Aksara Dan Suara

By khanifahda

1.5M 163K 6.7K

Bukan waktu yang singkat bagi Grahita Sembrani Pramonoadmodjo untuk menghapus bayang-bayang penghianatan cint... More

Jaladri
Rawi
Ludira
Sakwari
Samira
Udaka
Darani
Nirada
Wibana
Lenggana
Asta
Peningal
Brawala
Pakara
Pralapa
Kawur
Kaningaya
Samapta
Persudi
Kanin
Adanu
Lawya
Purwa
Mara
Hastu
Sangsaya
Weling
Kaharsayan
Samagata
Mahatma
Wiyoga
Asti
Balakosa
Smara
Mandrakanta
Darba
Soma
Adicandra
Sakanti
Balun
Adyuta
Abhipraya
Syandana
Gama
Jantaka
Nisita
Palar
Byuha
Locana
Nayottama
Agata
Gandring
Radinka
Ilir
Adhikari
Dayita
Adyatma
Wasana
'Naditya'
'Cundamani'
'Woro-Woro'

Griya

34.6K 3.5K 36
By khanifahda


Setelah pamit undur diri kepada teman satu dapurnya, Grahita langsung pergi ke rumah milik Soeroso Pramonoadmodjo yang terletak tak jauh dari restoran tempat ia bekerja. Dengan mengendarai BMW keluaran tahun 2010 milik sang mendiang opanya, Grahita meluncur tanpa hambatan. Setengah jam kemudian Grahita sampai di rumah dengan gaya Mediterania yang kental sekali dengan kata mewah.

Grahita menunduk sopan pada satpam yang setia menjaga keamanan disana. "Neng Tata?" Pak Slamet, satpam yang sudah mengabdi hampir 30 tahun itu kaget melihat nona muda mereka datang lagi setelah 6 tahun tak menampakkan wajahnya. Grahita lalu tersenyum pada pak Slamet yang kini semakin menua.

"Selamat malam Pak. Pak Slamet gimana kabarnya?" Tanya Grahita setelah perempuan itu menyalami pak Slamet dengan sopan.

Pak Slamet yang masih kaget pun menjawab, "Alhamdulillah baik neng. Ya Allah akhirnya bapak ketemu neng lagi. Neng Tata gimana kabarnya? Sudah lama neng nggak datang kemari."

"Alhamdulillah baik Pak. Saya beberapa tahun ini memang tidak pulang. Saya fokus sama cita-cita saya pak."

Lalu pak Slamet melebarkan matanya, "Wahhh.. Berarti sekarang sudah jadi chef dong." Grahita tertawa kecil dan mengangguk. "Iya pak."

"Eh saya masuk dulu ya pak. Lain kali kita bicara panjang lebar." Pamit Grahita dan di angguki oleh pak Slamet. Lalu Grahita melajukan kembali mobilnya untuk di masukkan ke dalam garasi luar yang tersedia di rumah sang eyang.

Sejenak Grahita memandangi rumah yang sudah ia tinggalkan bertahun-tahun itu. Suasananya masih sama, hanya saja perubahan bentuk taman depan yang nampak sedikit di rubah, namun ciri khas rumah tersebut masih kental sekali. Grahita lalu menghembuskan nafasnya pelan. Sejak dulu ia malas untuk sekedar datang ke rumah tersebut. Ada banyak alasan yang membuatnya enggan untuk menginjakkan kakinya disana. Jika bukan acara penting, Grahita lebih baik pergi ke tempat lain daripada harus menginjakkan kakinya disana.

Perlahan Grahita berjalan menuju pintu depan. Grahita memencet bel rumah tersebut. Bisa saja ia langsung masuk, tapi Grahita enggan melakukannya.

Kemudian seorang pelayan muda membukakan pintunya dan Grahita langsung masuk setelah di persilahkan. Grahita langsung di bawa di ruang makan yang sudah penuh dengan keluarga yang lainnya.

