ALKANA [END]

By hafifahdaulay_

1M 46.4K 3.1K

Alkana Lucian Faresta dan pusat kehidupannya Liona Athena. Alkana mengklaim Liona sebagai miliknya tanpa pers... More

PROLOG
CAST
Trailer
CHAPTER 01
CHAPTER 02
CHAPTER 03
CHAPTER 04
CHAPTER 05
CHAPTER 06
CHAPTER 08
CHAPTER 09
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
CHAPTER 31
CHAPTER 32
CHAPTER 33
CHAPTER 34
CHAPTER 35
CHAPTER 36
CHAPTER 37
CHAPTER 38
CHAPTER 39
CHAPTER 40
CHAPTER 41
CHAPTER 42
CHAPTER 43
CHAPTER 44
CHAPTER 45
CHAPTER 46
CHAPTER 47
CHAPTER 48
EPILOG
New Story! (Squel)

CHAPTER 07

23.8K 1.1K 87
By hafifahdaulay_

HAPPY READING:)

"Nangisin si Brengsek itu, hm?"

~Alkana Lucian Faresta~

Kafe tampak ramai, di dominasi oleh muda-mudi, baik itu pelajar maupun mahasiswa. Malvin dan Liona menjadi salah satu dari mereka. Menempati meja ujung, beberapa makanan dan minuman tertata rapi di sana semenjak beberapa menit yang lalu.

Tidak ada yang berniat membuka suara bahkan menyentuh hidangan yang telah mereka pesan. Tidak! Bukan karena makanan atau minuman itu kurang menarik, tapi karena ketegangan dan rasa canggung yang lebih mendominasi.

"Kenapa kita jadi gini sekarang?" Malvin membuka suara.

Lamunan Liona buyar, mengalihkan tatapannya dari secangkir cappucino panas di depannya ke arah Malvin. Liona sengaja memesan itu, karena rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Hawa dingin mulai terasa, meski terhalang karena mereka berada dalam ruangan.

Liona membuang pandangannya ke arah jalanan, dinding kaca kafe membuat dirinya leluasa menatap ke luar, dan seseorang di luar sana juga seseorang leluasa menatap mereka tanpa keduanya sadari.

"Bukannya seharusnya aku yang nanya itu ke kamu?" Liona menatap wajah itu, melihat wajah Malvin, kata 'penghianat' yang kerap kali meluncur dari bibir Alkana terbesit dalam otaknya.

Alkana? Kenapa Liona jadi mengingat lelaki itu sekarang?

"Kenapa kita jadi gini sekarang?" Liona mengulangi pertanyaannya yang Malvin lontarkan beberapa saat lalu. Malvin diam seperti tidak mampu menjawab pertanyaan sederhana itu.

Liona kembali membuang pandangannya ke arah luar, uap hujan melekat pada dinding kaca kafe. Melihat hujan Liona teringat lagi pada Alkana, lelaki itu merebut first kiss nya saat itu, dan lagi kata-kata Alkana masih melekat erat dalam ingatannya.

"Kalo lo emang suka hujan, kenapa berteduh? dan menghindari setiap tetesannya dari langit?."

Tatapan mata mereka yang tak sengaja bertubrukan beberapa saat di parkiran tadi membuat Liona tidak nyaman, Alkana jelas menunjukkan ketidak sukaannya.

"Kenapa kita jadi gini?, Itu semua karena kamu, kedekatan kamu sama Brandal itu memicu pertengkaran kita akhir-akhir ini!" Malvin memberanikan diri berbicara, dan malah menuduh Liona.

Liona jelas tidak mau menjadi pihak yang di salahkan, karena dirinya tidak salah.

"Ini hubungan kita, urusan kita berdua, Alkana cuma orang asing, jangan bawa-bawa dia dalam hal ini! Dia gak ada hubungannya sama sekali!" entah angin dari mana Liona mengatakan itu.

"See? Kamu bahkan belain dia! Di depan aku lagi!" Malvin mulai tersulut emosi. Liona yang mendengar nada emosi Malvin juga ikut emosi. Untung mereka menempati meja ujung, jika tidak sudah di pastikan sekarang mereka menjadi pusat perhatian karena suara perdebatan mereka yang lumayan keras.

