Me vs Papi

By Wenianzari

39.8K 5.4K 1.6K

Kisah sederhana namun rumit dari mereka yang menjadi satu-satunya. Tentang Asterion Helios yang menjadi orang... More

Pulang
Satu April
Peluk Untuk Pelik
Sebuah Harap
Ketika Durenes Baper
Minggu Manis
Kenapa - Karena
Hari Bahagia
Pundak Ternyaman Kedua
Dua Pagi
Menjenguk
Tujuan
Kencan
Don't Leave Me
Welcome to My House
Moment Langka Rion
Dinner
His Everything
Telling a Secret
Pengakuan
Bitter - Sweet
Perasaan Membingungkan
Karena Papi Berhak
Hallo Om Ganteng
Double Date?
Lost Control
Promise me
Terima Kasih dan Maaf
Morning Drive
Ketakutan Terbesar
Don't Mess With My Daughter
Crying Sobbing
Last Chapter; Me vs Papi
Bonus; Belum Terbiasa

Jealousy

1.4K 218 75
By Wenianzari

Setelah empat hari berdiam diri di rumah karena tubuh yang melemah, akhirnya Tea bisa kembali lagi ke sekolah. Senyuman nya cerah saat Javas menghentikan mobil yang dikendarai tepat di depan gerbang Bumi Nusantara. Ah, mulai pagi ini hingga satu minggu ke depan, Javas akan menjadi pengganti Papi yang tadi pagi sudah flight ke Bali.

"Thank you Abang ku!" Seru Tea menatap pada Javas setelah melepas seatbelt nya.

"Kesambet apa lo manggil gue Abang?"

"Nggak dong. Kan seminggu ke depan gue harus baik sama lo biar lo supirin gue terus."

"Nggak mau memanfaatkan kesempatan?"

"Maksudnya?"

"Ck. Papi lo nggak dirumah cukup lama loh, Te. Lo yakin nggak mau diantar-jemput cowok lo?"

"Belum resmi, nggak berhak."

"Dia belum nembak juga?"

"Udah. Tapi gue belum jawab."

"Lo suka nggak sih?"

"Ya suka lah!" Tea ngegas.

"Terus masalahnya apa kalo sama-sama suka?"

"Restu Papi. Gue ngeri banget kalo misalkan backstreet, terus ketahuan Papi pas lagi mesra-mesra berduaan."

"Nggak belajar dari pengalaman?"

"Maksudnya?"

"Nggak usah pura-pura gitu. Gue masih inget banget lo pernah telepon gue sambil nangis-nangis gara-gara nolak cowok padahal lo juga suka sama dia."

Benar, Javas dan Tea memang sedekat itu walau mereka jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Javas adalah pelarian kedua Tea---setelah Gaby, kalau dia lagi galau soal cowok gara-gara Papi nggak pernah mengizinkan nya untuk pacaran.

"Ck. Itukan dulu."

"Maksud gue, kalo lo nggak nurutin kata hati, bisa aja lo bakal kehilangan si Sean kaya lo kehilangan.... siapa sih nama cowok yang hampir jadi pacar lo? Lupa gue."

"Jeno."

"Iya tuh si Jeno. Emang lo mau kisah lo sama si Sean bakal berulang kaya kisah lo sama Jeno?"

Tea cuma bisa diam. Tidak bisa berkutik walau hanya sedetik. Sampai pada akhirnya dia menghela napas panjang.

"Tau ah." Lalu Tea turun dari mobil dengan bibir yang tertekuk, mengabaikan Javas yang hanya diam di dalam mobil.

Tea berjalan lesu sambil terus-terusan memikirkan kalimat Abang sepupunya sampai-sampai dia tidak menyadari kalau sejak tadi ada yang menemani nya berjalan disamping nya.

"Lo kalo belum sehat nggak usah maksain diri." Maka langsung saja Tea menoleh.

"Rendy?"

"Hm. Apa?" Seperti biasa, Rendy akan ngomong seperlunya.

"Sejak kapan lo ngikutin gue?"

"Ge-er banget. Gue ga ngikutin lo ya."

"Masa?"

