SWITCHOVER (Book I)

By Mikeindialima2

28.5M 1.2M 203K

BAB MASIH LENGKAP Dark Young Adult (18+) Setelah Ibunya memutuskan untuk menikah lagi bersama pria lain yang... More

✖SERIAL SWITCHOVER - Coming Soon
✖REVIEW PARA PEMBACA
✖WARNING!
000
001
002
003
004
005
006
007
008
009
010
✖TRAILER & CHARACTERS
011
012
013
014
015
016
017
018
019
020
021
022
023
024
025
026
027
028
029
030
031
032
033
034
035
036
037
038
039
040
041
042
043
044
045
046
047
048
049
050
✖PLAYLIST
051
052
053
054
055
056
057
058
059
060
061
062
063
064
065
066
067
068
069
070
071
072
073
074
075
076
077
078
079
080
✖COVER UNTUK NOVEL
081
082
083
084
085
086
087
088
089
090
092
093
094
095
096
097
098
099
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111 (Ending)
✖CARA MEMESAN BUKU SWITCHOVER & Daftar Toko Buku
✖LANJUTAN CERITA SWITCHOVER
✖THANK YOU- Switchover Series udah tayang!

091

217K 10K 2.2K
By Mikeindialima2

Play The Mulmed👆: Hold On - Chord Overstreet

⬇⬇⬇

Leo's POV

Mataku yang masih tertutup terkena hamparan cahaya membuatku seketika merasa silau. Sialan! Siapa yang lancang membuka tirai jendelaku? Aku paling tidak suka jika diganggu ketika tidur. Aku mengangkat tangan menghalau cahaya masuk ke mataku sembari bangun terduduk di atas tempat tidur.

Kosong. Tidak ada siapa-siapa di dalam kamarku. Namun... situasi ruangan ini jauh lebih baik dari yang aku ingat semalam. Tidak ada lantai yang basah. Tidak ada pecahan botol minuman. Tidak ada perabot yang rusak. Semuanya rapi, ya walaupun beberapa perabot yang telah aku hancurkan—yang tidak dapat diperbaiki—telah mengilang dari sini.

Ingatanku tentang tadi malam sedikit kabur, tapi aku ingat beberapa hal sebelum aku tertidur. Aku mengingat Anna, dia datang padaku dan kami berciuman. Fuck! Itu konyol! Dia tidak akan pernah menciumku. Itu hanya imajinasi yang aku buat akibat obat sialan.

Oh ya obat!

Aku bergegas turun dari tempat tidur dan mengecek laciku.

What the fuck?! Mengapa obatku tidak ada di sini? Aku terus mengacak-acak laciku sampai seluruh isinya terjatuh di atas lantai. Sial! Obatnya tidak ada di dalam!

Aku bergerak mengambil ponselku di atas nakas untuk mengecek waktu. Pukul 11 pagi menjelang siang. Sial, aku tidak pernah bangun selambat ini. Dengan tergesa-gesa, aku keluar dari dalam kamar dan keterkejutanku bertambah dua kali lipat. Perapian menyala menghangatkan udara di musim dingin, bahkan ruang tamu jauh lebih rapi dari yang seharusnya.

Tidak salah lagi. Seseorang pasti berada di rumahku tadi malam. Hanya ada dua kemungkinan, Krystal atau Ayahku. Atau mungkin...

Langkah kakiku terhenti tepat diperbatasan antara ruang tengah dan dapur. Tubuhku seketika kaku dengan tangan mengepal erat. Mataku menatap lurus punggung seorang gadis berambut hitam pekat yang terikat sedang sibuk memasak di dapurku. Sial! Dia ada di sini.

Seharusnya aku sadar, tidak ada yang bisa membuatku tidur terlelap selain dia. Selama kami berpisah, aku hanya bisa tertidur 3 jam sehari. Aku selalu tidur jam 1 dan bangun pukul 4 pagi. Tapi mengingat hari ini aku bangun pukul 11, itu artinya dia menginap bersamaku di dalam kamar.

Anna masih sibuk menyiapkan sarapan, dia belum menyadari kehadiranku. Menatap gerak-geriknya dari belakang, membuatku ingin memeluk pinggangnya dan mencium pipinya, dan membisikan betapa aku memencintai dan merindukannya. FUCK! HELL NO! CINTA? Tidak, tidak. Dia telah tidur dengan Dylan. Sialan! Aku tidak mencintainya brengsek!!