"Yang harusnya di salahin di sini bukan aku atau Alkana! Tapi kamu sama Aurel!" Liona semakin berani.

"Lelucon macam apa ini? Kalo kamu salah ya salah aja, ngaku! Gak usah ngelak! Apalagi sampe memutar balikkan fakta kayak tadi!" Liona memutar bola matanya malas mendengar itu.

"Seharusnya kamu bilang itu ke diri kamu sendiri!" Malvin tertohok mendengarnya.

"Kamu pikir aku gak tau, selama ini kamu sama Aurel ngapain aja di belakang aku?!" Liona mulai mengeluarkan kartu As nya.

Malvin nampak gelagapan, "A-Ak-Aku gak ngapa-ngapain sama Aurel, justru kamu yang ngapa-ngapain sama si Brandal itu! Kamu berubah Li, mana Lili aku yang dulu?"

Liona menggigit bibir bawahnya sambil memperhatikan sekitar dengan gerak bola matanya. Khawatir jika keduanya menjadi pusat perhatian.

"Mending kamu akuin hubungan kamu sama Aurel sekarang, kalo kamu jujur mungkin aku masih bisa maafin kamu." Liona berucap dengan nada tenang yang justru membuat Malvin semakin tidak tenang.

"Kamu punya bukti?" tanya Malvin dengan tatapan remeh mencoba untuk menyembunyikan ketakutannya.

Liona menggeleng membuat Malvin tersenyum puas, namun sayang ucapan Liona yang selanjutnya membuat senyumnya luntur.

"Aku nggak butuh bukti, aku liat dengan mata kepala aku sendiri, di hari ulang tahun aku, sebelum aku kecelakaan, di tempat kamu janji kita bakal ketemuan." Liona berucap tenang, tidak ada emosi dalam suaranya. Namun hatinya terbakar mengingat semua kejadian itu.

Malvin membeku, apa Liona tau?

"Apa yang kamu liat?"

Liona terkekeh miris, ia mengepalkan tangannya di atas meja. "Kamu ciuman sama Aurel!" kalimat itu sukses meluncur.

Liona mengangkat telunjuknya ke arah Malvin seolah berkata 'cukup' saat cowok itu berniat menyanggah.

Namun Malvin tetaplah Malvin, apapun yang terjadi ia tidak ingin kehilangan Liona, meski menyukai Aurel, Liona tetaplah menduduki tahta tertinggi di hatinya.

"Oke fine!, aku jujur!, semua yang kamu liat itu bener! Tapi please percaya sama aku Li, aku sama Aurel gak ada hubungan apa-apa! Kejadian itu tiba-tiba aja, aku khilaf, maaf. Dan Aurel yang terus-terusan deketin aku, dia yang mulai duluan!" Malvin berniat menggenggam tangan yang mengepal di atas meja itu, namun gagal karena sang pemilik menghindar.

Hati Liona rasanya hancur, setelah apa yang dirinya lihat, ternyata lebih menyakitkan ketika mendengar pengakuan langsung dari si pelaku. Mata gadis itu mulai berkaca-kaca.

"Ternyata cowok juga ada yang murahan ya, cuman ketutup gender aja!" Liona tak kuasa menahan hinaan dari mulutnya yang sudah lama bungkam.

Malvin membelalakkan matanya mendengar ucapan itu, ia kaget! Sejak kapan Liona mulai berbicara seberani ini?

"What?! Kamu ngatain aku murahan?" tanya Malvin dengan nada tak percaya. Ada yang berubah dari gadis di hadapannya ini, dan Malvin merasa itu semua terjadi semenjak Liona mengenal Alkana.

"Terus gimana sama kamu yang akhir-akhir ini dekat sama Alkana? Apa sebutan yang pantas buat cewek yang deket-deket sama cowok lain di saat dia masih terikat hubungan sama orang lain? Murahan? Gatel? atau Jala-" ucapan Malvin terhenti melihat air mata Liona. Shit, dia kelepasan! Malvin merutuki kebodohannya, dia menggigit bibir bawahnya karena asal bicara.

