dicoba aja, Cin. Lagian, 'kan lo dokter di sini."

Cindy berdiri dari posisi duduknya, menepuk singkat  bahu Chan. "Gue masuk dulu, ya."

Chan hanya mengangguk. Baru saja Cindy berdiri di depan pintu, tangannya baru terayun hendak mengetuk, sesaat kemudian handle pintu bergerak, tanda ada yang memutarnya dari dalam. Pintu terbuka sedikit, Cindy masih mematung saat suara itu terdengar samar di telinganya. "Sekali lagi, terima kasih, Dok. Aku harap Dokter bisa menjaga rahasia ini."

Suara Claudya, tapi ... rahasia apa yang dibahas Claudya dan dokter Bisma, hingga Chandrika saja tidak di izinkan tahu.

Cindy memasang seulas senyum, meski benaknya masih menerka apa yang baru saja didengar. Pintu di depannya, benar-benar terbuka lebar. Menampilkan Claudya dan dokter Bisma.

"Cindy."

Air muka Claudya kentara sekali dalam keadaan terkejut.

"Hai ...," sapa Cindy canggung. "Selamat siang, Dok." Cindy lanjut menyapa dokter Bisma.

"Udah lama lo di sini?" tanya Claudya.

"Barusan, kok. Gue mau ngajak lo makan siang. Sudah selesai, 'kan?"

Claudya mengangguk. "Iya, udah beres semua, kok."

***

Cindy, Cindy, dan Chandrika, sudah berada di salah satu kafetaria. Menunggu pesanan makan siang.

"Gimana, apa kata dokter Bisma?" ucap Cindy, membuka pembicaraan. "Kapan, lo akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut?"

"Hmm, mungkin sekitar dua hari lagi gue ke sini lagi untuk pemeriksaan, dan langsung menjalani tindakan," jelas Claudya.

Cindy meraih tangannya. "Gue ada di sini, ada Chan, bunda, ayah, Bang Cakka, dan Kak Ina juga. lo jangan khawatir ya. Kita akan selalu support lo."

Chandrika, mengusap pelan punggung Claudya. Menyalurkan dukungannya atau ... kasih sayangnya?

"Gue ... nggak kenapa-kenapa, kok. Gue pasti bisa," ucap semangat Claudya.

"Yes, Claudya De Joanne is a strong girl," sambung Cindy.

"Semangat! You can do it, Princess," tandas Chandrika.

Mereka bertiga tergelak, menertawakan kekonyolannya sendiri.
.
.
.
.

To be Continue
Tanjung Enim, 5 Juni 2020
Revisi : 10 Des 2020

  

Continue Reading

You'll Also Like

1.5K 122 16
Apa jadinya, jika seorang introver seperti Ayana Paradista menjadi CEO? Jangankan menjadi pemimpin sebuah perusahaan, bertemu dan bergaul dengan oran...
3.9K 352 10
Semuanya kuberikan, tapi jangan cinta. Karena cintaku sudah lama mati. Andara Winasti
26.6K 938 23
"Dari ketinggian ini, dengan belai lembut kabut saat ini, biar matahari terbit itu jadi saksi.. Aku suka kamu Aku sayang kamu Izinin aku buat jadi la...
1.3K 142 43
[CERITA INI DIIKUTSERTAKAN DALAM WRITING MARATHON YANG DILAKSANAKAN OLEH CAKRA MEDIA PUBLISHER] Sejak aku menyadari perasaan ini tertuju untukmu, ak...