"Aku tidak ingat menyewamu sebagai pembantu di rumahku." Kataku dengan tangan terlipat di depan dada dan punggung bersandar di dinding.

Punggung Anna menegak menyadari ucapanku, dia sontak berbalik badan dan menatapku dengan mata melebar.

"Kau," Dia menggigit bibir bawahnya, tampak gugup untuk berbicara. Sial, ini sangat canggung. "Kau sudah bangun."

Aku memutar bola mataku dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Menatap wajahnya hanya akan membuatku berpikir betapa aku ingin melahap bibir kecilnya itu.

"Kau harus sarapan. Kau muntah banyak tadi malam." Katanya lagi. Sialan!

"Aku tidak butuh perhatian sialanmu itu. Mengapa kau tidak pergi saja dari sini dan berhenti memedulikanku?!"

"Berhenti memedulikanmu?" Dia bertanya sinis. "Tolong katakan padaku bagaimana caranya untuk berhenti peduli padamu disaat kau bahkan hampir membunuh dirimu sendiri. Sungguh, mengapa kau bahkan mengonsumsi obat sialan itu?!"

"Persetan Anna!!!" aku mengumpatinya, "Kau pikir siapa yang telah membuatku seperti ini?! Kau! Kau yang melakukannya!! Kau pikir aku akan bersikap baik padamu hanya karena kau membersihkan rumahku dan membuatkanku sarapan?! Jangan konyol! Tidak ada yang berbeda dari kita. Aku membencimu dan selamanya akan selalu seperti itu. Jadi pergi saja dari sini sebelum aku melemparmu dengan sarapan konyolmu itu!"

"Apa masalahmu?!" Dia balas bereteriak.

Here we go again.

"Apa masalahku?!" Aku balas bertanya sinis dengan mata membelalak, "Wow, kau bodoh atau idiot?"

"Berhenti saja, oke? Aku tau kau marah padaku, tapi aku tidak ingin berkelahi dengamu."

Aku terkekeh konyol. Dia benar-benar idot yang menyebalkan.

"Jika kau tidak ingin berkelahi denganku, maka pergi saja dari sini."

Dia melipat tangannya di depan dada, "Aku tidak akan meninggalkanmu." Katanya tegas. Ini dia, Anna dan keras kepalanya.

"Pergi, atau aku akan melemparmu dengan sarapan itu. Aku bersungguh-sungguh!"

Dia menelan salivanya tampak gugup. Tapi tentu saja dia menyembunyikan ketakutannya.

"Lempar saja kalau kau berani." Ujarnya dengan tangan mengepal kuat.

Aku berjalan mendekatinya di dekat meja makan, "Jangan menantangku."

Dia hanya diam. Matanya mulai berkaca-kaca menatapku. Sialan! Mengapa dia selalu menangis di sampingku? Oh ya, aku memang brengsek.

"Aku tidak akan meninggalkanmu, Leo."

"FUCK YOU!" Aku membentak, tanganku spontan mengambil sarapan yang telah dia buat di atas meja dan melempar makanan itu ke arahnya.

Dia berteriak kuat sembari menutup telinga, tapi piring itu meleset mengenai dinding di sampingnya dan jatuh pecah berkeping-keping ke lantai.

"Aku telah mengatakannya," Kataku sinis. Gigiku mengeram kuat. "Jangan.menantangku."

Air matanya berhasil turun dan dia menatapku penuh kebencian, "Kau benar-benar brengsek!"

Dia menghapus air mata di pipinya lalu terjongkok untuk membersihkan makanan hancur itu. Sialan! Mengapa dia melakukan itu? Aku pikir jika aku menggertaknya, dia akan langsung pergi.

Tangannya satu per satu memungut piring yang telah pecah di lantai hingga tanpa sadar telunjuknya tersayat. Aku spontan terduduk dan meraih tangannya yang berdarah tapi dengan spontan tangannya terangkat dan menampar pipiku.

Plak!

Sialan! Aku bahkan tidak pernah memukulnya secara sengaja tapi dia telah menamparku berkali-kali.

"Jangan menyentuhku, sialan!" Umpatnya kasar. Tapi aku tidak mendengarnya dan langsung menarik tanganya untuk menjauh dari pecahan piring itu.