Malvin mengacak-acak rambutnya frustasi, entah kenapa akhir-akhir ini emosinya sulit di kontrol.

"Maaf Li, aku emosi! I'm sorry...kamu--"

"Apa?! Aku apa? Jalang? Iya kan? Itu kan yang mau kamu bilang!" Liona menatap kecewa pada Malvin, tak menyangka julukan wanita di rumah bordil itu di lontarkan Malvin untuknya.

"Kamu berubah! Tapi sialnya mau sebrengsek apapun kelakuan kamu! Itu gak ngerubah perasaan aku ke kamu!"

Malvin tertohok mendengarnya, bahkan setelah semua yang dirinya lakukan, Liona masih tetap mencintainya, "Aku juga sama Li, apapun yang terjadi aku tetep cinta dan sayang sama kamu! Aku mau kita baik-baik aja kayak dulu, kamu mau kan?" Liona membuang muka, biasanya ia akan sangat senang jika Malvin berkata manis, namun kali ini rasanya hambar.

"Aku--" ucapan Malvin terhenti karena deringan ponselnya di atas meja. Nama Aurel tertera di sana, dan Liona melihatnya dengan sangat jelas. Gadis itu tersenyum hambar melihatnya.

Dan sialnya Malvin menerima panggilan itu seolah tidak peduli pada perasaan Liona, padahal karena gadis itu mereka bersitegang beberapa detik lalu.

"Halo Rel!" sapa Malvin lebih dulu.

"Kak please tolongin aku, aku habis ekskul dan nunggu jemputan, ternyata Papa gak bisa jemput karena ada kerjaan penting di kantor."

Liona samar-samar mendengar ucapan Aurel mengepalkan tangannya lagi.

"Kamu masih di sekolah?" tanya Malvin, raut khawatir nampak di wajahnya. Liona sakit hati mendengar itu, dan bahkan mereka memakai aku-kamu!.

"Iya kak aku masih di halte depan sekolah, cepat ke sini kak, aku sendirian, aku takut."

"Oke jangan ke mana-mana," Malvin menyudahi panggilan tersebut. Ia menatap Liona dengan cemas.

"Aurel sendirian Li, Papa kamu gak bisa jemput dia, kita pulang sekarang, sekalian jemput Aurel di halte Venus. Lagian bentar lagi kayaknya mau hujan." Liona mengasihani nasibnya sendiri, di sakiti oleh sikap ayahnya dan tidak beruntung dalam kisah cintanya.

"Kamu pikir aku sudi satu mobil sama dia?" Liona menaikkan sebelah alisnya.

"Li, Aurel itu adek kamu, gak sepantasnya kamu ngomong gitu!" tegur Malvin.

"Tiri!" tekan Liona tajam. Malvin mengusap wajahnya kasar, entah harus bagaimana ia menghadapi sikap Liona.

"Li ayolah jangan kekanak-kanakan gini! Ayo pulang! kita sekalian jemput Aurel. Kasian dia, ini mau hujan lho, mau gelap juga."

Liona menatap tak percaya pada Malvin, "Peduli banget kamu sama dia, aku jadi gak percaya kalian gak ada hubungan apa-apa di belakang aku!"

Malvin memejamkan matanya mencoba sabar, di saat seperti ini Liona masih kembali menyulut api "Aurel itu adik kamu Liona makanya aku peduli." ucapnya mencoba sabar.

"Yakin? Tapi kamu lebih memprioritaskan dia dari pada aku. Mana mungkin kalian gak punya hubungan apa-apa udah sampe ciuman gitu!" skakmat! Malvin tidak tau harus menjawab apa.

Ponsel itu kembali berbunyi, Malvin langsung mengangkatnya.

"Kak please cepat kesini! Ada beberapa preman yang jalan ke sini, aku takut kak hikss..."

Malvin panik mendengarnya, apalagi Aurel sampai menangis, jujur Malvin khawatir sekarang. "Aku ke sana sekarang!" Malvin meraih tasnya lalu berdiri, ia menatap Liona yang masih duduk anteng tanpa berniat beranjak.