"Ck . Terserah lo deh."

"Dingin banget sih, lagi kemarau juga."

"Lo yakin udah sembuh?" Rendy tidak menanggapinya, dia malah mengajukan pertanyaan yang membuat Tea langsung mengangguk.

"Masih lemes gitu."

"Lemes bukan berarti sakit."

"Masa? Coba gue cek." Berikutnya Rendy memaksa Tea untuk menghentikan langkah, kemudian meletakkan satu tangan nya pada kening Adrastea---memeriksa suhu tubuh cewek itu.

"Normal." Kata Rendy lalu menarik tangan nya lagi.

"Masih pusing?"

"Hah?" Hanya itu yang bisa Tea keluarkan dari bibirnya setelah diam cukup lama karena terkejut akan perlakuan Rendy.

Rendy menghela napas lalu mengulangi lagi perkataannya. "Lo masih pusing?"

"Hah?"

"Ck."

"Gue tuh shock banget lo jadi perhatian gini." Rendy berdeham seraya menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal.

"Hng--"

"Nggak usah malu kali, itu bagus banget! Perubahan baik. Pertahanin, oke? Terutama ke gue yang sering jadi partner lo!" Tea melihat senyuman Rendy terbit walau hanya sedikit dan beberapa detik.

"Lo bisa senyum Ren?!"

"Ck." Rendy langsung bete lantas lanjut melangkah lagi dan Tea menyusul dibelakang sambil terus menggoda.

Asal tahu saja, Rendy itu orang yang irit senyum, minim ramah sama orang-orang padahal sebenarnya dia baik banget kalau sudah kenal dekat. Jadi, bagi Tea yang sudah cukup mengenal jauh karakter Rendy, itu adalah kesempatan bagus buat meledek.

"Oh iya gue lupa--" Rendy berbalik tiba-tiba hingga tanpa sengaja tubuhnya berbenturan dengan jidat Tea yang ada dibelakang nya.

"Aduh!" Tea meringis sambil memegangi jidatnya.

"Sorry, sakit ya?" Tea merengut seraya menatap Rendy tajam.

"Pake nanya lagi!"

"Coba sini gue--- jidat lo sampe merah. Ikut gue."

"Kemana--"

"Just follow me!" Pangkas Rendy lantas menarik Tea untuk mengikuti langkah nya.

***

Bali.

Jika banyak orang mendengar kota itu disebut, maka sebagian besar jawaban nya adalah pantai yang indah.

Memang tidak salah.

Akan tetapi, dalam kepala Rion beda lagi. Pria itu memang mengakui kalau Bali punya banyak pantai yang menawan. Tapi saat dia mendengar 'Bali' dia akan selalu ingat dengan Lavenia dan segala kenangan yang pernah terukir bersama, disini. Terlebih saat dia mengucap janji suci untuk mengikat hubungan nya dengan Lavenia secara resmi, baik dalam agama maupun hukum.

Rion menghela nafas sejenak seraya mengendurkan ikatan dasinya. Kenangan itu selalu mencekiknya setiap saat dia ingat. Karena semuanya terlalu indah. Dan yang terlalu indah itu hanya kenangan belaka. Bukan kah itu sangat menyakitkan?

Sekali lagi dia menghela napas panjang sebelum kemudian memilih untuk memejamkan mata lalu bersandar pada bagian belakang kursi.

Lavenia akan selalu menjadi bagian terindah dalam hidup Rion hingga dia lupa kalau sejak tadi ada Noushin yang mengamati dengan cemas di kursi depan dari rearmirror.

Beberapa saat kemudian, yang Rion lakukan bukan lagi mengingat kenangan itu. Melainkan mengulas sedikit senyuman nya setelah menerima pesan dari orang yang dia yakini mengkhawatirkan nya.

From: Noushin

Pak Rion, are you okay?

Usai membaca pesan itu berulang kali, akhirnya Rion pun memberanikan diri untuk melihat pada rearmirror yang dimana Noushin juga sedang menatap nya disana. Mereka bersirobok cukup lama, sampai kemudian  Rion tersenyum lebar lantas mengangguk pelan---untuk menjawab pesan Noushin secara langsung. Tak hanya itu, dia juga mengucapkan, "Thank you." Tanpa suara pada wanita itu.

