Lib - BRACHIUM

By loucanaqtrr

120 2 0

i hope, with every bone, in my body, that it will be us, in the end More

Prolog
Kedatangan
Kali Pertama
Pengakuan

Pertemuan

36 1 0
By loucanaqtrr




23 Agustus 2017

Sampailah pada hari dimana aku memenuhi janji, datang bersama dua orang teman dan keributan kami. Aku yang baru saja pulang dari lokasi pemotretan, dengan sedikit semangat dan kepala penuh dengan rasa lelah, kami bertiga sampai pada salah satu gedung pertunjukan kenamaan ditengah kota. Beberapa kali mataku melihat ke tiap-tiap sudut ruangan, memastikan keberadaan Mas Dion yang belum saja kutemui padahal aku telah ada disini barang sepuluh atau lima belas menit.

Tak sengaja aku menangkap sosok lelaki yang tubuhnya sekitar limabelas centimeter lebih tinggi ketimbang aku, berdiri tegak dengan celana tartan dan kemeja cokelat muda.

Ketika melihatku, seseorang itu langsung saja melambaikan tangannya sambil tersenyum,

"Hai Mas! Apa kabar?"

"Baik, kamu apa kabar?" Mas Dion menimpali sembari menyerahkan tangannya untuk segera disambut dengan salaman hangat, aku menggapainya,

"Seperti kelihatannya mas, agak capek sih. Mas kok disini?"

"Kamu nggak pernah kelihatan lelah ya, Hebat! Eh, memangnya aku harus dimana?"

"Aku kira Mas Dion ikut tampil malam ini"

"Karyaku Dek, membawa namaku dengan tanpa aku"

Di situasi sibuk, ramai dan berisik, aku mengajaknya mengambil satu atau dua gambar demi kepentingan remaja  seusiaku untuk melaporkan keadaan terkini pada dunia maya. Dengan dasar foto itu pula, setelah bertukar nomor, Mas Dion lagi-lagi memulai percakapan.

Dalam pesan, ia tak segan memperhatikan keadaanku, menanyai kodisi perutku yang kini sedang lapar atau sebaliknya, pun kadang mengingatkanku untuk selalu memberi jeda tubuhku dari tumpukan perkerjaan. Hingga menyusun beberapa janji.

Kami pun dipertemukan kembali lewat film layar lebar karya penulis kenamaan. Aku masih ingat betul bagaimana ia datang masih dengan kemeja cokelat muda, lalu duduk disampingku, menyaksikan dan menjadi komentator terhadap film 360 menit yang menghabiskan waktu dan penuh kantuk.

Anggapan burukku tentang Mas Dion ketika aku membencinya seperti dipatahkan hanya dalam semalam. Bagaimana tidak? Dimobil, tawa perlahan pecah, saat cacing-cacing diperut kami berdua mengeluh kelaparan, tak dapat ditemui selain warung tenda diujung jalan. Maka berhentilah kami disana.

"Dua porsi ya, Uni"

"Iya dik, loh kamu kok lama ndak kelihatan?"

Mas Dion tersenyum kecil, "Sudah kuliah diluar kota"

Mereka bercakap sebentar, melihat keakraban itu seakan meyakinkanku bahwa inilah makanan kesukaannya, atau mungkin inilah tempat yang sering ia datangi bersama mantan kekasihnya? Ah, aku semakin malas menerka-nerka.

Mas Dion menyergap mataku yang sedang memandanginya,

"Rin, mau minum apa?"

Aku yang agak gugup menjawab, diimbangi dengannya yang agak repot dengan rokok yang ternyata habis,  hingga ketika ia harus berjalan sendirian untuk mencari warung kelontong, aku memutuskan agar segera duduk.

Sesaat ia pergi, aku menelepon Dimas, teman dekatku sejak bertahun-tahun lalu. Pada Dimas, aku berikan kabar tentang malam ini. Ariana dengan bahagia pergi seorang diri menemui lelaki yang belum ia tau siapa dan bagaimana dirinya meski benar saja sempat saling mengetahui satu sama lain.

Mas Dion kembali dengan sebungkus rokok, langsung saja aku matikan telepon walau aku tau setelah ini Dimas pasti akan menghabisiku dengan ocehannya yang baru akan berhenti ketika kuantarkan toples berisi jajanan ringan penuh ketempatnya tinggal.

"Lama ya, Dek?"

Mas Dion menyadarkanku dari lamunan singkat, makanan yang kami pesan telah datang. Perlahan, cerita-cerita mulai terbacakan, aku mendengar, ia tertawa, seterusnya begitu.

Pukul setengah satu malam, lambaian tangan menutup malam ini dengan baik, meski belum juga berakhir. Sesampainya dirumah, pesan Mas Dion kembali menyambut, memberiku kabar bahwa kini ia sedang berada di kedai kopi yang tak jauh dari rumahnya,

"Kenapa masih mampir, Mas?"

ia bercerita tentag driver ojek online yang sengaja mengajaknya mengobrol sebentar sembari melegakan dahaga,

"Kalian saling kenal?"

"Enggak!" Tulisnya dalam pesan yang dilanjutkan dengan emoticon tertawa.

