Dersik

By khanifahda

770K 95.1K 6.6K

Hutan, senjata, spionase, dan kawannya adalah hal mutlak yang akan selalu melingkupi hidupku. Namun tidak se... More

Khatulistiwa
Proyeksi
Kontur
Skala
Topografi
Distorsi
Spasial
Meridian
Citra
Evaporasi
Kondensasi
Adveksi
Presipitasi
Infiltrasi
Limpasan
Perkolasi
Ablasi
Akuifer
Intersepsi
Dendritik
Rektangular
Radial Sentrifugal
Radial Sentripetal
Annular
Trellis
Pinnate
Konsekuen
Resekuen
Subsekuen
Obsekuen
Insekuen
Superposed
Anteseden
Symmetric Fold
Asymmetric Fold
Isoclinal Fold
Overturned Fold
Overthrust
Drag fold
En enchelon fold
Culmination
Synclinorium
Anticlinorium
Antiklin
Sinklin
Limb
Axial Plane
Axial Surface
Crest
Through
Delta
Meander
Braided Stream
Oxbow Lake
Bar Deposit
Alluvial Fan
Backswamp
Natural Levee
Flood Plain
Horst
"Graben"

Peta

42K 2.1K 51
By khanifahda

DERSIK
.
der·sik n desir (bunyi angin dan sebagainya)

.

Dari kemarin pengen banget buat cerita untuk Raksa tetapi bingung dengan alur cerita yang akan aku buat. Sempat mau berhenti mikir buat cerita Raksa tetapi tiba-tiba buka-buka coretan lama terus kepikiran buat cerita dengan alur yang sudah aku buat sebelumnya.

Terima kasih yang mungkin menanti cerita Raksa ini. Semisal tidak sesuai ekspektasi kalian, mohon maaf karena sedari awal aku nulis emang yang pengen aku tulis, sedikit kurang nyaman dengan intervensi dari luar sehingga kadang membelokkan niat awal buat nulis cerita, sekalian aku ngomong biar plong ya 🙏

Semoga suka dan menikmati cerita ini. Aku lebih suka nulis cerita yang sederhana tapi bisa memberi nilai dan pesan buat pembaca daripada yang terlalu maaf drama karena memang membuat cerita yang alur berat jujur aku kurang bisa. Biasanya alur berat butuh survey, data dan feel yang kuat sehingga aku nulis ya apa adanya ini. Semisal kurang greget, its okay lah, karena kalian punya standar bacaan masing-masing. Karena yang namanya selera itu tidak bisa di pukul rata.


Terima kasih kalian yang sudah mengapresiasi tulisan ini. Dari awal nggak nyangka bisa sampai seperti ini karena ekspektasiku cuma sebatas nulis buat aku baca sendiri kalau gabut maupun udah mupeng sama tugas dan sebagainya(nah ini aku di bilang lebay nggak papa kok wkwk)

Sempat maju mundur publish ini cerita tetapi semoga saja lancar ke depannya.

Terima kasih dan maaf dengan note yang penting tidak penting ini. Happy Reading🙂

.....

Nadin Amirah membuka pintu rumah panggung sambil menghirup udara segar dari paru-paru dunia. Pohon-pohon menjulang tinggi di antara belantara hutan yang membuat siapa saja enggan hidup disana, kecuali sudah dari kecil atau kepepet. Hidup di pedalaman dan berada di tapal perbatasan tak membuat Nadin melunturkan niatnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, begitulah tugasnya.

Namun Nadin bersyukur hidup di tanah Borneo ini. Nadin banyak mengambil nilai yang begitu berharga. Tak ada yang ia sesali karena ini langkahnya. Walau dunia mengumpatinya tetapi ia tak peduli.

Nadin melirik jam dinding usang yang di berikan Bu Maria, seorang kepala sekolah  sementara tempatnya mengajar. Awal pertama masuk di daerah ini, Nadin sangat minum pengalaman dan hendak mundur saja, tetapi karena tugasnya, perempuan berusia 22 tahun itu pun memantapkan niatnya. Ia bahkan sudah di sumpah oleh negara dan harus siap di tempatkan di mana saja.

"Ayo Bu Nadin, kita berangkat ke sekolah." Kebetulan Bu Maria keluar dari rumah kayunya yang berada di depan rumah panggung sederhana Nadin yang di bangun atas inisiatif kepala desa secara gotong royong. Sebenarnya Nadin hendak di satukan dengan Bu Maria, tetapi karena suatu hal Nadin akhirnya di buatkan rumah darurat disini.