Sepertinya, mulai sekarang Bali tidak akan seburuk setiap kali Rion datang kemari, saat dia sadar kalau Noushin disisinya.

Dan karena perhatian kecil itu, Rion semakin semangat untuk membuat Noushin segera percaya padanya.

***

UKS di pagi hari akan selalu sepi jika bukan hari senin. Ya, kalau senin kadang ada beberapa siswa yang pura-pura sakit agar tidak bisa ikut upacara bendera.

Karena itu, Tea jadi merasa sedikit tidak nyaman saat dirinya disini hanya dengan Rendy saja. Takut menimbulkan salah paham, apalagi jika Sean melihatnya.

"Gue tahu lo nggak nyaman. Tapi tenang aja gue cuma--"

"Tumben peka."

"Gue emang peka, lo nya aja yang nggak pernah sadar."

"Masa?"

"Diem. Gue cuma mau ngompres jidat lo biar nggak sampe benjol."

"Lo tuh sebenarnya kesambet apa sih?"

Rendy tidak menjawab. Dia langsung aja menaruh es batu--yang tadi dia beli dan masukin ke dalam wadah--ke jidat Tea yang merah.

Sebenarnya Tea agak sedikit shock, soalnya dengan begitu posisi mereka jadi sangat dekat. Dan bisa dibilang, ini kali pertamanya Tea melihat wajah Rendy yang benar-benar mirip dengan Bunda nya.

"Ren,"

"Hm."

"Banyak yang bilang lo mirip Pak Oris, tapi menurut gue, lo lebih mirip Bunda deh." Karena ucapan itu, Rendy yang tadinya hanya fokus pada bekas merah di dahi Tea, jadi beralih menatap cewek itu hingga mereka adu tatap, cukup lama, sebelum kemudian keduanya sama-sama dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang tiba-tiba.

"Sean?" Ujar Tea panik.

"Sorry, ganggu ya?" Kontan saja Tea makin panik. Dia pun menyingkirkan tangan Rendy yang ada di dahinya lantas turun dari ranjang yang tadi di duduki.

"Sean ini--"

"Enjoy."

"Sean!" Seru Tea namun Sean mengabaikan nya. Cowok itu menutup kembali pintu yang tadi dibukanya.

"Sean tunggu!" Tea hendak mengejar cowok itu, namun Rendy menahan nya dengan menarik satu tangan nya.

"Rendy please!"

"Gue belum selesai."

"Gue nggak peduli!" Lalu begitu saja Tea menarik tangan nya dan bergegas mengejar Sean, meninggalkan Rendy yang cuma diam ditempat memandangi punggung mungil Tea.

***

Tadinya Sean penuh semangat karena hari ini Tea masuk sekolah meskipun sebenarnya dia lagi mencret berat karena semalam dia nyobain makan seblak gara-gara diracunin Istar. Ya, coba-coba yang berujung sial. Namun, semangat Sean langsung pudar seketika saat dia masuk ke UKS untuk mengambil obat mencret.

"Banyak yang bilang lo mirip Pak Oris, tapi menurut gue, lo lebih mirip Bunda deh."

Waktu mendengar suara itu, Sean nampak tidak asing. Makanya dia langsung mengerutkan kening. Dan karena penasaran---mungkin saja dugaan nya benar---dia pun segera mendorong pintu UKS, lalu tiba-tiba dia langsung down saat melihat Tea dan Rendy dengan posisi sedekat itu. Ditambah lagi mereka saling pandang. Ya gimana nggak kretek-kretek hati Sean.

Cowok itu jadi sedikit menyesal karena tebakan nya yang asal ternyata benar. Andai bukan Tea, Sean pasti baik-baik aja. Paginya bakalan cerah, nggak tiba-tiba mendung kaya gini.

"Sean tunggu!" Sean dengar itu tapi dia tak acuh dan terus berjalan.

"Sean,"

"Sean!"