"Selamat datang Grahita cucu eyang. Sini nduk, eyangmu rindu sama kamu." Grahita masih memegang teguh unggah-ungguh sebab ia juga masih memiliki darah Jawa yang kental oleh karena itu ia mendekat ke arah eyangnya dan mencium tangan sang eyang dengan takjim.

Kemudian tuan Soeroso memeluk erat sang cucu yang sudah di rindukannya bertahun-tahun. Bertahun-tahun pula tuan Soeroso memendam rindu dan rasa bersalah secara bersama, menggerogoti hingga raganya kini tak sekuat dahulu.

Lalu tuan Soeroso menggiring Grahita untuk duduk di dekatnya. Mata Grahita sekilas menatap orang-orang yang menjadi alasannya untuk enggan sowan ke rumah sang eyang.

"Gimana kabarmu? Gimana juga sekolahmu? eyang harap kabar baik yang eyang terima."

Grahita tersenyum tipis. Sebenarnya Grahita tak membenci sang eyang, justru alasannya ia datang hanya untuk beliau, mungkin karena satu hal yang membuat Grahita agak menjaga jarak yaitu sang eyang yang membiarkan orang-orang yang menjadi alasannya untuk menjadi orang pembenci itu justru hidup seatap dengan beliau. Grahita benci dan malas untuk sekedar main kemari. Namun ia juga punya hati sehingga kadang kala dulu juga pergi kemari, bukan untuk apa, hanya sekedar menjenguk eyangnya.

Grahita bisa dibilang sebagai cucu kesayangan tuan Soeroso. Hal itu tentu menimbulkan gesekan di antara keluarga besarnya. Tapi Grahita tak peduli. Perempuan itu juga tak peduli semisal di anak emaskan oleh keluarga besar Pramonoadmodjo. Lebih baik ia hidup sederhana bersama sang oma dan opanya. Itu lebih dari cukup.

"Alhamdulillah Tata sehat. dan masalah pendidikan Tata sudah selesai dan sekarang sudah bekerja kek."

"Kerja dimana?" Namanya Agnes, putri dari Diana, istri papanya yang bisa dibilang sebagai saudara tirinya.

Grahita tersenyum tipis, "Dirgantara's Restauran."

Agnes mengangguk ditempatnya. Tatapan menilai masih kentara di wajahnya, "Kukira kamu sudah punya restoran sendiri."

Fu*k!

Ingin sekali Grahita menyumpal mulut berbisa milik Agnes itu. Sejak dulu mereka tak sejalan. Agnes kerap kali berkata pedas dengan dirinya, tak hanya itu, Agnes juga kerap kali iri dengan perlakuan sang eyang kepada dirinya.

Memangnya dia siapa? Darah Pramonoadmodjo saja tidak ada dirinya? Begitu batin Grahita ketika Agnes begitu mendamba ingin di hormati bak keturunan keluarga Pramonoadmodjo juga.

"Kukira kau tau Agnes, semua butuh proses, bukan sekedar berbicara manis saja dan menadahkan tangan untuk mendapatkan sesuatu dengan mudah." Perkataan Grahita barusan membuat Agnes terdiam. Sial. Grahita memang pandai membuat dirinya tak berkutik sama sekali. Sama saja Agnes di sindir jika dirinya hanya mampu merengek dan merengek. Hanya bisa meminta sesuatu tanpa usaha yang berarti. Berperan bak peri yang nyatanya perlahan menggerogoti harta milik kakeknya itu. Benar-benar ular. Begitu batin Granita.

"Sudah sudah. Lebih baik kita makan." Ucap Sadewa Pramonoadmodjo yang merupakan ayah biologis Grahita. Grahita tak kaget dengan tindakan sang papa. Dirinya mungkin saja tak akan dicari sekalipun menghilang selamanya karena Grahita tak ubah hanyalah anak kandung yang tersisih, tergantikan rubah yang menjelma sebagai permata.

Grahita lalu duduk dan menyantap hidangan makan malam. Pembicaraan makan malam ini banyak di dominasi oleh sang kakek. Sesekali Granita akan menimpali jika itu perlu dilakukan, sisanya menjadi pendengar setia.