Perempuan berhijab hitam itu lantas mengangguk dan tersenyum, lantas menutup pintu rumah darurat itu dan berjalan beriringan dengan Bu Maria.

"Semalam tidur nyenyak Bu?" Tanya Bu Maria. Sedangkan Nadin terkekeh pelan, "Sedikit terganggu dengan suara hewan di sini tetapi akhirnya bisa tidur walau sudah sangat larut bu." Memang musim peralihan ini hewan-hewan khas hutan mulai menampakkan eksistensinya, bagi yang sudah terbiasa akan menjadi patokan jika musim kemarau akan tiba tetapi bagi yang belum terbiasa tentu sangat terganggu dan ingin menutup telinga saja rasanya karena mengganggu jam tidur malam.

Lantas kedua perempuan berlatar belakang berbeda itu berjalan menyusuri jalanan yang masih di dominasi oleh batu-batu kecil, tak ada aspal apalagi beton, sungguh ironi di tapal batas negeri ini. Tetapi inilah yang terjadi.

Mereka berdua berjalan layaknya saudara. Bu Maria mengenakan batik yang sudah mulai luntur warnanya dan jangan lupa rambutnya yang di sanggul kecil dengan bedak tabur di wajahnya yang mulai luntur karena keringat yang perlahan membasahi pelipis perempuan itu.

"Bu Maria kapan balik ke kota?" Tanya Nadin. Seminggu penempatan di sini, Nadin semakin dekat dengan Bu Maria dan mengetahui jika Bu Maria adalah orang kota yang mendapat tugas mengajar di pedalaman.

Bu Maria tersenyum, "Mungkin nanti ketika Natal Bu." Nadin mengangguk lantas kembali berjalan menuju ke sekolah yang jaraknya hampir 2 km dari tempat mereka tinggal.

Akhirnya mereka sampai di sekolah darurat yang jauh dari kata layak. Tetapi para siswa bersemangat sekolah karena di situlah satu-satunya sekolah yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Jika mencari sekolah yang agak layak mereka harus menempuh jarak sekitar 15 km dengan keadaan jalan yang rusak parah, ditambah harus melewati perkebunan yang sangat sepi.

Anak-anak yang sebelumnya berlarian langsung berhenti dan masuk kelas dengan cepat karena ibu guru mereka sudah datang. Nadin tersenyum melihat anak didiknya itu antusias ketika belajar walau penuh dengan keterbatasan.

Di sekolah darurat itu hanya terdiri dari 4 guru. Pertama ada Nadin, Bu Maria, Bu Indah dan Bu Laila. Bu Indah dan Bu Laila asli penduduk sana yang tinggal di desa sebelah.

Nadin pagi ini mengajar kelas 1 dan siangan sedikit akan mengajar anak kelas 5 SD. Ada 6 kelas tetapi hanya ada 4 guru sehingga membuat mereka kewalahan menghadapi anak-anak yang banyaknya melebihi kapasitas yang ada.

Mengajar anak kelas 1 memang butuh perhatian lebih. Mereka kadang susah sekali diatur. Apalagi mereka banyak yang belum bisa membaca dengan lancar sehingga Nadin harus mengajarkan alfabet dari awal. Itu adalah tantangannya ketika mengajar di sini.

Namun Nadin tidak menyerah, melihat anak-anak yang antusias untuk belajar membuat gadis muda itu bersemangat untuk menularkan ilmu yang ada. Nadin kadang berpikir mengapa pendidikan di Indonesia belum merata padahal zaman sudah semakin maju tetapi pembangunan di pedalaman dan perbatasan begitu kurang. Ini akan menjadi catatannya lagi untuk bisa mengembangkan pendidikan lebih merata sehingga anak-anak di Indonesia utamanya di pedalaman bisa mendapatkan hak yang sama. Bukankah tujuan dari negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan jangan lupa dengan program SDG'S (Sustainable Development Goals) tujuan ke empat yaitu memastikan pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara, juga mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua.

"Itu yang belakang kenapa ribut?" Nadin langsung bangkit dari kursi yang sudah mulai lapuk dan menghampiri anak didiknya yang terlibat perselisihan.

"Ibu, ini Lionel mengganggu saya." Adu bocah perempuan berambut ikal yang sudah menangis.

Nadin lantas berjongkok, "Lionel, kenapa kamu mengganggu Sarah?" Tanya Nadin pada Lionel yang justru menunduk. Bocah laki-laki itu tak berani mengangkat kepalanya hanya untuk sekedar menatap Nadin.