"Ocean!" Ah, panggilan favorite nya. Makanya dia menghentikan langkahnya sejenak tanpa berbalik.

"Alright, please stop. We need to--" Ucapan Tea menggantung begitu Sean melangkahkan lagi kaki jenjang nya.

"Sean nggak gituuuuu."

"OCEAN!"

"OCEANUS GALEN ATHALAS!"

"Seaaaaaannnnn..."

Meski sebenarnya dalam lubuk hati Sean yang paling dalam menyuruh nya untuk berhenti dan berbalik, tapi logikanya tetep keukeuh menyuruh nya terus lanjut jalan. Sampai kemudian bunyi kedebuk yang cukup keras berhasil mengalahkan logika Sean. Cowok itu berbalik dan langsung melotot saat melihat Tea terduduk dilantai sambil meringis. Maka langsung saja dia berlari menghampiri Tea dan mengabaikan semua rasa kesal campur marah nya yang sempat singgah.

"Sakit?" Tanya Sean begitu dia sudah ada di depan Tea.

Tea berusaha keras menahan senyum nya lalu diam-diam mengangguk.

"Dimana yang sakit?"

"Di sini." Jawab Tea sambil menunjuk dadanya. Tentu saja itu membuat Sean mendengus.

"Aku serius, Tea."

"Jangan marah dong, Sean. Yang kamu liat itu--"

"Ck. Kamu cuma pura-pura jatuh kan?"

"Nggak! Aku beneran jatuh!"

"Yaudah, mana yang sakit?" Tea tidak menjawab, dia menunjuk kakinya yang terasa agak nyeri dibagian mata kaki.

"Bisa jalan?"

"Bisa, maunya kapan? Mumpung Papi nggak ada." Setelah itu Tea menampilkan senyuman mautnya. Bikin Sean pengen udahan aja marah nya.

Sean menggeram sebelum dia berdiri lalu mengulurkan tangan nya. Tentu saja uluran tangan itu disambut Tea dengan senang meskipun dia benar-benar merasa ngilu saat mulai bangkit.

Karena pada dasarnya Sean memang sangat perhatian meskipun dia kesal sekali. Dia pun bertanya kembali.  "Sakit banget?"

"Nggak juga, cuma ngilu."

"Yaudah aku antar sampai kelas."

"Serius?!"

"Hm."

Dan kemudian Sean menuntun Tea menuju kelas. Meskipun Tea melangkah tertatih-tatih tapi dia merasa senang. Sampai dia tidak sadar kalau sekarang dia sudah ada di depan kelas.

"Udah sampe. Sana masuk." Titah Sean yang membuat Tea mendongak menatap nya. Wajar saja, perbedaan tinggi mereka  cukup jauh.

"Cepet banget nyampe nya." Sean cuma diam.

"Sean."

"Hm."

"Jangan marah dong."

"Bentar lagi bel bunyi. Aku ke kelas--" Ucapan Sean terhenti saat tiba-tiba Tea menyentuh tangan nya.

"Maaf.... Maafin aku. Dan jangan marah, aku bisa jelasin semuanya--" Kali ini giliran Sean yang menghentikan ucapan Tea dengan cara menarik tangan nya.

"Santai aja." Sean menjeda.

"Lagian kita nggak ada status kan? Aku nggak berhak."

Dan seketika hati Tea bagai diserang ribuan jarum.

***

Mobil yang tadi ditumpangi Rion dan Noushin kini sudah sampai tempat tujuan, Resort milik Rion yang nanti akan mereka inapi selama seminggu. Di depan, Valdo menyambut dengan sumringah. Tentu saja Valdo senang, soalnya selama beberapa hari terakhir dia sendirian di Resort yang luasnya sepuluh kali lipat dari rumahnya sendiri.

"Welcome Bapak Boss!" Rion hanya membalasnya dengan senyuman.

"Saya nggak disambut juga, Val?" Sambar Noushin basa-basi.

"Eh Noushin, welcome sweetie." Kontan saja Rion yang mendengarnya langsung berdeham keras.

Tapi sayangnya Valdo tidak mengerti kalau arti dehaman itu sebuah peringatan untuk dilarang menggoda.