"Lepaskan tanganku!!" Dia menyentakku dengan kasar membuat tangannya terlepas dari genggamanku. "Kenapa Leo? Hm? Kau tidak bisa melihatku terluka?"

"Jangan konyol." Aku terkekeh geli.

"Ya, kau tidak bisa. Kau bahkan sengaja tidak mengenai piring itu ke arahku. Kau tau kenapa? Karena kau mencintaiku. Seberapapun kau menyembunyikan perasaanmu, kau tidak bisa membohongi kenyataan bahwa kau masih mencintaiku."

"Hentikan omong kosong sialanmu!!" Ancamku sambil menunjuk wajahnya geram, "Aku tidak mencintaimu. Lagi."

Dia balas terkekeh sinis, "Oh ya? Tapi mengapa kenyataan tadi malam berkata sebaliknya? Kau mencium bibirku. Kau menggenggam tanganku. Kau memanggilku baby-"

"PERSETAN ANNA!!" Aku mendorong tubuhnya ke dinding dan mencekik lehernya detik itu juga. Tidak kuat, hanya untuk membuatnya takut, "Sekali lagi kau berbicara omong kosong-"

"Apa? Kau akan meyakitiku?" tantanganya, bukannya menciut, lehernya justru semakin terangkat, sama sekali tidak takut dengan apa yang akan aku lakukan. "Go ahead, Leo. Hit me. Slap me. Punch me. Hurt me." Katanya dengan sorot mata tajam.

Sialan! Tangan kiriku mengepal kuat. Aku hanya perlu menonjok pipinya dan semua akan berakhir. Dia tidak akan pernah datang padaku lagi. Dia akan membenciku. Benar-benar membenciku. Tapi... Fuck! Tanganku begetar, tidak, mengapa aku tidak bisa memukulnya?

Pelan-pelan, Anna melepaskan cekikan tanganku dari lehernya. Lalu bergantian dia yang memegang daguku dengan kedua tangan hangat kecilnya. "You can't, right?" ujarnya lirih, napasnya menerpa wajahku.

Dia tersenyum tipis. Kemudian, tanpa bisa aku hindari, dia memajukan wajahnya sampai akhirnya bibir kami bertemu.

Dia menutup mata dengan air mata menetes di pipinya, dan pelan-pelan aku bisa merasakan lidah mungilnya menjelajah di bibirku ingin menerobos masuk. Sialan, aku tidak bisa mendorongnya menjauh, alih-alih melawan, aku membuka mulut untuk memberikannya akses masuk menjelajah ke mulutku lebih dalam. Rasa Anna masih sama, manis, lembut, dan begitu hati-hati. Fuck! Ini bahkan lebih nikmat dari narkoba.

Aku membalas ciumannya dan menelan saliva yang mulai terkumpul di antara kami. Aku memegang bokongnya untuk memperdalam penyatuan, sementara dia berjinjit dan mencondongkan tubuh ke arahku. Aku menautkan lidah kami berdua dan sesekali menghisap lidahnya membuatnya mengerang nikmat. Ya, aku tahu, aku selalu tahu bagaimana membuatnya merasa.

Tanpa sadar aku telah memerangkapnya di dinding, tubuh bagian bawahku yang telah bangun menekannya begitu kuat dari jins yang aku kenakan. Kemudian, jari-jari kecilnya turun untuk menyentuh perutku di atas resleting.

"Aku telah tidur dengan Dylan."

Suara Anna mengiang di dalam kepalaku dan detik itu juga aku menghentikan ciumannya dan mendorong tubuhnya menjauh.

"Wow, sepertinya kau telah belajar banyak dari Dylan." Aku mengelap bibirku dengan jijik. "kau benar-benar menjadi jalang sekarang."

Dia menatapku terpaku, alisnya terpaut bingung. "Leo-"

"Stop, okay?!" aku menghentikannya sebelum dia mengeluarkan kalimat konyol lain untuk membuatku luluh, "Aku tidak akan menyentuh bekas Dylan. Fuck you!!"

Air mata sialannya lagi-lagi turun. Kepalanya menggeleng tak percaya. "Jadi itu yang kau pikirkan tentangku? Aku menjijikan bagimu?"