"Maaf Ibu. Lio tadi hanya kesal di katai Sarah tak bisa main bola." Adu bocah laki-laki itu. Nadin menghela nafasnya, memang tantangannya mengajar anak kecil harus sabar dan bisa memberikan contoh yang baik. Ia tak bisa timpang sebelah ketika ada masalah di antara anak didiknya. Sebagai guru ia memaklumi tingkah bocah yang memang suka saling ejek, tetapi Nadin dengan sabar memberikan pengertian jika hal itu bukanlah hal terpuji dan ternyata bisa mengurangi kasus perseteruan antar anak didik semenjak ia pindah ke sini. Dulu anak-anak sering gaduh dan sulit di atur, tetapi beruntung selama seminggu ini Nadin bisa dengan sabar memberikan contoh dan pengertian kepada mereka semua.

"Sudah ya ayo kalian saling meminta maaf dan janji jangan mengulangi lagi."

Lantas kedua bocah itu saling meminta maaf, "Lio, Sarah minta maaf sudah mengejek kamu." Ujar bocah perempuan itu.

"Lio juga meminta maaf Sarah. Lio sudah nakal sama kamu." Sahut bocah laki-laki itu. Kemudian Nadin tersenyum lantas berdiri dan kembali mengkondisikan keadaan kelas agar tidak gaduh lagi. Nadin melanjutkan kembali pelajaran matematika dan kembali fokus dengan tugasnya itu.

*****

"Bu kemarin saya melihat ada beberapa kelompok seperti dari kodim turun di lapangan." Ucap bu Indah di sela-sela mereka istirahat di kantor yang seadanya itu. Sedangkan Nadin memilih membaca buku yang ia bawa dari Jawa.

"Mungkin lagi latihan ke hutan Bu. Kan di sini memang hutannya luas, mungkin saja di jadikan latihan bapak-bapak tentara." Sahut Bu Laila.

"Menurut Bu Nadin gimana?" Nadin langsung mendongak. Tatapan Bu Indah seakan menuntut Nadin untuk menjawab pertanyaannya itu.

"Saya?"

"Mungkin Bu Laila benar, wajar kalau misal banyak yang latihan disini." Sambungnya.

Sedangkan Bu Maria lebih fokus mengetikkan sesuatu di laptop keluaran jadul. Bu Maria lebih memilih di pojokan karena lebih nyaman di sana, mungkin.

"Tapi saya curiga loh soalnya mereka pada mengendap-endap gitu." Ucap Bu Indah lagi. Sedangkan Nadin hanya tersenyum tipis.

"Eh ini sudah masuk. Kami pergi mengajar dulu ya Bu." Ucap bu Laila pada Nadin dan Bu Maria yang masih menunggu setengah jam lagi untuk mengajar anak-anak kelas 5 dan 6. Bu Indah dan Bu Laila lantas berjalan menuju kelas.

Lalu Nadin menatap bu Maria intens. Semenjak Nadin pindah di sini. Bu Maria lebih sering menyendiri dan mengecek laptop. Walaupun di pedalaman, tetapi masih ada sinyal tetapi hanya untuk beberapa jenis SIM card itupun kadang ngadat.

Lalu Nadin mengecek gawainya. Sebuah pesan membuat gadis itu berdiri dan memilih keluar dari ruang guru tersebut. Sedikit menjauh dari sekolahan, Nadin tampak berbicara dengan seseorang tetapi hanya sebentar. Kemudian kembali ke ruang guru dan mengajak Bu Maria untuk kembali mengajar.

Akhirnya mereka selesai mengajar. Nadin dan bu Maria kembali  ke rumah masing-masing. Dalam perjalanan mereka saling bertukar pengalaman. Nadin senang bisa berkenalan dengan Bu Maria yang sangat ramah itu, tak jarang pula Bu Maria menawarkan makanan untuknya.

"Saya lihat kamu seperti bahagia di sini Bu." Ucap Bu Maria. Nadin sedikit terkekeh, "Saya seperti menemukan atmosfer baru Bu di sini. Pengalaman, lingkungan, dan orang-orang disini yang buat saya merasa bahwa hidup ini begitu kompleks dan I found something like heaven maybe?"

Bu Maria tertawa pelan, "Memang ketika kita melihat sesuatu yang jarang kita lihat, akan terlihat menyenangkan dan unik, tapi saya harap ibu betah menghadapi anak-anak yang terkadang sulit di atur."

"Saya suka mengajar disini. Saya senang melihat wajah polos mereka. Mereka seperti haus akan pengalaman dan ilmu tetapi ya begitu, serba terbatas."

