UNTOUCHABLE

By 567Story

22.8K 1.8K 279

‼️Warning: Cerita benci jadi cinta‼️ Yang bosen/nggak suka boleh skip ya. *** "Bisa nggak lo berhenti ngurus... More

Prolog
1
3
4
5
6
7
8
9
10

2

1.6K 137 11
By 567Story

Yuhu ...

Ada yang nungguin?

♡♡♡

Perempuan dengan tudung hoodie menutupi kepalanya itu menatap dari balik pagar sebuah rumah mewah, persis seperti orang yang ingin mencuri. Dari tempatnya sekarang, dia bisa melihat seorang gadis kecil yang mungkin berusia enam tahun sedang bermain ayunan dengan boneka di pelukannya. Di belakang punggung gadis itu seorang wanita paruh baya cantik terlihat mengayun pelan ayunan yang di duduki gadis itu. Sedangkan tak jauh dari kedua orang itu berdiri seorang wanita dengan pakaian khas baby sister yang juga menemani di sana.

Sesekali anak kecil serta wanita paruh baya itu terlihat tertawa. Tak tahu apa yang mereka tawakan, tapi, dia ikut menaikkan satu sudut bibirnya. Sebelum kemudian wanita paruh baya itu mengusap kepala gadis kecil itu terlihat berbicara lalu gadis itu mengangguk. Wanita itu kemudian masuk ke dalam rumah mewahnya. Suster perempuan yang sedari tadi hanya mengawasi majikannya, segera mengambil posisi di belakang ayunan, bersiap untuk menggantikan ibu gadis itu mengayunkan ayunan.

Membenarkan topi serta tutup hoodie-nya. Mengintip sekali lagi, sebelum kemudian dia berbalik pergi meninggalkan rumah mewah itu. Seperti biasa, dia bahagia. Bibirnya tersenyum.

♡♡♡

Galen mengendarai kawasaki merahnya dengan kecepatan tinggi. Setelah merayakan kemenangan timnya, akhirnya dia memutuskan untuk pulang. Badannya terasa lelah dan lengket, dia ingin cepat-cepat sampai rumah lalu mandi.

Saat memasuki jalan komplek rumahnya, Galen dapat melihat dari balik kaca helm full face-nya seorang gadis dengan hoodie hitam berjalan berlawanan arah dengannya. Entah kenapa Galen merasa penasaran dengan perempuan yang kerap kali berpapasan dengannya pada saat pulang sekolah itu. Padahal ia tahu gadis dengan topi serta hoodie hitam itu tak tinggal di perumahannya. Tapi, selama tak ada laporan kemalingan, Galen tak akan mengganggu gadis itu. Walaupun dia sangat penasaran apa yang dia lakukan dengan datang setiap hari ke perumahannya.

Tepat saat mereka berpapasan, Galen menajamkan pandangannya agar bisa melihat wajah perempuan itu, sungguh dia sangat penasaran. Sayang perempuan itu malah semakin menundukkan wajahnya dan semakin menarik turun topi serta tutup hoodie-nya. Galen mengumpat pelan dari balik helm-nya. Dia melirik spion motornya, sebelum kemudian semakin menarik gas motornya.

Siapa dia sebenarnya? Kenapa sering datang ke sini? batin Galen bertanya-tanya.

Mencoba untuk kembali fokus pada jalanan di depannya, Galen kembali menambah kecepatan motornya. Hingga terdengar suara knalpotnya yang berisik. Laki-laki itu tak peduli jika nantinya ada ibu-ibu atau warga yang protes kepada orang tuanya. Biar saja, mereka bisa pindah.

Baru saja memasuki halaman rumahnya, Galen sudah disajikan pemandangan sang adik yang sedang bermain boneka di teras ditemani suster gadis kecil itu. Bibir Galen tersenyum tipis lalu dia menyetandarkan motornya dan melepas helm full face-nya.

"Kak Galen!"

Mendengar teriakan itu Galen tersenyum. Dia melangkah naik ke teras rumahnya. Galen melebarkan senyumnya saat adiknya memeluk kakinya dengan rasa teramat senang. Dia dengan segera menggendong adiknya lalu mengacak rambut gadis kecil itu.

"Ihhh .... KAK GALEENNN!!!"

Galen terkekeh mendengar teriakan lucu itu. "Apa?" tanyanya menggoda kemudian.

