Wild Flower | BTS KookV [COMP...

By Yozora_MK

195K 20.8K 12.8K

Siapa laki-laki rupawan itu, yang membuat Jeon Jungkook diam membatu seperti idiot di depan gerbang tetanggan... More

#0. Prologue
#1. Starlight
#2. Mind-breaker
#3. Pandora's Box
#4. Irreplaceable
#5. Sweet Like Honey
#6. Romeo & Cinderella
#7. Anonymous Wisher 🔞
#8. Enigma
#9. Tell Me Not
#10. Theater of Lies
#11. Linked Heart
#12. A Guy With Pride 🔞
#13. Innocent Love
#14. Safety Zone
#15. Into The Battlefield
#16. Cross Game 🔞
#17. If Only
#18. Love Streams
#19. One is Too Many
#20. In Your Hands
#21. Choices & Options
PLEASE READ!
#22. Careless Tears
#23. Simply Loving You
#24. Blue Desire
#25. The Broken Angel
#26. Dystopia
#27. Thorn Heart
#29. Russian Roulette
#30. End of Irony *
#31. Faith *
#32. Between Hell & Heaven *
#33. The Remains *
#34. Everlast * (+ FAQ)
#35. Epilogue
Ready PDF

#28. Lost

4.1K 427 179
By Yozora_MK

🌸 KookV  🌸

.

.

.

A/N :
Cerita ini hanyalah fiktif & merupakan hasil dari imajinasi fangirl dg bumbu unsur dramatis di sana sini.

. . .

CAUTION :
Terlalu menghayati cerita fiksi dapat menurunkan tingkat konsentrasi dan menimbulkan efek2 baper(?). Gejala seperti naiknya tekanan darah, euforia, cengengesan, mual2 dan hasrat ingin gampar seseorang bukan merupakan tanggung jawab author.

.

.

.

Happy Reading~ ^^

.

.

.

.

.

You walk around
try to fix everything,
but you're the one who's broken.
unknown.

. . .

“Jadi, kau akhirnya menceritakan ulang semua ini padaku dengan lebih detail—kenapa?”

Taedong menjawab, “Karena aku ingin minta bantuan Sunbae.”

Percakapan ini membuat kepala Daniel pening. Suasana kantor yang masih sepi seakan menambah keseriusan di tempat tersebut. Petugas senior itu memejamkan mata dan memijit pangkal hidungnya. Inilah hal paling merepotkan dari berurusan dengan petugas junior. Anak muda, pikir Daniel. Sembrono, bertindak sesuai insting, emosional, naif, keras kepala dan tak kenal takut.

Sunbae, aku sudah jujur padamu. Sekarang, apa aku masih tidak berhasil meluluhkanmu?”

Daniel memasang tampang penat dan bertanya, “Tapi kenapa aku?”

“Karena cuma Sunbae yang tahu inti masalahnya,” jawab Taedong. “Kau tahu siapa dan orang seperti apa yang akan kuhadapi—aku tidak mungkin menceritakan ini pada orang lain. Sunbae, aku tidak bisa menangani ini sendirian.”

“Kau pikir aku bisa menangani ini?” balas Daniel cepat. Dia kembali mengusap wajahnya sebelum kemudian menatap lagi Taedong dengan wajah yang lebih serius. “Taedong, kujelaskan sekali lagi, meskipun ini bisa dimengerti dan meskipun aku setuju untuk memberimu bantuan, ini jauh di luar kemampuan kita—yang akan kau hadapi itu kriminal kelas global.”

“Aku tahu itu, tapi...”

“Taedong, kau itu tidak sekuat itu untuk berhadapan dengan orang-orang ini. Orang sepertimu tidak ada apa-apanya.”

“Karena itu aku ingin Sunbae menolongku.”

“Apa menurutmu aku sehebat itu?” sangsi Daniel mempertanyakan.

“Iya,” Taedong menjawab dengan lugunya. “Kau senior paling kukagumi dan panutanku sejak di akademi.”

Harusnya itu membuat hati Daniel meninggi, tapi tidak. Daniel semakin pening karena percakapan terus berputar-putar. Sementara Taedong masih menatap padanya dengan tampang memohon, membuat batinnya tertekan.

“Kang Sunbae,” kata Taedong kembali. “Aku ... sekarang ini benar-benar putus asa.”

Sesaat Daniel tak bersuara.

“Jika aku tidak melakukan sesuatu, kupikir—” Taedong diam sejenak, hanya untuk meringankan dadanya saat mengatakan, “—aku mungkin akan kehilangan kakakku untuk selamanya.”

Sial, Daniel kian terbungkam. Dia tatap lurus-lurus tepat ke mata Taedong, meneliti keseriusan ucapan pemuda tersebut melalui sorot matanya. Tidak pernah dia melihat Taedong tampak begini rapuh, tapi di saat yang sama juga memancarkan kesungguhan tak main-main.

Sesaat berikutnya Daniel lagi-lagi mengusap wajah dan menghela napas frustrasi. Sementara didengarnya Taedong berkata, “Aku tahu ini memalukan, minta tolong padamu seperti ini setelah apa yang kukatakan terakhir kali, tapi—Sunbae, bantuan sekecil apa pun saat ini akan jadi sangat berarti. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi padaku nantinya. Apa pun konsekuensinya aku tidak masalah. Aku akan lakukan apa saja asal aku bisa menyeret Wu Yifan ke penjara—untuk menyelamatkan kakakku.”

Maka, Daniel tak bisa menolak lagi sesudah itu. “Baik, aku akan membantumu,” jawabnya pada akhirnya sehingga membuat pendar mata Taedong sekejap berseri. “Aku akan membantumu, tapi sebelum itu aku ingin bertanya satu hal.” Daniel menatap Taedong intens. “Jika ini gagal, apa yang akan kau lakukan?”

Pertanyaan tersebut tak masuk perkiraan Taedong. “Apa?” dia balik bertanya, seperti orang bodoh.

Daniel menghela napas. “Kau akan melakukan apa saja, bukan? Kau akan pertaruhkan segalanya—karirmu, kakakmu, keluargamu, bahkan nyawamu—kau bisa menghancurkan seluruh hidupmu jika gagal. Dengan kemungkinan seperti ini, bisakah aku percaya kau tidak akan mengambil tindakan picik kalau seandainya kita gagal?”

“Apa maksud Sunbae?

“Kebencianmu kepada Wu Yifan,” kata Daniel, “aku tidak ingin hal itu menelanmu. Tentu kita mengharapkan keberhasilan, tapi kita tidak bisa lepas dari kemungkinan buruk—dan jika kegagalan yang nanti terjadi, bisakah kau menahan dirimu untuk tidak mengadilinya dengan tanganmu sendiri?”

Taedong membisu. Dia menatap Daniel dengan sinar mata yang menyirat keraguan dan gentar. Sejujurnya, dia sendiri tidak yakin dengan dirinya.

Daniel pun mendekat dan memegang kedua bahu Taedong. “Aku akan membantumu,” ujar Daniel, “tapi hanya jika kau mau berjanji padaku. Apa pun yang terjadi nanti, ingatlah kalau kau seorang polisi, kau bukan orang bertangan kotor seperti mereka—kau adalah adik yang dibanggakan oleh kakakmu. Jadi berjanjilah padaku kau akan selalu menjaga sumpahmu sebagai polisi. Apa kau mengerti?”

Sorot mata Daniel begitu tajam saat mengatakan hal-hal tersebut, seakan-akan menuntut dan mendesak balik Taedong. Entah mengapa ini membuat Taedong terentak. Keraguan tiba-tiba saja lenyap, seperti terhapus oleh semangat dan harapan baru. Oleh karenanya, dengan mantap Taedong mengangguk dan menjawab, “Siap, Sunbae-nim.”

Daniel turut bertambah yakin. “Kalau begitu kita harus buat rencana.”