"Ayo!" Liona tetap diam.
"Ikut atau aku pergi!" Liona tetap diam.
"Liona!" bentak Malvin jengah.

"Kamu pilih aku atau dia?!" pekik Liona nyaring, kali ini beberapa orang mulai memperhatikan mereka.

Malvin menggeleng tak percaya pada Liona, "Kamu egois Li!" ucap Malvin lalu benar-benar pergi dari sana, setelah meninggalkan tiga lembar uang berwarna merah di meja.

Brengsek!

Liona menatap kepergian Malvin dengan hampa, ingin mengeluh tapi Liona merutuki kebodohannya sendiri, jika dia memang sudah tidak kuat dengan hubungan toxic ini, Liona bisa mengakhiri segalanya. Namun ada rasa tak ikhlas dalam hatinya membayangkan hal itu terjadi.

Hujan turun dengan deras tepat saat Malvin telah pergi menjauhi area kafe dengan mobilnya. Liona mengasihani dirinya sendiri. Untung cowok itu sudah membayar makanan mereka, jika tidak mungkin Liona akan pulang jalan kaki.

Merasa tak nyaman di perhatikan orang-orang di sekitarnya, Liona memilih beranjak pergi meninggalkan secangkir cappucino miliknya yang sudah dingin. Orang-orang menjadikan dirinya tonton gratis.

"Manusia kurang hiburan hidup!" batin Liona.

Liona berhenti sejenak di teras kafe, ia menatap sejenak ribuan butir air yang jatuh dari langit itu.

Jam yang melingkar di pergelangan tangan Liona menunjukkan pukul enam sore, langit yang memang tadinya mulai gelap di jam segini bertambah gelap dengan turunnya hujan. Takut pulang terlalu malam Liona dengan berat hati menerobos hujan.

Seseorang yang duduk di kafe seberang jalan terkekeh melihat semua perdebatan mereka. Dari gelagatnya saja Alkana tau jika mereka berdua bertengkar, apalagi Malvin pergi meninggalkan Liona di sana. Alkana jelas tau kemana tujuan Malvin, karena semua pembicaraan mereka Alkana dengar dari ponselnya yang selalu terhubung ke ponsel Liona. Alkana mendengarnya melalui headset yang ia sumpal ke kedua telinganya sembari menatap mereka dari kejauhan seperti predator.

Alkana menatap Liona yang menerobos hujan menunju halte di pinggir jalan, tak berniat beranjak menemui gadis itu, Alkana diam memperhatikan. Sepertinya gadisnya harus di berikan sedikit hukuman.

Alkana menjadi pusat perhatian para gadis-gadis di kafe membuat lelaki itu sedikit tidak nyaman, namun mau bagaimana lagi, sejak lahir karismanya memang sulit untuk di tolak.

Tak terasa jam bergerak cepat, malam benar-benar menelan sekitarnya menjadi gelap, halte dan sekitarnya kini benar-benar sepi, hanya Liona yang duduk sendirian di sana, isak tangis mulai terdengar dari handset yang masih terpasang di telinga Alkana.

Alkana menyeringai senang, ia menyukai Liona yang menangis ketakutan seperti itu terlebih lagi kepalanya yang celingak-celinguk mencari taxi, terlihat menggemaskan di mata Alkana. Hujan hanya menyisakan gerimis, namun tangis Liona kian deras.

"Nangisin si brengsek itu, hm?" batin Alkana.

Saat Alkana mendengar isakan itu semakin keras barulah dia beranjak menuju gadis itu. Alkana meletakkan dua lembar uang berwarna merah di meja, lalu kemudian mengambil motornya.

Alkana menghentikan motornya di depan halte. "Naik!" ucapnya tegas.

Liona mendongak menatap Alkana kaget, sejak kapan lelaki itu di sekitar sini? Dan di setiap dia sendirian seperti ini, Alkana selalu datang seperti pahlawan membuat Liona tidak tau harus kesal atau berterima kasih, "Kenapa lo ada di sini!" Liona menghapus kasar air matanya.