"MAMA KAK GALEN NAKAL!!!" teriak adiknya membuat Galen tertawa terbahak-bahak. Merasa lucu dengan ekspresi marah sang adik.

Melihat sang kakak yang malah tertawa, Icha memukul tubuh kakaknya dengan sekuat tenaganya. Wajahnya sudah memerah marah. Dia benci kakaknya terkadang.

"Lasain!"

"Lasain! Kak Galen ngeselin!!!"

Bukannya kesakitan, Galen malah semakin tertawa. Membuat gadis kecil itu semakin gemas memukulkan tangan kecilnya kepada sang kakak.

"Kenapa ribut-ribut Icha?" Annisa keluar dari dalam rumahnya dan sudah menemukan Icha yang memukuli kakaknya gemas. "Icha kenapa? Kok, kakaknya dipukulin?" tanyanya lembut kepada gadis kecilnya yang masih dalam mode marah sepertinya.

Melihat Ibunya, Icha langsung meminta turun dari gendongan Galen, dia memeluk kaki ibunya. Menenggelamkan wajahnya di antara kedua kaki Annisa. Kemudian kepalanya mendongak menatap mata sang ibu.

"Kak Galen nakal, Ma. Rambut Icha diberantakin." adunya lucu.

Annis langsung menatap tajam putranya yang masih tertawa ringan. Pemuda itu sudah tahu kalau adiknya sangat menyayangi rambutnya, tapi, tetap saja suka menggoda dengan mengacak-acak rambut adiknya yang berakhir membuat anak perempuannya mengadu kepadanya.

"Galen, mama, kan sudah sering bilang, jangan gangguin adikmu terus." peringkatnya serius.

"Orang Galen nggak gangguin, Icha aja yang cengeng."

"Icha nggak cengeng!" teriak adiknya langsung, tak terima. Matanya melotot memandang kakaknya garang.

"Iya ... iya, Icha nggak cengeng. Udah jangan ditanggepin kakak kamu," ujar Annisa membungkuk membawa tubuh putrinya ke gendongannya. Lalu mengajaknya masuk ke dalam rumah. Diikuti oleh mbak Lala--baby sister yang bertugas menjaga Icha.

"Dasar cengeng," ucap Galen pelan kepada sang adik yang bersandar di bahu Ibunya dan menatap ke arahnya.

Icha hanya memeletkan lidahnya, seolah merasa menang. Cukup melihat kakaknya dimarahi Ibunya, maka perasaan gadis kecil itu akan merasa tenang kemudian. Dia kembali mencari posisi nyaman pada dekapan sang ibu.

Galen menggeleng pelan melihat tingkah sang adik. Kemudian ikut melangkah masuk ke dalam rumah. Entah kenapa rasa lelahnya tadi mendadak hilang setelah melihat adiknya.

***

"YA AMPUN, IBU!"

Rea langsung berlari menghampiri ibunya yang terlihat tersungkur di lantai. "Kenapa bisa gini, Bu?" tanyanya mulai membantu Ibunya bangkit berdiri.

"Ayah kamu--"

"Bajingan itu lagi," terlihat tatapan penuh kebencian di mata Rea saat mengatakannya.

"Sstt ... jangan bicara seperti itu, dia ayahmu,"

Rea hanya mendengus, kemudian dengan segera membawa tubuh rapuh ibunya masuk ke dalam kamar. Dia membantu Ibunya berbaring di atas ranjang yang terbuat dari pohon bambu.

Rea menghela nafas pelan kemudian memandang keadaan ibunya. Di pipi ibunya, Rea bisa melihat jejak telapak tangan. Siku ibunya juga terlihat lecet, berdarah mungkin terbentur saat jatuh. Ibunya benar-benar terlihat menyedihkan.

Melepas topi serta hoodie yang dia kenakan, Rea meletakkannya di samping tubuh sang ibu. Sebelum kemudian dia beranjak keluar dari kamar ibunya.

Tak berapa lama, Gadis itu kembali dengan baskom berisi air hangat serta kain. Dia juga membawa bungkus plastik kresek yang di dalamnya terdapat obat-obatan. Kerap kali dirinya dan sang ibu mendapat luka, membuat Rea memiliki berbagai macam salep dan obat-obatan.

"Sini biar Rea obatin," ujarnya, membantu sang ibu duduk bersandar di kepala ranjang.