Di waktu yang sama saat Taedong bernegosiasi dengan Kang Daniel, di lain tempat Jungkook tengah melakukan hal sama dengan sobat lamanya, Kim Mingyu. Pemuda itu kini menurunkan cangkir kopinya perlahan seusai mendengar penjelasan Jungkook. “Kau bilang apa tadi?” dia mempertanyakan dengan raut wajah linglung. “Apa kau mau aku menjatuhkan atasanku sendiri—begitu?”

Jungkook menjawab tanpa beban, “Aku tidak bilang begitu. Kita masih akan mencari jalan lain—kalau bisa.”

“Oi, Jeon Jungkook!” Mingyu tiba-tiba saja menyergah hingga membuat Jungkook sekejap berjengit. Bahkan pelanggan di meja lain sampai menoleh ke arah mereka, ada yang terkejut, bertanya-tanya, bahkan terganggu.

Sesaat melirik ke kanan dan kiri, Mingyu serta-merta menggugat Jungkook, “Apa kau gila? Apa katamu tadi? Menjatuhkan Ensellore? Bukan hanya cabang yang Korea tapi pimpinan pusat yang ada di China—kau tidak waras atau apa?”

“Kenapa? Kau takut?” Jungkook membalas yang sontak saja membuat Mingyu serasa tertohok.

“Ta-takut?” Mingyu tergagap, tapi masih menatap tak terima. Dia berdehem untuk melegakan tenggorokannya yang entah kenapa tiba-tiba terasa tersumbat, nyaris membuatnya tersedak tiap berkata-kata. Harga dirinya tidak boleh jatuh begitu saja. “Tentu saja tidak!” bantah Mingyu mentah-mentah. Dia mencari dalih, “Aku tidak takut, hanya saja—aku memikirkanmu, sialan! Aku khawatir padamu!”

Jungkook memutar mata.

Sedang Mingyu terus mengoceh, “Hei, hei, dengar! Kalau terjadi apa-apa aku masih bisa minta bantuan ayahku. Paling-paling aku hanya akan pindah tugas ke daerah lain, skors atau turun pangkat—tapi kau! Kau akan langsung tamat! Selesai! Apa kau tidak memikirkan itu?”

“Aku tidak masalah,” jawab Jungkook begitu saja.

Mingyu ternganga tak percaya. “Kau benar-benar gila.”

“Jangan berlebihan,” kata Jungkook. “Kau mau atau tidak?”

Mingyu membalas dengan mengajukan pertanyaan balik, “Katakan, apa untungnya bagiku ikut dalam ide gilamu itu?”

“Kau tidak lihat?” kata Jungkook. “Kalau kau mengungkapkan kasus sebesar ini, bukan hanya prestasi yang akan kau dapatkan, kau bahkan bisa lebih populer dari selebriti. Tidakkah ini membuatmu tertarik?”

“Itu kalau berhasil. Kalau tidak? Demi Tuhan, Jungkook. Komisaris tertinggi punya koneksi dengan Ensellore—bahkan semua orang di kantor tahu, sudah jadi rahasia umum kalau mereka yang berhubungan dengan Ensellore pasti sama liciknya seperti ular.”

“Kalau kita gagal, seperti katamu, paling buruk kau mungkin hanya akan pindah tugas—atau turun jabatan,” Jungkook menjawab lalu meraih cangkirnya. Sebelum menyesap kopi dia menambahkan, “Lagipula siapa yang berani memecat putra tunggal mantan walikota?”

Mingyu menutup mulutnya rapat-rapat dan menatap dongkol selagi Jungkook meminum kopi—dengan kelewat santai kalau Mingyu menilai. “Jungkook,” kata Mingyu, “kau mengatakan semua ini padaku bukan karena aku pernah berbicara tak pantas tentang—” dia berdehem, “—Venus. Iya, kan?”

Jungkook mengangkat sebelah alisnya, dan Mingyu berbicara panjang lebar tanpa diminta. “Soal itu, Jungkook—kau tahu waktu itu aku tidak benar-benar serius. Kau tahu bagaimana aku, kan? Aku saat itu tidak tahu identitas Venus sebenarnya. Kau juga tidak mengatakan padaku apa kalau kalian saling kenal, kan?”

“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Jungkook, tak telaten meladeni perkataan Mingyu yang berbelit-belit.

“Aku bukan orang sebejat itu, Jungkook—aku sama sekali tidak pernah main-main dengan Venus. Aku juga tidak mungkin mengatakan semua itu kalau tahu kau dan Venus itu—” Mingyu menghentikan kata-katanya sejenak dan memejamkan mata, mendesis sembari menggerutu pelan, “Astaga, ini benar-benar aneh.” Dia geregetan sendiri, hingga dia kemudian menyambung, “Kekasih—itu maksudku.” Suaranya terdengar canggung dan agak terbata. “Kalau kau mengatakan sejak awal apa hubungan kalian, aku mungkin—iya, aku sudah pasti tidak akan bicara sembarangan tentang dia.”

Jungkook meletakkan cangkir dan menatap Mingyu aneh. “Sebenarnya aku tidak pernah berpikir ke arah sana.”

Mingyu tiba-tiba merasa bodoh.

“Tapi karena kau berkata begitu, sepertinya aku memang perlu memikirkannya sekarang,” Jungkook mengangguk-angguk, seolah memang betul-betul baru tersadar. “Setelah diingat lagi—wah, waktu itu kau kurang ajar sekali. Kau membicarakan kekasihku seperti dia barang murahan—tepat di depanku langsung pula. Kau harusnya berterima kasih karena aku tidak menghajarmu sampai sekarang.”

“Hei, Jeon Jungkook, aku sudah bilang, kan? Aku tidak serius waktu itu. Kau sendiri juga tidak mengatakan apa-apa padaku. Harusnya kau bilang lebih awal kalau kalian itu pacaran!” Mingyu membalikkan dakwaan.

“Kalau kau jadi aku apa kau akan langsung mengaku?”

“Tentu saja!” jawab Mingyu kontan, tapi kemudian berubah pikiran saat Jungkook menatapnya tak percaya. Jadi dia pun meralat, “Kurasa tidak.”

“Jadi kau setuju membantuku, kan?”

“Jungkook,” Mingyu bertanya, “aku baru saja menggali kuburanku sendiri, ya?”

“Bukan menggali kuburan sendiri,” Jungkook membenarkan. “Aku menggalikan tambang emas untukmu. Tidakkah kau lihat keuntungannya? Kita berdua sama-sama diuntungkan.”

“Kau benar-benar tidak main-main, ya?” kata Mingyu.

Jungkook mengernyit, kali ini dirinya yang menatap Mingyu sanksi. “Ini menyangkut hidup dan mati seseorang, kau masih berpikir aku bercanda?”

Mingyu lagi-lagi memejamkan mata, berpikir serius lagi dan lagi. Jungkook geregetan melihatnya. “Jawab saja iya!” desak Jungkook tak sabar.

Sialan. Mingyu itu tipikal orang yang mudah dirayu. Alhasil dia menyudahi pertimbangannya. “Oke, oke! Aku mengerti,” dia akhirnya berkata, lalu berekspresi sok serius sembari memberikan jawaban, “Ikutkan aku.”

Dengan itu pun Jungkook berdiri dari duduknya. “Keputusan bagus,” ujarnya, lalu meraih tangan Mingyu untuk dia ajak berjabat dengan kedua tangannya. Dia mengatakan, “Aku benar-benar berterima kasih padamu, teman terbaikku. Sekarang aku percaya kalau kau memang bukan pria bejat. Aku akan menghubungimu lagi untuk membicarakan ini.”

Lalu, Jungkook melenggang pergi sembari melambaikan tangan dan mengatakan sampai jumpa.

Sesudah Jungkook keluar dari kafe, Mingyu meremas surainya dan mendongak. “Kim Mingyu, kau gila! Benar-benar gila,” mendadak dia mencaci diri sendiri. “Untuk apa kau menceburkan dirimu ke dalam bahaya seperti ini? Sudah gila kau!”