Aku mengalihkan pandangan ke arah lain, tidak berniat menjawab kalimatnya.

"Kau sungguh tidak dapat dipercaya! Kau bahkan mencium wanita lain, bahkan tidur dengan wanita acak tapi aku tidak pernah mempermasalahkan itu!!"

"Itu jelas berbeda, sialan!!"

"Apa yang beda?!!" Dia menyela kalimatku dengan berteriak lebih kencang. "Awal aku bertemu denganmu, aku mengetahui semua keburukanmu. Tapi coba tebak, tidak pernah sekali saja dalam hidupku untuk berpikir bahwa kau menjijikan. Oke, aku mungkin berkata seperti itu padamu, tapi aku tidak pernah bersungguh-sungguh. Aku bahkan menerimamu tidak peduli seberapa kacaunya dirimu. Aku jatuh padamu, tidak peduli seberapa banyak luka yang kau berikan padaku!"

"Itulah sebabnya Anna, kau tidak pernah mencintaiku!!! Kau melihatku sebagai pria kesepian yang membutuhkan kasih sayang seorang Ibu. Perasaanmu padaku hanya sekedar rasa simpati sama seperti yang kau berikan pada orang lain. Karena jika kau mencintaiku, kau tidak akan pernah memberikan tubuhmu pada Dylan!! Kau ingin menyamakan diriku dengan dirimu? Itu jelas berbeda! Kau dari keluarga baik-baik, sementara aku? Aku terbiasa untuk melakukan hal-hal seperti itu. Berhubungan dengan wanita lain adalah salah satu caraku untuk melampiaskan kemarahanku padamu. Untuk menghindari fakta bahwa aku begitu mencintaimu."

Dia terdiam. Mulutnya terbuka tapi tidak ada kalimat yang bisa dia keluarkan untuk membalas ucapanku. Ya, dia jelas kalah sekarang.

Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Beberapa detik hening tercipta di antara kami, sampai akhirnya dia berkata. "Apa kau bersungguh-sungguh menganggap aku jalang?" suaranya bergetar.

Sialan! Untuk apa dia bertanya seperti itu?

"Jawab aku Leo." Suaranya semakin lirih, "Jika itu yang kau pikirkan tentangku, jika kau benar-benar percaya aku telah tidur dengan Dylan. Maka aku akan pergi dari sini, dan kali ini aku tidak akan pernah kembali."

Tanganku mengepal kuat, berusaha melawan adrenalin di dalam diriku. Aku kemudian memberniakan diri untuk menatap matanya, sampai akhirnya aku melihat bahwa dia benar-benar terluka. Dia terpukul atas semua ucapanku.

Apa yang telah aku lakukan? Tidak. Annaku tidak akan pernah tidur dengan pria lain. Dia tidak akan pernah merelakan tubuhnya pada orang lain selain diriku. Dia mengatakan omong kosong untuk menyakiti perasaanku. Sama seperti yang selalu aku lakukan padanya. Kenapa aku sangat bodoh?!

"Jawab aku Leo." Wajahnya mengerut dan bahunya begetar karena terisak.

Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung melangkah ke arahnya. Aku segera meraih pingganya dan detik itu juga memeluk tubuhnya kuat. Tubuh kecilnya terperangkap di depan dadaku, di antara kedua lenganku. Aku bahkan bisa menghirup bau tubuh bayi yang menenangkan dari tubuhnya.

"I'm sorry, baby..." Bisikku di telingannya. Bodoh, seharusnya aku sadar dari awal bahwa dia tidak akan pernah melakukan itu.

Bukannya mereda, tangisnya justru semakin keluar. "Aku tidak pernah..." dia menarik napas sesaknya, "aku tidak pernah tidur dengan Dylan." Tangannya mencengkram pinggangku kuat.

"I know..." Aku mengangguk dan mengelus-elus belakangnya, "I'm so sorry, I'm stupid. I am fucking idiot..."

Tanpa melepas pelukan kami, aku menunduk, tangan kananku bergerak untuk menyentuh dagunya, mendongakkan kepalanya agar dia menatap mataku. "Don't cry..." Aku mencium kedua matanya yang sembab, "I still love you..."

Mata hitam pekatnya menjelajah ke dalam mataku, "I still love you too..." Lirinya dengan bibir bergetar.