"Maafin ibu, ya? Ngerepotin kamu terus," ujar Ratih lemah, tatapannya penuh rasa bersalah pada sang putri.

Rea diam sesaat, tapi kemudian melanjutkan mencelup kain ke dalam baskom lalu diperas sebelum kemudian dia tempelkan pada lebam di pipi ibunya. "Rea yang harusnya minta maaf karena nggak bisa nolong ibu pas bajingan itu ngelukain Ibu tadi," ujarnya kembali menyelupkan kain ke dalam baskom.

Ratih terdiam. Dia memandang wajah putrinya yang datar. Putrinya berubah, sudah lama dan itu karenanya.

"Ibu kenapa nggak ngelawan, sih? Kenapa ibu selalu kaya gini?" tanya Rea frustasi saat melihat ternyata banyak luka yang bajingan itu berikan di tubuh ibunya.

Ratih melihat bagaimana Rea dengan telaten berusaha membersihkan luka-lukanya. "Ibu--ibu, pantes dapetin ini. Ibu yang salah."

Rea langsung meletakkan kain kompresnya pada baskom. Pandangannya lurus menatap mata ibunya. Dia terluka.

"Ibu hanya melakukan satu kesalahan. Tapi, setiap hari ibu mendapat hukuman." jeda sesaat sebelum kemudian Rea kembali melanjutkan ucapannya. "Kenapa kita nggak ninggalin Ayah aja, Bu?" tanya Rea menggenggam tangan ibunya, air mata menggenang di pelupuk matanya.

Ratih langsung melepas genggaman tangan sang anak, dia menggeleng dengan tegas. "Sampai matipun ibu nggak akan ninggalin Ayah kamu! Ibu nggak papa, kenapa ibu harus ninggalin Ayah kamu?" tanyanya kebingungan.

Rea tak menjawab, hanya hembusan nafas pasrah yang keluar. Selalu seperti ini. Dia kembali melanjutkan mengompres luka-luka ibunya.

"Gimana keadaanya?" tanya Ratih tiba-tiba setelah sempat hening beberapa menit.

Rea memandang bola mata ibunya yang memancarkan rasa penasaran, Rea memandang langit-langit kamar ibunya yang terlihat sudah terdapat banyak lamat-lamat, sepertinya besok dia harus membersihkannya. "Dia baik. Semuanya menyayangi dia." jawabnya kemudian.

"Syukurlah ...." Ratih terlihat lega mendengar jawaban sang anak terlihat dari senyum tulus di bibirnya.

"Bu ...." panggil Rea lembut. Dia mengusap dengan lembut telapak tangan ibunya. Matanya memancarkan permohonan. "Ini udah hampir tujuh tahun dan bajingan itu masih aja sama. Rea nggak bisa liat ibu terus-terusan kaya gini. Bahkan laki-laki itu dengan teganya ninggalin ibu dalam keadaan kaya tadi. Dia bener-bener udah nggak kaya dulu lagi." lanjutnya berharap Ibunya mengerti dan mau dia ajak pergi dari rumah ini.

"Ibu bener-bener nggak bisa ninggalin Ayah kamu, Rea. Ibu--ibu terlalu mencintai Ayah kamu." ujar Ratih menitikkan air matanya. Dia tahu putrinya sudah lelah, putrinya bertahan karenanya. Tapi, dia tak bisa hidup tanpa suaminya.

Rea mengangguk kaku, lagi-lagi pasrah. Inilah yang membuat sosoknya menjadi dingin tak tersentuh. Karena dia takut jika dia terlalu menggunakan hati, maka nasibnya akan sama dengan ibunya.

Setelah selesai mengolesi salep di pipi dan siku ibunya, Rea bangkit berdiri membawa baskom dan obat-obatan itu lagi keluar.

"Ibu istirahat aja. Kalo ada apa-apa panggil Rea, ya?" ujar Rea. Lalu dia berlalu keluar. Dia menutup pintu menimbulkan suara nyaring karena engselnya yang sudah berkarat.

Setelah menutup pintu kamar Ibunya, Rea bersandar di dinding rumahnya yang tidak dilapisi semen. Dia menangis, dia merasa tak berdaya. Dia lelah, tapi, dia tak bisa melakukan apa-apa.

♡♡♡

Rea sudah siap dengan buku yang dia bawa. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia akan langsung ke rumah tetangganya untuk membantu mengajar, memberi les pada anak-anak di sana. Kebetulan tetangganya saat itu menawarinya, tanpa pikir panjang Rea menerimanya.