Mingyu menjatuhkan kepala dan membenturkan kening ke meja, lalu bermonolog penuh kesusahan, “Eomma, Appa, tolong berikan restu pada putramu yang akan masuk ke medan perang ini.”

. . .

Sehabis pertemuannya dengan Mingyu, Jungkook pergi ke apartemen Taehyung. Inilah kesehariannya sejak dua minggu belakangan. Tidak, lebih dari itu. Sudah lebih dua minggu Kim Taehyung menghilang. Belum ada kabar hingga sekarang dan selama itu pula Jungkook terus mengecek apartemennya setiap hari, sekadar memastikan kalau sewaktu-waktu si penghuni telah kembali. Namun sayangnya belum ada hasil dari usahanya tersebut. Jungkook juga sempat datang ke mansion Wu Yifan sebab kemungkinannya besar Taehyung ada di sana. Akan tetapi orang-orang di sana menolak memberikan informasi apa pun dan menutup pintu rapat-rapat. Tak ada yang bisa didapatkan.

Selagi berjalan menuju lift, Jungkook mengeluarkan ponsel dan bertelepon dan seseorang. Tak butuh waktu lama hingga nada sambung berganti dengan suara seorang wanita. “Jeon Jungkook?” itu suara Krystal. “Ini tidak biasa. Apa yang kau perlukan?”

“Kau tahu apa yang sekarang terjadi pada Kim Taehyung, kan?” Jungkook kontan bertanya.

Sedetik diam, Krystal menjawab, “Iya. Kenapa?”

“Aku tidak akan basa-basi,” kata Jungkook, “aku ingin minta bantuanmu.”

“Bantuan?”

“Aku akan melawan Kris. Bergabunglah denganku.”

“Apa?” Krystal merasa salah mendengar. Tak ada jawaban dari Jungkook, jadi dia meminta kepastian, “Kau serius?”

Jungkook masuk ke dalam lift dan memencet tombol lantai tujuannya. “Seratus persen,” jawabnya.

“Kau tahu siapa lawanmu ini, kan?”

“Krystal, aku tahu kau juga ingin melawannya,” kata Jungkook. “Aku tidak bisa percaya dengan Kim Taehyung dan duduk diam saja menunggunya, karena itu aku akan mengambil langkah sendiri—tapi aku butuh orang sepertimu.”

“Orang sepertiku?”

“Orang sekelas Wu Yifan dan kenal dengan Wu Yifan.”

Krystal tak menimpali, jadi Jungkook menambahkan, “Kau juga pasti ingin menyelamatkan Kim Taehyung, kan? Kau bilang kau peduli padanya. Jadi jangan hanya membual dan tunjukkan buktinya—tolong bergabunglah denganku.”

Masih belum ada jawaban. Beberapa detik hening. Sampai akhirnya terdengar Krystal menimpali, “Baik. Ayo habisi Wu Yifan.”

Jungkook menarik sudut bibirnya. “Itu yang ingin kudengar,” ujarnya.

“Rencana. Kau sudah punya?”

“Belum. Saat ini aku dan Taedong sedang mengumpulkan orang.”

“Adik laki-laki Kim Taehyung?”

“Iya, kau sudah mengenalnya?”

“Tahu saja,” jawab Krystal. “Jadi, mereka sudah berbaikan?”

“Soal itu—” Jungkook berujar, tapi tiba-tiba pintu lift terbuka dan kata-katanya mendadak terhenti di ujung lidah. Dia melangkah keluar sembari mengatakan kepada Krystal, “Aku akan menelepon lagi nanti.” Lalu, dimatikannya sambungan telepon tanpa menunggu Krystal berkata-kata. Dia mempercepat langkah kaki. Tatapannya fokus ke ujung koridor. Siluet seseorang menyita perhatiannya.

Jungkook ingin lekas-lekas memastikan, tapi langkahnya perlahan melambat dan berangsur berhenti begitu mencapai beberapa langkah di belakang sosok itu. “Taehyung,” ragu-ragu dia memanggil, penuh harap.

Laki-laki itu bergeming, dan bahkan sebelum sosoknya membalikkan punggung, Jungkook sudah merasakan dadanya mencelus saat itu. Begitu keduanya berhadapan, semakin bergemuruh jantung Jungkook. Keyakinannya tak keliru. Itu betul-betul Kim Taehyung.

“Jungkook,” Taehyung berkata, lirih dan canggung. Dirinya sama terkejutnya seperti Jungkook.

Jungkook kembali melangkah mendekat. Dia begitu menantikan saat-saat ini. Di depan Taehyung, Jungkook menatap jeli dari ujung ke ujung, memeriksa bahwa lelaki tersebut baik tanpa kurang sedikit pun. Banyak yang ingin ditanyakan, tapi dia hanya mengatakan, “Aku benar-benar mengkhawatirkanmu.”

Taehyung mengulas senyum sebagai jawaban, supaya Jungkook tak cemas. Hanya saja, bertemu dengan Jungkook rupanya membuat perasaannya tiba-tiba meluap. Senyumnya berakhir dengan diikuti air mata hingga dia tak sanggup menahan. Bahkan nama Jungkook tak sanggup terucap.

Detik selanjutnya Taehyung menunduk dalam-dalam di hadapan Jungkook dan menangis—dia hanya punya tangisan.

Bukan seperti ini pertemuan yang diharapkan.

Jungkook pun menarik Taehyung dan memeluknya. Dia biarkan Taehyung menangis di pundaknya. Taehyung masih merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Jungkook sebelum hari ini, sampai-sampai dia merasa maaf saja tak cukup. Tidak pernah dia mengetahui bahwa Jungkook bahkan merasa lebih bersalah lagi kepadanya. Karenanya, selagi Taehyung menangis, Jungkook mengusap surainya dan membisikkan, “Maaf, aku tidak bisa melindungimu.”

Taehyung tak menjawab dan hanya mengeratkan pelukan. Dia berharap air matanya akan segera kering, sebab dia jenuh menangis—tapi tak bisa.

. . .

Percakapan Taedong dengan Daniel terakhir kali berujung pada pertanyaan lain. Mau atau tidak Taedong mesti mencari tahu asal mula cerita bagaimana kakaknya bisa berakhir di tangan Kris. Itulah saat di mana Taedong pada akhirnya mendengarkan penjelasan Jungkook. Mereka berbincang amat lama. Bahkan Jungkook yang saat itu masih di apartemen Taehyung perlu mencari-cari alasan untuk keluar supaya bisa bertelepon.

Masalahnya, sesudah mendengarkan cerita Jungkook, Taedong kembali larut dalam pemikirannya. Seperti yang diduga, ternyata dia memang belum bisa memahami ataupun menerimanya. Dia tetap saja tak mengerti kenapa kakaknya tak menceritakan pada siapa pun perihal apa yang terjadi di Jepang. Jika saja saat itu Taehyung mengadu pada seseorang, mungkin semua rentetan kemalangan ini bisa dicegah. Seseorang mungkin bisa menolongnya—keluarganya di sini mungkin saja bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya.

Barangkali benar kata orang-orang, kau hanya akan mengerti jika hal yang sama terjadi padamu. Taedong terus mempertanyakan kenapa Taehyung menyimpannya seorang diri, dan tanda tanya tersebut tak pernah pergi dari kepalanya.

Meski begitu, Taedong mencoba untuk berhenti membenci kakaknya.

Saat ini Taedong berdiri di depan kafe ayahnya. Dia tidak masuk. Diperhatikannya saja dari luar keadaan kafe. Dari balik kaca terlihat sang ayah yang berbincang-bincang dengan dua orang pegawai—Taedong ingat pria itu masih menanyakan lagi kabar Taehyung pagi ini. Tanda buka di pintu baru saja dibalik ke tulisan tutup dan pekerja yang lain kini mulai membersihkan kafe.

Hingga detik ini pun Taedong masih tak berhenti bertanya-tanya tentang kakaknya. Bagaimana bisa selama ini Taehyung berpura-pura dengan semua rahasia itu?

