HAPPY READING 📖
_
_
_
Sandra tidak tau harus melakukan apa. Dia mempersilakan mereka masuk dan duduk, lalu ia pergi menemui orang tuanya untuk memberitahukan siapa yang datang.
– GATRA –
"Ma, ada tamu," bisik Sandra pelan.
"Apa? Mama gak denger," jawab Bela kebingungan.
"Ish, ada tamu, Ma."
"Iya tau. Siapa?"
"Gatra sama--keluarganya mungkin."
"Hah?! Mau ngapain?" tanya Bela terkejut. Pasalnya baru kali ini keluarga itu datang bertamu ke rumahnya. Pasti ada sesuatu yang sangat penting.
Bela berlari menemui suaminya dan berkata sama seperti yang Sandra ucapkan kepadanya.
"Ngapain?" Bela hanya menggeleng.
"Ayo ke sana!" Bagas berjalan terlebih dahulu di ikuti Bela di belakangnya.
"Pak Bagas dan Bu Bela," kata Hendra, papanya Gatra.
"Ah, tidak usah formal, ini juga bukan pertemuan seperti di kantor bukan?" ujar Bagas sedikit berguyon.
"Memang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan."
"Silahkan duduk," kata Bagas dengan ramah.
Sedangkan Bela pergi ke belakang--dapur-- untuk membuatkan minuman dan sedikit cemilan.
Sandra? Dia berada di kamarnya. Tidak berani keluar, bahkan sekarang dia belum mandi dan masih mengenakan pakaian tidurnya. Dia masih memiliki malu, entah apa yang mereka pikirkan saat melihat Sandra tadi.
Sandra masuk ke kamar mandi membersihkan tubuhnya. Berganti pakaian yang lebih sopan dari pada pakaian tidurnya tadi, sedikit memoleskan bedak terakhir memberikan pelembab pada bibirnya yang kering.
"Sandra, ayo keluar," suara Bela membuatnya beranjak dari hadapan cermin.
"Kenapa, Ma?"
"Ayo ada tamu kok malah di dalam kamar. Salim sama Mama Papanya Gatra!"
"Tapi, Ma, Sandra--" belum sempat Sandra menjawab Bela sudah memegang dan menarik ringan tangan kanan Sandra menuju ruang tamu.
Sandra menyalami orang tua Gatra, dan hanya tersenyum mengangguk kecil melihat Gatra dan adiknya.
"Sandra duduk sini!" instruksi Bagas pada anaknya. Sandra mengangguk patuh.
Seketika ruangan ini menjadi hening ketika Sandra sudah duduk di hadapan Gatra.
Gatra sendiri tersenyum manis melihat wajah ayu Sandra.
"Ini yang namanya Sandra? Cantik ya, sopan lagi. Mama suka Gat, kamu pintar juga milihnya," kata mamanya Gatra.
Semua orang yang ada di ruangan itu tertawa geli melihat Sandra dan Gatra bergantian. Sandra bingung dengan apa yang di katakan Mamanya Gatra.
Kamu pintar milihnya?
Apa maksudnya? Sandra seperti orang bodoh di tengah-tengah mereka semua.
"Sekarang Mama percayakan sama Dania kalau kak Sandra orangnya baik?" tanya Dania. Semua pasang mata melihat Dania.
"Iya. Mama percaya."
Sandra memasang tersenyum kikuk.
"Gatra, mau kamu yang bicara atau Papa?" tanya Hendra melihat anaknya.
"Gatra saja," dia menghela nafas sebentar mencoba mencari kata-kata yang pas untuk membuka pembicaraan.
"Om Tante, saya bersama kedua orang tua dan adik saya ke sini untuk menyampaikan niat baik saya sekaligus meminta izin untuk melamar putri Om dan Tante yang bernama Sandra Kamila Putri," ucapnya dengan lancar. Dia lega sudah menyampaikan niatnya di depan Sandra dan kedua orang tuanya.
"Saya ingin bertanya, mengapa kamu tidak melamar anak saya saat dia sudah lulus sekolah nanti?" tanya Bagas.
"Saya tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Saya mencintai anak Om, saya tidak bisa melihat Sandra bersama orang lain selain saya, lebih baik saya mengikat Sandra terlebih dahulu. "
"Kamu tau berapa selisih usia kalian?"
"Ya, saya tau. Tapi tidak menutup kemungkinan untuk saya bisa berhubungan dengan Sandra. Apakah Om mempermasalahkan soal usia?" tanya Gatra sedikit was-was. Dia takut usia akan menjadi penghalang untuknya mengikat Sandra.