"Naik!" ulang Alkana namun Liona menggeleng. Alkana turun dari motornya lalu menarik tangan gadis itu. Liona menghempaskan tangan itu kasar hingga terlepas.

Alkana menatap gadis itu nyalang, "Pulang bareng gue atau gue perkosa lo di sini!" Liona reflek menatap sekitar, sialnya tidak ada siapa-siapa. Situasinya begitu mendukung Alkana dan merugikan Liona.

"Ya udah iya!" Dengan pasrah Liona ikut Alkana pulang.

Entah ke mana pulang yang Alkana maksud, yang jelas Liona hanya menurut. Sebelum naik Alkana meraih helmnya lalu memasangkannya ke kepala gadis itu, alhasil Alkana tidak memakai helm, tidak masalah yang terpenting Liona tetap aman. Tak lupa Alkana melepaskan jaket motor Xanderoz di tubuhnya lalu memakaikannya pada Liona.

Alkana menyentuh leher Liona beberapa saat, badan gadis itu panas, apa Liona demam? Alkana langsung menaiki motornya di ikuti Liona yang mulai merasa pusing di kepalnya. Alkana menarik kedua tangan Liona agar melingkar di pinggangnya.

Liona hendak menolak, namun Alkana tetaplah Alkan, lelaki keras kepala yang tidak menerima penolakan apapun. "Nurut Athena!" tegas Alkana kemudian melajukan motornya dengan kecepatan tinggi membuat Liona semakin mengeratkan pelukannya.

Karena takut jatuh!

"Tadi kenapa nangis?" tanya Alkana meski sudah tau jawabannya.

"Nggak kok siapa yang nangis!" bantah Liona cepat, padahal matanya sudah membengkak. Alkana terkekeh di buatnya.

"Takut?" tanya Alkana, Alkana dapat merasakan jika Liona mengangguk kecil di punggungnya. Gadis ini sungguh menggemaskan, seandainya gadisnya menurut seperti anak kucing, pasti Alkana akan sangat senang di buatnya.

*******

Motor Alkana berhenti di depan sebuah rumah, ralat istana mungkin. Karena ukurannya yang kelewat besar dan megah. Di dominasi cat putih dengan marmer hitam. Liona terpaku menatap bangunan itu, sejak memasuki gerbang Liona sudah di buat terkagum-kagum, ukuran rumah ini sepuluh kali lebih besar dari pada rumahnya.

Alkana membantu Liona turun dari motornya, saat Alkana berniat membuka helmnya, Liona lantas menjauh.

"Gue bisa sendiri!" ucapnya kesal. Alkana menahan gemas dibuatnya.

Sedikit lama, namun Liona berhasil melepaskan helm tersebut dari kepalanya. Alkana meraih helm tersebut lalu meletakkan punggung tangannya di dahi gadis itu.

"Lo demam."

"Gue gak papa."

Alkana memutar bola matanya malas, ia menarik Liona memasuki rumahnya. "Ini rumah lo?" tanya Liona, Alkana menggeleng.

"Bukan, ini rumah bokap gue." kini giliran Liona yang memutar bola matanya. Bukankah itu sama saja?.

"Ngapain bawa gue ke sini?" Alkana diam tak menjawab. Liona jadi gelisah sendiri, tapi jika pun Alkana mengantarnya pulang ke rumah ia akan kena amuk Arga. Ibarat kata Alkana hanya menunda penderitaannya sekarang.

Saat mendekati pintu, seorang pria dengan setelan jas hitam berdiri tegak di sana menyambut kedatangan mereka.

"Bokap lo?" tanya Liona.

Alkana menggeleng, pertanyaan Liona terjawab saat pria itu menyapa Alkana sambil membungkuk.

"Selamat datang tuan muda dan nona, Tuan besar sudah menunggu di dalam." sambut Mike tangan kanan ayahnya.

Alkana mengangguk lalu memasuki rumah. Ia bisa melihat Papa dan Mamanya sedang duduk di sofa. Jantung Liona berdetak tak karuan, ia sudah seperti pacar Alkana yang pertama kali akan di kenalkan pada kedua orangtuanya. Kesan mewah rumah Alkana semakin terasa saat di dalam, Liona jadi minder sendiri, apalagi penampilannya seperti gembel sekarang.