Taedong berharap melihat kakaknya di kafe hari ini. Di sana, di depan matanya, kakaknya harusnya juga terlihat di dalam kafe sekarang. Rasanya tak sulit membayangkan Taehyung tiba-tiba keluar dari ruangannya dan ikut mondar-mandir, lalu Taedong akan masuk dan mereka memperdebatkan hal tak penting—seperti dulu-dulu. Seumur hidup, baru kali ini Taedong merasakan perasaan seperti ini pada kakaknya. Empati, kesal, benci, tapi juga rindu.

“Taedong Hyung.”

Taedong tersadar dari lamunan saat sebuah suara memanggilnya. Dilihatnya Donghan keluar dari kafe dan berjalan ke arahnya. “Kenapa berdiri di sini? Tidak masuk?” anak laki-laki tersebut bertanya.

Untuk suatu alasan Taedong tak bisa untuk tidak tersenyum. “Aku baru pulang dari kantor,” jawabnya. “Kau sudah selesai?”

Donghan mengangguk saja.

Air muka Taedong tampak redup. Dari sela ekspresinya yang letih tersirat bahwa ada begitu banyak hal yang dipikirkannya. Donghan menyadari ini. Detik berikutnya Taedong kembali tersenyum dan berkata, “Ayo pulang.”

Hyung tidak mau menyapa dulu? Bos Kim masih belum pulang,” Donghan bertanya dan lagi-lagi Taedong tersenyum.

“Tidak,” Taedong menjawab, lalu menepuk punggung Donghan agar berjalan bersamanya.

Selama menyusuri trotoar, Donghan diam-diam memperhatikan Taedong dari samping, amat yakin bahwa laki-laki tersebut memiliki banyak permasalahan. Dia ingin bertanya, tapi mungkin Taedong tak akan mau berbagi. Lagi pula bukan haknya untuk ikut campur. Jadi dia diam saja.

Mereka berjalan dengan diselimuti keheningan selama sekian momen yang terasa lama hingga Taedong mulai bersuara. “Hei, Donghan.”

Donghan menoleh, dan Taedong berkata, “Saat aku mengajakmu ke apartemen kakakku, kau bilang kakakku sangat sakit, kan? Kau—waktu itu bagaimana kau bisa mengetahuinya?”

Sekejap Donghan terkejut akan pertanyaan Taedong. Ketika dia tak segera menjawab, Taedong kembali berkata-kata. “Aku kenal kakakku dua puluh tahun lebih, tapi rasanya aku tidak mengenalnya dengan baik—aku tidak bisa mengerti dia. Aku sudah berusaha, tapi benar-benar tidak bisa. Bagaimana caramu memahami rasa sakit yang tidak pernah ditunjukkan kakakku?”

Donghan masih belum bersuara. Sesaat berikutnya dia malah memelankan langkah dan menatap kakinya. Beberapa sekon berselang dia baru membuat pengakuan. “Aku ... pernah bertukar rahasia dengan Manajer Kim.”

Mendengar itu Taedong perlahan menoleh. Disaksikannya Donghan berjalan sambil menunduk. “Rahasia? Rahasia apa?”

Pelan-pelan Donghan bercerita. “Setelah Hyung mengajakku pergi ke apartemen Manajer waktu itu, kami jadi sering bicara. Manajer Kim menceritakan padaku soal ... kejadian buruk ... yang terjadi sebelum Manajer pulang. Itu ... katanya saat di Jepang. Manajer menceritakan ini padaku, jadi aku juga menceritakan rahasiaku.”

“Kakakku menceritakan rahasia seperti itu padamu?”

Donghan tak menjawab dan hanya mengangguk amat pelan. Entah mengapa dia seolah takut memandang Taedong. “Mungkin ... karena itu,” ujarnya penuh kehati-hatian setelah terdengar Taedong membuang napas kasar. Dia menebak laki-laki itu pasti kesal.

“Dia benar-benar—astaga, dia menceritakan ini padamu tapi tidak padaku?” Taedong sekejap diam, baru saja menyadari sesuatu. “Tunggu—jadi, apa ini yang kau maksud kalian merasakan rasa sakit yang sama?” Taedong kembali menoleh pada Donghan. Pemuda itu belum mengangkat kepala, tak juga menjawab pertanyaannya.

“Katakan,” kata Taedong, “bagaimana bisa begitu? Kalau begitu hal yang sama juga pernah terjadi padamu? Siapa yang melakukannya? Ayahmu? Teman sekolah?”

Pertanyaan-pertanyaan Taedong berkesan memaksa dan marah, tapi juga sekaligus khawatir. Saat itu pun Donghan masih tak berani mengangkat kepala, bahkan ketika selanjutnya dia menjawab dengan suara kecilnya, “Ayahku.”

“Kau—kenapa kau tidak pernah mengatakan ini padaku?”

“I-itu ....”

“Aku sudah bilang, kan? Kalau ada apa-apa katakan padaku. Tentang kakakku, tentang dirimu—kenapa kau diam saja?”

Donghan berhenti melangkah seketika itu juga. Kini pemuda itu mengangkat kepala dan menatap Taedong, jadi Taedong terus mengatakan tuntutannya. “Kau harusnya cerita padaku. Kalau kau tidak bisa menganggapku sebagai kakakmu, paling tidak anggap aku sebagai temanmu. Kita selalu bertukar cerita sepanjang perjalanan pulang, kita tinggal satu atap dan bertemu setiap hari, apa aku terlihat seperti orang asing bagimu?”

Sorot mata Donghan lambat-laun mulai berubah. Ada secuil sakit hati yang tersirat di sana. “Hyung,” dia berkata, “aku ... belum pernah menceritakan ini pada siapa pun. Hyung tahu kenapa?”

“Benar, kenapa? Katakan padaku. Karena ini rahasia? Apa kau tidak percaya aku akan menjaga rahasiamu?”

“Ini rahasia bukan karena aku takut Hyung akan mengatakannya pada orang lain.”

“Lalu kenapa?”

“Karena aku tahu Hyung akan begini,” Donghan menjawab.

Sekejap Taedong tertegun. “Apa?”

Beberapa saat yang lalu Taedong yakin ada setitik kemarahan dalam pendar mata Donghan, tapi dia tak menyangka dalam hitungan detik emosi tersebut mendadak saja sirna. Justru ekspresi pedih yang makin kentara selagi Donghan menatap padanya dengan mata berkaca-kaca. “Hyung, kau tidak akan pernah mengerti,” kata Donghan.

Benar, Taedong tak mengerti apa maksud dari perkataan Donghan. “Apa yang tidak kumengerti?” dia bertanya sebagai balasan. “Kau tidak pernah mengatakan apa-apa padaku, kan? Jadi bagaimana aku bisa mengerti?”

“Lalu, kalau aku mengatakan semuanya, Hyung bisa mengerti?”

Kian kesal, tanpa sadar Taedong menaikkan intonasi suaranya. “Kalau begitu ceritakan semua dan jelaskan padaku! Buat aku mengerti!”

“Aku tidak bisa menceritakannya pada siapa pun!” Donghan yang terbawa emosi turut balas membentak. Taedong bahkan sempat terkejut Donghan bisa berbicara sekeras itu padanya.

Donghan menghela napas berat. Paru-parunya mendadak memompa lebih cepat, cuaca dingin membuat uap mengepul tiap dia mengembuskan. Dia mencoba sebisa mungkin menenangkan diri sebelum menyiapkan banyak kata.

Sembari menjaga agar suaranya tak bergetar, anak lelaki tersebut berkata, “Aku ... sejak ibuku bunuh diri, hanya ayahku yang aku punya. Aku tidak punya siapa-siapa—tapi satu-satunya orang yang kujadikan sandaran tidak pernah menganggapku penting. Seperti Manajer Kim yang dilecehkan oleh seniornya di universitas—aku ... dilecehkan oleh ayahku sendiri.”