"Ah, bukan itu maksud saya. Saya tidak mempermasalahkan hal itu. Saya merestui kamu, tapi semuanya saya serahkan kepada Sandra," sahut Bagas. Lalu Bagas menoleh ke tempat Sandra.
"Jadi apa jawaban kamu, San?" lanjut Bagas.
Sandra masih dalam mode terkejut dengan segala pembicaraan antara Gatra dengan papanya. Ia masih tidak percaya dengan fakta bahwa Gatra melamarnya didepan orang tuanya.
Sandra masih saja asik melamun walau sudah beberapa kali di panggil oleh mama papanya.
"Sandra."
"San."
"Sandra Kamila Putri!" nada panggilan Bagas naik satu oktaf, dia tidak suka anaknya melamun di saat yang tidak tepat.
Semua orang menunggu jawabannya tapi yang di tanya malah melamun. Bagas sangat tau apa yang di pikirkan anaknya, dia pasti sangat terkejut dengan semua ini.
Sedangkan Sandra kini tengah terkejut mendengar bentakan papanya.
"Jadi apa jawaban kamu, Nak?" tanya Bela setelah sekian lama ia berdiam.
Bela merasa senang sekaligus sedih. Senang karena akhirnya anaknya akan segera menikah lalu sedih karena anaknya satu-satunya akan pergi meninggalkan dirinya.
"Hanya lamaran?" tanya Sandra kepada Gatra.
Gatra tersenyum geli dan terkekeh. Apa maksudnya gadis ini, apakah ia ingin segera menikah?
"Kenapa? Kamu ingin kita langsung menikah saja?"
"Bu--bukan begitu, mak--maksudku--" ucapan Sandra belum sempat selesai sudah di sela oleh Gatra.
"Maksudmu, hm?"
"Gatra!" teriak Sandra karena Gatra terus menggodanya.
Gatra tidak bisa menahan tawanya. Ekspresi marah dan cemberut gadis di hadapannya ini membuat Gatra selalu ingin menjahilinya. Sedangkan para orang tua hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan putra putri mereka.
"Jadi apakah kamu mau menerimaku?" ujar Gatra bertanya.
"Tapi-- aku masih sekolah," jawab Sandra pelan.
"Hanya beberapa bulan lagi kamu akan melaksanakan UN bukan? Selama kamu masih sekolah kita akan bertunangan terlebih dahulu, baru setelah kamu lulus kita baru akan menikah. Bagaimana?" saran Gatra.
Bertunangan terlebih dahulu.
Bertunangan?
"Baiklah."
"Aku ulangi lagi. Kamu mau menerima lamaranku?"
"Iya," Sandra mengangguk sekali.
"Alhamdulillah," sahut semuanya serempak mendengar jawaban Sandra.
"Jadi kapan kalian akan melangsungkan acara bertunangannya?" Hendra melayangkan pertanyaan itu kepada Gatra dan Sandra.
"Gatra terserah Sandra aja."
"Kok aku?" dahi Sandra bergelombang.
"Em, sepertinya kalian butuh privasi. Sandra ajak Gatra ke taman belakang, kalian bisa bicara berdua tentang kapan kalian akan bertunangan," kata Bagas mengerti jika mereka berdua butuh waktu untuk berbicara.
Sandra duduk di ayunan yang ada di taman belakang rumahnya. Dari ia kecil sampai sekarang taman ini sama sekali tidak berubah.
Gatra ikut duduk di samping Sandra, di ayunan yang memang sedikit panjang. Gatra melihat wajah Sandra dari samping,
Sangat cantik.
Cantik.
"San," panggil Gatra memegang pundak Sandra. Dia menoleh, melihat Gatra lalu menaikan sebelah alisnya.
"Aku mau tanya boleh?"
"Apa?"
"Apa kamu memiliki perasaan yang sama sepertiku?"
"Entahlah. Tapi saat kamu di dekatku, aku merasa nyaman dan gak mau kamu pergi. Terus tadi waktu kamu bilang cinta sama aku rasanya bahagia, sangat bahagia," Sandra mencoba untuk terbuka dengan Gatra tentang perasaannya sendiri.
Senyum Gatra mengembang. Hatinya menghangat saat mendengar serentetan kalimat yang keluar dari mulut Sandra. Perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan, Gatra tidak mampu melunturkan senyumnya.
"Sama seperti yang ku alami."
"Sama?" tanya Sandra bingung.
"Iya, sama. Saat berada di dekatmu aku merasa senang, nyaman."
Keduanya tersenyum saling menatap,
"Jadi, kamu mau tanggal berapa kita bertunangan?" ucap Gatra mengulangi pertanyaannya yang belum di jawab Sandra tadi.
– TBC –
– GATRA –
By Bulanydwn.