"Selamat datang di rumah, anakku, dan... menantu?" Hayden ayah Alkana berdiri dari duduknya begitu juga dengan Teresa ibu Alkana. Hayden dan Alkana begitu mirip, sangat mirip, Alkana seperti gambaran Hayden sewaktu muda dulu.

Liona berdiri kaku mendengar kata 'menantu' dari Hayden, ekspresi wajahnya datar, Liona tidak bisa menebak apakah Hayden menyukainya atau tidak.

"Jangan memasang ekspresi kaku itu lagi Hayden, kamu membuat calon menantuku ketakutan!" Hayden melipat kedua tangannya di depan dada mendengar nada peringatan istrinya.

"Selamat malam Om, Tante, saya Liona teman--"

"Pacar Alkana kan?" bantah Teresa cepat membuat Alkana menyeringai senang menatap Mamanya.

"Bukan Tante saya--"

"Perkenalkan saya Teresa Mamanya Alkana, dan ini Hayden Papa Alkana, kamu gadis pertama yang Alkana bawa pada kami, itu artinya kamu 'spesial' bagi Alkana." jelas Teresa. Liona tidak tau harus mengatakan apa. Ia hanya mampu tersenyum canggung.

Sebenci apapun Liona pada Alkana, dia masih tau tata krama dan sopan santun pada orang tua. Terlebih lagi seorang ibu.

"Lanjutkan obrolan kalian aku ada urusan dengan anak ini." Hayden berjalan menuju ruang kerjanya di ikuti Alkana, setelah sebelumnya ia mencium kening Liona di depan mereka.

"Gue tinggal bentar." bisik Alkana lalu pergi. Hayden menghela nafas berat melihat tingkah anaknya.

Liona di bawa untuk duduk di sofa oleh Teresa, dua gadis berpakaian pelayan datang menghidangkan makanan dan minuman di meja.

"Kamu bahkan lebih cantik dari yang Alkana ceritakan." celetuk Teresa tiba-tiba.

Mata Liona membulat, "Alkana cerita tentang Liona ke Tante."

Teresa mengangguk, "Iya, dan jangan manggil Tante, panggil saja Mama sama seperti Alkana." Liona tertegun sejenak, kata 'Mama' sudah bertahun-tahun tidak pernah lagi ia ucapkan setelah ibunya Nilam tiada.

"Kamu adalah gadis pertama yang Alkana bawa kesini, makanya pas kalian dateng Mama langsung tau kamu siapa."

"Alkana sialan!" batin Liona.

Liona tidak menyangka lelaki itu sudah menceritakan tentang dirinya pada orang tuanya, padahal mereka tidak memiliki hubungan apapun.

Bahkan Malvin yang berstatus sebagai pacarnya tidak pernah mengenalkan gadis itu pada orang tuanya.



TBC!
Follow my Instagram : hafifahdaulay_
Spam komen untuk next!
And see you...

Continue Reading

You'll Also Like

Flycatcher By Ayra

Teen Fiction

1.1M 85.2K 57
#1 in gengster #1 in anakSMA [ SEBAGIAN CHAPTER DIPRIVATE, FOLLOW DULU UNTUK MEMBACA] Ini tentang Anggit Rahesa Yudistira, cowok pemilik tatapan ela...
887K 34K 57
Namanya Ghazanvar Kiesar, sosok laki-laki yang dianggap sempurna di mata orang-orang, apalagi kaum perempuan. Namun siapa sangka, ternyata Ghazanvar...
AGRIO By vivieyooo

Teen Fiction

1.2M 99.4K 59
[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] Agrio, keturunan ke empat Surendra yang memiliki sifat yang berbeda dengan Papi, Opa, maupun pendahulu Surendra sebelum...
4.9M 370K 90
Nareshta Ravaleon Arkana adalah cowok populer di SMA Ganesha. Kepopulerannya ditunjang oleh penampilan dan tampang yang rupawan juga kiprahnya sebaga...