Selesai makan, Grahita tak langsung pergi. Perempuan itu masih saja setia disana, menunggu aba-aba eyangnya.

"Kalian jangan ada yang beranjak terlebih dahulu. Eyang ingin membicarakan sesuatu, mengenai investasi eyang."

Diana dan Agnes yang awalnya nampak malas untuk mendengarkan kultum eyang lantas berbinar ketika mendengar kata investasi. Hal itu membuat Grahita menatap mereka tak suka. Memang bibit ular sudah ada sejak dulu.

"Apartemen yang ada di kawasan Jakarta Pusat sama beberapa properti yang ada, eyang serahkan ke Grahita. Kamu berhak untuk mengelola harta itu nduk. Besok juga eyang bakal kirim mobil baru, eyang rasa BMW itu sudah selayaknya di garasikan."

Diana alias ibu sambung Grahita mendengus tak suka ketika yang di obrolkan justru harta yang akan di serahkan ke Grahita. Ia kira harta sang mertua akan di bagi rata di sana, tetapi ternyata justru di berikan kepada anak sambungnya itu.

Grahita tersenyum, "Terima kasih eyang, tetapi eyang tak perlu repot-repot mengirim Tata mobil baru. Biarpun mobil itu sudah buluk, tetapi ada banyak kenangan yang Tata kenang bersama oma dan Almarhum opa disana."

Tuan Soeroso seketika terdiam namun kemudian tersenyum, "Tidak apa-apa. Anggap itu hadiah eyang atas kelulusanmu."

"Baiklah, kalian boleh meninggalkan meja makan ini kecuali Tata dan Sadewa." Lantas mereka yang tak disebut namanya beranjak sambil memasang muka masam, utamanya Diana dan Agnes yang begitu tak suka dengan Grahita.

"Apa kamu nyaman tinggal di Paris?" Tanya tuan Soeroso.

Grahita terkekeh pelan, "Sangat nyaman, tapi karena oma masih hidup dan menanti Tata di sini, Tata mengurungkan niat menetap disana lebih lama. Di sini ternyata masih ada orang yang menanti Tata dengan tulus di Indonesia."

Eyang mengangguk pelan di tempatnya, rasanya begitu menghujam kalu cucunya itu lebih peduli dengan omanya ketimbang keluarga di pihaknya. Tapi tuan Soeroso sadar jika selama ini cucunya itu kurang perhatian dan kasih sayang sehingga hanya omanya saja yang peduli dengan gadis itu.

Kemudian atensi Grahita beralih ke sang papa, "Apa papa tidak ingin bicara sesuatu pada Grahita?"

Namun nampaknya Sadewa justru bungkam,  Grahita lantas terkekeh pelan, "Saya rasa tidak ada. Karena memang dari dulu Grahita tak berarti apa-apa buat papa."

"Jaga mulut kamu!" Sahut Sadewa cepat, ia menatap nyalang sang putri yang berani sekali berbicara seperti itu.

"Mulut saya ini sudah di jaga baik-baik sampai keluar negeri." Sahut Grahita santai. Mungkin ia terlihat tak sopan, tapi buat apa sopan kepada orang yang tak pernah melimpahkan kasih sayang kepadanya.

"Sudah-sudah. Eyang tidak memberi tempat kalian untuk berdebat,

"Sadewa, kamu bisa tidak sedikit saja peduli sama anakmu. Kamu itu seorang papa tapi perilakumu bukan seperti papa pada umumnya."

"Tata, eyang harap kamu menginap malam ini, cukup malam ini," Grahita hendak menyanggah, namun eyang kembali melanjutkan kalimatnya, "Eyang mohon. Kali ini saja." Setelah itu, apa yang bisa Grahita lakukan selain mengiyakan permintaan sang eyang.



*****


Grahita menatap kamar yang dulu pernah ia tempati walau hanya sebentar saja. Kamar yang interiornya jauh lebih mewah ketimbang kamar di rumah almarhum opanya. Semuanya hampir sempurna, namun kurang satu bagi Grahita yaitu kenyamanan. Gadis itu tak butuh kemewahan, yang ia butuhkan hanya kasih sayang dan perhatian, tidak lebih. Namun kenyataannya ia tertampar pada takdir yang tidak berpihak padanya. Hatinya terluka sejak ia masih kecil.