Pernyataan terakhir mengentak dada Taedong. Dia dibuat kehilangan kata-kata, sementara dilihatnya Donghan telah menumpahkan air mata selama berkata-kata.

“Ayahku tidak hanya memukuliku setiap hari, tapi juga menjadikanku pemuas nafsunya. Ayahku merendahkanku dan menginjak-injak harga diriku. Aku hidup seperti itu selama bertahun-tahun, Hyung.”

Taedong mengeraskan rahang mendengarkan cerita Donghan. Dia merasa makin marah, entah pada ayah Donghan atau justru pada Donghan sendiri. “Kim Donghan,” katanya dengan ekspresi getir, lagi-lagi mempertanyakan, “Kenapa kau tidak mengatakannya padaku dari awal?”

“Hidupku yang menyedihkan dan menyakitkan seperti ini—bagaimana bisa aku menunjukkannya pada orang lain, Hyung? Bagaimana aku ... mengatakannya padamu?”

Untuk pertama kalinya Taedong melihat Donghan menatap padanya dengan mimik wajah terluka. Ini persis seperti saat mereka pertama bertemu, tapi kali ini sakit hati itu seakan ditujukan kepada Taedong.

Pada detik ini Taedong ingin meraih Donghan dan meredakan tangisannya, tapi tak sanggup. Jadi dia memilih untuk mengatakan, “Meski begitu, kau harusnya mengatakan ini padaku. Paling tidak aku bisa melakukan sesuatu untukmu. Kau tahu kita bisa—”

“Untuk apa?” Donghan memotong dan seketika menghentikan kalimat Taedong. “Untuk membalas perbuatan ayahku? Untuk mencari keadilan?”

Taedong merasa berat menjawabnya. Memang benar, itulah yang ada di kepalanya, tetapi sepertinya bukan itu semua yang diinginkan oleh Donghan.

“Kalian mengatakan seperti ini salah kami karena memilih diam. Kalian tidak tahu rasanya,” Donghan berkata. Lagi-lagi dia menatap dengan sorot mata kecewa.

“Apa salah jika menyimpan sendiri agar tidak ada yang tahu? Kalau kami bisa mengatakannya, menurutmu kami akan tutup mulut seperti ini? Menceritakan hal memalukan seperti ini sama saja membuka aib. Aku ingin mengubur semuanya dan menganggapnya tidak pernah terjadi—tapi, Hyung ... kau ....”

Air mata terus mengalir mengiringi tiap perkataan Donghan, dan detik berikutnya pemuda itu berpaling dari Taedong.

“Kau harusnya cerita padaku.”

Bagaimana bisa orang-orang menganggapnya semudah itu?

Hyung tidak perlu berusaha mengerti bagaimana rasa sakit yang aku atau Manajer Kim rasakan, tapi tolong—tidak bisakah kau mencoba mengerti kenapa kami seperti ini? Aku tidak butuh keadilan. Aku tidak peduli apakah ayahku akan mendapat balasannya atau tidak. Aku hanya ingin melupakannya. Aku yakin Manajer Kim juga sama ... kami ingin hidup tanpa kenangan seperti ini.”

Setelah Donghan mengatakan kalimat terakhir dengan suara lirih, Taedong memejamkan mata sejenak dan mengatur napasnya. Dia akhirnya mencoba menggapai pemuda tersebut. “Baik, aku mengerti. Aku akan mengerti—karena itu—”

Perkataan Taedong terhenti sebab dirinya dihindari saat hendak menyentuh lengan Donghan. Seraya menghapus air mata anak laki-laki tersebut berkata, “Aku benar-benar minta maaf telah mengatakan ini semua padamu, Hyung.”

Donghan tahu Taedong belum betul-betul mengerti. Tak apa, itu bukan salah Taedong. Memang tak ada satu pun yang diharuskan mengerti.

“Donghan ...” Kini Taedong memandang dengan tatapan memohon. Melihat tangisan Donghan lebih lama lagi mulai membuat dadanya nyeri. Dia belum sempat meminta maaf atas perkataan serta sikapnya, tapi Donghan keburu mundur darinya dan malah membalikkan badan. Ketika anak laki-laki itu berlari menjauh dengan air mata yang belum hilang, Taedong semakin dihunjam perasaan bersalah.

Mungkin memang Taedong telah berusaha mengerti Taehyung, atau Donghan, tapi sekadar menempatkan dirinya dalam posisi mereka—membayangkan jika dirinyalah yang mengalami itu semua, sebagai dirinya, bukan mereka. Dia mencoba mengerti apa yang mereka rasakan, tapi tak pernah mencoba mengerti mereka. Sebab, kenyataannya dia memang tak merasakan apa yang mereka rasakan.

Ya, lagi pula memang memahami hati orang lain itu merupakan sesuatu yang mustahil. Harusnya Taedong tahu betul, karena dia telah memutuskan untuk mencoba mengerti, maka sudah selayaknya dia mengesampingkan ego dan perasaan pribadinya.

Karena kenyataannya, setiap manusia punya kemampuan bertahan dan batasan yang berbeda-beda.

. . .

Taehyung terdiam di kamarnya siang itu. Jungkook baru saja berpamitan meninggalkan apartemennya dan dia berpikir untuk menghubungi Tao, saat kemudian dia malah mengetahui bahwa rencana yang telah disusunnya matang-matang bersama Tao memang sungguh tak terselamatkan. Barang-barang yang Taehyung sembunyikan di dalam koper di bawah tempat tidurnya telah lenyap. Ke mana lagi? Kemungkinan Kris telah menemukan dan mengambilnya. Sudah pasti. Namun Kris tak mengatakan apa-apa kepada Taehyung sebelum berpisah.

Hingga detik ini pun belum ada telepon masuk berisi intimidasi atau kata-kata peringatan, padahal itulah yang biasa dilakukan Kris. Ini seperti detik-detik tenang sebelum badai. Taehyung tak bisa tenang dan resah sepanjang hari.

Dan benar, badai itu datang. Di sore hari satu panggilan masuk ke ponsel Taehyung. Bukan dari Kris ataupun orang-orang di China, tapi Taehee. “Oh, ya Tuhan. Akhirnya kau mengangkat telepon,” suara Taehee menyambut Taehyung begitu panggilan diangkat. Wanita itu terdengar kalut.

Noona,” Taehyung baru ingin bertanya, tapi Taehee mendahuluinya.

“Taehyung ... Appa,” kata Taehee dengan suara parau, “Appa kecelakaan.”

“Ke-kecelakaan?” Taehyung bertanya, memastikan sekali lagi kalau pendengarannya keliru, tetapi sayangnya tangisan Taehee terlampau nyata untuk disebut salah paham.

“Aku dan Eomma baru tiba rumah sakit. Kau cepatlah datang.”

Sesudah itu Taehyung tak mengatakan apa-apa dan berlari terburu-buru, meraih dompet, kunci mobil, mantel serta ponselnya. Sambil menahan air mata dia melajukan mobil dengan menginjak pedal gas dalam-dalam.

Taehyung tiba ruang tunggu IGD dengan napas memburu. Di sana sudah ada dua saudaranya dan sang ibu, mereka menoleh begitu dirinya muncul dari ujung koridor dengan langkah panik. “Appa—di mana?” Tatapannya tertuju ke pintu IGD selagi sang ibu menghampirinya. Dia bertanya segera, “Bagaimana? Apa yang terjadi?” Kata-katanya tak jelas, sorot matanya berkelebat tak fokus.

“Taehyung,” Nayoung bermaksud menenangkan putranya yang satu itu, tapi ternyata tangisannya sendiri malah tak terkendali. Jadi dia berakhir menangis di hadapan Taehyung. “Ayahmu,” kata Nayoung pilu. Dia tidak sanggup menceritakan apa yang diketahuinya—tentang bagaimana dirinya yang menerima kabar dari Taedong, tentang penjelasan beberapa perawat sebelum masuk ke IGD dengan tergesa-gesa serta tentang betapa tragedi ini amatlah menakutkan bagi mereka.