Aku tersenyum dan langsung melahap bibir kecilnya. Ya Tuhaaan, aku sangat mencintainya. Tidak ada kata yang bisa aku utarakan untuk mengungkapkan betapa bahagianya aku saat ini. Anna, dia milikku. Dia tidak pernah memberikan dirinya pada pria lain. Dia kembali padaku. Dia datang padaku. Tidak peduli seberapa kacaunya kami, tidak peduli betapa toxic hubungan kami, kami akan selalu menemukan arah untuk kembali bersama. Dia mencintaiku. Aku mencintainya. Dan selamanya akan selalu seperti itu.

Anna's POV

Bibir Leo melumat bibirku begitu rakus. Aku tidak menolak justru menikmati setiap gerakan yang dia berikan. Ini adalah kami, cara kami menyalurkan kerinduan melalui tubuh yang saling memuaskan satu sama lain.

Leo menggendong tubuhku, dia menyandarkan punggungku ke dinding. Sementara aku melingkarkan kakiku di pinggangnya untuk menyeimbangkan tubuh agar tidak jatuh. Ciuman Leo kemudian terlepas, memberi kami jeda untuk bernapas.

Aku tersenyum meremas rambutnya, dan dia tidak marah kali ini, dia telah membiarkan aku menyentuh kelemahannya. Bibirnya kemudian turun, menjilat leherku dan menghisapnya pelan tapi intens. Ah, aku mendesah dengan mulut terbuka, aku menebak dia pasti memberiku tanda di sana, tanda bahwa hanya dia satu-satunya pemilik atas diriku.

Ciuman Leo semakin turun ke bagian dadaku, aku ingin melepas sweater yang aku kenakan, untuk memberikannya akses lebih banyak, tapi mengingat bahwa ia belum makan sejak tadi malam, aku menghentikan gerakanku.

"Ada apa?" Tanyanya dengan napas memburu menerpa bibirku.

Aku mengendalikan napas sebelum menjawab. "Kau belum makan sejak tadi malam."

"Aku tidak lapar." Dia berniat melahap mulutku lagi, tapi aku menahan bibirnya dengan satu jari.

"Sstt, kau harus makan Leo." Ujarku pelan, "Kita bisa melanjutkannya setelah kau makan. Kita masih memiliki banyak waktu."

"Bagaimana jika kau pergi setelah ini?"

Aku terkekeh dan mencium kedua tahi lalat yang aku rindukan di pipinya, "aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan berada di sini bersamamu."

Dia tidak yakin dengan apa yang aku katakan, tapi aku memegang wajahnya dan menatap matanya sungguh-sungguh, "Aku berjanji."

Leo menghela napas menyerah, dia kemudian menggondongku dan meletakkanku di atas meja makan.

"Maaf. Aku menghancurkan makananmu."

"Ya, kau memang bodoh." Aku mengejeknya, tapi dengan kekehan kecil.

"Aku tidak bisa mengendalikan kemarahanku, kau selalu membuatku kesal."

Aku mengelus punggung tangannya, tidak tega melihat wajahnya yang merasa bersalah. "Tidak apa-apa. Itu hanya sandwich. Aku bisa membuatkanmu yang baru."

Aku melompat turun dari meja. Aku melangkah menuju lemari gantung untuk mengambil roti, kemudian berjalan ke arah lemari es untuk mengambil bahan lain bersama dengan smoothie yang telah aku buat tadi pagi sebelum Leo datang menghampiriku.

"Ini, minumlah." Kataku, menyodorkan gelas kaca yang cukup besar.

Dia meraih gelasnya dan langsung meminum, tapi baru satu tegukan, dia langsung menjauhkan gelas itu dari wajahnya. "What? Rasanya aneh. Apa yang kau campurkan di dalam?"

"Kau harus menghabiskannya Leo. Itu makanan yang cocok untukmu. Aku sengaja membuatnya karena kau hampir overdosis tadi malam." kataku, "Aku melihatnya di internet, itu smoothie campuran buah, bubuk protein, yogurt, gandum, pisang dan susu almond tanpa pemanis."

"Kau melihatnya di internet?"

"Ya, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Kau membuatku takut." Bibirku mengerucut tapi Leo langsung meraih pinggangku agar menyatu dengan tubuhnya.