Pekerjaan menjadi guru les sudah sedari SMP kelas sembilan Rea jalani. Penghasilan Ibunya yang hanya seorang buruh tukang cuci baju tak seberapa. Sedangkan Ayahnya tak pernah sekalipun memberi uang kepadanya atau ibunya. Walaupun tak seberapa bayarannya dari mengajar anak-anak SD, tapi Rea cukup bersyukur karena sedikit membantu, sering kali uang itu dia gunakan untuk membeli salep atau obat-obatan lain karena seringnya Ayahnya memukulinya dan Ibunya.

Mencangklong tas lusuhnya di pundak, Rea berjalan ke arah kamar mandi yang ada di rumahnya. Dia menghampiri ibunya yang terlihat sedang berkutat dengan setumpuk cucian baju kotor. Tak peduli padahal tubuhnya masih sakit.

"Bu,"

Merasa terpanggil Ratih menoleh. Dia menghapus cipratan air yang mengenai wajahnya dengan lengan tangannya. Di sana, dia melihat Rea sudah rapi, siap mengajar anak-anak di rumah tetangganya. Dia tersenyum kemudian.

"Kamu udah mau berangkat?" tanyanya menerima tangan Rea yang terulur untuk menyaliminya.

Rea hanya mengangguk. Kemudian pandangannya beralih pada wajah ibunya, meskipun terlihat tersenyum, tapi, Rea masih bisa melihat gurat kelelahan di sana. Belum lagi luka ibunya yang masih menghias di sana. "Bu, Ibu kenapa susah banget, sih dibilangin. Ibu mending istirahat aja, nanti Rea yang nyuci pulang ngajar. Luka ibu masih merah-merah, Rea tahu itu pasti masih sakit." ujarnya memohon, tak tega, tahu ibunya harus menahan sakit di tubuhnya.

"Ibu udah nggak papa. Udah sana kamu berangkat. Kasian anak-anak yang les pasti udah pada nungguin kamu." ujar Ratih tersenyum tipis. Menunjukkan bahwa ia tak apa-apa.

Menghela nafas berat, Rea hanya bisa pasrah. Sudah dia katakan ibunya keras kepala. "Kalau gitu, Rea berangkat." melihat Ibunya mengangguk, Rea berlalu pergi kemudian.

Di sepanjang jalan Rea tak berhenti memikirkan nasib ibunya. Sesekali terdengar tarikan nafas lelah dari mulutnya. Dia lelah, tapi, mau bagaimana lagi.

"RE!"

Rea mendongak, tersenyum tipis dan menganggukan kepalanya saat melewati pos kamling yang biasa digunakan nongkrong anak-anak muda di kampungnya. Tak hanya di sekolah di kampungnya, pun, Rea juga cukup terkenal. Dia banyak disegani pemuda-pemuda di karena sesekali dia juga ikut nongkrong.

"MAMPIR, RE?" Wahyu, salah satu temannya menawari.

"Gue mau ngajar dulu di rumah Mbak Lia, nanti deh." jawab Rea mengangkat beberapa buku yang dia pegang.

"Oh, oke!" Wahyu mengangguk paham, lalu jari jempol dan telunjuknya menyatu membentuk lingkaran.

Rea kembali melanjutkan langkahnya setelah sekali lagi mengangguk pada teman-temannya. Tak butuh waktu lama Rea sampai di rumah Mbak Lia. Suara anak-anak terdengar ramai di sana.

Melepas sandal yang ia kenakan, Rea bergegas masuk ke dalam rumah bercat biru itu. Rumah paling bagus yang ada di kampungnya. Selain Mbak Lia yang seorang guru suaminya seorang tentara dan pengusaha.

"Akhirnya kamu dateng juga, Re." terdengar lega Mbak Lia saat melihatnya, membuat Rea tersenyum malu. Sepertinya dia telat.

"Kamu ajarin anak-anak yang mau UN, ya?" ujar Mbak Lia lagi, yang langsung diangguki oleh Rea. Rea meletakkan tas lusuhnya, menghampiri segerombolan anak-anak SD kelas enam yang memang duduk terpisah.

***

TBC

Lanjut?

Kalian bisa tebak Icha itu siapa?

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 119K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.8M 231K 69
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
987K 14.5K 26
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
268K 25.1K 31
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...