“Oh, ya Tuhan—bagaimana bisa jadi seperti ini?” Nayoung berkeluh-kesah disela isak tangisnya.

Saat itu Taehyung tak bisa melakukan apa-apa. Mendadak saja kerongkongannya serasa tercekat. Jadi tanpa berkata-kata dia meraih sang ibu, memeluk dan mengusap punggung ringkih wanita tersebut. Dia bahkan tak kuasa menumpahkan tangisannya meski dalam hati tersayat-sayat. Dia menatap kakaknya yang menangis dalam diam di sebelahnya, lalu adiknya yang duduk dengan masih mengenakan seragam kepolisian.

“Apa yang terjadi?” Taehyung menguatkan diri untuk kembali bertanya.

Taehee menoleh pada Taedong. Raut wajah pemuda itu tampak masih terpukul. Dengan kedua siku bertumpu ke lutut dan tatapan bertahan lurus ke lantai Taedong berkata, “Mobil Appa meledak setelah keluar dari parkiran kafe. Kemungkinan kerusakan mesin, tapi ini masih dalam penyelidikan. Aku ... aku berusaha menolong Appa ... tapi, tidak bisa ....”

Sejenak Taedong menunduk makin dalam dan meremas surainya. Suaranya terdengar serak saat dia menambahkan, “Appa mengalami luka bakar parah.”

Tangisan Taehee semakin meluap, dia tak tahan mempertahankan sikap tegar. Maka dengan beralasan menelepon sang suami, dia pun berjalan pergi.

Taehyung ingin bertanya apa ayahnya akan baik-baik saja. Dia ingin seseorang mengatakan padanya bahwa tidak akan terjadi hal yang lebih buruk lagi pada ayahnya, tapi di sana tidak ada yang bisa ditanyai. Jadi dia hanya memeluk ibunya dan berkata amat lirih, “Eomma ... jangan menangis.”

Nayoung terus menangis, bahkan sangat lama. Tak terkira betapa Taehyung amat sakit melihat itu.

Ketika malam semakin larut, Taehee mengajak sang ibu pulang. Nayoung tak menolak, dia mengiyakan dan membiarkan dua putra serta menantunya untuk tinggal di rumah sakit dengan harapan ketiganya pulang membawa kabar baik.

Selagi si bungsu menunggu di IGD dan kakak iparnya mengurus administrasi, Taehyung kemudian mengantar sang ibu dan Taehee hingga ke depan rumah sakit. Taehee sedang mencari taksi, dan selama menunggu di halaman rumah sakit, sang ibu mengambil kesempatan tersebut untuk berbicara dengan Taehyung. “Taehyung, ayahmu bilang kau tidak bisa dihubungi beberapa hari ini,” Nayoung berkata.

Diam-diam Taehyung menghindari kontak mata dengan ibunya. “Iya, maaf. Aku sibuk.”

“Kau ... tidak sedang menghindar dari kami, kan?”

Taehyung tertegun dan memandang ibunya. “Kenapa Eomma bertanya begitu?”

“Kau bukannya sengaja menjauh karena tidak ingin bertemu dengan Eomma, kan?”

“Itu tidak mungkin,” jawab Taehyung seketika. “Kenapa Eomma berpikiran seperti itu? Untuk apa aku menjauh dari Eomma?

Eomma sudah tahu, Taehyung—tentang kau dan Jeon Jungkook ... maaf Eomma tidak mengatakan apa-apa padamu sebelumnya. Eomma yakin ayahmu juga pasti tidak mengatakan soal ini padamu.”

Taehyung termangu mendengar ucapan ibunya. Bukan karena terkejut, melainkan karena tidak menemukan kata-kata atau respons yang tepat untuk menjawabnya. Ketika Taehyung masih tak memberikan reaksi apa-apa, Nayoung memutar badan menghadap Taehyung, lalu mengangkat tangan demi menyentuh wajah pemuda tersebut. Dipandanginya baik-baik wajah sang putra.

Mendadak Nayoung merasakan matanya kembali berair. “Taehyung, kau benar-benar mirip dengan ayahmu,” ujarnya, “wajahmu,  suaramu, caramu berkata-kata dan bahkan sifat kalian—sangat mirip.”

Tatapan Taehyung terpaku pada sorot mata sang ibu. Wanita itu tidak pernah menatap padanya seperti itu—amat intens dan penuh perasaan mendalam. “Karena itu,” Nayoung melanjutkan, “melihatmu sekarang rasanya sangat berat. Eomma kecewa padamu, tapi Eomma lebih kecewa pada diri Eomma sendiri.”

Kedua mata Taehyung mulai ikut-ikutan terasa panas. Sementara kata-kata dalam hatinya tak ada yang sanggup terlontar, Nayoung terus berkata-kata. “Maaf Eomma menyakiti perasaanmu dan ayahmu. Eomma tahu Eomma tidak seharusnya kecewa. Kau tidak salah—ini bukan salahmu, tapi—Eomma benar-benar merasa tidak sanggup melihatmu.”

Namun, sekalipun dengan pengakuan tersebut serta tangisan tertahan, Nayoung tetap menatap Taehyung. Seperti dia lama tak melihat putranya tersebut. Dia sungguh merasa bersalah. Sambil tetap mengusap pipi Taehyung, wanita itu berkata lagi, “Eomma ingin melihatmu, Eomma ingin bertemu denganmu setiap hari, tapi Eomma tidak melakukannya karena Eomma egois. Maaf kau punya ibu yang seburuk ini, Taehyung.”

Eomma,” Taehyung memanggil dengan suara serak. Tangannya bergetar menyeka air mata yang mengalir di pipi ibunya. “Itu tidak benar. Eomma tidak salah apa-apa. Aku yang minta maaf.”

Nayoung menundukkan kepalanya, sebab tangisannya tak mau berhenti. “Tidak. Bagaimana dan seperti apa kau tumbuh, Eomma yang bertanggung jawab,” dia mengangkat sebelah tangannya lagi dan medekat. Dia ingin mencium kening Taehyung seperti yang dilakukannya bertahun-tahun lalu, tapi laki-laki tersebut telah lebih tinggi darinya, jadi kembali dia pandangi saja wajah rupawan di depannya itu.

“Maaf Eomma tidak bisa menghilangkan perasaan kecewa ini, Taehyung. Kau pasti sangat terluka karena Eomma,” Nayoung berkata seraya mengusap wajah Taehyung penuh kasih. Pada saat itu itu Nayoung perlu mengangkat dagunya hanya untuk menatap sang putra tepat ke mata, dan ini membuatnya tersadar bahwa ternyata sudah lama sekali sejak terakhir kali dia memperlakukan Taehyung seperti ini.

Taehyung menggeleng, sebisa mungkin menjawab meski suaranya nyaris hilang tertelan tangis. “Tidak, Eomma.”

Akan tetapi, Nayoung tidak berhenti meminta maaf. “Maafkan Eomma, Taehyung. Ini semua salah Eomma.”

Taehyung tidak menyangka, menerima permintaan maaf bisa lebih menyakitkan daripada memohon maaf. Karena, dia tahu bahwa tak selayaknya sang ibu merasakan semua perasaan bersalah itu. Sebaliknya, permintaan maaf itu justru membuatnya semakin merasa bersalah.

Taehyung tahu lebih dari siapa pun, dirinyalah penyebab tangisan ini.

. . .

Jungkook juga mendapat kabar soal kecelakaan yang menimpa Dojin. Kapten tim Taedong sempat mengatakan hal ini padanya sesaat setelah dirinya tiba di kantor. Pikirannya pun praktis teringat akan Kim Taehyung, jadi dia tak menunggu untuk menelepon laki-laki tersebut.

“Jungkook,” dari suara yang didengar Jungkook di telepon, Taehyung jelas tidak baik-baik saja. Mustahil dia akan baik-baik saja. Namun Jungkook masih bertanya, “Aku mendengar apa yang terjadi pada paman. Kau baik-baik saja?”