Entah apalagi yang dituliskannya dalam pesan,

malam ini, dengan 'Selamat Tidur' darinya, aku tidur nyenyak.


*****


Aku sedang berada dalam jadwal pemotretan untuk sebuah produk kecantikan ketika Mas Dion selalu mengirimkan pesan, memberi kabar meski aku tak meminta.

Rin, kalau sudah ada waktu luang, kabari aku ya

Sekarang luang Mas, bersiap pulang

Boleh aku telfon?

Ada apa Mas?

Yang kemudian dilanjutkan dengan berderingnya smartphoneku. Tiada hal-hal mendesak yang memaksanya menghubungiku sore itu, hanya saja ia masih tetap menanyakan kabarku, memintaku bercerita soal berjalannya hari ini, seberapa melelahkan jika diumpamakan lewat skala satu sampai sepuluh.

Itulah kali pertama aku mendengar suara Mas Dion tanpa menatap wajahnya. Hal yang tak pernah sekalipun terpikir olehku, setelah hari itu ia tak henti-hentinya mengrimkan pesan, video call tak tau waktu, lima jam sepertinya waktu paling singkat yang kami habiskan untuk sekedar saling tatap meski lewat gawai.

Ia mengiyakan ajakanku pergi ke salah satu acara bulanan Kota yang kebetulan aku ikut andil didalamnya meski tak sepenuhnya.


27 Agustus 2017

Dengan mobil aku menjemput Mas Dion di tempatnya massage yang rutin ia datangi ditengah kegiatannya yang padat. Lelaki yang telah menungguku sejak satu atau dua jam lalu itu tak sekalipun menunjukan amarah dalam tatap matanya. Aku mempersilahkannya masuk dan segera meminta maaf. Ia pun masih setenang air palung yang dalam.

"Bagaimana kalau kita kerumahku sebentar, Rin? Supaya nanti aku nggak makan banyak waktu kalau harus buru-buru ke stasiun?"

Aku berpikir ulang saat mendengar Mas Dion hendak membawaku pulang, yang berarti harus bertemu ayah dan ibunya,

"Gimana, Dek?"

Aku menarik nafas panjang, "Boleh Mas"

Tiada gugup yang menghantuiku, sebenarnya. Hanya ragu tiba-tiba datang mengganggu ketika ia memintaku membukakan pagar, mobil perlahan masuk melewati halaman yang terhitung luas dengan berbagai pohon dan bunga menghiasi. Mas Dion menarik rem tangan,

"Yuk?"

"Eh, iya Mas"

Sesosok perempuan paruh baya muncul dari balik pintu, menyapaku hangat hingga tiada lagi resah, aku mencium tangannya yang sedikit basah sehabis mencuci piring.

Aku dipersilahkan duduk, lelaki dengan celana pendek dan kaos oblong putih menyusul keluar. Biar aku tebak, dan benar saja bahwa kali ini, Ayah Mas Dion, aku kembali berdiri, menyambut tangannya yang sedang sakit akibat kecelakaan yang menimpanya beberapa minggu lalu.

Inilah kali pertamaku dalam seumur hidup, datang seorang diri dirumah seorang lelaki yang belum lama kukenal.

Tapi betapa menyenangkannya keluarga ini, saat rumah terasa begitu teduh, hiasan meja yang tertata rapi, foto-foto terpasang apik.. Ah, Mas Dion datang dengan ranselnya saat aku masih mengamati ruang sekitar,

"Sudah Rin?"

Aku membalas anggukan

"Pamit dulu ya tante, om.."

Kami pergi selepas aku berpamitan dan mencium lagi kedua tangan ayah dan ibu Mas Dion.

*****

Pukul setengah lima sore, sepanjang jalan Malioboro yang hingga saat ini masih saja menjadi destinasi primer Kota telah ditutup, kami berjalan beriringan menyusuri trotoar yang tak lagi dipenuhi penjual kaki lima.

"Rin, kamu percaya nggak? Orang-orang banyak mengamatiku, entah karena apa"

"Masa sih?"

"Kita hitung ya"

Segala canda terlalui hingga pengingat waktu di smartwatch Mas Dion berbunyi, menandakan bahwa ia harus segera berangkat sebelum kereta menuju Surakarta meninggalkannya. Maka kami segera pergi, kuantarkan Mas Dion pada stasiun kota.

Mas Dion, mahasiswa seni semester lima, usianya belum genap dua puluh satu tahun. Lewat senyum dan lambaian tangan, kami berpisah begitu saja.

Jogja tak pernah salah, ketika selalu ada saja jalan menyatukan dua hati meski berkali-kali patah. Kepergiannya kali ini seperti ada yang hilang. Esok sore ia akan kembali lagi. Meski sering ia memberitahuku soal banyak hal, sampai kini, aku masih saja belum tau, mengapa saat Jogja punya banyak sekali perguruan tinggi bahkan beberapa akademi seni yang dapat diperhitungkan dan menjadi alasan untuk tetap tinggal, Mas Dion justru memilih berjarak pada kota kelahirannya.

Continue Reading