"Noushin, capek kan? Yuk masuk saya antar ke kamar." Tentu saja Rion berdeham lagi, lebih keras dari sebelumnya.

"Nggak usah--"

"Udah nggak apa-apa saya antar. Sini saya bawain kopernya."

"Nggak usah Valdo---"

"Valdo!" Baiklah, Rion benar-benar dongkol sekarang. Makanya dengan berani dia memanggil Valdo dengan nada tinggi padahal mereka berdekatan.

"Ah iya, Pak Bos?"

"Bawain semua koper. Dan Noushin, kamu ikut saya. Ada pekerjaan yang perlu dibahas cepat."

"Baik Pak. Tolong ya, Val?"

"Anything for you sweetie." Seriusan, Rion makin dongkol. Kebetulan satu tangan nya sudah menggenggam knop pintu, jadinya Rion akan melampiaskan kedongkolannya dengan itu. Dia membuka pintu dengan tidak santai, ralat bukan membuka malah, tapi terkesan seperti mendobrak.

Dan Noushin yang ada dibelakang pria itu cuma bisa geleng-geleng kepala saja.

"Astaga... Pak Duda." Ucap Noushin pelan sebelum kemudian cepat-cepat menyusul Rion.

"Noushin," Begitu Noushin masuk, dia langsung dikejutkan dengan posisi Rion yang menghadangnya di depan.

"I--Iya Pak?"

"Kecuali dengan Tea, saya nggak suka berbagi milik saya dengan orang lain."

"Hah?"

"I thought you were mine, remember?"

"Ah... Tapi Bapak ingat nggak apa yang saya katakan kemaren saat jenguk Tea?"

Seketika Rion langsung kicep saat diingatkan soal itu.

"Mengklaim?"

"Iya. Mulai dari hari itu, kamu udah saya klaim sebagai milik saya."

"Tapi pak, saya nggak bisa diklaim gitu aja."

"Kenapa? Saya kan udah cium kamu kemaren."

"Jaman sekarang, sama temen aja bisa cium-cium, Pak."

"Masa?"

"Hm. Emang udah beda jaman sama Bapak dulu."

"Kamu nyindir saya?"

"Saya berbicara fakta."

"Oke, jadi kamu maunya gimana?"

"Jalanin aja tanpa perlu memiliki satu sama lain, sampe hati Bapak terbuka sepenuhnya untuk saya."

Memang sesederhana itu permintaan Noushin. Tapi bagi Rion itu rumit. Meskipun Rion belum sepenuhnya membuka hati untuk wanita itu, tapi setidaknya jika dia sudah memiliki Noushin dia tidak akan mengecewakan.

"Saya baru ingat."

"Saya ngerti. Jadi---"

"Tapi Noushin,"

"Hm?"

"Tadi, saya rasa... Saya beneran cemburu."

***

Jeni membelalakkan lagi kedua matanya saat melihat dua garis merah yang ada di testpack. Ini sudah kelima kalinya dia mendapat hasil yang sama. Iya, jadi sudah satu minggu ini dia telat datang bulan. Dan baru sekarang dia coba mengecek, ternyata hasilnya seperti itu.

Kepala Jeni pening melihatnya meskipun sebenarnya dia senang kalau keinginan suaminya akan terkabul. Tapi, dia ingat Gaby yang tidak mau mempunyai seorang adik.

Jeni pun menghela napas lelah lantas keluar dari kamar mandi. Kemudian dia segera menelepon Evan.

"Hi my wife!" Sapa Evan dari seberang sana.

"Hm. Sayang kamu masih sibuk?"

"Nggak. Ini aku baru nyampe depan rumah, kamu nggak dengar suara mobil aku?"

"Hah?"

"Udah ya, aku turun nih." Lalu sambungan telepon terputus.

Tak berapa lama kemudian Jeni pun melihat kedatangan Evan dengan senyum sumringah khas nya.

"Aduh sayang ku, udah kangen banget, hm?" Goda Evan yang hendak memeluk Jeni, namun sayang wanita itu segera menepisnya kemudian langsung menutup hidung hingga rapat.