“Iya,” Taehyung menjawab dan entah bagaimana terdengar amat menyesakkan bagi Jungkook. Sesaat diam, dia mengulang jawaban, “Tidak. Aku tidak baik-baik saja, Jungkook.”

“Taehyung, tidak akan ada hal buruk yang terjadi,” Jungkook berkata, dan terdengar Taehyung terisak.

“Apa yang harus kulakukan, Jungkook?” kata Taehyung.

“Di mana kau sekarang?” Jungkook bertanya. “Kau tidak sedang sendirian, kan?”

“Jungkook, aku takut.”

Jungkook tahu Taehyung pasti menangis seorang diri saat ini, sedang dia tidak bisa pergi ke sana untuk memeluk dan menenangkan laki-laki tersebut. Dia menoleh ke arah jam selagi tangisan masih terdengar, lalu mulai mempertimbangkan untuk izin pulang lebih cepat hari ini.

“Jangan takut,” Jungkook berkata. “Aku ada bersamamu.”

“Aku tidak ingin kehilangan ayahku, Jungkook. Bagaimana jika aku tidak bisa melihatnya lagi?”

“Itu tidak akan terjadi. Paman akan baik-baik saja, percayalah padaku.”

“Aku harus bagaimana, Jungkook?” Taehyung lagi-lagi bertanya.

Tangisan Taehyung terdengar begitu kalut dan meremukkan batin Jungkook. “Kau tidak perlu cemas,” Jungkook kembali berkata sekalipun tak berguna. “Ini akan baik-baik saja, Kim Taehyung. Semua akan baik-baik saja.”

Perkataan Jungkook berkesan palsu. Harapan serasa jadi hal yang kelewat muluk saat ini, tapi Taehyung tetap bersyukur Jungkook mengatakan semua itu padanya. Semua omong kosong tersebut amatlah berarti baginya. “Semua akan baik-baik saja kan, Jungkook?” dia meminta keyakinan.

Jungkook menjawab, “Tentu. Kau percaya padaku, kan? Semua akan baik-baik saja.”

“Aku ingin bertemu denganmu, Jungkook,” Taehyung masih menangis.

. . .

Tengah malam dokter akhirnya menyampaikan bahwa Dojin akan dioperasi. Mereka belum bisa memastikan apa keadaan pria tersebut sudah bisa dikatakan tak mengkhawatirkan lagi atau tidak. Seperti yang disampaikan Taedong, luka bakarnya parah, dokter bahkan tak menutup-nutupi bahwa kemungkinan Dojin terselamatkan hanya 50%.

Seakan kabar tak menggembirakan dari dokter belum cukup, Taehyung akhirnya menerima telepon dari Kris. Dengan perasaan ketar-ketir dia berjalan menuju tangga darurat dan mengangkat panggilan tersebut. Suara Kris terdengar setelah itu. “Kau suka hadiah dariku?”

Taehyung menautkan alisnya. “Apa maksudmu?”

“Anak bodoh.” Kris terkekeh. “Aku menemukan hadiah yang kau sembunyikan di apartemenmu. Bagaimana bisa kau ceroboh menyimpan barang penting di tempat seperti itu?”

Dugaan Taehyung tepat. Kris yang mengambil koper di bawah tempat tidurnya. “Terima kasih sudah menyimpannya untukku,” Kris berkata sarkastis. “Aku terkesan, jadi aku putuskan untuk memberimu hadiah sebagai balasan. Aku yakin kau sudah tahu.”

“Kau,” kata Taehyung waswas, memperkirakan dalam benaknya dan berharap semoga pemikirannya salah. Jantungnya berdegup. “Apa mungkin kau—apa yang terjadi pada ayahku—itu kau?”

Lalu, terdengarlah suara tawa Kris. “Kau mengenalku dengan baik rupanya,” dia berkata dan membuat Taehyung hampir menjatuhkan ponselnya.

Dengan gigi mengertak Taehyung berkata, “Kau, bagaimana bisa kau lakukan ini?”

“Kata-kata yang sama untukmu,” balas Kris. “Beraninya kau merencanakan ini semua, Kim Taehyung.”

“Ayahku tidak ada hubungannya dengan ini!”

“Apa aku peduli dengan itu?” Kris berkata dengan demikian dingin. “Aku melakukan ini karena kau terlalu menganggap remeh diriku. Sepertinya hukuman saja tidak cukup untuk membuatmu jera—iya, kan? Kau tidak lupa apa yang terjadi pada temanmu di Jepang dulu, bukan?”

“Kris, kumohon ....”

“Menurutmu siapa selanjutnya?”

“Kris ....” Taehyung merasa putus asa memohon, tak menemukan cara lagi untuk meminta belas kasih. “Kenapa kau lakukan ini padaku?”

“Kau yang memilih untuk mengabaikan perintah dan laranganku, Kim Taehyung,” kata Kris bengis dan angkuh. “Aku sudah memperingatkanmu. Apa yang kau lakukan akan berdampak pada dirimu sendiri. Hari ini aku hanya memberikan peringatan kecil, tapi lain kali aku tidak akan menahan diri seperti ini lagi. Ingat itu baik-baik, Kim Taehyung.”

Setelah mengatakan demikian, Kris mematikan telepon dan menyisakan Taehyung yang terdiam dengan emosi berkecamuk. Semua kemarahan, kesedihan dan perasaan tak berdaya membaur jadi satu. Taehyung ingin marah, tapi tak sanggup. Dia ingin menangis, tapi bahkan terlalu kesal untuk menangisinya. Dengan dada bergemuruh Taehyung bangkit. Dia mengepalkan tangan dan menumpukan lengan ke dinding, begitu marah sampai-sampai merasa ingin meneriakkan caci makinya kepada Kris saat ini.

“Berengsek,” Taehyung mendesis, menunduk dan memukulkan kepalannya ke dinding. “Keparat,” dia mengumpat lagi dan memukul lagi. Emosinya tak mau reda.

Taehyung tak bisa merasa melihat jalan keluar. Harus bagaimana supaya Kris lenyap dari muka bumi ini?

Beberapa saat tenggelam dalam kalut, Taehyung memutuskan untuk menghubungi Tao. Tak lagi dipedulikannya meski bukan merupakan keputusan baik membuat panggilan dari nomornya yang pernah disadap ini. Pikirnya, toh Kris sudah tahu semuanya. Dia semata-mata tak bisa menunggu Kris menghabisinya.

Sayang sekali panggilan Taehyung tak mendapat jawaban. Dia mencoba menelepon sekali lagi dan masih tak ada hasil. Sesaat berselang justru masuk sebuah pesan singkat dari Tao. Semua kacau di sini. Kita tidak bisa berbicara untuk sementara ini.

Taehyung semakin risau. Dalam hati dia tiada henti menghujat Kris dan mempertanyakan bagaimana semua bisa menjadi seperti ini. Padahal, semua sudah disusun matang-matang.

Tak tahan berdiam diri sementara Kris menghancurkan segalanya, Taehyung berpikiran bahwa dia tidak mau membiarkan usahanya sia-sia. Ini kesempatan satu-satunya. Jadi dia keluar dari tangga darurat sembari memilah keputusan-keputusan lain dalam kepalanya.

Akan tetapi, segala pemikiran tersebut kemudian sirna. Tepat di depan pintu, tak diduga-duga dia disambut oleh kehadiran Taedong—seakan-akan pemuda tersebut memang telah menanti dengan berdiri di sana. “Taedong,” Taehyung berkata, tampak terkejut. Sedang dilihatnya Taedong hanya melihat padanya tanpa ekspresi. Dia berharap semoga Taedong tak mendengar percakapannya dengan Kris.

Sayangnya, Taedong memang mendengarnya. “Bajingan itu yang melakukannya?” dia bertanya datar-datar.