Mereka berdua melewati jalan yang agak menanjak ke atas dengan batuan gamping yang terasa panas bila terkena panas langsung. Nadin tak bisa membayangkan mereka yang berjalan puluhan kilometer bisa kuat menapaki jalan yang ada batuan gampingnya itu. Bahkan mereka kadang tak beralas kali.

"Kalau boleh berkenan, saya boleh bertanya Bu?" Tanya By Maria. Perempuan setengah baya itu tersenyum diantara peluh yang membasahi wajahnya itu. Nadin mengangguk. Tangannya bergerak menjingjing rok hitamnya agar tak terpijak ketika melewati jalanan yang penuh dengan batu berukuran kecil hingga sedang itu.

"Kenapa ibu mau di pindah di daerah yang serba terluar serta tidak ada nikmatnya sama sekali di sini? Padahal ibu bisa saja mengajar di Jawa yang jauh lebih baik daripada di sini."

Nadin kembali terkekeh pelan, "Justru saya menemukan kenikmatan tersendiri Bu di sini. Saya bisa belajar lebih dan bisa merasakan bagaimana saya bisa bernafas lega tanpa harus merasakan sesaknya Jawa."

Bu Maria mengangguk, "Lalu Ibu juga mengapa mau di pindah di sini? Bukankah di kota juga bisa mengajar di sana?" Tanya Nadin kembali.

Bukannya menjawab, Bu Maria justru tertawa kecil, "Ada yang nggak bisa saya jelaskan dengan lugas di sini. Intinya ada panggilan yang musti saya laksanakan dengan baik."

Nadin menatap Bu Maria dengan mata yang agak menyipit, bibirnya hendak bertanya lebih tetapi ada sesuatu yang menghalau pertanyaan itu sehingga ia mengurungkan niatnya. Pikirannya melayang begitu saja. Tiba-tiba berbagai spekulasi datang begitu saja tanpa ada yang mencegah, membuat otaknya berpikir cepat. Tetapi Nadin tidak berani bertanya lebih, gadis muda itu memilih tersenyum tipis menatap hamparan rumput yang tumbuh di depannya.

Mereka berdua lantas menyingkir ketika sebuah truk datang dari arah yang sama. Truk semakin melambat ketika mendekati mereka berdua. "Permisi, desa Suku berapa kilometer Mama?" Tanya kondektur berbadan gempal itu pada Bu Maria.

"Oh itu sekitar 5 kilometer lurus saja sampai menemukan plang desa Suku." Jawab Bu Maria.
Lantas mata Nadin menyipit mengamati truk yang lewat tersebut. Truk berukuran medium itu tertutup rapat oleh terpal berwarna biru.

"Bolehkah kami ikut menumpang di belakang pak?" Tanya Nadin dengan suara agak keras karena deru mesin truk tua yang terdengar begitu jelas.

"Maaf Ibu. Muatan truk ini sudah penuh." Tolak kondektur itu langsung, membuat Nadin tersenyum tipis. Lantas kondektur itu pamit dan langsung berjalan kembali.

"Kenapa kamu ingin ikut dengan truk itu Bu?" Tanya Bu Maria lagi.

"Agar lebih cepat Bu. Saya rasa tidak salah ketika kita meminta tumpangan, tapi sayang, truknya penuh."

"Memang, di sini sering di lewati truk yang hendak masuk ke dalam hutan. Dan anehnya mereka selalu membawa barang yang penuh dari arah kota."

Nadin menautkan kedua alisnya, "Seminggu berapa kali Bu truk ini hilir mudik?" Tanya Nadin kembali. Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah singgah mereka.

"Setahu saya seminggu bisa 10 kali. Tergantung." Nadin mengangguk dan mencatat hal itu baik-baik.

.
.
.

You find something?


Jepara, 27 Februari 2020

Continue Reading

You'll Also Like

396K 12.8K 22
"Apa serunya pelajaran sejarah? Masa lalu itu dilupain, bukan dikenang"-Putra. *** Copyright © 2018 by Aqilarifqa_
130K 13.3K 61
Khiya dan Mahesa adalah sepasang petani yang menitipkan hati satu sama lain. melalui kasih, ada satu dunia yang hanya mereka tempati. melalui kasih...
221K 12.2K 30
( sebelum membaca jangan lupa follow akunnya 👌) yang homophobia di skip aja gak bisa buat deskripsinya jadi langsung baca aja guys bxb bl gay homo ...
42.2K 94 1
[Finished] 𝘚𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘢𝘳𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢 𝙀𝙩𝙝𝙚𝙧𝙚𝙖𝙡, 𝘵𝘢𝘮𝘱𝘢𝘬 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘵𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢. Laki-laki yang sekuat tenaga harus dipaksa...