"Aku bau ya?" Evan langsung menciumi badannya sendiri.

"Wangi kok, tadi sempet semprot perfume--" Evan tidak bisa lagi melanjutkan ucapan nya saat melihat Jeni melarikan diri ke kamar mandi sambil mual-mual.

"Jeni!"

Sampai dikamar mandi, Jeni langsung berjongkok di depan closet kemudian memuntahkan sesuatu, hanya cairan bening sebenarnya. Dan Evan membantunya dengan cara memijat leher bagian belakang.

"Kamu sakit kok nggak bilang-bilang aku?" Tentu saja Evan panik setengah mati.

"Pasti masuk angin gara-gara semalam kita lembur ya?" Tentunya ini bukan lembur soal pekerjaan ya pemirsah.

"Udah? Aku kerokin ya?" Jeni hanya menggeleng sebelum kemudian bangkit dan langsung menghadap suaminya.

"Van..."

"Hm? Kenapa sayang? Pusing?" Evan melihat kedua mata Jeni berkaca-kaca.

"Kamu jangan bikin aku panik, sayang."

"Aku hamil." Evan langsung speechless mendengarnya sampai-sampai dia tidak bisa berkutik.

"Aku hamil." Ulang Jeni sekali lagi.

"Hah?" Usai mengerjap, hanya itu yang Evan katakan sebagai response.

"Aku udah telat seminggu, dan tadi cek pake lima testpack sekaligus hasilnya sama." Jeni berucap sambil menitikkan air mata nya.

"Jen," Evan menyentuh lengan Jeni dan wanita itu mulai terisak.

"Aku senang, kamu apalagi. Tapi gimana sama Gaby?"

"Gaby selalu pengen jadi satu-satunya buat kita."

"Terus gimana kalo kita kasih tahu bakal punya adik?"

"Aku nggak bisa bayangin, Evan." Maka langsung saja Evan segera membawa istrinya kedalam rengkuhan hangat. Mengizinkan nya menangis disana sampai semua ketakutan nya runtuh.

"Shhh... Jangan khawatir. Nanti kita kasih tau Gaby pelan-pelan. Aku yakin dia pasti nerima."

"Sekarang, kamu fokus aja jaga bayi kita."

"Aku disini, sayang, aku disini."

***

Malam kembali menyapa. Rion termenung sendirian ditepi kolam renang resort nya dengan satu kaleng kola dalam genggaman nya. Dua sekrestaris nya pamit pergi untuk keperluan masing-masing. Valdo yang ingin bersantai di bar sambil berusaha menemukan jodoh yang katanya 'siapa tahu dapat bule', sedangkan Noushin yang menemui adiknya. Jadi, hanya sepi yang menemani Rion saat ini, disini.

Pria itu menghela napas sebelum menenggak kembali kola nya.

Drt...drt

Getar dari ponsel yang ada di sakunya menghentikan kegiatan Rion. Lantas dia mengambil ponsel nya dan langsung mengerutkan kening saat mendapati chat dari Evander.

From: Vanderwijck

Lo sibuk nggak?

Temenin gue minum kuy

Tempat biasa ya, gue baru pesen

Pengen mabok

Pusing gue

Alih-alih membalasnya, Rion lebih memilih untuk menelepon sahabat tersayang nya itu. Setelah tersambung, yang pertama Rion dengar adalah helaan napas lelah Evan.

"Kenapa lo? Gue di Bali." Tanya Rion.

"Hhh...Jeni Yon."

"Jeni kenapa?"

"Hamil."

"Hah?! Terus kenapa lo pusing? Itu kan hasil kerja keras lo tiap malam--- oh atau jangan-jangan bukan anak lo?"

"Tai banget!" Rion terkekeh karenanya.

"Guyon doang, Pan." Biasanya Evan akan protes banget kalau Rion memanggil nya 'Pan'. Tapi kali ini diseberang sana Evan lagi-lagi menghela napas.

"Gue pusing banget sumpah. Punya anak lagi, itu emang cita-cita gue udah lama. Tapi, gimana sama Gaby? Dia kan nggak mau punya adek."