Sekejap Taehyung tertohok. Entah mana yang membuat risau. Mungkin nada bicara Taedong, mungkin raut wajahnya yang berkesan mematikan, atau mungkin malah alasan bahwa Taedong menjadi demikian karena fakta-fakta yang baru diketahuinya soal Wu Yifan.

“Taedong,” kata Taehyung takut-takut. “Kau mendengarnya?”

Taedong tersenyum miring, amat tipis. Untuk suatu alasan Taehyung tak menyukai cara adiknya tersenyum.

“Kau tidak akan mengatakan apa-apa meski aku bertanya, kan?” ujar Taedong. Tebakannya menyiratkan kecewa.

Taehyung tak bisa menjawab, tenggorokannya serasa tersumbat, jadi Taedong kemudian membalikkan badan. Ketika polisi muda tersebut dua langkah melenggang, Taehyung buru-buru maju dan meraih tangannya. “Taedong, tunggu! Ayo bicara sebentar,” kata Taehyung. Dia belum sempat menjelaskan, dan sang adik keburu menepis tangannya.

“Jangan khawatir,” Taedong berkata seraya menoleh kembali pada Taehyung. Dia menyempatkan diri untuk menyampaikan, “Aku sudah tidak marah padamu, Hyung.”

Kata-kata tersebut jelas sebuah kebohongan. Kentara sekali terlihat.

“Mulai sekarang, lakukan apa yang ingin kau lakukan—dan aku akan lakukan apa yang ingin kulakukan.”

Benar, Taedong masih marah kepada Taehyung, tapi mungkin pemuda itu tidak lagi berkeinginan menunjukkannya. Dia melanjutkan langkah dan Taehyung kembali menggapainya. “Tunggu! Apa yang akan kau lakukan? Taedong, katakan padaku apa yang kau pikirkan!”

Taedong berhenti dan berbalik lagi. Dia hampir mengeluarkan kata-kata seperti diam, tutup mulutmu atau aku tidak mau mendengar omong kosongmu lagi. Akan tetapi, pada akhirnya Taedong hanya mengucapkan, “Sudah kubilang, jangan khawatir, Hyung,”—aku yang akan membunuh Wu Yifan dengan tanganku sendiri.

Tentu Taedong masih belum bisa memaafkan Taehyung. Dia masih muak pada kakaknya. Oleh karenanya dia semakin tak bisa memaafkan Wu Yifan yang telah membuat dirinya memiliki perasaan seperti ini pada kakaknya.

“Taedong ...” Taehyung memohon melalui tatapannya, tapi Taedong melepaskan genggamannya perlahan dan membalas, “Jangan bicara lagi padaku.” Lalu, Taedong melangkah meninggalkan Taehyung. Langkahnya semakin jauh dan Taehyung tak lagi mencoba mengejar atau menghentikannya.

Ucapan sang adik begitu dingin, tak pernah sedingin ini, hingga membekukan seluruh tubuh Taehyung. Taedong menjauh karena tahu dirinya tak akan bisa menahan mulut jika berbicara lebih panjang lagi. Dia takut dirinya tak tahan untuk tidak menonjok wajah Taehyung saking kesalnya.

Selagi berjalan di koridor, Taedong pun membulatkan tekad. Wu Yifan akan membayar semua ini dengan nyawanya.

Taehyung kemudian kembali ke ruang tunggu operasi, tapi tak benar-benar masuk ke sana. Dia hanya memandang dari jauh kakak iparnya yang masih berada di sana selama beberapa saat, sebelum kemudian pergi. Mungkin dia tidak akan bisa menunggu hingga ayahnya bisa ditemui.

Sewaktu berjalan di lobi, Taehyung mendengar seseorang memanggil namanya. Dia melihat Jeon Jungkook muncul dan berlari kecil ke arahnya dari pintu masuk. “Jungkook ...” Ditatapnya Jungkook begitu menghentikan langkah.

“Maaf aku baru datang,” Jungkook berkata, lalu tak menunggu untuk mengusap wajah Taehyung. “Kau baik-baik saja?”

Dengan hanya menyentuh tangan Jungkook di pipinya, Taehyung tersenyum. Detik berikutnya dia tak mengatakan apa-apa saat kemudian memeluk Jungkook amat erat. Jungkook pun berbisik,“Semua akan segera membaik.”

Taehyung tak ingin membantah kata-kata Jungkook dan semata-mata mengangguk, dalam hati betul-betul menaruh harapan pada kata-kata tersebut. Dia ingin berharap pada yang satu ini. Tanpa melepaskan pelukan, dia meminta, “Jungkook, berjanjilah satu hal padaku.”

Permintaan Taehyung tak membuat Jungkook berbicara. Dia menunggu Taehyung melanjutkan kata-kata, entah mengapa merasa apa yang akan didengarnya sebentar lagi tidak akan sejalan dengan dirinya.

“Jangan lagi berurusan dengan Kris,” Taehyung berkata kemudian.

Nah, Jungkook sudah menduganya.

“Jangan dekat-dekat dia dan jangan campuri urusannya, Jungkook,” kata Taehyung lagi. “Anggap kau tidak tahu apa-apa dan tidak pernah mengenalnya. Tolong jauhi dia—tidak peduli apa yang dilakukannya padaku.”

Jungkook ingin melepas pelukan, tapi Taehyung menolak dan malah memeluknya lebih erat. “Kim Taehyung,” dia berkata, dan Taehyung dengan cepat menyela. “Aku mohon, Jungkook.”

“Taehyung, kau tahu aku tidak mungkin bisa menutup mata dan telingaku. Selama kau masih berada di tangannya, aku tidak akan bisa tinggal diam.”

“Tidak, Jungkook. Kumohon jangan lakukan itu,” Taehyung meminta kembali. Pelukannya bertambah erat dan erat lagi, seolah takut Jungkook akan mencoba melepaskannya lagi. Dia membenamkan wajahnya ke bahu Jungkook dan kembali berkata-kata. “Dia bisa lakukan apa saja. Kau akan habis di tangannya—dan jika ini terjadi, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan, Jungkook.”

“Itu tidak akan terjadi,” kata Jungkook penuh keyakinan. “Aku yang akan menghabisi bajingan itu, bukan dia.”

“Kau tidak bisa, Jungkook.”

“Kau percaya padaku, kan?”

“Jungkook—”

“Taehyung, kau percaya padaku, kan?”

“Aku percaya padamu! Aku percaya—tapi aku tidak memiliki kepercayaan diri untuk berharap lagi. Bagaimana jika aku kehilanganmu?”

Cara Taehyung berkata-kata menghunjam rongga dada Jungkook. Dia tak sanggup menjawab sehingga hanya mengangkat tangan dan mengusap surai Taehyung perlahan.

Sementara itu Taehyung terus berbicara, “Aku benar-benar takut. Kalau kau pergi, aku benar-benar akan hancur, Jungkook. Karena itu—kumohon—berjanjilah kau akan menjauh dari Kris. Katakan kau berjanji, Jungkook.”

Jungkook tak sanggup menolak. Dengan harapan Taehyung tak sampai menangis hanya demi mendengarnya menyetujui permohonan tersebut, dia menjawab “Baik, aku janji.”

Taehyung jelas telah lupa, Jungkook bukan orang yang pandai menjaga janji. Tentu saja Jungkook akan mengingkari janji itu.

.

.

.

_TBC_

Continue Reading

You'll Also Like

243K 11.2K 78
Baca ,jangan lupa follow ,comen dan vote..😘 Belajarlah menghargai orang lain maka, kamu akan dihargai layaknya kau menghargainya.. ☺☺...... Peringk...
101K 6.6K 43
"Menurut gue mantan adalah pacar yang udah kadaluwarsa. Dan rasa mantanan lebih menantang daripada rasa pacaran." - Daren Copyright2020 by Renata Sa...
904K 43.7K 40
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
15.4K 1.5K 11
[FOLLOW UNTUK MEMBACA] In the world of law, there is a term called the presumption of innocence. This principle states that a person is obliged to b...