Grahita menatap foto keluarga kecil yang diambil ketika ia masih bayi merah. Nampak sang mama yang tersenyum ke arah kamera, begitupun sang papa. Namun setidaknya ia masih mendapat kasih sayang selama 6 bulan setelah dirinya di lahirkan ke dunia. Setelah itu, semuanya berantakan tanpa sisa. Semuanya kacau dan hancur secara bersamaan. Grahita kecil yang menyedihkan harus di rawat oleh oma dan opanya.

Andai takdir bisa disalahkan, mungkin sejak kecil Grahita akan mengutuknya. Tapi sayang, omanya begitu sabar memberinya pengertian bahwa itu adalah bagian dari perjalanan hidupnya yang harus di hadapi dengan kesabaran dan kelak kita akan bahagia dengan cara kita sendiri, bersama-sama atau bahkan tanpa mereka.

Grahita masih ingat ketika ia melihat keluarganya benar-benar hancur hanya karena ego semata. Papanya bahkan dengan tega mencampakkan dirinya dan sang mama hanya karena menemukan dunia barunya. Menemukan sesuatu yang dianggap pelabuhan tetapi hanya semu dan penuh kebohongan semata.

Grahita kembali ingat, awal itulah sang mama yang awalnya peduli dengannya, kini keluar mencari zona pelampiasan atas pesakitan yang beliau terima. Berkelana tanpa pernah mau tahu bagaimana kehidupan di rumah kecilnya. Mamanya terlalu larut dalam gemerlap dunia hingga tak sadar bahwa tanggung jawabnya juga masih besar untuk sang putri di rumah.

Grahita tak pernah protes ketika ia tak dilimpahi kasih sayang. Ia hanya sakit hati dan merasa jika ia bukanlah anak yang diharapkan. Ia hanyalah korban ego orang tua yang sampai saat ini tak pernah ada itikad meminta maaf atas kesalahan menelantarkan dirinya. Tapi Grahita juga tak pernah mendamba seprti itu. Grahita hanya ingin hidupnya tenang, tanpa terbayang dendam dan sakit hati yang masih menggerogoti dirinya hingga saat ini, menyebabkan dirinya menjadi orang yang sarkastis dan jahat dengan mereka yang dianggap sebagai orang yang berperan dalam pembentukan karakter jahatnya.

Grahita lalu duduk di spring bed empuk kamarnya. Membuka laci yang berada di samping spring bednya. Mencari barang yang ia simpan di sana. Diantara tumpukan kertas yang ia simpan rapat, Grahita berusaha mencari sebuah barang. Akhirnya Grahita menemukan sebuah kalung dengan liontin batu permata kecil berwarna ungu. Grahita ingat itu adalah pemberian terakhir sang uti sebelum utinya itu meninggal ketika dirinya kelas 1 SMP.

Grahita memakai kembali kalung tersebut setelah sekian lama ia tinggal di kamar pribadinya yang berada di rumah sang eyang. Grahita menatap kalung itu dengan seksama. Dulu ia sempat tak mau menggunakan kalung tersebut karena banyak mata jahat yang memandangnya, namun kini keberanian itu datang kembali dan ia pastikan bahwa orang yang telah jahat padanya tak akan berkutik dari dirinya lagi.

.
.
.

Griya : rumah

Bakal up cerita ini tapi nggak sesering Hira ya, Terima kasih yang sudah membaca dan menanti cerita ini

Continue Reading

You'll Also Like

506K 73.4K 34
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...
1.1M 54.3K 38
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
174K 12K 55
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia
602K 39.1K 72
#1 Solidaritas (26-30Agustus 2020) #1 Masa SMA (2 sept 2020) #1 Geng (2 Sept 2020) #2 Ngakak (2 Sept 2020) #2 Konyol (30Agst-2 sept 2020) #4 Fiksi R...