"Berjanji padaku, Leo... jangan pernah menghancurkan dirimu dengan barang-barang seperti itu." Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya, "aku takut... aku takut kehilanganmu..."

"Kau tidak akan kehilanganku." Katanya sembari menyelipkan rambut-rambut kecilku ke belakang telinga.

"Aku melihatmu tadi malam... kau hampir-" Ucapanku terpotong karena air mataku langsung turun. Tapi Leo menyembunyikan wajahku di dadanya. Aku tau, dia tidak menyukai ketika aku menangis, tetapi aku tidak bisa menahannya. Bayangan bagaimana tubuhnya terkapar lemah di lantai tadi malam benar-benar membunuhku untuk sesaat. Aku bahkan sempat berpikir jika dia tidak akan bangun pagi ini.

"Tenanglah... aku tidak akan menggunakannya lagi. Kau ada di sini. Dan itu sudah cukup bagiku." Ucapnya pelan, aku berharap dia bersungguh-sungguh. Aku tidak pernah berhadapan dengan pecandu sebelumnya, tapi aku tau, itu akan sangat sulit untuk lepas dari barang itu. Tapi selama aku berada di samping Leo, aku akan selalu mengawasinya. Aku tidak akan membiarkannya lepas kendali karena narkoba.

"Sejak kapan kau menggunakannya?" Tanyaku di sela-sela pelukan kami.

Dia diam sebentar, sebelum menjawab. "Aku sudah pernah menggunakannya satu tahun yang lalu. Tapi itu ketahuan oleh Ayahku, dia kemudian memaksaku untuk rehabilitasi sepanjang musim panas dan aku berhasil lepas. Tapi, sejak kita berkelahi di malam thanksgiving, aku mencoba untuk menggunakannya lagi."

"Kau memakainya karenaku?"

"Ya. Awalnya aku hanya mencoba-coba untuk satu malam saja menghilangkanmu dari kepalaku. Tapi aku salah, karena sekali aku mencoba, itu tidak bisa lepas lagi. Lalu aku menambah dosisnya setelah aku melihatmu mencium Dylan di koridor. Aku menggunakannya hampir setiap malam."

Air mataku turun lagi dan tanganku mencengkram pinggangnya erat. "Maafkan aku... aku menghancurkanmu..."

"Tidak. Jangan katakan itu." Ujarnya. "Aku telah hancur sebelum kau mengenalku, Anna." Dia melepaskan pelukan kami, kedua tangannya menghapus air mata di pipiku. "Tapi kau di sini sekarang. Aku tidak akan membuatmu pergi lagi. Aku sudah pernah melewati masa-masa ini, aku bisa dan akan berhenti menggunakannya, karena aku lebih membutuhkanmu daripada narkoba.

Aku tersenyum, tanganku memegang jari-jarinya di pipiku. "Aku berjanji tidak akan pernah meninggalkanmu lagi."

Setelah kalimat itu keluar, sebuah ketukan terdengar di pintu rumah Leo. Kami berdua terkesiap karena terkejut.

Dan ketika kami melangkah ke ruang tamu untuk melihat siapa yang datang. Detik itu juga napasku tercekat dengan mata membelalak.

"Dad... Daddy?"

Gak tau lagi mau ngomong apa. Takut spoiler :')

See you guys in the next part. :*

Jangan lupa follow instagram :

@Mikeindialima2

Continue Reading

You'll Also Like

13.5K 861 11
[HIATUS] Renjun merupakan pelukis terkenal, umur nya masih muda tetapi ia malah dijodohkan dengan pria dominant oleh kedua orang tua nya. Bukan hanya...
Obsessed✓ By olf

Short Story

264K 16.6K 24
Irene yang terobsesi akan sentuhan Seulgi. Dan, Seulgi yang terobsesi akan kebahagiaan Irene.
Damian By 23

Romance

165K 8.5K 5
Damian Manuel Regata Pria kaku, dingin tak tersentuh, tapi memiliki mulut yang pedas serta kontrol emosi yang begitu payah. Dia tidak mengerti dengan...
V.I.P ✔ By PenulisAksara

Mystery / Thriller

4.8K 1.5K 32
⚠️WARNING 18+⚠️ [COMPLETED] Ini tentang seorang anak yang melampiaskan dendam ayahnya yang tak menerima keadilan hukum. Hingga akhirnya memutuskan m...