"Gaby terbiasa menjadi satu-satunya buat lo sama Jeni. Jadi wajar kalau nanti dia sukar menerima kehadiran adeknya. Tapi, gue yakin Gaby pasti nerima seiring berjalan nya waktu. Kuncinya satu sih, Van. Jangan sembunyiin kehamilan Jeni lama-lama."

"Tapi gue belum siap kalau sampe Gaby marah banget. Kasian Jeni, dia pasti sedih."

"Terus rencana lo bakal ngasih tau Gaby kapan?"

"Pokoknya nggak dekat-dekat sekarang."

"Oke, terserah lo kalo gitu. Gue doain yang terbaik. And congrats, Van."

"Thanks bro. Lo kapan, Yon? Tahun depan Tea kuliah loh, yakin masih mau sendiri?"

"Ck."

"Ada nggak sih yang siap jadi emaknya Tea?"

"Ada. Tapi syaratnya ribet."

"DEMI APA?! SIAPA?!"

"Nanti gue cerita kalo balik."

"Kapan?"

"Minggu depan."

"Oke. Tea udah tahu?"

"Belum. Lo juga nanti kalo udah tahu jangan bilang siapa-siapa ."

"Jeni?"

"Nggak boleh."

"Oke nanti---"

"Van udahan ya, anak gadis gue telepon nih. Kayanya kangen."

"Kelamaan sendiri, dapat telepon dari anak aja heboh."

"Seenggaknya masih ada yang kangenin gue di dunia, Van. Gue tutup."

Kemudian Rion langsung beralih pada roomchat dengan Tea dan melakukan panggilan video. Saat tersambung, wajah cemberut Tea dengan penampilan lusuh nya terpampang dengan jelas dilayar ponsel Rion.

"Jelek banget sih?" Anggap saja itu sapaan. Dan Tea makin cemberut saja dibuatnya.

"Enak aja! Orang banyak yang rebutin aku di sekolah."

"Oh gitu, awas aja kalo sampe ada yang dapatin--"

"Dikasih hadiah?"

"Coba kalo Papi ngomong tuh jangan disela mulu."

"Iya-iya maaf. Papi lagi apa? Tante Noushin mana?"

"Merenung. Tante Noushin... dia pergi. Kamu udah belajar?"

"Udah belajar dari tadi. Well, dari pada Papi cuma merenung, mending nyusulin Tante Noushin deh."

"Nggak, Papi perlu merenung."

"Serah Papi deh. Ah iya Papi, aku nelepon Papi bukan karena kangen ya, cuma mau nanya sama Papi aja. Ini penting banget loh ini."

"Apa?"

"Kenapa sih Papi ngelarang aku pacaran? Kasih aku alasan yang jelas."

"Kamu masih kecil. Fokusin diri buat sekolah dulu. Dan sekarang udah jam sembilan, waktunya tidur. Gosok gigi, cuci tangan, cuci kaki--"

"Papiiiiiii Aku bukan anak kecil!!!

I'm back!!
Agak lama ya, sori, habisnya lg sibuk sama dunia nyata wkwk.

Kira-kira ini bakal gimana ya, pak duda bakalan gimana sama mbak sekrestaris nya?:v

Terus juga Tea bakalan sama siapa nih, Rendy apa Sean hayoo kalian tim mana wkwk.

Okedeh tunggu aja ya, see you later!




Dibawah Pohon, 21 Oktober 2020

Continue Reading

You'll Also Like

176K 14K 19
šŸ‡šŸ‡šŸ‡
172K 12.3K 27
"kita akan berkeliling wisata nanti saat hesa sudah besar dan papa yang akan menjadi bos di perusahaan agar bisa meliburkan diri mengajak hesa dan ma...
189K 18.5K 22
[HIATUS] [Content warning!] Kemungkinan akan ada beberapa chapter yang membuat kalian para pembaca tidak nyaman. Jadi saya harap kalian benar-benar m...
1.5M 122K 154
"You do not speak English?" (Kamu tidak bisa bahasa Inggris?) Tanya pria bule itu. "Ini dia bilang apa lagi??" Batin Ruby. "I...i...i...love you" uca...